"Kamu jangan kebiasaan dong dek, selalu saja menunda pas kusuruh!” protes Mas Marvin kemudian.
Aku kembali bergeming menatap suamiku. Kenapa sikapnya semakin seperti anak kecil saja. Tidak pernah mau mengerti keadaanku.
“Buat sendiri nggak bisa mas?”
Mas Marvin malah merengut mendengarkan pertanyaanku.
“Iya deh, aku buatin kopi, tapi jagain Aghis di kamar ya nanti takutnya dia terbangun.” Akhirnya gegas kubuatkan kopi secepat kilat. Hatiku masih dirundung penasaran dengan temuan kwitansi belanja tadi.
Haruskah aku tanyakan kepada suamiku? Tapi, bagaimana jika dia marah pas kutanyai?
Kopi sudah kuseduh, sesuai takaran yang mas Marvin mau. Tidak terlalu manis dan kental. Kusuguhkan di atas meja rias. Terlihat mas Marvin malah asyik main HP, tidak memperhatikan bayiku sama sekali.
“Mas, ini kopinya,” ucapku berbasa – basi.
“Hem…” jawabnya tanpa menoleh. Sangat terlihat focus dengan benda persegi Panjang digenggaman. Bukannya malah terima kasih.
Aku mendekat, menduduki kursi rias di samping mas Marvin rebahan.
“Mas, tadi aku nemu kwitansi belanja make up, milik siapa?” tanyaku langsung.
Mendengar itu, mas Marvin menghentikan aktivitasnya dengan tatapan mata yang berubah. Ekspresinya juga berubah. Sedikit aneh tidak seperti biasanya.
“Kosmetik?” tanya mas bojo mengulang ucapanku.
Aku mengangguk, “Iya, tumben beli kosmetik.”
“Oh, jadi sekarang kamu suka buka – buka barang pribadiku ya?” bukannya menjawab Mas Marvin malah marah – marah nggak jelas.
Beranjak dari berbaring mengubah posisi duduk, menatapku dengan ekspresi marah. Ada apa dengan suamiku? Semakin aneh saja.
“Lhawong aku nemuinnya di saku celana kamu mas,” ungkapku meluruskan.
“Aku selalu cek saku kamu, takut ada barang penting kecelup air,” sambungku lagi berusaha membuat mas Marvin memahaminya. Selang kemudian raut mas Marvin berubah semakin aneh.
Gelagatnya sulit kupahami, seperti orang yang lagi mikir mencari - cari alasan.
“Oh, itu..” ucapnya terbata. Kemudian, Mas Marvin menggaruk kepala menatapku aneh.
“Itu punya temen, nggak sengaja tadi dititipin mas..” ucapnya dengan nada berat.
“Temen? Kok titip mas?” balasku sedikit mengintimidasi. Entah kenapa, melihat sikap mas Marvin yang aneh menimbulkan rasa curiga di hatiku. Masak, Mas Marvin beliin skincare wanita lain? Itu artinya?
“Udah ah Furika, jangan dibahas aku jadi pusing, mana kopiku,” marah Mas Marvin memasang wajah cemberut andalan.
Segera kuambilkan kopi yang tadinya kutaruh di atas meja rias dan mengulurkannya kepada Mas Marvin. Apa lagi yang bisa kutanyakan untuk mengusir rasa penasaran karena kwitansi make up tadi? Aku hanya bisa menghela nafas Panjang dan mencoba mencari tahu sendiri jika masih saja dirasa mengganjal.
“Kamu mau kubelikan skincare?” celetuk Mas Marvin setelah menyeruput kopinya dalam dua tegukan.
Mataku mengerling tetiba, sebuah pertanyaan langka yang keluar dari bibir mas Marvin. Tumben banget.
“Yaelah mas, cewek mana yang nggak mau dibelikan skincare, pasti maul ah..” jawabku senang. Aku lupa kapan terakhir berlagak hedon berbelanja skincare saat masih kerja dulu. Dan sekarang, tiba – tiba aku merindukan masa – masa itu.
“Ya udah, besok mas beliin..” janji Mas Marvin tersenyum.
Sungguh senang aku mendengarnya, entah kesambet apa suamiku tiba – tiba seperti itu. Padahal, terakhir tadi dia ngambek sampai pulang ke rumah ibu mertua.
“Yey, jadi serius mau beliin mas? Jadi, besok kita ke kota belanja skincare gitu?” tanyaku jingkrak – jingkrak. Sudah kebayang merek kosmetik mana saja yang akan kubeli besok.
Tapi, mas Marvin malah menggelengkan kepala.
“Ya enggak dong, besok aku belikan saja sepulang kerja, kamu di rumah saja,” jelasnya kemudian mengulurkan gelas kopi yang tersisa setengah.
Mas Marvin berdiri dengan sumringah, “Aku tidur di ruang tengah saja, jagain Aghis,” ucapnya kemudian.
Seketika, aku langsung terdiam. Nyatanya, realita tidak sejalan dengan ekspektasi. Lagi dan lagi, aku hanya bisa pasrah jika seperti ini.
“Jangan bangunin aku, urus anakmu sendiri ya!” pamitnya di bibir pintu.
Dan lagi – lagi, malam kami ditutup dengan perbincangan yang membuatku kesal. Alamat, mala mini aku begadang sendirian lagi.
“Furika, ibu hari ini tidak masak, uang belanja dari suamimu udah habis, kamu masak apa hari ini?”
Ibu mertua pagi – pagi sudah bertandang ke rumah. Sangat mengganggu ketenangan.
Meski jengkel, kuladeni beliau sebaik mungkin. Mengingat, ibu mertua adalah ibu dari suamiku. Dan aku harus menghormatinya.
Hari ini, aku hanya masak ayam goreng kesukaan mas Marvin dua potong dan sayur sop. Aku harus pintar mengolah keuangan dengan meracik masakan yang enak tapi tetap irit. Mas Marvin sudah memakan ayam gorengnya, jadi sisa satu dan itu untukku.
Karena seharian mengurus kebutuhan suami, aku akan sarapan setelah semua selesai. Dan, ibu mertua berkunjung tiba – tiba.
“Furika, masakan kamu diumpetin di mana sih? Pelit bener jadi orang..” cibir ibu yang nyelonong memasuki dapur tanpa sungkan.
Aku yang baru selesai memandikan Aghis, gegas menghampiri beliau dengan segera. Atau jika tidak, pasti ibu mertua semakin ngomel.
“Ibu lapar Furika, mana masakanmu?” tanya beliau lagi.
Dan dengan terpaksa, kuambilkan sisa ayam goreng yang harusnya menjadi jatahku kepada ibu mertua. Dan aku harus mengalah, “Ini bu, Furika Cuma masak ayam goreng,” jawabku.
Melihat lauk yang kuberikan, dengan sigap diraih ibu mertua. Beliau mengambil nasi di piring dan sayur sop dengan jumlah yang lumayan banyak, bahkan kuintip tinggal sisa kuahnya saja.
“Masakanmu kurang nendang, lain kali kalau masak tanya resep ibu, pasti nanti enak,” ujarnya berkomentar bak juri master chef di tv - tv.
Aku hanya membatin, ibu mertuaku ini selalu sok dalam segala hal. Padahal, kenyataannya juga jarang masak. Boro – boro memberiku sepiring masakannya, uang yang diberikan mas Marvin juga jarang dibuat belanja sayur mayur setahuku beliau selalu membeli makanan jadi setiap hari.
“Eh, iya bu,” balasku menimpali.
Ibu mertua terlihat lahap menikmati sarapannya, tanpa sungkan kupandangi sebagai menantunya. Padahal, sejak tadi aku sangat lapar sekali. Mau sarapan pun belum sempat karena masih mengurus mas Marvin yang mau berangkat kerja selepas itu memandikan Aghis.
Aku hanya bisa menelan saliva saking pengennya. Sudah tidak ada lauk di rumah ini, itulah lauk terakhir yang dinikmati ibu mertua.
“Kamu kok ada ayam sih Furika? Boros sekali ternyata, harusnya biar irit kamu beli tempe tahu saja untuk laukmu, dan ayam ini untuk suamimu,” komentarnya kemudian.
Salah banget ya beli ayam sesekali? Perasaan ibu menyusui juga perlu banyak protein bukan sih?
“Eh, iya bu,” balasku mengiyakan. Aku malas protes kepada beliau karena ujung – ujungnya pasti malah terjadi keributan.
Ibu mertua dan iparku wataknya hampir sama kerasnya, tidak mau mengalah dan selalu merasa paling benar.
“Jangan kau habiskan uang anakku dengan boros, cari uang itu sulit, kamu nggak bisa kan?” ucapnya lagi setelah menaruh piring kotor di atas meja cucian.
Duh, sangat merepotkan, sudah meminta tidak mau mencuci piring lagi? Sabar – sabar.
“Iya kan kata ibu?” ucapnya lagi menegaskan bahwa yang diucapkan beliau adalah benar. ‘aku nggak bisa cari uang’ di mata ibu mertua.
Aku sungguh keberatan jika mengiyakan. Karena kenyataannya bukan begitu!
Karena sebelumnya aku pernah bekerja, aku bisa mencari uang sendiri. Aku baru resign kerja empat bulan setelah kehamilanku menginjak bulan ke tujuh. Bukan sepenuhnya bergantung kepada suamiku sejak dulu.
Dan, begitu seenaknya ibu mertua mengataiku seperti itu.
“Tapi, dulu Furika juga bekerja bu,” protesku mencoba membela diri. Tenang, aku mengucapkannya juga dengan kalimat yang sangat halus agar ibu mertuaku yang moody’an tidak tersinggung.
Ibu Mertua menghentikan langkahnya saat berjalan menuju ruang tamu, menengok ke arahku dengan kedua alisnya yang hampir menyatu seperti jembatan.
“Itu kan dulu, sekarang kamu tinggal ongkang ongkang kaki sambil dasteran aja di rumah, enak bener!"
“Iya kan benar apa kataku? Kamu kerjaannya Cuma ongkang – ongkang aja, mana bisa ngasilin duit,” ujar ibu mertuaku ketus. Lirikan mautnya selalu berhasil membuatku meremaskan tangan menahan kesal.Aku hanya bisa mendengus saja jika sudah begini. Menghina dan merendahkan, apa tidak ada kalimat lain yang bisa ia ucapkan kepadaku? Kentara banget ibu mertuaku ini kalau memang tidak suka kepadaku.“Ya sudah, ibu balik ke rumah dulu, urus anakmu dengan baik.” Akhirnya wanita paruh baya itu melangkahkan kaki meninggalkanku berpelukan dengan damai usai kepergiannya.“Huft, sabar – sabar,” ucapku mengelus dada.*** Malam menjelang, sudah lama kumenanti sejak Mas Marvin berangkat kerja pagi tadi. Sesuai janjinya, suamiku itu akan membawakan oleh – oleh yang kuidamkan. “Skincare”. Sudah lama tak kubeli barang itu untuk sekedar merawat kulit wajahku yang semakin terasa kering ini.Dan seperti biasanya, kuintip dari jendela kamar, Mas Marvin melangkahkan kaki menuju rumah kami dengan menenteng ta
Andaikan aku masih bekerja, aku tidak akan minta – minta seperti ini kepada suamiku. Apalagi hanya sekedar membeli skincare dan kosmetik. Borong setoko pun aku bisa membelinya. Sejak semalam, hatiku masih dirundung kesal dan nelangsa. Gini banget jadi ibu rumah tangga. Yang tidak pernah dihargai, selalu dituntut dan selalu disalahkan.Ruang gerakku hanya sebatas di rumah saja, mengurus anak tanpa ada yang menggantikan, mengurus keperluan rumah tanpa boleh ada yang salah, dan selalu kekurangan uang karena tidak bisa mencari pemasukan sendiri.“Furika! Kamu ngapain bengong, ayo ke rumah ibu, ada tamu!”Ibu mertuaku memanggilku dengan nada terburu – buru.“Tapi anakku bu?”“Anakmu kan tidur, tinggal saja bentar!” ocehnya memaksa.“Nggak bisa bu, kasihan sendirian di rumah, kalua anaknya bangun terus nangis gimana?” protesku berusaha membela diri.Mana tega aku meninggalkan bayi kecilku sendirian di rumah. Bukannya aku lebay ya!“Halah, alasan! Cepet gendong anakmu, buatkan minuman tamuk
“sudah jam setengah sepuluh malam, tapi mas belum pulang, perutku lapar sekali.”Aku hanya bisa merintih menahan lapar sambal mengelus perutku yang semakin terasa perih saja. Mungkin asam lambungku naik sebab terlalu sering telat makan dan kuabaikan begitu saja. Rasanya pengen mual dan kepala kliyengan.Anakku sudah tidur pulas sejak sore tadi, sementara aku tidak bisa tidur karena perutku yang terus menjerit keroncongan. Sementara di rumah tidak ada makanan sama sekali.Penantianku akhirnya tidak sampai lama. Mas Marvin dan ibu mertua akhirnya sudah pulang. Dari luar terdengar sebuah mobil terparkir di teras samping, dan aku yakin itu adalah mobil Giandra yang mengantarkan ibu mertua, mas marvin dan kakak ipar usai acara makan – makan di restoran.Iya. Makan – makan! Mereka enak – enakan menikmati makan enak tanpa mengajakku. Dengan alasan, anakku masih bayi dan tidak boleh di bawa ke mana – mana.Begitu nelangsanya aku menyaksikan mereka dari balik jendela kamar, namun apa boleh bua
"Dulu ibu bisa mengurus tiga anak sekaligus padahal jadi janda, sedangkan kamu mengurus satu anak saja nggak becus!"Lontaran kalimat pedas itu kembali menyembur dari mulut ibu mertua. Bukannya menguatkan aku yang benar - benar rapuh karena buah hatiku terkapar dengan selang infus, tak hentinya wanita tua itu terus menyalahkanku."Istrimu memang nggak becus Marvin, untung saja Aghis tidak parah.""Jika ibu kemari hanya untuk marah - marah teriak -teriak saja, lebih baik pulang," ucapku sedikit memberanikan diri."Kamu ngusir ibumu? Lihatlah Marvin, istrimu makin hari makin kurang ajar. Tak tahu terima kasih dijenguk malah mengusirku.""Furika, tolonglah jangan memancing keributan," sahut Mas Marvin yang meraih pundak ibu dan mangusapnya.Bukannya menenangkanku, mas Marvin lagi - lagi berpihak kepada mak lampir."Biaya rumah sakit kan mahal, kamu mampu bayar semua?" Sentak ibu lagi sambil melengos.Aku tak berkomentar memilih meninggalkan suami dan ibu mertua di luar ruangan dan meneng
"Kenapa mas Marvin menikah lagi? Apa kurangku mas? Kenapa nggak kita bicarakan dulu?"Seperti dugaanku, Isyani Giandra adalah wanita yang akan menjadi istri kedua suamiku. Isyani beserta keluarga sudah datang di rumah kami, sementara penghulu masih dalam perjalanan.Isyani memutuskan melangsungkan akad nikah di rumah mas Marvin dan seminggu kemudian diboyong ke kota untuk resepsi di rumah orangtuanya. Begitu adat di sini.Mas Marvin hanya memandangku dengan muka tak nafsu, malah sibuk menata kerah baju.Padahal sejak tadi aku menangis maraung - raung, namun tak diindahkan."Mas jawab pertanyaanku!" Sedikit kutinggikan suaraku karena aku semakin gemas.Ingin sekali aku mengacak - ngacak muka pria tak tahu malu sepertinya, sayangnya gerakku terbatas karena sedang menggendong Aghis."Apaan sih dek, berisik tauk!""Apa katamu berisik? Kamu mau aku berteriak lebih kencang lagi?" ancamku sambil terisak."Furika! Ini bukan hutan, pelankan suaramu!" Ibu mertua memasuki kamar tanpa diundang, l
"Apa?""Aku ingin mengajarimu menjadi istri yang baik, biar mas Marvin makin cinta sama kamu.""Maksudnya mbak?"Kuseret Isyani yang kebetulan tengah bangkit berdiri dari meja makan. Wanita itu begitu pasrah saat kutarik tangannya.Kemudian, kami memasuki kamar mas Marvin. Isyani nampak kebingungan dengan tingkahku."Masukkan dompet, hp dan buku catatan ke dalam tas ini."Suruhku menyodorkan tas berwarna coklat kepada Isyani. Wanita itu manut aja tanpa keberatan."Cek apa ada barang penting yang belum masuk di tas kerja mas Marvin, kalau sudah. Bawa dasi, jaket, kaus kaki dan sepati serta tas ini ke ruang tengah. Kasihkan ke mas Marvin.""Cuma gini aja mbak?""Tidak, masih banyak hal -hal yang bisa bikin mas Marvin tambah cuinta sama kamu, ntar mbak ajarin.""Ribet banget mau kerja barang mas banyak banget sih," keluh Isyani sambil memunguti barang - barang yang kumaksud."Nggak papa ribet, nanti lama - lama akan terbiasa kok sayang, makasih yah sudah merawat mas." Mas Marvin menyungg
"Benar - benar kelewatan Marvin, sudah menelantarkanmu menduakanmu juga? Astaga, manusia berhati jahat ternyata."Terlihat wajah marah Irzam setelah mendengsrkan panjang ceritaku. Ah, kenapa dia yang emosi ya? Aku jadi heran."Kamu jangan diam saja Furi, mendingan kamu balas dia, bikin dia menyesal.""Makannya, aku ingin kerja dan buktikan bahwa aku bisa berdiri sendiri tanpa uluran tangannya, aku lelah ibunya terus merendahkanku seolah aku hanya beban untuk anaknya.""Oke, aku ada bisnis yang bisa kamu jalankan, kebetulan aku biuh tim marketing, kalau kamu berhadil 80% keuntungan bisa kamu ambil.""80% itu banyak Irzam, kebanyakan!""Nggak masalah, kalau perlu bikin mereka bersujud kepadamu lagi," ujar Irzham tersenyum jahat, namun akupun mengikuti tingkahnya."Iya, benar katamu.""Oke kita bahas di telepon saja, dan sembunyikan pekerjaanmu dari suami dan keluarganya sampaii waktu yang telat bisa kamu tunjukan..""Lah? emang kenapa harus disembunyiin? bukannya aku harus tunjukan kala
" Apa syaratnya?"Bukannya langsung menjawab pertanyaanku, Irzam malah memandangku genit dengan mengedipkan sebelah matanya. Sehat tidak nih orang?"Irzham! kok malah gitu ih, nggak jelas," proteskuIrzham tertawa melihat gelagatku yang tak nyaman karena sikapnya. "Iya - iya, maaf Furi. Aku cuma bercanda.""Aku akan beri kamu bonus kalau kamu mau memenuhi syarat dariku.""Ih, to the point kan bisa Zam! malah bikin penasaran!" protesku" kamu lucu pas marah.""Jadi syaratnya, kamu bakal dapat bonus semakin banyak kalau kamu berhasil jual produkku 2x lipat dari ini.""Hemm, itu mah bukan bonus Zam!" lirikku kesal. Menurutku yang namanya bonus tuh ngasih banyak tanpa banyak embel - embel syarat. Sementara, syarat yang diajukan Irzam sedikit memberatkan untukku."Jadi gimana? merasa tertantang nggak tuh?" ucapnya menanting. Karena aku paling suka tantangan, akhirnya tanpa berpikir panjang kujawab."Ehm, boleh dicoba.""Aku suka gayamu Furi! Kamu selalu percaya diri dan optimis. Oke seman
Sudah menjelang magrib, tapi toko baju masih ramai pengunjung. Furika sudah Lelah mengurus banyak hal hari ini, dan akhirnya menyerahkan semua pelayanan toko kepada karyawannya.Ia ingin bergegas pulang, Kembali ke rumah dan berjumpa dengan putra kesayangan. Namun ternyata, Aghis sudah diantar pengasuhnya ke toko karena pengasuhnya harus segera pulang karena sebuah urusan.“Sayang, kangen bunda ya?” tanya Furika sembari menciumi kedua pipi bayi yang baru genap delapan bulan.Bayi mungil itu hanya meringis sejurus kemudian memeluk Furika dengan sangat manja.Tidak terasa, bayinya tumbuh besar sangat cepat dan tumbuh menjadi anak yang sehat. Aghis tidak pernah rewel saat diasuh. Menjadi anak penurut dan tidak merepotkan selama Furika merawatnya seorang diri.Meski hari-hari Furika pahit dan sepi karena statusnya menjadi orangtua tunggal. Senyum Aghis selalu berhasil membenamkan semua perih yang Furika pendam selama ini.Luka pengkhianatan, direndahkan bahkan sampai perceraian, semua suda
Selepas mengirim semua paket orderan online, Furika masih disibukkan mengurus toko online untuk laporan penjualan dan setelah itu menemui salah satu selebgram yang ia sewa untuk mempromosikan toko bajunya. Toko baju yang ia Kelola memang toko baju biasa yang tidak mempunyai brand khusus. Namun bagi seorang Furika, wajib hukumnya merawat usaha yang ia geluti dengan maksimal untuk mendapatkan keuntungan maksimal juga.Apalagi di era serba modern seperti ini, Furika ingin memaksimalkan promosi online agar calon pembelinya tertarik.“Ibu owner makin hari makin sibuk aja,” goda Irzham sambal mengapit kedua mukanya dengan menelungkupkan dua tangan. Pria itu memang tak bosan-bosannya menggodai sang pujaan, meski Furika kerap ngambek karena ocehan Irzham berhasil merusak fokusnya.“Ibu owner jangan sibuk terus, dong. Sini temenin saya ngeteh,” ocehnya lagi mencari perhatian.Usahanya yang kedua, berhasil membuat Furika berdecak dan melengos ke arahnya.“Apa’an sih, dari tadi gangguin terus,”
"Kamu nggak papa, kan?"Seorang pria berjalan sedikit terburu mendekati Furika dengan wajah dipenuhi raut khawatir. Kehadirannya memang terlambat, tidak bersamaan dengan keluarga Marvin yang kebetulan menginjakkan kaki di toko Furika.Dia amat menyesal dan berpikir yang tidak-tidak. Bagaimana Nasib Wanita pujaanya? Apakah dia sakit hati usai dihina mantan mertua dan suaminya? Begitulah yang terlintas di otak Irzham setelah mendengar kabar bahwa Santika beserta sang mantan suami berkunjung ke toko Furika."Si Marvin sama keluarganya emang keterlaluan, ya? untung kamu sabar." Irzham semakin dirundung kesal usai Furika menjelaskan kronologi keluarga mantan suaminya saat berjumpa dengan Furika.Furika tidak begitu sedih, tidak pula kesal. Setelah memutuskan berpisah dengan Marvin, Furika sudah siap menanggung semua resiko yang akan ia temui dikemudian hari. Termasuk, semakin dibenci laki-laki yang amat ia cintai. Marvin.Bagi Furika, mengenyam hinaan dan cacian Santika adalah hal biasa.
"Izham, kayaknya ini terlalu berlebihan deh," serat Furika dengan terus mengedarkan pandang ke seluruh ruangan.Furika memang sangat senang, senang sekali dan tidak menyangka dirinya akan menjadi owner toko baju dengan ukuran toko sebesar ini.Bayangan Furika, toko baju yang akan dibeli Irzham tidak sebesar toko baju yang ia singgahi sekarang. Tempatnya sangat luas, mewah dan dipenuhi aneka baju berjejer rapi di seluruh sudut yang ada.Matanya tidak bisa berkedip semenjak tadi."Aku nggak berlebihan kok Furi, ini adalah ganjaran untuk hasil kerasmu selama ini," kilah Irzhan dengan senyumnya yang bersahaja."Jadi, jangan anggap aku membelikan kamu toko ini secara cuma-cuma, ini nggak gratis, kok," imbuhnya lagi."Aku jadi terharu, makasih Zam. Aku janji akan urus toko ini biar terus berkembang," sirah Furika sungguh-sungguh. Netranya berkaca haru, ingin menangis namun berusaha tidak menangis."Aku suka gayamu, hehe."Setelah berpisah dari Marvin, Furika benar-benar mengatur strategi un
Sebenarnya Marvin cukup kesal dengan kejadian yang mengusiknya pagi-pagi buta. Tempat nyaman yang ia tinggali, akhirnya harus ia relakan diambil alih orang lain. Marvin sadar diri, memang tidak seharusnya ia menguasai rumah itu, karena memang rumah yang ia inggali dengan Isyani tidak lain adalah hak milik Furika."Tidak perlu sedih bu, aku tinggal di rumah ibu tidak akan lama," ujar Marvin berusaha menenangkan sang ibu.Sejak mengetahui putranya terancam jadi gelandangan, jelaslah sang ibu sedih dan tidak tega. Sedangkan, tidak mungkin Marvin dan Isyani tinggal di rumahnya. Sebab, rumah yang ia tinggali sekarang bakal di waris oleh adik terakhir Marvin."Nggak sedih gimana toh, kamu bakal jadi gelandangan nak! Memang Furika keterlaluan, bisa-bisanya jual rumah kamu!" omelnya kian kesal."Ibu lupa sesuatu?" celetuk Marvin memelankan ucapannya.Marvin sedang berada di kamar sang ibu, sementara Isyani tengah sibuk menata barang di kamar Marvin."Lupa? lupa apa lagi?" oceh sang Ibu tambah
POV Marvin Pagi-pagi buta, ketenangan Marvin dan Isyani terusik ketika ada dua tamu yang menginjakkan kaki di rumah mereka. Tepatnya, pukul 07.00 saat Marvin siap-siap berangkat ke kantor. "Kalian ini ngaco? tidak mungkin saya menjual rumah yang masih saya tempati. Aneh kalian." Ketus Marvin kesal. Sejak tadi ia menjelaskan bahwa ia tidak merasa menawarkan rumahnya kepada siapapun, namun dua tamu yang berkunjung ke rumahnya masih saja kekeuh. "Memang bukan anda yang menawarkan, karena anda bukan pemilik sah rumah ini," balas Jovi tidak mau kalah. Jovi adalah Asisten kepercayaan Irzham yang dikirim untuk mengurus perkara jual rumah Isyani. Dan pak Somad adalah saudagar kaya yang berniat membeli rumah Isyani secepatnya. Marvin geleng-geleng tertawa, dia ngeri sendiri jika benar rumah ini dijual oleh Isyani. Namun seingatnya, Isyani tidak pernah membahas surat tanah dan rumah yang selama ini ia sembunyikan. "Ah, nggak mungkin Isyani yang menjual rumah ini, surat-suratnya sudah kusem
"Mas mau usir saya?" kutinggikan suaraku dengan menatap nanar Mas Marvin. Nyasir aku tak percaya mas Marvin dengan entengnya menyuruhku pindah ke kios reyotnya malam ini juga. Apa dia tidak waras? "Iya! kamu makin keterlaluan saja Furika!" ucapnya dengan membuang nafas kasar. Aku geleng-geleng kepala usai mendengarnya sambil sejenak menyeringai tipis."Tapi mas, malam ini hujan," kucoba menawar mas Marvin sebentar, barangkali dia masih punya hati. Mana tega ia mengusirku keluar rumah sementara hujan deras mengguyur di luar sana. "Aku nggak peduli. Kemasi barangmu sekarang atau aku paksa kamu angkat kaki dari rumah ini." "Dan mulai sekarang, kujatuhkan talak satu kepadamu Furika! aku tidak akan menyentuhmu lagi!" Hati mas Marvin sudah tertutup rapat untukku. Malam ini juga aku diusir dari istana yang kubangun dengan hasil kerja kerasku sendiri. Yang semakin membuatku ngenes. Mereka tidak mau memberi belas kasihan kepadaku dan bayi kecilku. Di luar hujan deras mengguyur disertai an
"Orang pintar dikibulin, nendang lah!" Aku tertawa puas setelah berhasil menemukan surat rumah dan tanah di dalam almari penyimpanan. Mas Marvin memang licik tapi tidak secerdas aku. Setelah seisi rumah sepi, seharian aku sibuk mencari surat tanah dan rumah yang disembunyikan mas Marvin. Untunglah mas Marvin belum sempat memindahkannya di tempat lain, sehingga tidak sulit bagiku mengorak-arik laci maupun lemari rumah untuk mendapatkan surat berharga ini. *** "Aku bingung jual rumah di mana, di markletplace bisa?" ucapku bertanya-tanya sambil mengaduk sedotan yang berada pada gelas teh. "Ngawur kamu! jual tanah kayak jual kacang aja!" "Hehehe, makannya bantuin aku Irzham!" kekehku menertawai diri sendiri. "Oke, biar aku urus semuanya, beri aku nomor rekeningmu jika transaksi sudah deal. Kamu jual berapa rumah ini?""Pantesnya berapa? pokoknya bisa kubuat beli rumah baru lagi deh," ucapku putus asa. Karena memang aku kurang paham masalah jual beli tanah. Dan lebih baik kuserahkan
"Ternyata kamu memang menantangku Furika! sudah berapa kali kubilang jangan bikin ulah!" "Bikin ulah apa sih mas maksudnya? aku nggak macem - macem kok." Bukannya pulang-pulang bikin hati adem malah selalu mancing esmosi. Duh, semakin hari makin ngadi-ngadi saja suamiku ini. Selalu saja bikin pusing."Ibu sudah cerita semuanya tentang kamu, dan ini? dapat uang dari mana sampai kamu bisa membeli popok dan susu sebanyak ini? Hah? nyuri kamu?" Oh, ternyata ini bakal perkara yan membuat Mas Marvin langsung marah kepadaku? Karena popok! Apa salahnya aku membeli popok? Toh untuk kebutuhan anak kita. Bukan untuk kubuat foya-foya.Lagian aku beli popok pakai uangku sendiri tapi mengapa mereka yang repot?"Atau jangan - jangan," ucap Mas Marvin menaruh curiga sambil memincingkan mata ke arahku."Selama ini kamu sering keluar rumah karena punya simpanan? selingkuh kamu?" bentaknya sambil meninggikan suara."Selingkuh?" Astoge, ingin sekali aku tertawa lepas di depan suamiku. Sudah tidak pern