Selain itu, sudah bisa dipastikan juga kalau keuntungan yang Amira peroleh bukan jumlah yang main-main.*** Andi sudah mengingatkannya, tapi Herman tetap bersikukuh. Hingga akhirnya ,ia mengalah dan menyerahkan semua keputusan pada tuannya. "Kalau begitu, terserah tuan saja, aku ikut kata tuan." Ucap Andi memelankan suaranya. Ia tak mau dianggap membangkang pada tuannya. "Hmm...keluarlah sekarang!!"perintah Herman pada Andi. Ia tak mau lagi melihat muka Andi untuk saat ini. Andi membungkukkan tubuhnya, sebagai penghormatan sebelum akhirnya ,ia keluar dari ruangan Herman. Andi segera menghubungi pihak Wisma Wijaya, kemudian ia menyetujui perjanjian yang akan diberikan nanti. Herman masih terdiam. Ia berputar putar diatas kursi kebesarannya. Ia berharap tidak salah dalam mengambil langkah. Suara dering ponsel milik Herman ,mengagetkannya. Ia yang sedang melamun, sontak terperanjat mendengar suara ponsel miliknya. Dengan malas, Herman mengangkat telepon masu
Siapa sebenarnya pemilik Wisma Wijaya? kenapa dia meminta Amira dariku? ini benar-benar tak masuk akal!!" Herman meluapkan kekesalannya. Barusaja ia menghilangkan satu musuh terbesarnya, yaitu Dokter Wisma. Kini adalagi satu laki-laki tidak tahu malu, yang menginginkan istrinya, dengan imbalan perusahaannya. "Coba kau cari tahu, siapa pemilik Wisma Wijaya sebenarnya!! tak mungkin dokter itu hidup kembali bukan?" Herman membentak Andi, yang sedari tadi hanya bergeming melihat Herman. Tubuh Andi bergetar keras, ia bereaksi ketakutan. Hal yang tak pernah ia alami sebelumnya. Setiap masalah akan dengan mudah ia selesaikan, tapi tidak dengan ini. "Sepertinya ini memang dokter itu. Tapi bukankah kemarin dia sudah meninggal dalam kecelakaan itu?" Andi memikirkan sendiri semuanya. Ia terus bertanya dalam hatinya. Masalah ini benar-benar pelik. Jauh dari nalarnya. "Saya selesaikan semuanya Tuan. Tapi kalau perusahaan tidak segera mendapat suntikan dana dalam 24jam, m
Hatinya mulai gusar. Ia tak bisa menenangakan pikirannya. "Dimana kau sayang?" Herman mulai lelah. Ia takut terjadi apa-apa oada Amira. Namun seketika matanya tertuju keluar. Dilihatnya dua orang perempuan sedang menuju ke arahnya. Tak lain itu adalah Amira dan Adinda istrinya. Seketika, hatinya merasa sedikit lega. akhirnya ia bisa melihat istrinya baik-baik saja. Ia menyambut kedatangan istrinya didepan pintu. Pelukan erat langsung ia layangkan untuk Amira, saat ia mulai masuk ke tokonya. "Heiii mas, kenapa kau memelukku seperti ini?" Amira merasa risih dengan pelukan tiba-tiba dari Herman. Ia merasa tak enak hati, karena ada Adinda bersamanya. Herman tak mempedulikan protes Amira. Ia tetap memeluknya erat. Kemudian ia mulai menciumi kening istrinya. Dengan kedua tangannya ia memegangi wajah istrinya itu. wajah khawatir nampak terlihat sangat jelas dimatanya. "Aku takut kau kenapa-napa." Herman bersikap sangat berlebihan. Amira terheran dengan sikap
Herman langsung menyobek kertas itu. Dia melemparmya dengan sejauh mungkin. Amira yang tak tahu isi dari kertas itu, hanya bertanya didalam hatinya. melihat tingkah suaminya, ia tahu. Kalau isi dari tulisan itulah yang membuatnya seperti itu. "Tulisan apa itu mas? kenapa kau merobeknya?" Tanya Amira penasaran. Herman langsung mendudukkan dirinya dengan kasar. Ia tatap wajah istrinya tajam. "Tulisan itu ,berisi lamaran untukmu, laki-laki tidak waras yang melamar istri orang!!" Herman berbicara dengan nada tinggi. Ia benar-benar marah dengan tindakan yang dilakukan orang misterius tersebut. "Menurutmu, siapa yang melakukan ini mas?" Amira bertanya lagi. Ia pun tak tahu, siapa yang menginginkannya menjadi seorang istri. Sedangkan dia, hanya pernah berhubungan sekali saja, yaitu dengan Wisma. Dan itupun, Wisma sudah meninggal. "Entahlah, yang jelas dia bukan laiki-laki waras." Jawabnya kasar. Adinda daritadi memperhatikan pembicaraan Amira dan Herman. Ia ikut penasa
"Maaf mba, nyonya Amira dan tuan Herman kemana yah? aku tak melihatnya dari tadi?" Adinda memberanikan diri untuk bertanya. Dhina enggan menjawab, karena dirinya pun tak tahu keberadaan tuan dan nyonya nya itu. Kemudian Dhina mengantarkan Adinda ke kamar yang akan ditempati Adinda selama ia bekerja ditempat Amira. Sedangkan Herman dan Amira, yang sedang berada diruang kerja Herman. Mereka berdua nampak serius berbincang. "Sayang, sebenarnya......" Herman menghentikan perkataannya. Amira yang penasaran, megerutkan keningnya. "Kenapa?" Tanya Amira."Hmmm,, kau bisa membantuku? sambung Herman lagi."Bantu apa?" "Kau punya tabungan berapa sayang? maaf menanyakan hal yang tak seharusnya ku tahu." Herman merasa bersalah, sekaligus malu Pada istrinya. Amira terdiam. Ia sedang mengingat-ngingat berapa jumlah tabungan yang ia punya. "Kau butuh berapa mas?" Amira balik bertanya pada suaminya itu. Ia dengan sepenuh hati akan membantu suaminya. Seberapa besar pun jumla
Amira tersenyum lembut dihadapan Herman. Dia tahu ,kalau suaminya sedang cemburu padanya. "Sudahlah mas, yang penting aku masih setia padamu." Jawab Amira tenang. Ia tak mau berkepanjangan membahas hal itu. Walau dalam hatinya, ia sendiri merasa was was dan takut ,akan siapa sebenarnya orang yang selalu menerornya. Bukan hanya dirumahnya saja ,tetapi ketika ia bersda ditoko pun, selalu ada bingkisan yang berisi cincin lamaran tersebut. Bahkan sekarang ,itu bisa sampai kantor Herman. Denhan terang-terangan, Asisten pribadi Wisma Wijaya ,mengantarkan karangan bunga ,dan tentunya bingkisan yang berisi cincin berlian. Jika dihitung, mungkin sudah hampir 10x bingkisan dikirim untuk Amira. Bukannya merasa senang, karena sellau dikirimi barang mewah ,sebaliknya ,Amura semakin takut. Karena, bukan orang yang sembarangan tentunya yang mampu membeli cincin berlian dalam jumlah banyak. Suatu saat, pasti ia akan melakukan hal nekat, andai Amira terus menerus menolaknya. A
Tespek terbaik, kasih 5 biji mbak." Jawab Herman singkat. Ia takut ada seseorang yang melihat keberadaan mereka disana. Apalagi sekarang, suasana sedang tak aman, bisa dengan mudah musuh Herman menjatuhkan Herman, kalau melihatnya bersama wanita lain. Tak lama, apa yang ia maksud datang, tespek dengan merk tertentu. Kemudian diambilnya, dan langsung kembali ke mobil. Dijalankannya mobilnya dengan cepat. Sampai hanya beberapa menit saja ,ia sudah sampai ditoko kue Amira. Adinda turun disana, dengan membawa beberapa buah tespek, sedangkan sisanya ,ia simpan dibawah jok mobil. "Nanti pulang dari toko, aku jemput. Baik-baik disini." ucap Herman mesra. Kali ini, ia memperlakukan Adinda dengan sangat tak biasa. dikecupnya kening Adinda dengan lembut dan mesra. Kehangatan menjalar saat bibir Herman menyentuh kulit keningnya. Kehangatan yang sangat jarang ia dapatkan, membuat Adinda betah berlama-lama dengan Herman. Herman tak mengetahui, kalau seorang pelayan lain menyaksika
Mobil siapa itu? bukankah mas Herman barusaja berangkat?" Amira menghentikan kegiatannya, lalu membuka gorden disampingnya. Dilihatnya seseorang, yang keluar dari mobil itu. Dengan setelan jas berwarna hitam mengkilat, menggunakan payung, dan didampingi beberapa orang bodyguard. Ia berjalan mendekati rumahnya. Jika dilihat ,dari caranya berjalan. Sepertinya ia tahu, Amira memicingkan matanya, berusaha memperjelas pandangannya. Semakin lama, semakin mereka mendekati rumahnya. "Mba Dhina!! kemarilah cepat!!" Amira berteriak. Ia ketakutan bukan main ,melihat segerombolan orang tersebut semakin mendekatinya. Dhina yang mendengar teriakan Amira ,langsung mendatangi kamar kerja Amira. Dengan terengah engah, ia menghampiri Amira."Ada apa nyonya? kenapa teriak seoerti itu?" tanya Dhina heran. Keringat dingin terlihat mengucur dibalik kening Amira. Ia sangat ketakutan."Suruh Pak Parman menjaga gerbang depan ,kalau perlu bersama security juga. Ada banyak orang datan
Kau sudah siap sayang?" Herman bertanya pada Amira yang masih sibuk menyiapkan segalanya."Sebentar lagi mas, memang mas sudah siap?" "Sudah sayang, tinggal menunggu kamu selesai, baru kita berangkat," "Baiklah, tunggu lah sebentar," jawab Amira sambil mdmbereskan barang miliknya. Herman melihat jam di tangannya. Susah hampir setengah jam Amira belum juga selesai. Ia mulai gusar, dan kembali melihat Amira. "Sayang, ayolah! jangan lama-lama, masih banyak hal yang harus kita kerjakan disana!" ajaknya dengan nada sedikit kesal. Amira yang faham dengan keadaan Herman yang mulai tak sabar, akhirnya mengakhiri kegiatannya. Dengan segera, ia menyimpan pekerjannya itu. "Aku sudah siap mas, ayo kita berangkat!" ajak Amira, sambil berdiri, dan mendekati Herman. Kemudian mereka melenggangkan kaki, melangkah keluar kamar. Sebelum benar-benar meninggalkan rumah itu, Amira mengitari seluruh ruangan dirumah itu. Rumah yang penuh dengan kenangan, pahit manis, semua sudah ia alami disini.
Herman masih terpaku didepan makam istrinya. Ia tak sedikitpun ingin pergi meninggalkannya. Tangannya yang masih memeluk nisan bertuliskan Adinda, masih setia berada disana. Sesekali, ia mengusap airnatanya dibalik kacamata hitamnya. Andai ia tak malu, mungkin saat ini ia sudah menangis sambil berguling guling ditanah. Berteriak kalau dirinya tak ingin ditinggalkan. Semua bayangan tentang Adinda semasa hidupnya, terekam jelas dalam pikiran Herman. Ia belum mampu mengusir Adinda dari bayangannya. Kuburannya saja masih basah, maka wajar jika semua kenangan yang ada, masih belum bisa ia lupakan. "Mas, ayolah... kita tak boleh terlalu lama bersedih. Ini sudah hampir sore, kita sebaiknya pulang terlebih dulu. Kalau kau masih ingin menemaninya, besok kau bisa kembali lagi kemari!" ajak Amira, yang mulai pegal karena menunggu Herman yang masih saja diam disamping makam Adinda. Ia menatap ke arah Amira. Dilengkungkannya bibirnya itu. Ia pun bangkit dari jongkoknya, dan kini berdiri
"Mas, ayolah angkat mas... ini penting mas!!" Amira terus menggerutu kesal. Herman yang tak mengangkat teleponnya, membuat Amira merasa geram. Setelah beberapa kali ia mencoba menghubungi Herman, akhirnya ia berinisiatif untuk menghubungi Andi. Ia yang tak sabar menunggu Herman, akhirnya berhasil menelepon Andi. "Dimana mas Herman? apa dia tak memegang ponsel?" tanya Amira kasar. Pasalnya, ia sudah kehabisan stok sabarnya. Sudah berkali kali ia menghubunginya, namun Herman tak kunjung mengangkatnya. "Dia masih meeting nyonya. Kami kedatangan klien penting. Jadi maaf, sepertinya dia belum bisa menjawab telepon anda,""Katakan padanya, kalau ada hal penting yang tak bisa ditinggalkan!!dia harus segera pulang!!""Masalah apa?"Amira sedikit ragu memberitahukannya. "Aah emm.. Adinda, Adinda meninggal barusan!!" ucap Amira dengan terbata. Andi sunyi tak menjawab. Mungkin disana, dia pun merasa tak percaya dengan kabar ini."Baiklah, nanti aku sampaikan pada tuan," ucapnya santai. Ya
"Mas, aku melihat jari Adinda bergerak, ayolah ikut denganku!!" seru Amira yang hampir tak percaya dengan apa yang ia lihat. Adinda menggerakkan jarinya, sebagai bentuk respon jika ada yang mengajaknya berbicara. "Mungkin matamu sudah lelah sayang, Adinda itu koma, ia tak bisa menggerakkan anggota tubuhnya," jawab Herman yang tak menghiraukan perkataan Amira. "Tidak mas, aku melihatnya, ayolah sebentar, aku takut kalau dia ingin berbicara sesuatu," Amira yang ngeyel ingin agar Herman ikut dengannya, dan melihat kalau Adinda benar benar bisa bergerak. Herman pun sejenak meninggalkan makannya. Ia bergegas menuju kamar Adinda. Ia ingin tahu, apakah benar Adinda bisa menggerkaan jarinya, seperti yang dikatakan Amira. Namun, tak ada pergerakan sama sekali. Ia masih sama seperti tadi, seperti patung yang diam tak berkutik. "Lihatlah! mana? kau lihat sendiri kan sayang, dia diam saja?" Herman memegang wajah Amira. Ia meyakinkan pada Amira, kalau apa yang Amira lihat adalah sebuah khay
Setelah berpesan pada Amira dan Herman, Dokter itupun berlalu. Amira memasuki ruangan dimana Adinda terbujur kaku. Ia menatap setiap jengkal wajah Adinda. Sungguh tak disangkanya, nasib Adinda bisa se tragis ini. Dulu, dia adalah wanita yang sangat cantik. Tubuhnya bisa dibilang sangat proporsional. Maka pantas saja, dengan mudah laki laki bisa tertarik hanya dengan melihat fisiknya saja. Seperti yang Herman alami, ia tertipu dengan tampilan Adinda yang menawan. Namin siapa sangka, ternyata ia tertipu oleh penampilan menawan Adinda. Seperti pepatah, segala yang kita punya didunia ini hanyalah titipan. Sewaktu waktu, akan diambil oleh sang pemilik. Seperti yang terlihat didepannya. Amira menoleh ke arah Herman. Suaminya terlihat wajahnya menggambarkan betapa suasana hatinya sedang buruk. "Mas, kau sudah makan siang?" "Belum, aku belum ingin makan sayang," Herman nampak lesu. Tak biasanya ia seperti itu. Mungkin karena melihat kondisi Adinda, setidaknya Herman merasa sedih. Ka
Pagi ini terasa sangat damai bagi Adinda. Amira yang dengan senang hati mengantarkannya berkeliling taman, menghirup udara segar, dan melihat indahnya pemandangan, yang menampakkan bermacam macam bunga. Membuat ia menjadi sedikit membaik. Memang suasana hati sangatlah berpengaruh terhadap kesehatan seseorang. Seperti yang Adinda alami saat ini, ia kembali bersemngat menjalani kehidupannya, dan semua itu berkat Herman dan Amira. Ia bersyukur bisa hadir ditengah tengah keluarga mereka. Mereka yang masih memperlakukannya dengan baik, walaupun Adinda sudah melakukan kejahatan terhadap Amira. Namun Amira, yang mempunyai hati seperti malaikat, ia selalu memaafkannya. Tak masalah baginya masa lalu Adinda. Yang terpenting baginya, Adinda saat ini bisa sehat kembali. "Amira, kenapa kau masih begitu baik padaku? sedangkan aku sudah sangat jahat padamu?" Adinda menuliskan pertanyaan itu di selembar kertas yang ia bawa. Karena dengan menulis lah, ia bisa berkomunikasi dengan orang lain.
Semua sudah dia siapkan, hidangan sudah tersaji lengkap, kamar sudah ia rapikan. Amira sudah memberikan yang terbaik untuk menyambut kedatangan Adinda. Bahkan dirinya pun sudah mandi dan bersiap. Seolah seperti akan kedatangan seorang tamu agung, Amira begitu mempersiapkan segalanya. Kini, ia tinggal menunggu kedatangan Herman dan Adinda dari Rumah sakit. Dua orang yang akan membuat hatinya terguncang, sebentar lagi akan datang. Amira kini tengah bermain dengan kedua anaknya. Setidaknya, ini akan mengurangi sedikit rasa grogi nya ,saat nanti Herman dan Adinda datang. "Jam berapa mereka tiba nyonya?" Dhina bertanya pada majikannya itu. Amira hanya terdiam. Dia sendiri tak tahu kapan mereka akan tiba. Tak penting juga baginya, kapan mereka akan tiba, tugasnya sudah selesai, ia tinggal menunggu mereka datang saja. Ponsel Amira berbunyi. Tertulis nama Herman yang kini tengah menghubunginya. "Iya mas, kau sudah sampai mana?""Ini baru mau jalan, kau sudah siapkan kamarnya bukan?"
Hari ini, adalah hari kedua Herman menjaga Adinda di Rumah sakit. Selama ia berada disana, entah mengapa ada ruang kosong didalam hati Amira. Terbersit rasa waswas dalam relung kalbunya. Timbul rasa takut akan keadaan, takut bilamana suaminya benar benar mencintai Adinda, dan akan perlahan melupakannya, karena kebiasaan nya menjaga Adinda, yang entah sampai kapan. Bukan Amira berharap sesuatu yang buruk terjadi pada Adinda, agar ia bisa memiliki suaminya seutuhnya. Namun keadaan seperti ini, benar benar membuatnya merasa terancam. Jauh di relung hatinya, ia mengharapkan kesembuhan Adinda, namun bukan untuk kembali ke pelukan suaminya, melainkan ia memliliki kehidupan lain yang jauh dari hidupnya dan Herman. Suasana hati Amira yang terasa hampa, tanpa adanya Herman bersamanya, membuat ia pun kurang bergairah menjalani hari nya. Seperti pagi ini, ia terbangun agak siang. Biasanya, pagi pagi sekali, ia akan memasak untuk suaminya tercinta. Namun lain untuk kali ini. Ia masih bermal
"Hmm..nyonya menangis?" Andi mencoba mencairkan suasana yang beku dan hening. Amira terkaget dengan pertanyaan Andi. Sontak ia mengusap air matanya. Dia malas menjawab pertanyaan yang mrnurutnya kurang penting dan tak harus dijawab. "Kau tak akan mengerti masalah seperti ini," cibir Amira. Ia hanya sedang tak ingin diganggu. Menghadapi keadaan ini sungguh membuatnya payah. "Tak usah menangis nyonya, ini hanya sementara, cinta tuan hanya untuk anda," ucap Andi pada Amira. "Kau hanya cukup menyetir, tak perlu banyak pendapat!" tegas Amira. "Baiklah..." ucap Andi meminta maaf pada Amira. Ia tak tahu kalau majikannya saat ini, tengah kesal. Ia sedang tak ingin di ganggu. Perasaannya sedang berkecamuk. Antara ego dan cemburunya, ia sedang berusaha untuk mwnyabarkan dirinya menghadapi semua kejadian ini. Amira menyenderkan kepalanya di sofa mobil. Ia mencoba menetralkan pikirannya. Ia sedang belajar menjadi seorang wanita hebat, yang mampu membagi hatinya untuk seorang wanita yang