Karma Perselingkuhan
Bab 4
Satu hari setelah kejadian aku mengetahui perselingkuhan Mas Ahmad dan Nurma, kami pindah kontrakan. Beberapa tetangga menatap iba padaku saat berpamitan. Mereka yang rata-rata sudah bertahun-tahun menghuni tempat ini, sudah kuanggap seperti saudara sendiri. Satu persatu aku menyalami mereka. Para tetangga perempuan, menangis melepas kepindahanku.
Sementara Nurma entah ke mana dia. Dari kemarin pintu kamarnya selalu tertutup rapat. Lampu kamarnya juga tidak dinyalakan. Mungkin dia pulang kampung atau menginap di salah satu temannya. Bodo amat, aku tak peduli. Malah bagus, aku tak perlu bertemu dengannya.
"Jaga istri dan calon anakmu baik-baik, Ahmad. Jangan diulangi lagi perbuatan yang kemarin!" pesan Bu Haji pada suamiku.
"Iya, Bu," jawab Mas Ahmad tanpa mengangkat kepalanya.
"Kamu hati-hati, ya, Fat. Kalo butuh bantuan, jangan sungkan hubungi kami."
"Iya, Insya Allah, Bu."
Kemudian wanita bertubuh gempal itu, memelukku erat, beliau berpesan agar aku tetap bersabar.
Dibantu para tetangga, semua barang dimasukkan ke dalam truk. Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, kami bergegas meninggalkan kontrakan yang penuh kenangan itu. Mereka meminta maaf, tidak bisa mengantar kepindahan kami. Karena memang, selain mendadak, kami juga pindah di hari kerja. Bagiku, tak mengapa. Aku mengerti posisi mereka yang rata-rata bekerja, dan tidak mungkin meminta izin mendadak. Yang penting, aku sudah pamit baik-baik, dan tidak meninggalkan kesan buruk di mata mereka.
***
Tak lama kemudian kami sampai ke tempat tujuan. Jarak dari kontrakan lama ke kontrakan baru sekitar lima belas menit menggunakan angkutan umum. Kamar yang kami sewa juga ukurannya hampir sama dengan kontrakan lama.
Karena tetangga tak ada yang mengantar, jadi Mas Ahmad menata sendiri perabotan yang besar. Seperti lemari pakaian, rak piring, dan meja televisi. Sementara aku menata barang yang kecil-kecil. Kami melakukan semua itu tanpa percakapan berarti. Jujur, aku masih dongkol dengan kelakuan Mas Ahmad. Selain tidak meminta maaf, dia juga masih terus menyalahkanku.
Kalau tidak takut membebani pikiran orang tua, ingin rasanya aku pulang ke kampung dan mengadukan semua perbuatan Mas Ahmad. Mengingat tentang orang tua, tak terasa air mataku menetes. Pasti mereka sedih, kalau tahu masalah yang menimpaku. Selama ini, bapak ibuku tahunya, Mas Ahmad itu memperlakukan aku dengan baik.
"Kapan beresnya kerjaan kamu kalo sambil ngelamun gitu?" tegur Mas Ahmad. Nada bicaranya sudah tidak seketus sebelumnya.
"Siapa yang ngelamun? Aku cuma inget bapak ibu di kampung, kok. Nggak boleh?"
Mas Ahmad mendekat lalu duduk di depanku. "Kamu, nggak cerita masalah ini ke orang tuamu, kan?"
Aku menghela napas dengan kasar. Kutatap sekilas wajah yang pernah membuatku tergila-gila itu. "Nggak-lah, Mas."
Mas Ahmad tersenyum. Senyum yang dulu membuatku merindukannya siang malam. "Bagus, anak pintar," ujar Mas Ahmad sambil mengusap puncak kepalaku yang tertutup kerudung hitam.
Aku melengos. Entah sihir apa yang dipakai Mas Ahmad. Aku selalu mudah luluh setiap kali dia bersikap manis walaupun sehabis berbuat salah.
"Kita cari makan dulu, yuk," ajak Mas Ahmad. "Kamu mau makan apa?"
"Ngerayu, nih?"
"Aduh, Dek. Aku ini suamimu. Masa, suami nawarin makan ke istri sendiri, disebut merayu."
Aku sengaja mengerucutkan bibir. Biar Mas Ahmad tahu, aku masih belum memaafkan perbuatannya.
"Udah, cepetan. Aku nggak mau disebut suami dzolim, karena membiarkan istrinya kelaparan."
Tanpa menunggu jawaban, Mas Ahmad menarik tanganku agar aku berdiri.
"Tadi aku liat ada warteg di dekat jalan masuk ke sini. Kita beli makanan di sana, aja ya."
Aku tak menjawab kalimat Mas Ahmad, tapi tetap mengikuti langkahnya menuju ke warung yang dimaksud olehnya. Sebenarnya Mas Ahmad itu baik dan tidak pernah kasar pada perempuan. Selama menikah dengannya, aku belum pernah mengalami kekerasan terutama secara fisik. Berkata kasar pun hampir tidak pernah. Mas Ahmad itu, termasuk pria yang penuh perhatian dan penyayang. Namun, sayangnya dia baik, perhatian dan penyayangnya bukan cuma sama aku.
***
Tidak terasa sudah hampir satu bulan kami pindah ke kontrakan baru. Beberapa tetangga juga mulai akrab denganku. Sementara Mas Ahmad sepertinya mulai berubah. Dia pergi dan pulang tepat waktu. Walaupun hubungan kami tidak sehangat dulu, tapi aku tetap berusaha menjadi istri yang baik. Kujalankan semua kewajiban sebagai seorang istri.
"Ingat, Mas. Walaupun tidak sempurna, tapi aku sudah berusaha menjalankan semua kewajiban sebagai istri. Kalau kamu masih macam-macam, aku tidak akan memberi kesempatan lagi. Aku juga tidak akan membalas perbuatanmu kalo kamu menyakitiku lagi. Aku yakin, Allah tidak tidur. Biar, Dia yang membalas semua perbuatanmu," kataku suatu malam sebelum kami tidur.
"Iya, Dek. Maafkan aku yang terkadang tak bisa menahan diri. Mas janji, tidak akan menyakitimu lagi. Apalagi sebentar lagi, anak kita lahir. Aku nggak mau, anak kita menanggung akibat dari perbuatanku."
Aku tersenyum mendengar janji Mas Ahmad. Walaupun belum sepenuhnya bisa percaya, tapi apa salahnya mencoba. Sebagai seorang istri, percaya itu harus, tapi waspada juga wajib. Sesekali aku. Memeriksa hape Mas Ahmad, barangkali ada nama kontak atau chat mencurigakan. Sejauh ini aman. Mungkin benar, Mas Ahmad mulai berubah menjadi lebih baik.
Tentang Nurma, mungkin Mas Ahmad sudah tidak lagi berhubungan dengannya. Kabar terakhir yang kudengar, Nurma menikah dengan tunangannya. Pernikahan mereka dipercepat karena tunangannya mendapatkan pekerjaan di luar pulau. Nurma dibawa serta. Tentu saja aku lega mendengar kabar itu. Setidaknya aku merasa tenang. Aku tidak perlu khawatir dan takut Mas Ahmad menjalin hubungan dengan perempuan itu.
Mungkin beberapa orang mengatakan aku ini bodoh, karena mau memaafkan kesalahan Mas Ahmad. Beginilah, aku. Lemah dan mudah memaafkan orang lain. Bukankah, manusia itu tempatnya salah dan dosa? Allah saja Maha Pemaaf, masa kita manusia tidak mau memaafkan kesalahan sesama. Apalagi, Mas Ahmad itu suamiku, calon ayah dari anak-anakku, bukan orang lain. Jadi, tak ada alasan untuk tidak memaafkannya.
***
Kandunganku semakin besar. Bulan ini memasuki usia delapan bulan. Aku pun sudah mengajukan cuti melahirkan. Rencananya, aku akan melahirkan di kampung halaman saja. Biar ada yang mengurus dan mengajariku merawat bayi. Mas Ahmad setuju dengan keinginanku. Dia akan mengambil cuti tiga hari untuk mengantarku pulang.
Sebenarnya, aku agak khawatir meninggalkan Mas Ahmad sendirian di sini. Ada aku saja, dia berani selingkuh, apalagi jika tidak ada aku. Terkadang aku berpikir ingin menetap di kampung saja. Berkumpul bersama keluarga.
Andai saja di kampung tersedia lapangan pekerjaan, kami juga enggan merantau. Namun, apalah daya kami. Apalagi cuma tamatan SMA dengan pengalaman terbatas. Untuk membuka usaha pun, kami tak punya modal. Terlahir dari keluarga petani, jangankan bermimpi diberi modal besar. Bisa sekolah sampai SMA saja, sudah hal luar biasa buat kami.
Mencari pekerjaan di tempat yang jauh dari rumah, itu bukan sesuatu yang mudah. Hidup jauh dari orang tua dan sanak saudara itu, membutuhkan keberanian dan keinginan yang kuat. Di sini, kami merasakan suka duka sendiri. Setiap kali mengalami kesulitan, kami berusaha agar orang tua jangan sampai tahu. Biarlah mereka tahunya kami bahagia dan baik-baik saja.
Karma Perselingkuhan Bab 5Omelan Ibu MertuaHari persalinan tiba, aku melahirkan bayi perempuan. Didampingi ibuku dan Mas Ahmad, aku melahirkan secara caesar. Kami terpaksa mengambil jalan ini, karena panggul yang sempit, dan tidak memungkinkan untukku melahirkan secara normal. Bayi perempuan yang diberi nama Zea Nara itu, disambut bahagia oleh seluruh keluarga. Terutama keluargaku.Keluarga Mas Ahmad tinggal di kampung yang berbeda dengan kampungku. Makanya, ibu mertua baru datang hari ini, setelah aku pulang dari rumah sakit. Alasannya, sibuk mengurus dua cucunya. Kedua anak kakaknya Mas Ahmad memang tinggal bersama mertuaku. Sedangkan kakaknya Mas Ahmad bersama suaminya menjadi buruh pabrik di Korea. Mereka pulang dua atau tiga tahun sekali. "Kenapa mesti caesar, Fat? Emang nggak bisa diusahakan lahir normal?" tanya ibu mertuaku sambil menimang Zea. "Kan, Ahmad udah bilang, Fatimah panggulnya sempit, Bu," jawab suamiku. "Makanya, kalo lagi hamil itu, jangan males, harus banya
Karma Perselingkuhan Bab 6DipecatMas Ahmad kembali ke Jakarta untuk bekerja. Dia hanya meminta izin selama seminggu. Sebenarnya agak berat melepas dia pergi. Namun, mau bagaimana lagi? Suamiku hanya karyawan, bukan bos. Mau tidak mau harus taat pada peraturan. Apalagi, zaman sekarang tidak mudah mencari pekerjaan. Lebih banyak yang mencari pekerjaan daripada lapangan pekerjaan yang tersedia. Salah sedikit saja, pasti diminta mengundurkan diri atau diberhentikan, masih banyak yang mau kerja. Karena itulah, aku hanya bisa melepas keberangkatan Mas Ahmad dengan doa. Kalau masalah pekerjaan, aku tahu, Mas Ahmad orangnya bertanggung jawab. Selama bekerja, hampir tak pernah ada masalah berarti. Mas Ahmad cukup bisa dipercaya masalah pekerjaan. Aku berdoa semoga dia bisa menjaga hatinya agar tidak melakukan kesalahan seperti kemarin. Sementara aku, diminta mengundurkan diri dulu dari pekerjaan. Mas Ahmad memintaku untuk mengurus Zea saja. Untuk sementara, aku diminta tinggal bersama ora
Karma Perselingkuhan Bab 7Terbongkarnya RahasiaAku mencoba mengatur napas yang tiba-tiba terasa sesak. Mencoba berpikir positif tentang suamiku. Memikirkan segala kemungkinan yang bisa saja terjadi. Mungkin, perempuan itu saudaranya yang kebetulan menginap di rumah mertuaku. Mungkin, Mas Ahmad sedang ke kamar mandi dan perempuan itu berinisiatif menerima panggilan telepon dariku. "Halo, ini siapa?" tanya pemilik suara di seberang sana, menyeret ingatanku bahwa aku belum menjawab pertanyaannya. Dengan suara bergetar, aku balik bertanya, "Mas Ahmadnya ada?""Lagi ke kamar mandi. Maaf ini siapa?"Aku menghela napas mendengar pertanyaan perempuan itu. Apa nomorku tak diberi nama oleh Mas Ahmad sehingga perempuan itu menanyakan siapa aku? "Saya istrinya, kamu siapa? Lancang banget ngangkat telpon orang!" Hening untuk beberapa saat, hingga samar terdengar suara laki-laki bertanya, "siapa?" "Halo," sapa laki-laki di seberang telepon. Itu suara Mas Ahmad.Tiba-tiba aku merasa seluruh
Karma Perselingkuhan Bab 8Bukti KebohonganSemua mata tertuju padaku. Tegang. Terdengar kasak-kusuk dari beberapa ibu-ibu yang berdiri tidak jauh di sebelah kiriku. Mereka tetangga mertuaku yang mungkin penasaran melihat banyak orang di sini. Aku menatap tajam suami, mertua dan perempuan itu. "Kamu, Mbak! Kamu yang nerima telponku kemarin pagi, kan?" Wajah perempuan yang aku tidak namanya itu, semakin pucat. Terlihat sekali kalau ia gugup. Beberapa kali, dia mengusap keringat yang bermunculan di wajah berhias make up tebal itu. "Dan, kamu, Mas! Tadi pagi, kamu, nolak diajak video call, alasan sudah mau masuk kerja. Terus kamu ngirim foto sedang berada di toko. Kamu pikir, aku nggak tau, kalo kamu udah nggak kerja di sana lagi? Ingat, Mas! Di sana banyak yang kenal aku. Aku bisa dengan mudah mendapatkan informasi tentangmu! Apalagi setelah perselingkuhanmu dengan Nurma beberapa bulan lalu!"Mas Ahmad terlihat kaget dengan kalimatku. "Dek, tapi, itu kan, udah berlalu! Kenapa kamu u
Karma PerselingkuhanBab 9Keputusan AhmadAku mengusap wajah kasar sambil terus beristighfar. Istri Kang Amin mengusap lembut pundakku, seolah memberikan kekuatan. Kalimat ibu mertua sungguh menyakitkan. Tidak ada lagi alasan untukku mempertahankan rumah tangga yang menurutku tidak sehat ini. Suami punya penyakit suka selingkuh, mertua juga ternyata tak menyukai kehadiranku. Jadi, untuk apa aku membuang waktu bersama mereka? Apa yang harus aku perjuangkan? Zea? Mudah-mudahan saat besar nanti, dia mengerti alasanku berpisah dengan ayahnya. "Mas Ahmad, sekarang, bagaimana keputusanmu? Masalah ini, berawal dari kamu yang membawa Mbak Fitri ke sini. Padahal, Mas Ahmad, masih punya istri.""Saya minta cerai!" selaku cepat.Mas Ahmad tampak terkejut. "Pikirkan lagi, Dek. Kasihan anak kita.""Anak? Harusnya yang kamu mikirin anak, sebelum mengkhianati pernikahan kita. Ini bukan yang pertama, Mas. Aku sudah memberikan kesempatan kedua. Nyatanya?"Mas Ahmad terdiam, dia tidak membantah kalim
Karma PerselingkuhanBab 10Masalah Belum Selesai Empat bulan sudah aku resmi menyandang status janda. Aku pikir, masalah akan selesai saat aku tak lagi memiliki ikatan apa-apa dengan Mas Ahmad. Namun, ternyata pikiranku salah. Mantan suamiku itu tak kunjung mengurus surat perceraian kami ke pengadilan. Bahkan, sepertinya dia cenderung mengulur waktu. Entah apa maksudnya. Sedangkan untuk mengurus sendiri, aku belum punya cukup uang. Uang tabungan yang kumiliki, sebagian dipakai untuk modal membuka warung kecil di depan rumah orang tuaku. Sisanya, kusimpan saja untuk berjaga-jaga kalau ada kebutuhan mendadak. Akan tetapi, tetap saja belum cukup untuk mengurus perceraianku dengan Mas Ahmad. Tentang nafkah yang seharusnya tetap diberikan oleh Mas Ahmad, jangan tanyakan itu. Boro-boro memberikan uang untuk kebutuhanku dan Zea selama aku berada dalam masa iddah. Menanyakan kabar anaknya saja tidak. Bahkan, kudengar, Mas Ahmad sudah menikah lagi dengan Fitri, satu bulan setelah ia menjat
Karma Perselingkuhan Bab 11Kepala TokoSejak pertengkaran Mas Ahmad dan istrinya di depan rumah orang tuaku, mantan suamiku itu tidak pernah datang lagi. Boro-boro datang, atau memberikan nafkah untuk anaknya, menanyakan kabar saja tidak. Sedangkan warungku semakin hari semakin sepi. Terkadang malah aku menombok saat belanja lagi. Semalam, tiba-tiba Bu Rani menghubungiku, menawarkan pekerjaan. Bu Rani mengabarkan bahwa, anaknya membuka toko perlengkapan bayi di sebuah pusat perbelanjaan. Mereka butuh karyawan yang bisa dipercaya. Bu Rani menawariku untuk menjaga toko tersebut. Bahkan, aku boleh membawa serta Zea. Untuk tempat tinggal, aku tidak perlu pusing. Aku diperbolehkan tinggal di rumah pemilik toko, bersama dua karyawan lain. "Ibu perhatikan, kamu melamun terus dari pagi. Ada apa, Fat?" Aku menoleh pada Ibu yang sedang menidurkan Zea. "Nggak ada apa-apa, Bu. Cuma, kepikiran tawaran Bu Rani semalam.""Oh. Ibu sih, terserah kamu saja. Tidak akan menyuruh menerima atau menola
Karma PerselingkuhanBab 12Apa Maumu? Untuk beberapa detik, aku terpaku di tempat sambil mengeratkan pelukan pada Zea. Sementara sosok itu semakin dekat. Dari sekian banyak pusat perbelanjaan di Jakarta, kenapa dia memilih datang ke sini? "Fatimah! Kamu di sini? Bagaimana kabar kalian?"Kalau bukan tempat umum aku pasti sudah menjawab pertanyaan itu dengan omelan. Buat apa dia menanyakan kabar kami? Bukankah kami terlihat baik-baik saja? "Eh, baik, Mas."Aku sama sekali tak berniat menanyakan kabarnya. Buat apa? Basa-basi? Toh, dia terlihat sehat dan bahagia. "Kamu di sini? Jalan-jalan atau?""Aku kerja. Maaf, Mas permisi, aku mau lanjut kerja."Belum sempat aku masuk ke dalam toko, seorang perempuan tiba-tiba menghampiri kami. Langkahnya tampak tergesa. "Oh, jadi kalian janjian di sini! Pantas aja, aku lagi milih baju ditinggal!" teriaknya membuat beberapa orang menoleh. Aku terkejut, tak menyangka akan mendapatkan perlakuan seperti ini. Otak bergerak cepat, mengantisipasi kal
Karma Bab 26MimpikuBeberapa ibu-ibu yang merupakan para tetangga dan kerabat, terlihat sibuk. Ada yang memasak di dapur, ada juga yang menata kue-kue di ruang tengah. Sementara suami-suami mereka terlihat membantu Bapak. Para pria itu, mengeluarkan meja dan kursi dari ruang tamu. Kemudian menggelar karpet, yang sebagian meminjam dari tetangga sekitar. Sedangkan aku, hanya diam mengawasi Zea yang asyik bermain barbie di depan televisi. Ada juga Mbak Nurul di dekatku. Wanita kalem itu sedang menata dus snack untuk para tamu.Hari ini, rumah orang tuaku sedikit sibuk. Tiga hari sudah aku berada di rumah. Rencananya, malam ini, orang tuaku akan mengadakan syukuran atas kepulanganku. Hanya acara kecil, mengundang tetangga sekitar saja. Akan tetapi, karena jiwa gotong royong masih melekat kuat, para tetangga dan kerabat, datang membantu dengan sukarela. Aku terharu dengan keikhlasan mereka semua. Mereka mengerjakan tugas masing-masing dengan riang, diiringi celoteh khas ibu-ibu. Aku dan
Karma Bab 25PulangHari ini akhirnya tiba juga. Dengan hati berdebar tak karuan, aku mengecek sekali lagi barang-barang yang akan dibawa, takut ada yang tertinggal. Nyonya Thai Thai dan suaminya mengingatkan tentang dokumen perjalanan dan tiket pesawat, takut tertinggal. Sementara Oma, menatapku sendu. Wanita tua itu berkali-kali memintaku untuk cepat kembali. Katanya, dia pasti akan merindukanku. Ah, Oma, bikin aku terharu saja. Setelah semuanya selesai, dibantu sopir keluarga majikan, aku memasukkan semua barang bawaan ke bagasi. Seperti anak kecil yang akan ditinggal pengasuhnya, Oma merajuk. Dia bersikeras ikut ke Bandara, untuk mengantarku. Akhirnya, anak dan menantu Oma menyerah. Mereka membawa serta Oma ke Bandara. Aku tersenyum kecil saat melihat Oma tersenyum senang. Sepanjang perjalanan, Oma terus-terusan menasehatiku. Selain memintaku cepat kembali dan selalu menghubunginya, dia juga memintaku untuk tidak buru-buru menikah lagi. Katanya, fokus saja membesarkan anak dan
Karma Perselingkuhan Bab 24Dia Pergi Kabar tentang kecelakaan Mas Ahmad terus mengganggu pikiran. Apalagi sejak musibah itu, Fitri jadi lebih sering menghubungiku. Tanpa kuminta, dia mengabarkan bagaimana keadaan Mas Ahmad. Katanya, luka yang diderita mantan suamiku itu cukup parah. Tangan dan kaki kanannya mengalami patah pada tulang. Fitri tidak menjelaskan detailnya. Dia hanya mengatakan bahwa kemungkinan untuk pulih itu memakan waktu cukup lama. Setelah hampir dua minggu dirawat, akhirnya Mas Ahmad diperbolehkan pulang. Menurut cerita Fitri, mereka pulang ke kampung, karena kalau di Jakarta tidak ada yang membantu merawat Mas Ahmad.Aku memberitahu Ibu, kabar soal kecelakaan yang menimpa mantan menantunya itu. Reaksi ibu biasa saja. Akan tetapi, wanita berhati lembut itu tak menolak saat diminta menjenguk Mas Ahmad yang sudah dibawa pulang kampung. Menurut cerita ibu, Mas Ahmad berkali-kali minta maaf padanya. Aku meminta ibu untuk memaafkan semua kesalahan Mas Ahmad di masa l
Karma Bab 23Ahmad Kecelakaan Seperti biasa, saat hari minggu tiba, aku berkumpul bersama Anisa dan teman-teman TKW yang lain di Taipei Main Station. Sebenarnya bukan cuma TKW dan TKI saja yang berkumpul di sini. Mahasiswa dan pekerja imigran dengan profesi lain juga banyak yang berkumpul di sini. Apalagi, kalau pengajian rutin sedang berlangsung, seperti pagi ini. Pasti jumlah pengunjung semakin banyak. Kebetulan pagi ini, penceramahnya seorang Ustadzah terkenal yang diundang langsung dari Indonesia. Dengan tekun, aku menyimak semua yang disampaikan oleh Ustadzah yang selama ini hanya bisa dilihat melalui layar televisi. Entah kebetulan atau tidak, tema kajian pagi ini, adalah 'Jangan Mendendam' sesuai dengan apa yang sedang kualami. Dalam hidup ini, tentu kita tidak selalu mendapatkan apa yang diinginkan. Ada saja kejadian yang membuat kita kecewa dan berujung sakit hati. Ketika sakit hati, kita dapat merasa sangat merana. Apalagi bila yang menyakiti hati kita adalah orang terd
Karma Bab 22Kabar Duka 2Cerita ibu soal permintaan maaf mantan ibu mertua mengganggu pikiranku selama berhari-hari. Hal itu mau tak mau membuatku bertanya pada diri sendiri, apakah aku sudah benar-benar memaafkan mereka? Atau mungkin masih ada sedikit dendam di hatiku untuk mereka? Setiap kali sholat, aku berdoa, memohon ampun untuk diriku sendiri dan untuk mantan ibu mertua. Tak henti-hentinya aku memohon pada Yang Maha Kuasa agar penyakit mantan ibu mertua diangkat dan disembuhkan seperti sedia kala. Sebuah nomor tak dikenal terpampang di layar. Aku yang sedang melipat mukena, seusai sholat Isya, segera menekan tombol hijau. Takutnya penting. "Assalamualaikum," sapaku. Terdengar sahutan salam dari seberang sana. Suara pria yang masih kuingat dengan baik. Suara Mas Ahmad. "Fat. Maaf mengganggu malam-malam begini.""Iya, Mas. Ada apa? Gimana keadaan ibu?""Fat, keadaan ibu semakin memburuk.""Ya Allah, terus sekarang gimana?""Ibu bilang, pengen ngomong sama kamu. Kalo kamu berk
KarmaBab 21Mantan Ibu MertuaTiba-tiba panggilan terputus. Mungkin mantan ibu mertua tidak nyaman dengan kata-kataku. Takut terjadi apa-apa pada Zea dan keluargaku, segera kutekan nomor telepon ibu. Tersambung dan langsung diangkat. Terdengar suara ibu menyapaku dari seberang sana. "Bu, pokoknya jangan berikan Zea sama mereka. Fatimah nggak rela kalo Zea diasuh sama mereka. Kalo memang mereka peduli sama Zea, kenapa selama ini tidak memperhatikan keadaan Zea?" cerocosku dengan napas tersengal menahan amarah. Dari seberang telepon, ibu meyakinkanku bahwa mantan ibu mertua tidak akan bisa membawa Zea."Pantesan anakku cari perempuan lain buat dijadikan istri. Dia bosan punya istri keras kepala sepertimu. Dan, lihat! Setelah cerai dari Ahmad, nggak ada laki-laki yang mau menikah denganmu! Perempuan keras kepala! Untung udah nggak jadi mantuku. Bisa stres lama-lama punya mantu sepertimu!" Tiba-tiba terdengar omelan mantan ibu mertua. Mungkin dia merebut hape di tangan ibuku. Aku mend
KarmaBab 20Benarkah ini Karma? Menurut kabar yang dikirim ibuku, semenjak kematian bayinya, Mas Ahmad kembali tidak peduli pada Zea. Katanya mantan suamiku itu kembali ke Jakarta bersama Fitri. Mantan mertuaku pun tak pernah datang menemui cucunya. Entah apa yang keluarga itu pikirkan, sehingga tega melupakan darah daging mereka. Padahal, saat bayi Mas Ahmad meninggal, kedua orang tuaku datang melayat. Karena, bagaimanapun, keluarga kami pernah ada ikatan. Akan tetapi, sepertinya memang apapun yang keluargaku lakukan, tak ada artinya di mata mereka. Nomor Mas Ahmad sengaja tak kusimpan. Untuk apa? Toh, dia hanya sekali-kalinya menghubungiku. Kalau dia ada perlu dengan Zea, bisa lewat ibu. Aku juga jauh di sini, tak bisa membantu secara langsung kalau Mas Ahmad ingin bertemu dengan anaknya. ***Aku sudah hampir terlelap saat ada sebuah pesan masuk ke hpku. Karena lelah, kuabaikan saja pesan itu. Biar saja, kalau penting pasti akan menelepon, pikirku. Benar saja, baru saja aku akan
Karma Bab 19 Kabar Duka 1 Berhari-hari setelah Mas Ahmad mengirimkan pesan tentang anaknya yang sakit, hatiku jadi tidak tenang. Entah kenapa, pikiranku selalu tertuju pada Zea. Telepon dan video call yang dilakukan, tidak membuatku tenang. Namun, mau bagaimana? Tak mungkin aku tiba-tiba pulang dengan alasan rindu pada anak. Apalagi, baru beberapa bulan di sini dan gajiku juga masih dipotong untuk ganti biaya pemberangkatan. Ya, aku mendaftar jadi TKW dengan sistem potong gaji selama sembilan bulan, untuk ganti biaya pemberangkatan. Rata-rata para TKW melakukan hal yang sama. Karena, kalau mengeluarkan biaya sendiri, biayanya tak sedikit dan kami keberatan. Biaya itu antara lain untuk pembuatan dokumen seperti paspor, visa, dan lain-lain. Belum biaya pelatihan ketrampilan yang kami dapatkan selama di penampungan. Uang saku yang kamu terima pun diambil dari gaji yang dipotong. Tak apa-apa, toh, gaji yang didapat selama beberapa bulan juga bisa menutupi semua potongan itu. Apalagi
Karma Perselingkuhan Bab 18Taiwan, I'm ComingLima jam melayang di udara, akhirnya burung besi raksasa ini mendarat di Bandara Taoyuan, Taiwan. Sesuai arahan petugas PJTKI yang di Jakarta, aku mencari sopir dari agen PJTKI sudah menunggu. Tak butuh waktu lama, akhirnya aku dan beberapa calon TKW lain pun keluar dari Bandara. Sebelum diberangkatkan ke rumah majikan yang akan mempekerjakanku, aku dan yang lain, diminta beristirahat dulu di penampungan. Aku menurut saja. Lima jam berada di pesawat terbang, cukup membuatku lelah. Apalagi ini untuk pertama kalinya buatku. Aku ingin istirahat dulu sebelum bekerja besok. Pagi hari, setelah mandi dan sarapan alakadarnya, kami semua diminta bersiap. Seorang perwakilan dari agen, akan mengantarkan kami satu persatu ke rumah calon majikan. Dengan hati berdebar tak karuan, aku bersiap. Benak dipenuhi tanya, seperti apakah majikanku nanti? Apakah sebaik keluarga Pak Burhan, bosku dulu? ***Satu persatu, dari kami diantar ke rumah calon majika