Pov. Sumini
Aku menghabiskan masa kecilku tanpa kehadiran seorang bapak disampingku.Dulu ketika aku masih kecil, sering kali aku bertanya kepada emak."Siapakah bapakku? Kenapa dia tidak pernah pulang? Kenapa emak harus mencari uang sendiri? Kapan bapak bisa pulang dan mengajakku bermain seperti Siti dan bapaknya? Aku juga ingin seperti Siti yang selalu ditemani emaknya dirumah. Aku ingin emak tidak lagi meninggalkanku dirumah sendiri, bukankah bekerja adalah tugas laki-laki?"Dan jawaban emak selalu sama "iya, nanti bapakmu pasti datang jika kamu sudah menjadi orang yang hebat".Maka sejak kecil aku selalu berambisi untuk menjadi orang hebat. Orang hebat menurut pandanganku adalah orang yang pintar dan memiliki banyak uang. Namun sayangnya aku tidak memiliki kesempatan untuk sekolah. Sejujurnya aku sangat ingin. Namun Sekolah bukanlah hal yang mudah bagi anak perempuan yang miskin sepertiku. Dan opsi keSemakin hari tubuh Astutik semakin kurus, anak yang dulu terlihat cantik dan menggemaskan dengan pipi chubby itu kini terlihat semakin layu dan pucat. Dulu Astutik adalah anak yang selalu semangat dan ceria, Astutik adalah anak yang periang. Namun kini Astutik berubah menjadu anak yang pemurung. Astutik lebih banyak diam. Astutik yang dulu kritis, dan selalu ingi tahu, berubah mwnjadi anak yang sangat penurut, seolah semangat hidupnya benar-benar telah hilang. Astutik kini seolah bukan dirinya yang dulu. Astutik begitu merindukan ibunya, tidak pernah seharipun dia lalui hidup tanpa harapan agar ibunya segera kembali. Prestasinya di sekolah juga sangat menurun. Tak ada lagi kini sosok yang dulu selalu membawa sepiring pisang goreng kriuk untuknya sebagai teman belajar, disaat dirinya enggan untuk belajar. Ibunya selalu menyemangatinya, menemaninya menyelesaikan tugas, dan membantunya jika mengalami kesulitan. Namun kini, sudah tak
Hari ini Mak Sri sengaja tidak membuka warungnya. Dia ingin menghabiskan waktu untuk menemani Menik mempersiapkan keberangkatannya besok menuju ibu kota. Mak Sri sangat menyayangi Menik seperti anaknya sendiri. Sebenarnya, dengan membiarkan Menik pergi, mak Sri tentu akan sangat merasa kehilangan. Namun dia sadar dia tidak boleh egois. Menik tidak akan punya masa depan jika terus berada disini bersamanya. Menik harus pergi kekota. Menik harus berkembang, Menik harus maju. Menim harus mengambil apa ynag sudah seharusnya menjadi haknya. Hari itu Mak Sri menemani Menik ke toko perhiasan. Menik akan menjual semua perhiasanya yang tersisa. Perhiasan yang saat itu melekat ditubuhnya. Menik harus merelakannya. Walau Menik yakin, hasilnya tak seberapa, tapi Menik harap cukup untuknya jadikan pegangan menuju ibu kota. Walaupun jumlahnya nanti tak seberapa, tapi Menik harap bisa bermanfaat bagi dirinya. Ketika Menik melepas cincin
Sumini merasa gelisah, Sumini masih saja merasa tidak tenang, Sumini merasa takut jika suatu saat Menik kembali pulang. Selama ini Sumini sudah terlanjur nyaman, Sumini sudah merasa memiliki dirumah ini. Sumini tidak mau mengembalikan barang-barang Menik secepatnya, bahkan Tukiman pun sudah mulai luluh kepadanya. Namun sayangnya hanya satu, Sumini tak kunjung hamil juga. Padahal dia sudah melakukan segala usaha, namun semua terasa sia-sia. Setiap bulan ketika dirinya haid, hati Sumini juga merasa sedih. Sumini bahkan sempat merasa gagal sebagai seorang wanita. Setiap hari Sumini selalu merasa ketakutan, terlebih kini hampir semua masyarakat Sumber bening sudah menaruh curiga kepada mereka, bahwa apa yang menimpa Menik waktu itu hanyalah akal-akalan dia dan maknya untuk mengusir Menik dari rumahnya sendiri. Orang-orang mulai menjauhinya seperti dulu lagi. Bahkan kini mereka sudah berani dengan terang-terangan bergunjing didepannya. Sumini menjadi tak tenang walau
Sudah lebih dari satu bulan Menik berada dirumah jeng Susi, setiap hari Menik akan ikut jeng Susi berkeliling berjualan barang-barang kebutuhan rumah tangga dengan cara kredit.Dia akan mencatat apa-apa yang dipesan konsumennya, mencatat cicilan yang telah dibayarkan, lalu membawakan barangnya keesokan harinya. Jeng Susi memang sengaja mengajak menik untuk menemani dia berkeliling, tujuannya agar nanti Menik bisa hafal jalan-jalan mana saja yang harus dia lewati, angkutan umum mana yang harus dia naiki. Menik harus hafal betul, karena dikota sebesar ini, ada banyak jenis kejahatan yang mengincar mereka, jika mereka terlalu lugu. Hingga akhirnya Menik pun memutuskan untuk berjualan kain. Menik bersyukur usaha yang dia rintis walau hanya dengan modal yang kecil, berjalan dengan lancar. Belum lama berjualan, Menik sudah memiliki beberapa pelanggan. Menik yang memang punya selera yang bagus dalam memilih kain, membuat pelangga
Entah mengapa, sudah beberapa hari ini Tukiman tidak pernah nyenyak dalam tidurnya. Makan tak enak. Beraktifitas juga tak tenang. Perasaanya camas akan sesuatu yang dia sendiri tak tahu apa.Firasatnya seakan berkata bahwa akan terjadi sesuatu, yang Tukiman sendiri tak tahu itu apa. Matanya terus ingin menangis, namun tak tahu apa sebabnya. Perasaan kawatir terhadap Menik yang tak kunjung kembali semakin besar. Apakah ada kemalangan yang telah menimpa sang kekasih hati?Benarkah perasaan ini ditujukan kepadanya?Dimanakah perginya belahan jiwanya tersebut, kenapa dia tak kunjung pulang. Tak ingatkah dia dengan anak-anaknya, tak rindukan Menik kepada dirinya? "Akang masih saja terus memikirkan Menik, hingga tak sadar ada aku yang setia disini namun Abang abaikan. Jika dia ingat akang, dia pasti pulang! Karena dia merasa tidak bersalah dan ingin membuktikan kepada semua orang bahwa dia benar. Kalau Menik mem
"Kulo nuwon mas Tukiman..." "Enggeh Monggo, ada apa pak kusno? Kok dhengaren surup-surup datang kesini? Monggo masuk dulu!" "Tidak usah mas, matursuwun. Nyuwun Sewu, saya disuruh Nyai untuk menjemput mas Tukiman untuk datang ke kerumah" "Loh ada apa pak? Kon tumben?" "Ki Harjo tadi barusan jatuh mas, kena serangan jantung. Nyai menyuruh saya menggil njenengan, katanya Ki Harjo terus nyariin njenengan" "Inalilahi, baik pak, tunggu ya saya ganti baju sebentar" "Enggeh mas" "Pak ikut, mau lihat keadaan eyang" "Iya nduk ayo kamu siap-siap sekalian" Tukiman merasa gelisah. Kawatir terjadi sesuatu kepada paklek nya tersebut. Bagaimanapun Ki Harjo adalah satu-satunya keluarga Tukiman yang tersisa, dia menganggap Ki harja adalah pengganti orangtuanya. Melihat Tukiman dan Astutik yang berjalan tergesa menuju kamar
Hujan mulai turun dengan derasnya, seakan bumi ikut menangis mengiringi kepergian Ki Harjo. Dan melihat betapa dalam Tukiman larut dalam duka kehilangan. Dia bagai seorang anak yang kehilangan arah. Tak tahu harus kemana lagi melangkah.Duka akibat kehilangan orang yang telah merawatnya sedari kecil itu telah mengguncang jiwanya. Lalu kemana lagi kini dia akan mengadu tentang kekecewaan yang dia pendam, siapa lagi yang akan menguatkannya menghadapi kejamnya dunia yang sering tak berpihak kepada dirinya? Dia masih teringat tentang malam mencekam yang telah menewaskan seluruh keluarganya dalam sebuah kecelakaan, yang hanya menyisakan dirinya dan Ki Harjo. Saat itu ketika keluarganya dan keluarga Menik yang juga turut serta, akan menghadiri sebuah undangan kekota dari seorang keluarga Belanda yang cukup berpengaruh waktu itu, kereta yang mereka tumpangi tergelincir dan menyebabkan sebuah kecelakaa
Setelah sekian lama berduka, Tukiman seolah ingin memulai hidup yang baru. Kini dia bukan lagi seorang mandor, tapi kini dia adalah pemilik sah dari setengah dari perkebunan kopi milik mendiang ki Harjo. Tukiman ingin melupakan kesedihannya, ingin mempunyai hidup baru yang lebih indah. Tukiman ingin move on dari masa lalu. Tukiman ingin melupakan kesalahan dan kesedihannya. Tukiman juga berusaha merelakan Menik jika benar dia sudah bahagia. Walaupun tidak mudah, baginya untuk melupakan kekasih hatinya itu, namun Tukiman berjanji berusaha, dan tidak lagi terpuruk dalam kesedihannya sendiri. Tukiman berjanji akan lebih memperhatikan keluarganya yang kini ada bersamanya. Hari ini, Tukiman kembali bangun lebih pagi seperti dulu. Tukiman terlihat lebih ceria, dia memanggil anak-anaknya untuk bisa menikmati sarapan bersama. Ketika sedang menunggu anak-anak, Tukiman memperhatika Sumini yang sedang mempersia
Mursiyem sebenarnya bukanlah orang jahat, dia tidak pernah menyakiti oranglain. Mursiyem hanya membatasi diri dari orang sekitar, dia memang tidak pandai bergaul sejak dulu, namun para tetangganya menyebut dirinya sombong, angkuh, dan tidak tahu diri. Mereka mencibirnya dengan pikiran mereka masing-masing. Mursiyem bukanlah orang jahat, dia hanya korban. Korban dari keegoisan dan juga ketidak adilan. Korban dari keserakahan, dan juga korban dari perasaan dendam yang tak berkesudahan. Dia adalah korban dari perasaannya sendiri. Kini apa yang dia mau sudah berhasil dia dapatkan, Sumini sudah berhasil menghancurkan kebahagiaan keluarga Menik, adik tiri yang tidak pernah Sumini sadari. Misinya sudah berhasil, Mursiyem sudah berhasil membuat Menik menangis setiap malam seperti yang dia rasakan dulu. Suami yang selama ini dia banggakan, kini dengan perlahan mulai membagi perasaanya dengan Sumini, kini cinta lelaki itu tak lagi utuh. Pernah sekali Mursiyem berfikir untuk mengakiri saja se
Mursiyem setengah mati berusaha untuk tidak tertawa puas untuk pagi ini, pagi yang begitu indah dengan udara yang begitu sejuk yang dia rasakan setelah puluhan tahun. Sesak didadanya yang dia rasakan selama ini serasa terobati melihat pemandangan ini. Lelaki lugu itu tampak gemetar ketakutan, dia begitu tampak marah, lelah dan juga putus asa, ketika semua orang yang berada diruangan ini tampak menyudutkannya. Semua tetua datang untuk mengutuk perbuatannya, perbuatan yang sebenarnya tidak pernah dia lakukan. Mursiyem ingin bertepuk tangan untuk semua yang ada diruangan ini, betapa hebat ekting mereka. Saminah yang terlihat marah namun masih berusaha menenangkan suaminya, Raharjo yang terlihat begitu terpukul, padahal mungkin saja Raharjo tahu bahwa istrinya sedikit banyak ikut andil dalam hal ini, Raharjo tentu tahu bahwa keponakan tersayangnya itu tidak mungkin melakukan hal sekeji ini. Dan lihat Sumini, Mursiyem ingin memberikan penghargaan tertingginya untuk anak itu, Sumini memang
Pesta itu berlangsung selama tiga hari tiga malam dengan sangat meriah, semua hiburan rakyat ditampilkan di acara tersebut, makanan yang tersaji juga tak kalah melimpah. Warga yang hadir maupun para undangan orang-orang penting begitu terkagum-kagum, semua memuji atas kebaikan Raharjo dalam memperlakukan anak angkatnya dengan begitu baik lakyaknya anak kandungnya sendiri.Kedua mempelai juga terlihat sangat bahagia, senyum tak pernah lepas dari bibir keduanya, si perempuan pipinya bersemu merah jambu manakala sang pengantin pria membisikkan sesuatu ditelinganya lalu menatapnya dengan jail."Beruntung ya yu, Menik di asuh oleh Ki Harjo, walaupun mereka tidak ada ikatan darah, tapi ki Harjo memperlakukan Menik dengan sangat baik" Terdengar obrolan segerombolan ibu-ibu yang baru saja menghadiri acara tersebut. "Iya ya yu, bahkan ki Harjo mau menikahkan Menik yang sudah yatim piatu itu dengan keponakannya sendiri.""Ya pantes to yu, lawoh Tukiman kan juga sudah yatim piatu sejak kecil. C
Kini semua sudah mulai berjalan dengan semestinya, menjalani hidup dengan porsi masing-masing. Menik sudah mulai bisa menerima kenyataan akan kepergian orangtuanya. Dia hidup layaknya anak seusianya, bermain, belajar, walau tanpa bermanja seperti dahulu. Tapi dia hidup dengan sangat layak disini, segala kebutuhannya tetap terpenuhi, dia tidak dibedakan dengan anak ataupun keponakan dari ki Raharjo, lelaki yang kini menjadi orang yang paling dihormati dan paling berpengaruh karena harta dan pengaruhnya di desa ini. Ya, kini Menik mulai memiliki teman baru, teman untuk membagi kesedihan dan juga kebahagiaanya. Mereka senasib, sama-sama seorang anak yang ditinggal mati kedua orangtuanya dan ditampung keluarga ini. Walaupun begitu, kebersamaan mereka cukup dibatasi, tak baik katanya, seorang anak perempuan terlalu dekat bersama seorang anak lelaki, namun sesekali mereka masih sering terlihat bersama. Sama halnya Menik yang sudah mulai berdamai dengan keadaan, Mursiyem juga menjalani hid
Menik membereskan barang-barangnya dengan diam, satu persatu benda-benda penuh sejarah itu masuk kedalam kopernya. Menik membereskan semua itu dibantu oleh seorang pembantu yang sudah menganggapnya layaknya anaknya cucunya sendiri, mereka sama-sama diam, sama-sama berulangkali yang mengusap matanya yang terus berair. Bukan hanya Menik, wanita itu juga begitu berat meninggalkan rumah ini, sudah begitu lama dia menggantungkan hidupnya dirumah ini, bahkan sejak Admodjo masih didalam perut. Namun sayang, rumah ini akan segera dikosongkan, majikan sudah tiada, putri semata wayangnya pun kini hidup sebatang kara dan dirawat orang lain yang dirasa mampu. Wanita itu memandang Menik yang terus menangis dalam diam, mendekap erat baju terakhir yang akan dimasukkan kedalam sebuah koper besar itu, nafasnya tersengal, bahunya terlihat naik turun, namun gadis itu masih diam. Tak tahan melihat semua itu, wanita tua itupun tanpa sungkan menarik Menik kedalam pelukaanya, lalu mereka sama-sama terisak b
Didalam riuhnya pesta, Menik kebingungan mencari orangtuanya kesana kemari namun tak kunjung ketemu, seorang lelaki yang dia kenal sebagai sahabat bapaknya oun mendekat, berkata bahwa bapaknya ada sedikit keperluan, lelaki itu akan menemaninya menemui tamu-tamu sebagai wakil dari bapaknya. Namun, meskipun sudah dijelaskan, Menik masih merasa bingung dengan apa yang terjadi, kecewa menyusup didadanya. Bagaimana mungkin orangtuanya tiba-tiba menghilang ketika tamu undangan sudah mulai ramai berdatangan, urusan apa yang begitu penting hingga mereka sampai hati meninggalkannya seorang diri? Jam pun akhirnya berganti, seluruh tamu sudah seluruhnya datang, namun acara tak kunjung dimulai, sang tuan rumahpun tak kunjung terlihat. Kini mereka mulai resah dan berbisik. Menik terlihat begitu panik hingga beberapa kali sang paman itu menenangkan bahwa semuanya baik-baik saja, mereka akan menunggu orangtuanya datang sebentat lagi, atau jika mereka tak kunjung datang, acara itu bisa dimulai denga
Admodjo sangat antusias menyiapkan pesta ulangtahun anaknya yang akan dilaksanakan minggu depan. Admodjo memerintahkan para pembantunya untuk menyiapkan segala kebutuhan yang diperlukan. Dia ingin mwnjamu para tamu dengan sebaik mungkin. Admodjo mengundang semua kenalannya, mulai para pegawai yang bekerja dengan dirinya, sampai dengan para petinggi belanda yang cukup berpengaruh dalam memperlancar bisnisnya. Semakin mendekati hari H, semua tampak sibuk, para pekerja laki-laki ditugasi untuk menata halama sekaligua mendekornya hingga tampka lebih pantas untuk sebuah pesta. Sedangkan para pekerja wanita telah sibuk membuat kue yang akan dihidangkan nanti. Menik dan ibunya pun tak kalah antusias, mereka telah mendapatkan gaun pesta terbaik yang dirancang oleh perancang langganan para nonik belanda. Gaun yang terlihat begitu mewah dan juga anggung ketika sudah digunakan olehnya, begitu serasi dengan wajah ayu juga kulit kuning yang begitu terawat sedari kecil. "Ibu, coba lihat ini"K
Admodjo sedang memangku putri kecilnya sambil memberi makan ikan-ikan hias pada kolam kecil yang sengaja dibangun atas permintaan putri kecilnya tersebut, yang sangat suka melihat ikan-ikan kecil itu berenang seakan sedang menari. Admodjo dengan telaten mendengarkan sang putri bercerita tentang hari-harinya yang menyenangkan, juga tentang teman barunya yang cukup pendiam, lalu tentang makanan apa yang dia tak suka, namun kata sang ibu itu bangus untuk kesehatannya. Juga tentang betapa bersyukurnya dia karena telah terlahir dikeluarga ini, keluarga yang penuh dengan cinta, dan juga orang-orang yang menyenangkan. Admodjo terus mendengarkannya dengan penuh minat dan rasa syukur. Dia begitu mencintai putrinya itu, dan itu adalah kali pertama dia benar-benar mencintai seseorang tanpa syarat dan tetapi. Putrinya itu kini tumbuh menjadi anak yang saangat cantik parasnya, tingkah lakunya pun manis dengan tata krama yang begitu halus, mencerminkan bahwa dia adalah keturunan seorang priyayi, d
Admodjo merasa hidupnya sangat sempurna, dia memiliki harta dan juga keluarga yang bahagia. Ternyata perjodohan yang diatur oleh bapaknya tidak seburuk yang dia bayangkan dulu, dia sama sekali tidak menyesali pilihan orangtuanya, justru dia bersyukur atas itu. Walaupun terus terang ada sedikit rasa bersalah ketika dia harus meninggalkan Mursiyem dalam keadaan yang tidak dia inginkan, Admodjo tahu bahwa dia telah merusak sepenuhnya masa depan Mursiyem dan juga kebahagiaan keluarga perempuan itu, tapi bukankah itu bukan keinginannya? Bukankah dirinya sudah menyuruh Mursiyem untuk menggugurkan anak itu? Bukankah niat awal mereka hanya bersenang-senang? Apakah sepenuhnya dia bersalah? Ah, tentu saja tidak, karena selalu ada harga untuk setiap kesenangan yang kita nikmati, bukankah dulu Mursiyem juga sudah meneguk kesenangan bersama dirinya, mungkin saja iti harga yang harus perempuan itu bayar, walaupun menurut Admodjo terlalu mahal dan berat, namun sekali lagi, itu bukan kesalahannya. Di