“Saya hutang lagi ya mbak, saya butuh banget buah dan sayur – sayur ini,” bisikku kepada mbak Mina, seorang penjual sayuran keliling langganan.
Aku tak mau ada orang lain yang mendengar dan menjadikan bahan pergunjingan, apalagi jika kebetulan mertuaku melintas dan tahu bahwa aku sedang ngutang belanja di tukang sayur. Mampuslah aku.
“Oh, tenang saja mbak. Ibu menyusui harus rajin makan buah dan sayur biar ASI lancar,” ucapnya dengan senyum jumawa.
Hatiku lega mendengarkannya. Setelah seharian sumpek melihat sikap ibu mertua yang selalu menyalahkanku, ada juga orang yang baik kepadaku di lingkungan ini.
“Untuk totalannya, akan saya bayar bulan depan, janji deh.” Bisikku lagi.
Aku ingin membuktikan perkataan ibu mertua dengan menyajikan masakan enak untuk suamiku dua hari ke depan dari sayur dan buah yang kuhutang barusan, meski pun dengan makanan sederhana sebab Mas Marvin belum memberiku uang belanja untuk minggu ini.
Kebetulan Aghis tertidur, akhirnya kuputuskan membeli sayur mayur pada mba Mina yang kebetulan lewat di depan rumah.
“Halah tenang saja, ini ada jamu gepyok untuk diminum, bisa melancarkan ASI.” Jelas mbak Mina mengulurkan sebuah botol plastik berisi minuman berwarna hijau pekat.
Aku mengernyitkan dahi.
“Berapa mbak ini?” tanyaku ragu. Aku takut jika menambah jumlah hutangku kepada mbak Mina sementara, aku sendiri tidak tahu kapan mas Marvin akan memberiku uang belanja lagi.
“Alah, ini gratis,” ucapnya memaksaku menerima jamu gepyok. Jamu yang terbuat dari rebusan daun pepaya dan juga rempah – rempah pilihan.
Bibirku melengkung sempurna.
“Wah, makasih mbak.” Segera kuterima jamu itu dan gegas memasuki rumah. Karena Aghis sedang tidur sendirian di kamar. Aku takut jika anak bayiku menangis karena terbangun dan tidak ada yang menjaga.
Sampai di rumah, gegas kuminum jamu gepyok dengan buru – buru. Rasanya cukup menyegarkan meski sedikit pahit dan sepet di lidah. Semoga saja, ASIku bisa keluar deras berkat meminum jamu ini.
Aku tidak mampu membeli pil ASI booster yang terkenal di social media itu, karena harganya cukup mahal. Daripada kubuat membeli obat, mendingan kupergunakan untuk membeli diapers dan minyak telon mengingat kebutuhan kami semakin banyak sementara, hanya mas Marvin yang bekerja di rumah ini.
“Minum apa kamu Furika?”
Sebuah suara cempereng mengagetkanku dari belakang, sampai membuat aku tersedak. Ada sensasi nyeri di tenggorokanku.
Ternyata, lagi – lagi ibu mertuaku berkunjung tanpa permisi. Aku tidak pernah mengunci pintu ruang tamu karena ibu mertua pernah protes dan menilaiku sombong tidak mau menerimanya berkunjung.
“Ini jamu gepyok, Bu.” Jelasku menunjukkan botol kepadanya.
“Kamu jangan sembarangan minum jamu ya! Kalau ngefek ke cucuku gimanagimana?" Bentaknya meraih paksa botol berisi jamu yang tinggal setengah itu.
“Ini alami kok, Bu." Balasku membela diri.
“Jamu ini bisa melancarkan ASI,” sambungku lagi.
Kukira, ibu mertua akan senang melihat usahaku agar ASI-ku keluar lancar. Ternyata sama saja.
“Kamu yakin dengan kandungannya? Kalau ternyata bikin efek samping ke bayimu gimana?”
“Ih, kamu kok nggak mikir sih!” Gegas diambilnya botol itu dan membuang isinya ke kamar mandi.
Sedih rasanya aku menyaksikan, tapi Namanya ibu mertua pasti tidak menerima segala bentuk protesku.
“Kamu itu jangan minum jamu dan obat sembarangan! Ngaco kamu!” Hardiknya, kemudian berlalu mengintip bayiku yang tertidur di kamar.
Setelah melihat Aghis tertidur pulas, barulah ibu mertua kembali pulang ke rumahnya yang letaknya di sebelah timur rumahku.
Aku jadi heran. Kenapa ibu mertuaku tidak mengenal minuman tradisional ini? Orang terlahir dari manakah dia?
Jika begini aku hanya bisa menggelengkan kepala dan pasrah. Berusaha melupakan segala ucapan ibu mertua ketimbang menjadikannya beban dan membuat moodku hancur.
“Sabar Furika, jangan setress ibu menyusui tidak boleh setress,” ucapku menggurui diri.
Sesuai ilmu yang kupelajari, kondisi psikis seorang ibu juga mempengaruhi jumlah ASI yang keluar. Itulah mengapa, aku berusaha menutup kuping dari segala komentar pedas dari orang – orang yang hanya bisa menuntutku tanpa peduli dengan apa yang kualami sekarang.
Walau, aku yang baperan ini kerap tersinggung dengan ucapan ibu mertua dan para iparku yang selalu membuatku meradang.
****
Hari ini cukup melelahkan, meski bekas jahitan oprasi belum kering dan terasa nyeri sesekali. Aku tetap melakukan pekerjaan rumah seperti yang aku bisa.
Memasak, mencuci dan menyapu rumah. Agar ibu mertua dan kakak ipar tidak bawel mengomentari segala sisi kekuranganku. Aku ingin membuktikan, tidak selemah yang mereka kira.
Makannya, kuabaikan rasa sakit di bekas jahitan ini demi mewujudkan tuntutan mereka ‘aku harus menjadi wanita serba bisa’ tanpa peduli keadaanku sekarang.
Anakku menangis terus seharian, untunglah ASIku sudah bisa keluar perlahan meski tidak banyak. Jadi, bisa digunakan untuk menenangkan Aghis saat nangis seperti ini.
Karena Aghis selalu menangis jika diturunkan di kasur, minta digendong terus. Dengan terpaksa, aku makan siang dengan menggendongnya.
Perutku yang keroncongan semalaman, akhirnya keisi makanan berat juga. Aku senang karena jika perut kenyang dan ibu cukup makan sayur dan buah ASI akan semakin deras.
“Furika! Kamu tega banget sih, gendong sambil makan kayak gitu!” lagi dan lagi, suara itu mengagetkanku.
Kali ini, bukan ibu mertua yang datang. Melainkan, Iza kakak ipar keduaku.
Mas Marvin adalah anak ke 3, memiliki 3 saudara perempuan semua. Kakak – kakaknya sudah menikah semuanya dan memiliki satu adik perempuan yang masih kuliah.
Mbak Iza berjalan cepat ke arahku, dan meraih gendonganku dengan paksa.
Padahal, anakku sudah hampir mau tertidur akhirnya bangun lagi karena kaget.
“Kamu itu sembrono! Gimana kalau anakmu jatuh? Gendong gak becus!”
Cles.
Ucapannya begitu ringan keluar dari bibir Mbak Iza, seolah menilaiku tidak bisa menggendong anak. Meski pengalaman pertama mempunyai anak, aku tidak sebodoh yang mbak Iza kira. Gendonganku juga rapet, meski aku menyangga bayiku dengan satu tangan. Sementara, nasi juga kuletakkan di atas meja.
“Ada apa Iza? Kok teriak – teriak?”
Dan disusul oleh ibu ratu alias ibu mertua, yang datang dengan tampang judesnya. Aku dibuat pusing dengan sikap keluarga suamiku jika begini.
Harusnya, mereka sedikit sungkan dan permisi jika memasuki rumahku, apa mereka tidak bisa?
“Lihat ibu, Furika sembrono, gendong sambil makan,” jelas Mbak Iza sambil mengayun anakku.
“Benar begitu? Susah banget dibilangin sih Furika! Ini bayi, bukan boneka, kalau jatuh kamu bisa tanggung?” seperti yang ditebak, ibu mertua akan nerocos Panjang lebar menyalahkanku.
“Tapi bu–"
“Marvin akan marah jika tahu semua ini,” imbuh ibu mertua.
Drama ini lagi dan lagi terjadi. ibu dan iparku selalu mendikte seolah – olah apa yang mereka ucapkan benar, dan aku seperti orang bodoh yang mereka gurui. Dan seperti biasa, aku lah yang mengalah dan memilih diam, membiarkan ibu mertua terus menerus menyalahkanku. Mungkin, sehari saja tidak berkomentar pedas rasanya seperti ada yang kurang.
“Lho, ada mbak Iza? Sejak kapan ke sini mbak?” terdengar suara bariton mendekati kami dari ruang tamu.
Ternyata, suamiku sudah pulang. Padahal, tadi pagi berpamitan akan lembur kerjaan.
“Mas, kok udah pulang?” Tanyaku menoleh ke sisi Mas Marvin. Dan suamiku tidak menjawab malah lebih antusias dengan kehadiran kakak keduanya di rumah kami.
“Marvin, lihat ulah istrimu!” Teriak Mbak Iza lantang.
“Furika? Kenapa?” tanya Mas Marvin menatapku.
“Istrimu itu yang dipikirkan perut saja, masak dia makan sambil gendong, bahaya kan?”
“Benar begitu, Dek?”
“B–bukan gitu, Mas!” aku terbata mencoba menjelaskan mana benarnya.
“Aku jadi ragu, istrimu ini becus apa nggak ngerawat anak,” sela ibu mertua sambil melipat kedua tangan di depan dada.
Marvin menggelengkan kepala dengan wajah kecewa, pria itu meraup wajah dengan tangan kanannya dan mengintip pada Aghis yang digendong mbak Iza.
“Apa benar kata nenekmu tadi sayang? Lain kali, ibumu harus diajari menggendong agar tidak membahayakan keselamatan jagoan kesayangan papa,” ucapnya panjang lebar sambil mencuil pipi Aghis.
Ibu mertua, mbak Iza dan Mas Marvin tidak berkomentar setelah itu, mereka berjalan menuju ruang tamu dan bercengkrama di sana. Tanpa memperdulikan, aku yang merasa ini semua semakin tak adil. Kenapa mereka selalu bersikap seenaknya kepadaku?Tragis. Sehumor inikah hidupku?Kenapa keluarga ini tidak pernah memikirkan perasaanku? Melahirkan bukanlah yang sepele, harusnya mereka menjaga kesehatan jiwa dan ragaku pasca persalinan. Bukannya terus menyalahkan.Mereka meninggalkanku seolah aku lah orang yang melakukan kesalahan fatal dan benar – benar fatal.Pun Mas Marvin, semakin hari tingkahnya semakin susah kupahami. Seolah tidak paham, apa yang seharusnya dilakukan seorang suami setelah istrinya melahirkan. Bukan malah menuntut seperti ini.“Jadi gimana, Dek? Kamu bisa kan pinjemin aku uang? Sebulan lagi akan kubayar.”Samar – samar terdengar suara manja mengalun dari bibir mbak Iza. Rupanya ini alasan wanita itu jauh – jauh mengunjungi kami. Untuk meminjam uang suamiku.Kakak ipar kedu
Aku semakin kesal dengan hasil musyawarah tadi sore, benar – benar Mas Marvin langsung terpengaruh begitu saja dengan ucapan mbak Iza dan ibu mertua. Malam ini, Aghis tidak diperkenankan memakai pampers oleh suamiku, dan apa yang terjadi?Sejak sore dia menangis tak berhenti, sebab risih dengan kain basah yang harus diganti setiap kali bayiku buang air kecil. Tidurnya jadi tak nyenyak dan dia semakin rewel.Aku belum istirahat sejak pagi, ibu Mas Marvin melarangku tidur siang karena ‘pamali’ katanya. Sementara, sore pun aku tidak berani tidur sebab ada mbak iza dan ibu mertua di rumahku. Mereka akan berkomentar yang tidak – tidak jika melihatku tidur sementara, bayiku tidak ada yang menjaga.Sangat miris bukan? Harusnya, setelah melahirkan seorang ibu harus memaksimalkan istirahat. Karena akan mempercepat pemulihan dan juga bisa berpengaruh terhadap derasnya ASI. Tapi mau bagaimana lagi, support sistemku alias mas bojo juga tidak peduli dengan apa yang sedang kualami.“Mas, gantiin ja
"Kamu jangan kebiasaan dong dek, selalu saja menunda pas kusuruh!” protes Mas Marvin kemudian.Aku kembali bergeming menatap suamiku. Kenapa sikapnya semakin seperti anak kecil saja. Tidak pernah mau mengerti keadaanku.“Buat sendiri nggak bisa mas?”Mas Marvin malah merengut mendengarkan pertanyaanku.“Iya deh, aku buatin kopi, tapi jagain Aghis di kamar ya nanti takutnya dia terbangun.” Akhirnya gegas kubuatkan kopi secepat kilat. Hatiku masih dirundung penasaran dengan temuan kwitansi belanja tadi.Haruskah aku tanyakan kepada suamiku? Tapi, bagaimana jika dia marah pas kutanyai?Kopi sudah kuseduh, sesuai takaran yang mas Marvin mau. Tidak terlalu manis dan kental. Kusuguhkan di atas meja rias. Terlihat mas Marvin malah asyik main HP, tidak memperhatikan bayiku sama sekali.“Mas, ini kopinya,” ucapku berbasa – basi.“Hem…” jawabnya tanpa menoleh. Sangat terlihat focus dengan benda persegi Panjang digenggaman. Bukannya malah terima kasih.Aku mendekat, menduduki kursi rias di samp
“Iya kan benar apa kataku? Kamu kerjaannya Cuma ongkang – ongkang aja, mana bisa ngasilin duit,” ujar ibu mertuaku ketus. Lirikan mautnya selalu berhasil membuatku meremaskan tangan menahan kesal.Aku hanya bisa mendengus saja jika sudah begini. Menghina dan merendahkan, apa tidak ada kalimat lain yang bisa ia ucapkan kepadaku? Kentara banget ibu mertuaku ini kalau memang tidak suka kepadaku.“Ya sudah, ibu balik ke rumah dulu, urus anakmu dengan baik.” Akhirnya wanita paruh baya itu melangkahkan kaki meninggalkanku berpelukan dengan damai usai kepergiannya.“Huft, sabar – sabar,” ucapku mengelus dada.*** Malam menjelang, sudah lama kumenanti sejak Mas Marvin berangkat kerja pagi tadi. Sesuai janjinya, suamiku itu akan membawakan oleh – oleh yang kuidamkan. “Skincare”. Sudah lama tak kubeli barang itu untuk sekedar merawat kulit wajahku yang semakin terasa kering ini.Dan seperti biasanya, kuintip dari jendela kamar, Mas Marvin melangkahkan kaki menuju rumah kami dengan menenteng ta
Andaikan aku masih bekerja, aku tidak akan minta – minta seperti ini kepada suamiku. Apalagi hanya sekedar membeli skincare dan kosmetik. Borong setoko pun aku bisa membelinya. Sejak semalam, hatiku masih dirundung kesal dan nelangsa. Gini banget jadi ibu rumah tangga. Yang tidak pernah dihargai, selalu dituntut dan selalu disalahkan.Ruang gerakku hanya sebatas di rumah saja, mengurus anak tanpa ada yang menggantikan, mengurus keperluan rumah tanpa boleh ada yang salah, dan selalu kekurangan uang karena tidak bisa mencari pemasukan sendiri.“Furika! Kamu ngapain bengong, ayo ke rumah ibu, ada tamu!”Ibu mertuaku memanggilku dengan nada terburu – buru.“Tapi anakku bu?”“Anakmu kan tidur, tinggal saja bentar!” ocehnya memaksa.“Nggak bisa bu, kasihan sendirian di rumah, kalua anaknya bangun terus nangis gimana?” protesku berusaha membela diri.Mana tega aku meninggalkan bayi kecilku sendirian di rumah. Bukannya aku lebay ya!“Halah, alasan! Cepet gendong anakmu, buatkan minuman tamuk
“sudah jam setengah sepuluh malam, tapi mas belum pulang, perutku lapar sekali.”Aku hanya bisa merintih menahan lapar sambal mengelus perutku yang semakin terasa perih saja. Mungkin asam lambungku naik sebab terlalu sering telat makan dan kuabaikan begitu saja. Rasanya pengen mual dan kepala kliyengan.Anakku sudah tidur pulas sejak sore tadi, sementara aku tidak bisa tidur karena perutku yang terus menjerit keroncongan. Sementara di rumah tidak ada makanan sama sekali.Penantianku akhirnya tidak sampai lama. Mas Marvin dan ibu mertua akhirnya sudah pulang. Dari luar terdengar sebuah mobil terparkir di teras samping, dan aku yakin itu adalah mobil Giandra yang mengantarkan ibu mertua, mas marvin dan kakak ipar usai acara makan – makan di restoran.Iya. Makan – makan! Mereka enak – enakan menikmati makan enak tanpa mengajakku. Dengan alasan, anakku masih bayi dan tidak boleh di bawa ke mana – mana.Begitu nelangsanya aku menyaksikan mereka dari balik jendela kamar, namun apa boleh bua
"Dulu ibu bisa mengurus tiga anak sekaligus padahal jadi janda, sedangkan kamu mengurus satu anak saja nggak becus!"Lontaran kalimat pedas itu kembali menyembur dari mulut ibu mertua. Bukannya menguatkan aku yang benar - benar rapuh karena buah hatiku terkapar dengan selang infus, tak hentinya wanita tua itu terus menyalahkanku."Istrimu memang nggak becus Marvin, untung saja Aghis tidak parah.""Jika ibu kemari hanya untuk marah - marah teriak -teriak saja, lebih baik pulang," ucapku sedikit memberanikan diri."Kamu ngusir ibumu? Lihatlah Marvin, istrimu makin hari makin kurang ajar. Tak tahu terima kasih dijenguk malah mengusirku.""Furika, tolonglah jangan memancing keributan," sahut Mas Marvin yang meraih pundak ibu dan mangusapnya.Bukannya menenangkanku, mas Marvin lagi - lagi berpihak kepada mak lampir."Biaya rumah sakit kan mahal, kamu mampu bayar semua?" Sentak ibu lagi sambil melengos.Aku tak berkomentar memilih meninggalkan suami dan ibu mertua di luar ruangan dan meneng
"Kenapa mas Marvin menikah lagi? Apa kurangku mas? Kenapa nggak kita bicarakan dulu?"Seperti dugaanku, Isyani Giandra adalah wanita yang akan menjadi istri kedua suamiku. Isyani beserta keluarga sudah datang di rumah kami, sementara penghulu masih dalam perjalanan.Isyani memutuskan melangsungkan akad nikah di rumah mas Marvin dan seminggu kemudian diboyong ke kota untuk resepsi di rumah orangtuanya. Begitu adat di sini.Mas Marvin hanya memandangku dengan muka tak nafsu, malah sibuk menata kerah baju.Padahal sejak tadi aku menangis maraung - raung, namun tak diindahkan."Mas jawab pertanyaanku!" Sedikit kutinggikan suaraku karena aku semakin gemas.Ingin sekali aku mengacak - ngacak muka pria tak tahu malu sepertinya, sayangnya gerakku terbatas karena sedang menggendong Aghis."Apaan sih dek, berisik tauk!""Apa katamu berisik? Kamu mau aku berteriak lebih kencang lagi?" ancamku sambil terisak."Furika! Ini bukan hutan, pelankan suaramu!" Ibu mertua memasuki kamar tanpa diundang, l
Sudah menjelang magrib, tapi toko baju masih ramai pengunjung. Furika sudah Lelah mengurus banyak hal hari ini, dan akhirnya menyerahkan semua pelayanan toko kepada karyawannya.Ia ingin bergegas pulang, Kembali ke rumah dan berjumpa dengan putra kesayangan. Namun ternyata, Aghis sudah diantar pengasuhnya ke toko karena pengasuhnya harus segera pulang karena sebuah urusan.“Sayang, kangen bunda ya?” tanya Furika sembari menciumi kedua pipi bayi yang baru genap delapan bulan.Bayi mungil itu hanya meringis sejurus kemudian memeluk Furika dengan sangat manja.Tidak terasa, bayinya tumbuh besar sangat cepat dan tumbuh menjadi anak yang sehat. Aghis tidak pernah rewel saat diasuh. Menjadi anak penurut dan tidak merepotkan selama Furika merawatnya seorang diri.Meski hari-hari Furika pahit dan sepi karena statusnya menjadi orangtua tunggal. Senyum Aghis selalu berhasil membenamkan semua perih yang Furika pendam selama ini.Luka pengkhianatan, direndahkan bahkan sampai perceraian, semua suda
Selepas mengirim semua paket orderan online, Furika masih disibukkan mengurus toko online untuk laporan penjualan dan setelah itu menemui salah satu selebgram yang ia sewa untuk mempromosikan toko bajunya. Toko baju yang ia Kelola memang toko baju biasa yang tidak mempunyai brand khusus. Namun bagi seorang Furika, wajib hukumnya merawat usaha yang ia geluti dengan maksimal untuk mendapatkan keuntungan maksimal juga.Apalagi di era serba modern seperti ini, Furika ingin memaksimalkan promosi online agar calon pembelinya tertarik.“Ibu owner makin hari makin sibuk aja,” goda Irzham sambal mengapit kedua mukanya dengan menelungkupkan dua tangan. Pria itu memang tak bosan-bosannya menggodai sang pujaan, meski Furika kerap ngambek karena ocehan Irzham berhasil merusak fokusnya.“Ibu owner jangan sibuk terus, dong. Sini temenin saya ngeteh,” ocehnya lagi mencari perhatian.Usahanya yang kedua, berhasil membuat Furika berdecak dan melengos ke arahnya.“Apa’an sih, dari tadi gangguin terus,”
"Kamu nggak papa, kan?"Seorang pria berjalan sedikit terburu mendekati Furika dengan wajah dipenuhi raut khawatir. Kehadirannya memang terlambat, tidak bersamaan dengan keluarga Marvin yang kebetulan menginjakkan kaki di toko Furika.Dia amat menyesal dan berpikir yang tidak-tidak. Bagaimana Nasib Wanita pujaanya? Apakah dia sakit hati usai dihina mantan mertua dan suaminya? Begitulah yang terlintas di otak Irzham setelah mendengar kabar bahwa Santika beserta sang mantan suami berkunjung ke toko Furika."Si Marvin sama keluarganya emang keterlaluan, ya? untung kamu sabar." Irzham semakin dirundung kesal usai Furika menjelaskan kronologi keluarga mantan suaminya saat berjumpa dengan Furika.Furika tidak begitu sedih, tidak pula kesal. Setelah memutuskan berpisah dengan Marvin, Furika sudah siap menanggung semua resiko yang akan ia temui dikemudian hari. Termasuk, semakin dibenci laki-laki yang amat ia cintai. Marvin.Bagi Furika, mengenyam hinaan dan cacian Santika adalah hal biasa.
"Izham, kayaknya ini terlalu berlebihan deh," serat Furika dengan terus mengedarkan pandang ke seluruh ruangan.Furika memang sangat senang, senang sekali dan tidak menyangka dirinya akan menjadi owner toko baju dengan ukuran toko sebesar ini.Bayangan Furika, toko baju yang akan dibeli Irzham tidak sebesar toko baju yang ia singgahi sekarang. Tempatnya sangat luas, mewah dan dipenuhi aneka baju berjejer rapi di seluruh sudut yang ada.Matanya tidak bisa berkedip semenjak tadi."Aku nggak berlebihan kok Furi, ini adalah ganjaran untuk hasil kerasmu selama ini," kilah Irzhan dengan senyumnya yang bersahaja."Jadi, jangan anggap aku membelikan kamu toko ini secara cuma-cuma, ini nggak gratis, kok," imbuhnya lagi."Aku jadi terharu, makasih Zam. Aku janji akan urus toko ini biar terus berkembang," sirah Furika sungguh-sungguh. Netranya berkaca haru, ingin menangis namun berusaha tidak menangis."Aku suka gayamu, hehe."Setelah berpisah dari Marvin, Furika benar-benar mengatur strategi un
Sebenarnya Marvin cukup kesal dengan kejadian yang mengusiknya pagi-pagi buta. Tempat nyaman yang ia tinggali, akhirnya harus ia relakan diambil alih orang lain. Marvin sadar diri, memang tidak seharusnya ia menguasai rumah itu, karena memang rumah yang ia inggali dengan Isyani tidak lain adalah hak milik Furika."Tidak perlu sedih bu, aku tinggal di rumah ibu tidak akan lama," ujar Marvin berusaha menenangkan sang ibu.Sejak mengetahui putranya terancam jadi gelandangan, jelaslah sang ibu sedih dan tidak tega. Sedangkan, tidak mungkin Marvin dan Isyani tinggal di rumahnya. Sebab, rumah yang ia tinggali sekarang bakal di waris oleh adik terakhir Marvin."Nggak sedih gimana toh, kamu bakal jadi gelandangan nak! Memang Furika keterlaluan, bisa-bisanya jual rumah kamu!" omelnya kian kesal."Ibu lupa sesuatu?" celetuk Marvin memelankan ucapannya.Marvin sedang berada di kamar sang ibu, sementara Isyani tengah sibuk menata barang di kamar Marvin."Lupa? lupa apa lagi?" oceh sang Ibu tambah
POV Marvin Pagi-pagi buta, ketenangan Marvin dan Isyani terusik ketika ada dua tamu yang menginjakkan kaki di rumah mereka. Tepatnya, pukul 07.00 saat Marvin siap-siap berangkat ke kantor. "Kalian ini ngaco? tidak mungkin saya menjual rumah yang masih saya tempati. Aneh kalian." Ketus Marvin kesal. Sejak tadi ia menjelaskan bahwa ia tidak merasa menawarkan rumahnya kepada siapapun, namun dua tamu yang berkunjung ke rumahnya masih saja kekeuh. "Memang bukan anda yang menawarkan, karena anda bukan pemilik sah rumah ini," balas Jovi tidak mau kalah. Jovi adalah Asisten kepercayaan Irzham yang dikirim untuk mengurus perkara jual rumah Isyani. Dan pak Somad adalah saudagar kaya yang berniat membeli rumah Isyani secepatnya. Marvin geleng-geleng tertawa, dia ngeri sendiri jika benar rumah ini dijual oleh Isyani. Namun seingatnya, Isyani tidak pernah membahas surat tanah dan rumah yang selama ini ia sembunyikan. "Ah, nggak mungkin Isyani yang menjual rumah ini, surat-suratnya sudah kusem
"Mas mau usir saya?" kutinggikan suaraku dengan menatap nanar Mas Marvin. Nyasir aku tak percaya mas Marvin dengan entengnya menyuruhku pindah ke kios reyotnya malam ini juga. Apa dia tidak waras? "Iya! kamu makin keterlaluan saja Furika!" ucapnya dengan membuang nafas kasar. Aku geleng-geleng kepala usai mendengarnya sambil sejenak menyeringai tipis."Tapi mas, malam ini hujan," kucoba menawar mas Marvin sebentar, barangkali dia masih punya hati. Mana tega ia mengusirku keluar rumah sementara hujan deras mengguyur di luar sana. "Aku nggak peduli. Kemasi barangmu sekarang atau aku paksa kamu angkat kaki dari rumah ini." "Dan mulai sekarang, kujatuhkan talak satu kepadamu Furika! aku tidak akan menyentuhmu lagi!" Hati mas Marvin sudah tertutup rapat untukku. Malam ini juga aku diusir dari istana yang kubangun dengan hasil kerja kerasku sendiri. Yang semakin membuatku ngenes. Mereka tidak mau memberi belas kasihan kepadaku dan bayi kecilku. Di luar hujan deras mengguyur disertai an
"Orang pintar dikibulin, nendang lah!" Aku tertawa puas setelah berhasil menemukan surat rumah dan tanah di dalam almari penyimpanan. Mas Marvin memang licik tapi tidak secerdas aku. Setelah seisi rumah sepi, seharian aku sibuk mencari surat tanah dan rumah yang disembunyikan mas Marvin. Untunglah mas Marvin belum sempat memindahkannya di tempat lain, sehingga tidak sulit bagiku mengorak-arik laci maupun lemari rumah untuk mendapatkan surat berharga ini. *** "Aku bingung jual rumah di mana, di markletplace bisa?" ucapku bertanya-tanya sambil mengaduk sedotan yang berada pada gelas teh. "Ngawur kamu! jual tanah kayak jual kacang aja!" "Hehehe, makannya bantuin aku Irzham!" kekehku menertawai diri sendiri. "Oke, biar aku urus semuanya, beri aku nomor rekeningmu jika transaksi sudah deal. Kamu jual berapa rumah ini?""Pantesnya berapa? pokoknya bisa kubuat beli rumah baru lagi deh," ucapku putus asa. Karena memang aku kurang paham masalah jual beli tanah. Dan lebih baik kuserahkan
"Ternyata kamu memang menantangku Furika! sudah berapa kali kubilang jangan bikin ulah!" "Bikin ulah apa sih mas maksudnya? aku nggak macem - macem kok." Bukannya pulang-pulang bikin hati adem malah selalu mancing esmosi. Duh, semakin hari makin ngadi-ngadi saja suamiku ini. Selalu saja bikin pusing."Ibu sudah cerita semuanya tentang kamu, dan ini? dapat uang dari mana sampai kamu bisa membeli popok dan susu sebanyak ini? Hah? nyuri kamu?" Oh, ternyata ini bakal perkara yan membuat Mas Marvin langsung marah kepadaku? Karena popok! Apa salahnya aku membeli popok? Toh untuk kebutuhan anak kita. Bukan untuk kubuat foya-foya.Lagian aku beli popok pakai uangku sendiri tapi mengapa mereka yang repot?"Atau jangan - jangan," ucap Mas Marvin menaruh curiga sambil memincingkan mata ke arahku."Selama ini kamu sering keluar rumah karena punya simpanan? selingkuh kamu?" bentaknya sambil meninggikan suara."Selingkuh?" Astoge, ingin sekali aku tertawa lepas di depan suamiku. Sudah tidak pern