“Tidurlah Furika, Aghis juga sudah pulas, aku tidur dulu ya, besok kerja,” pamitnya lalu berjalan memasuki kamar.
Aku hanya melongo. Setengah tidak percaya dengan ucapan mas Marvin. Beli nasi goreng dua bungkus? Dan itu hanya dimakan olehnya dan juga ibu mertua? Bagaimana dengan aku? Apa mas Marvin tidak tahu, bahwa istrinya yang butuh banyak asupan makanan untuk menyusi? Dan malam ini, aku juga belum makan malam.
Dengan sedikit nelongso, akhirnya aku hanya bisa diam. Tidak mungkin aku protes dan ngambek dengan sikap suamiku, yang ada malam ini kami akan bertengkar lagi.
Aku tidak memasak hari ini, karena seharian Aghis rewel tidak bisa ditinggal, sementara bahan masakan di dapur pun juga sudah habis semua. Hanya ada beras, dan itu pun harus dimasak dulu agar menjadi nasi.
Andai saja aku memiliki uang lebih, aku pasti akan memesan makanan juga seperti mas Marvin. Sayangnya, uang di dompetku sudah menipis sementara aku sudah tidak bekerja lagi dan menggantungkannya kepada suamiku.
Kutidurkan bayiku, dan karena aku sangat lapar namun tidak mungkin aku memesan makanan delivery akhirnya dengan sangat terpaksa agar perutku tidak keroncongan, hanya ada air putih dan biscuit di rumah yang bisa kunikmati untuk pengganjal perut.
****
“Oek... Oekkk...”
“Oekkkk….”
Suara tangisan bayiku semakin kencang. Padahal, masih pukul satu dini hari. Baru saja aku selesai merampungkan pekerjaanku. Mencuci seragam kerja Mas Marvin dan menyetrika sebagian yang sudah kering.
Kenapa aku melakukannya malam–malam begini? Semua bukan karena tanpa alasan.
Aku tidak sempat melakukannya saat pagi, sebab Aghis hanya tidur dua jam selepas mandi pagi setelah itu rewel minta digendong dan tidak mau diletakkan di Kasur.
Tidak masalah jika kukerjakan semua malam–malam, karena jika tidak mas Marvin akan ngambek lagi karena merasa aku ‘tidak melayaninya’ seperti kemarin.
“Oeeeek.. Oekkk..”
Aku berlari kecil menuju kamar, menggendong Aghis dan menenangkannya. Dan ternyata benar, Aghis menangis karena risih pampersnya sudah penuh. Memang aku terakhir menggantinya tiga jam yang lalu.
Jangan meniruku! Aku terpaksa melakukan ini. Tidak mungkin aku mengganti diapers setiap dua jam sekali, karena itu akan dinilai boros, Mas Marvin dan keluarganya pasti akan memarahiku jika aku berbuat boros.
Aku hanya memakaikan diapers untuk bayiku saat malam hari saja, saat pagi dan siang Aghis kupakaikan popok kain agar lebih menghemat pengeluaran.
“Mas Marvin, tolong buatkan susu buat Aghis,” pintaku kepada Mas Marvin yang tertidur di samping bayiku.
Sayangnya Mas Marvin tak kunjung bangun. Dan akhirya, aku terus menggoyang-goyangkan tubuhnya. Aku tidak mungkin meninggalkan bayiku yang menangis semakin kencang.
“Mas, bangun!” Ucapku meninggikan suara.
“Apaan sih dek! Berisik banget anakmu itu!” Bentaknya kasar.
Mas Marvin hanya bangun sekejap, setelah itu memiringkan tubuh membelakangi kami.
Jika mas Marvin sudah marah, aku selalu diam dan mengalah atau jika tidak pasti akan semakin menjadi.
“Mas, kalau gitu bantuin gendong Aghis biar aku yang buatkan susu,” pintaku dengan terus menggoyangkan tubuh mas Marvin.
Aku terlalu takut jika membuat susu dalam kondisi bayi rewel, aku takut jika itu sangat beresiko. Bagaimana jika air panasnya tumpah dan mengenai bayiku? Aku tidak rela. Itulah alasanku membagi tugas ini.
“Ih! Aku ngantuk Dek, seharian Mas kerja!” bentak mas Aghis yang akhirnya terduduk.
Lama-lama juga risih karena terus kubangunkan dan mendengar suara tangisan bayi kita.
Dengan tampang cemberut, dan matanya yang belum terbuka lebar. Akhirnya, dengan terpaksa Mas Aghis memangku bayi kita. Dengan segera aku kedapur, membuatkan susu untuk bayiku.
“Kamu males banget sih nenenin bayi kita! Ngrepotin banget,” cibir Mas Marvin yang mendekatiku di dapur sambil menggendong Aghis yang terus menangis.
“Aku nggak males mas, ASI-ku belum keluar,” belaku sambil mengaduk susu.
“Lagian apa nggak bisa nidurin bayi sendiri, aku capek kerja seharian!” Protes Mas Marvin.
“Iya, maaf. Habis ini aku gendong anak kita.”
“Aghis sayang, minum susunya ya, Nak. Setelah ini mari kita tidur,” bujukku dengan lembut pada si bayi.
Dengan cekatan, aku meraih Aghis dan menggendongnya berharap bayi kesayanganku segera terlelap dan aku pun bisa segera istirahat.
****
“Hari ini aku lembur jadi pulang agak malam, Dek." Tutur Mas Marvin sembari mengecup kening Aghis dengan lembut.
Aku mengangguk kemudian menyiapkan segala keperluan mandi untuk bayiku setelah menyiapkan kebutuhan mas Marvin. Kecuali sarapan, hari ini aku bangun kesiangan gara-gara Aghis menangis semalaman dan baru mau tidur jam 3 pagi tadi.
Jadi, aku tidak sempat belanja sayur dan membuatkan bekal untuk suamiku seperti dulu saat aku masih hamil.
Untungnya, Mas Marvin tidak marah. Cuek-cuek saja.
“Oh, jadi sekarang menantuku semakin malas ya? Masak anakku nggak pernah dimasakin, kasihan dong." Terdengar suara yang sangat tidak asing dari ruang tamu.
Dan aku tahu siapa pemilik suara itu. Pagi-pagi begini ibu mertua sudah berkunjung.
“Bu- bukan begitu bu, Furika—”
“Halah, semenjak kamu melahirkan makin pinter alasan terus, kemarin alasan nggak bisa ngasi ASI bayimu, sekarang lagi nggak pernah masakin suami,” cibir ibu mertuaku menyela ucapanku yang belum selesai.
“Sarapan itu penting Furika, apalagi untuk pekerja seperti Marvin, benar-benar kamu tega sama suamimu.”
Gemas sekali aku dengannya, selalu bersikap seenaknya saja.
“Jangan banyak alasan, semua sudah jelas! Kalau kamu itu pe-ma-las,” ucapnya mengeja dengan penekanan.
Mas Marvin hanya melirikku sekilas, kemudian sibuk merapikan dasinya.
Kenapa mas Marvin tidak membelaku? Serba repot jadinya jika begini, hidup terus dikomentari dewan juri seperti ibu mertua. Sementara, aku tidak bisa menjawab apa-apa, segala yang kuperbuat semua serba salah.
“Semalam Marvin juga makan nasi goreng di rumah, kasihan banget, capek-capek kerja nggak pernah dirawat istri, kamu nggak kasihan anakku, hah?”
Ibu mertua merebut Aghis yang kugendong dan masih tertidur pulas. Karena gerakan ibu mertua yang cukup keras, sampai akhirnya membangunkan anakku. Dan apa yang terjadi?
Aghis menangis sekencang-kencangnya karena kaget.
“Oekkkk…oeeek…”
“Lihatlah anakmu Marvin, dia jadi cengeng gara-gara perutnya kelaparan, ibunya nggak pernah memberinya ASI!” Ujar sang ibu menatap sinis ke arah Furika.
“Saya hutang lagi ya mbak, saya butuh banget buah dan sayur – sayur ini,” bisikku kepada mbak Mina, seorang penjual sayuran keliling langganan.Aku tak mau ada orang lain yang mendengar dan menjadikan bahan pergunjingan, apalagi jika kebetulan mertuaku melintas dan tahu bahwa aku sedang ngutang belanja di tukang sayur. Mampuslah aku.“Oh, tenang saja mbak. Ibu menyusui harus rajin makan buah dan sayur biar ASI lancar,” ucapnya dengan senyum jumawa.Hatiku lega mendengarkannya. Setelah seharian sumpek melihat sikap ibu mertua yang selalu menyalahkanku, ada juga orang yang baik kepadaku di lingkungan ini.“Untuk totalannya, akan saya bayar bulan depan, janji deh.” Bisikku lagi.Aku ingin membuktikan perkataan ibu mertua dengan menyajikan masakan enak untuk suamiku dua hari ke depan dari sayur dan buah yang kuhutang barusan, meski pun dengan makanan sederhana sebab Mas Marvin belum memberiku uang belanja untuk minggu ini.Kebetulan Aghis tertidur, akhirnya kuputuskan membeli sayur mayur
Ibu mertua, mbak Iza dan Mas Marvin tidak berkomentar setelah itu, mereka berjalan menuju ruang tamu dan bercengkrama di sana. Tanpa memperdulikan, aku yang merasa ini semua semakin tak adil. Kenapa mereka selalu bersikap seenaknya kepadaku?Tragis. Sehumor inikah hidupku?Kenapa keluarga ini tidak pernah memikirkan perasaanku? Melahirkan bukanlah yang sepele, harusnya mereka menjaga kesehatan jiwa dan ragaku pasca persalinan. Bukannya terus menyalahkan.Mereka meninggalkanku seolah aku lah orang yang melakukan kesalahan fatal dan benar – benar fatal.Pun Mas Marvin, semakin hari tingkahnya semakin susah kupahami. Seolah tidak paham, apa yang seharusnya dilakukan seorang suami setelah istrinya melahirkan. Bukan malah menuntut seperti ini.“Jadi gimana, Dek? Kamu bisa kan pinjemin aku uang? Sebulan lagi akan kubayar.”Samar – samar terdengar suara manja mengalun dari bibir mbak Iza. Rupanya ini alasan wanita itu jauh – jauh mengunjungi kami. Untuk meminjam uang suamiku.Kakak ipar kedu
Aku semakin kesal dengan hasil musyawarah tadi sore, benar – benar Mas Marvin langsung terpengaruh begitu saja dengan ucapan mbak Iza dan ibu mertua. Malam ini, Aghis tidak diperkenankan memakai pampers oleh suamiku, dan apa yang terjadi?Sejak sore dia menangis tak berhenti, sebab risih dengan kain basah yang harus diganti setiap kali bayiku buang air kecil. Tidurnya jadi tak nyenyak dan dia semakin rewel.Aku belum istirahat sejak pagi, ibu Mas Marvin melarangku tidur siang karena ‘pamali’ katanya. Sementara, sore pun aku tidak berani tidur sebab ada mbak iza dan ibu mertua di rumahku. Mereka akan berkomentar yang tidak – tidak jika melihatku tidur sementara, bayiku tidak ada yang menjaga.Sangat miris bukan? Harusnya, setelah melahirkan seorang ibu harus memaksimalkan istirahat. Karena akan mempercepat pemulihan dan juga bisa berpengaruh terhadap derasnya ASI. Tapi mau bagaimana lagi, support sistemku alias mas bojo juga tidak peduli dengan apa yang sedang kualami.“Mas, gantiin ja
"Kamu jangan kebiasaan dong dek, selalu saja menunda pas kusuruh!” protes Mas Marvin kemudian.Aku kembali bergeming menatap suamiku. Kenapa sikapnya semakin seperti anak kecil saja. Tidak pernah mau mengerti keadaanku.“Buat sendiri nggak bisa mas?”Mas Marvin malah merengut mendengarkan pertanyaanku.“Iya deh, aku buatin kopi, tapi jagain Aghis di kamar ya nanti takutnya dia terbangun.” Akhirnya gegas kubuatkan kopi secepat kilat. Hatiku masih dirundung penasaran dengan temuan kwitansi belanja tadi.Haruskah aku tanyakan kepada suamiku? Tapi, bagaimana jika dia marah pas kutanyai?Kopi sudah kuseduh, sesuai takaran yang mas Marvin mau. Tidak terlalu manis dan kental. Kusuguhkan di atas meja rias. Terlihat mas Marvin malah asyik main HP, tidak memperhatikan bayiku sama sekali.“Mas, ini kopinya,” ucapku berbasa – basi.“Hem…” jawabnya tanpa menoleh. Sangat terlihat focus dengan benda persegi Panjang digenggaman. Bukannya malah terima kasih.Aku mendekat, menduduki kursi rias di samp
“Iya kan benar apa kataku? Kamu kerjaannya Cuma ongkang – ongkang aja, mana bisa ngasilin duit,” ujar ibu mertuaku ketus. Lirikan mautnya selalu berhasil membuatku meremaskan tangan menahan kesal.Aku hanya bisa mendengus saja jika sudah begini. Menghina dan merendahkan, apa tidak ada kalimat lain yang bisa ia ucapkan kepadaku? Kentara banget ibu mertuaku ini kalau memang tidak suka kepadaku.“Ya sudah, ibu balik ke rumah dulu, urus anakmu dengan baik.” Akhirnya wanita paruh baya itu melangkahkan kaki meninggalkanku berpelukan dengan damai usai kepergiannya.“Huft, sabar – sabar,” ucapku mengelus dada.*** Malam menjelang, sudah lama kumenanti sejak Mas Marvin berangkat kerja pagi tadi. Sesuai janjinya, suamiku itu akan membawakan oleh – oleh yang kuidamkan. “Skincare”. Sudah lama tak kubeli barang itu untuk sekedar merawat kulit wajahku yang semakin terasa kering ini.Dan seperti biasanya, kuintip dari jendela kamar, Mas Marvin melangkahkan kaki menuju rumah kami dengan menenteng ta
Andaikan aku masih bekerja, aku tidak akan minta – minta seperti ini kepada suamiku. Apalagi hanya sekedar membeli skincare dan kosmetik. Borong setoko pun aku bisa membelinya. Sejak semalam, hatiku masih dirundung kesal dan nelangsa. Gini banget jadi ibu rumah tangga. Yang tidak pernah dihargai, selalu dituntut dan selalu disalahkan.Ruang gerakku hanya sebatas di rumah saja, mengurus anak tanpa ada yang menggantikan, mengurus keperluan rumah tanpa boleh ada yang salah, dan selalu kekurangan uang karena tidak bisa mencari pemasukan sendiri.“Furika! Kamu ngapain bengong, ayo ke rumah ibu, ada tamu!”Ibu mertuaku memanggilku dengan nada terburu – buru.“Tapi anakku bu?”“Anakmu kan tidur, tinggal saja bentar!” ocehnya memaksa.“Nggak bisa bu, kasihan sendirian di rumah, kalua anaknya bangun terus nangis gimana?” protesku berusaha membela diri.Mana tega aku meninggalkan bayi kecilku sendirian di rumah. Bukannya aku lebay ya!“Halah, alasan! Cepet gendong anakmu, buatkan minuman tamuk
“sudah jam setengah sepuluh malam, tapi mas belum pulang, perutku lapar sekali.”Aku hanya bisa merintih menahan lapar sambal mengelus perutku yang semakin terasa perih saja. Mungkin asam lambungku naik sebab terlalu sering telat makan dan kuabaikan begitu saja. Rasanya pengen mual dan kepala kliyengan.Anakku sudah tidur pulas sejak sore tadi, sementara aku tidak bisa tidur karena perutku yang terus menjerit keroncongan. Sementara di rumah tidak ada makanan sama sekali.Penantianku akhirnya tidak sampai lama. Mas Marvin dan ibu mertua akhirnya sudah pulang. Dari luar terdengar sebuah mobil terparkir di teras samping, dan aku yakin itu adalah mobil Giandra yang mengantarkan ibu mertua, mas marvin dan kakak ipar usai acara makan – makan di restoran.Iya. Makan – makan! Mereka enak – enakan menikmati makan enak tanpa mengajakku. Dengan alasan, anakku masih bayi dan tidak boleh di bawa ke mana – mana.Begitu nelangsanya aku menyaksikan mereka dari balik jendela kamar, namun apa boleh bua
"Dulu ibu bisa mengurus tiga anak sekaligus padahal jadi janda, sedangkan kamu mengurus satu anak saja nggak becus!"Lontaran kalimat pedas itu kembali menyembur dari mulut ibu mertua. Bukannya menguatkan aku yang benar - benar rapuh karena buah hatiku terkapar dengan selang infus, tak hentinya wanita tua itu terus menyalahkanku."Istrimu memang nggak becus Marvin, untung saja Aghis tidak parah.""Jika ibu kemari hanya untuk marah - marah teriak -teriak saja, lebih baik pulang," ucapku sedikit memberanikan diri."Kamu ngusir ibumu? Lihatlah Marvin, istrimu makin hari makin kurang ajar. Tak tahu terima kasih dijenguk malah mengusirku.""Furika, tolonglah jangan memancing keributan," sahut Mas Marvin yang meraih pundak ibu dan mangusapnya.Bukannya menenangkanku, mas Marvin lagi - lagi berpihak kepada mak lampir."Biaya rumah sakit kan mahal, kamu mampu bayar semua?" Sentak ibu lagi sambil melengos.Aku tak berkomentar memilih meninggalkan suami dan ibu mertua di luar ruangan dan meneng
Sudah menjelang magrib, tapi toko baju masih ramai pengunjung. Furika sudah Lelah mengurus banyak hal hari ini, dan akhirnya menyerahkan semua pelayanan toko kepada karyawannya.Ia ingin bergegas pulang, Kembali ke rumah dan berjumpa dengan putra kesayangan. Namun ternyata, Aghis sudah diantar pengasuhnya ke toko karena pengasuhnya harus segera pulang karena sebuah urusan.“Sayang, kangen bunda ya?” tanya Furika sembari menciumi kedua pipi bayi yang baru genap delapan bulan.Bayi mungil itu hanya meringis sejurus kemudian memeluk Furika dengan sangat manja.Tidak terasa, bayinya tumbuh besar sangat cepat dan tumbuh menjadi anak yang sehat. Aghis tidak pernah rewel saat diasuh. Menjadi anak penurut dan tidak merepotkan selama Furika merawatnya seorang diri.Meski hari-hari Furika pahit dan sepi karena statusnya menjadi orangtua tunggal. Senyum Aghis selalu berhasil membenamkan semua perih yang Furika pendam selama ini.Luka pengkhianatan, direndahkan bahkan sampai perceraian, semua suda
Selepas mengirim semua paket orderan online, Furika masih disibukkan mengurus toko online untuk laporan penjualan dan setelah itu menemui salah satu selebgram yang ia sewa untuk mempromosikan toko bajunya. Toko baju yang ia Kelola memang toko baju biasa yang tidak mempunyai brand khusus. Namun bagi seorang Furika, wajib hukumnya merawat usaha yang ia geluti dengan maksimal untuk mendapatkan keuntungan maksimal juga.Apalagi di era serba modern seperti ini, Furika ingin memaksimalkan promosi online agar calon pembelinya tertarik.“Ibu owner makin hari makin sibuk aja,” goda Irzham sambal mengapit kedua mukanya dengan menelungkupkan dua tangan. Pria itu memang tak bosan-bosannya menggodai sang pujaan, meski Furika kerap ngambek karena ocehan Irzham berhasil merusak fokusnya.“Ibu owner jangan sibuk terus, dong. Sini temenin saya ngeteh,” ocehnya lagi mencari perhatian.Usahanya yang kedua, berhasil membuat Furika berdecak dan melengos ke arahnya.“Apa’an sih, dari tadi gangguin terus,”
"Kamu nggak papa, kan?"Seorang pria berjalan sedikit terburu mendekati Furika dengan wajah dipenuhi raut khawatir. Kehadirannya memang terlambat, tidak bersamaan dengan keluarga Marvin yang kebetulan menginjakkan kaki di toko Furika.Dia amat menyesal dan berpikir yang tidak-tidak. Bagaimana Nasib Wanita pujaanya? Apakah dia sakit hati usai dihina mantan mertua dan suaminya? Begitulah yang terlintas di otak Irzham setelah mendengar kabar bahwa Santika beserta sang mantan suami berkunjung ke toko Furika."Si Marvin sama keluarganya emang keterlaluan, ya? untung kamu sabar." Irzham semakin dirundung kesal usai Furika menjelaskan kronologi keluarga mantan suaminya saat berjumpa dengan Furika.Furika tidak begitu sedih, tidak pula kesal. Setelah memutuskan berpisah dengan Marvin, Furika sudah siap menanggung semua resiko yang akan ia temui dikemudian hari. Termasuk, semakin dibenci laki-laki yang amat ia cintai. Marvin.Bagi Furika, mengenyam hinaan dan cacian Santika adalah hal biasa.
"Izham, kayaknya ini terlalu berlebihan deh," serat Furika dengan terus mengedarkan pandang ke seluruh ruangan.Furika memang sangat senang, senang sekali dan tidak menyangka dirinya akan menjadi owner toko baju dengan ukuran toko sebesar ini.Bayangan Furika, toko baju yang akan dibeli Irzham tidak sebesar toko baju yang ia singgahi sekarang. Tempatnya sangat luas, mewah dan dipenuhi aneka baju berjejer rapi di seluruh sudut yang ada.Matanya tidak bisa berkedip semenjak tadi."Aku nggak berlebihan kok Furi, ini adalah ganjaran untuk hasil kerasmu selama ini," kilah Irzhan dengan senyumnya yang bersahaja."Jadi, jangan anggap aku membelikan kamu toko ini secara cuma-cuma, ini nggak gratis, kok," imbuhnya lagi."Aku jadi terharu, makasih Zam. Aku janji akan urus toko ini biar terus berkembang," sirah Furika sungguh-sungguh. Netranya berkaca haru, ingin menangis namun berusaha tidak menangis."Aku suka gayamu, hehe."Setelah berpisah dari Marvin, Furika benar-benar mengatur strategi un
Sebenarnya Marvin cukup kesal dengan kejadian yang mengusiknya pagi-pagi buta. Tempat nyaman yang ia tinggali, akhirnya harus ia relakan diambil alih orang lain. Marvin sadar diri, memang tidak seharusnya ia menguasai rumah itu, karena memang rumah yang ia inggali dengan Isyani tidak lain adalah hak milik Furika."Tidak perlu sedih bu, aku tinggal di rumah ibu tidak akan lama," ujar Marvin berusaha menenangkan sang ibu.Sejak mengetahui putranya terancam jadi gelandangan, jelaslah sang ibu sedih dan tidak tega. Sedangkan, tidak mungkin Marvin dan Isyani tinggal di rumahnya. Sebab, rumah yang ia tinggali sekarang bakal di waris oleh adik terakhir Marvin."Nggak sedih gimana toh, kamu bakal jadi gelandangan nak! Memang Furika keterlaluan, bisa-bisanya jual rumah kamu!" omelnya kian kesal."Ibu lupa sesuatu?" celetuk Marvin memelankan ucapannya.Marvin sedang berada di kamar sang ibu, sementara Isyani tengah sibuk menata barang di kamar Marvin."Lupa? lupa apa lagi?" oceh sang Ibu tambah
POV Marvin Pagi-pagi buta, ketenangan Marvin dan Isyani terusik ketika ada dua tamu yang menginjakkan kaki di rumah mereka. Tepatnya, pukul 07.00 saat Marvin siap-siap berangkat ke kantor. "Kalian ini ngaco? tidak mungkin saya menjual rumah yang masih saya tempati. Aneh kalian." Ketus Marvin kesal. Sejak tadi ia menjelaskan bahwa ia tidak merasa menawarkan rumahnya kepada siapapun, namun dua tamu yang berkunjung ke rumahnya masih saja kekeuh. "Memang bukan anda yang menawarkan, karena anda bukan pemilik sah rumah ini," balas Jovi tidak mau kalah. Jovi adalah Asisten kepercayaan Irzham yang dikirim untuk mengurus perkara jual rumah Isyani. Dan pak Somad adalah saudagar kaya yang berniat membeli rumah Isyani secepatnya. Marvin geleng-geleng tertawa, dia ngeri sendiri jika benar rumah ini dijual oleh Isyani. Namun seingatnya, Isyani tidak pernah membahas surat tanah dan rumah yang selama ini ia sembunyikan. "Ah, nggak mungkin Isyani yang menjual rumah ini, surat-suratnya sudah kusem
"Mas mau usir saya?" kutinggikan suaraku dengan menatap nanar Mas Marvin. Nyasir aku tak percaya mas Marvin dengan entengnya menyuruhku pindah ke kios reyotnya malam ini juga. Apa dia tidak waras? "Iya! kamu makin keterlaluan saja Furika!" ucapnya dengan membuang nafas kasar. Aku geleng-geleng kepala usai mendengarnya sambil sejenak menyeringai tipis."Tapi mas, malam ini hujan," kucoba menawar mas Marvin sebentar, barangkali dia masih punya hati. Mana tega ia mengusirku keluar rumah sementara hujan deras mengguyur di luar sana. "Aku nggak peduli. Kemasi barangmu sekarang atau aku paksa kamu angkat kaki dari rumah ini." "Dan mulai sekarang, kujatuhkan talak satu kepadamu Furika! aku tidak akan menyentuhmu lagi!" Hati mas Marvin sudah tertutup rapat untukku. Malam ini juga aku diusir dari istana yang kubangun dengan hasil kerja kerasku sendiri. Yang semakin membuatku ngenes. Mereka tidak mau memberi belas kasihan kepadaku dan bayi kecilku. Di luar hujan deras mengguyur disertai an
"Orang pintar dikibulin, nendang lah!" Aku tertawa puas setelah berhasil menemukan surat rumah dan tanah di dalam almari penyimpanan. Mas Marvin memang licik tapi tidak secerdas aku. Setelah seisi rumah sepi, seharian aku sibuk mencari surat tanah dan rumah yang disembunyikan mas Marvin. Untunglah mas Marvin belum sempat memindahkannya di tempat lain, sehingga tidak sulit bagiku mengorak-arik laci maupun lemari rumah untuk mendapatkan surat berharga ini. *** "Aku bingung jual rumah di mana, di markletplace bisa?" ucapku bertanya-tanya sambil mengaduk sedotan yang berada pada gelas teh. "Ngawur kamu! jual tanah kayak jual kacang aja!" "Hehehe, makannya bantuin aku Irzham!" kekehku menertawai diri sendiri. "Oke, biar aku urus semuanya, beri aku nomor rekeningmu jika transaksi sudah deal. Kamu jual berapa rumah ini?""Pantesnya berapa? pokoknya bisa kubuat beli rumah baru lagi deh," ucapku putus asa. Karena memang aku kurang paham masalah jual beli tanah. Dan lebih baik kuserahkan
"Ternyata kamu memang menantangku Furika! sudah berapa kali kubilang jangan bikin ulah!" "Bikin ulah apa sih mas maksudnya? aku nggak macem - macem kok." Bukannya pulang-pulang bikin hati adem malah selalu mancing esmosi. Duh, semakin hari makin ngadi-ngadi saja suamiku ini. Selalu saja bikin pusing."Ibu sudah cerita semuanya tentang kamu, dan ini? dapat uang dari mana sampai kamu bisa membeli popok dan susu sebanyak ini? Hah? nyuri kamu?" Oh, ternyata ini bakal perkara yan membuat Mas Marvin langsung marah kepadaku? Karena popok! Apa salahnya aku membeli popok? Toh untuk kebutuhan anak kita. Bukan untuk kubuat foya-foya.Lagian aku beli popok pakai uangku sendiri tapi mengapa mereka yang repot?"Atau jangan - jangan," ucap Mas Marvin menaruh curiga sambil memincingkan mata ke arahku."Selama ini kamu sering keluar rumah karena punya simpanan? selingkuh kamu?" bentaknya sambil meninggikan suara."Selingkuh?" Astoge, ingin sekali aku tertawa lepas di depan suamiku. Sudah tidak pern