Karma Perselingkuhan
Bab 3
Istri Bodoh
Bu Rani mengajakku ke Mushola yang terletak di belakang toko. Urusan kasir diserahkan pada Pak Burhan yang kebetulan sedang berada di toko.
"Kenapa, ada masalah apa, Fatimah?" tanya Bu Rani sambil memberikan botol air mineral padaku. Aku menerima pemberian Bu Rani, membuka tutupnya dan meminum sedikit isinya.
"Kami, diusir dari kontrakan, Bu Harus pindah secepatnya."
Bu Rani tampak terkejut. "Diusir? Kok bisa? Kenapa? Kalian nunggak bayar kontrakan?"
Aku menghela napas, kasar. "Bukan, Bu. Tapi, Mas Ahmad. Dia …."
Aku bingung, apa harus cerita yang sebenarnya atau tidak? Kalau cerita, sama saja menyebar aib rumah tangga sendiri. Kalau tidak cerita, aku juga bingung harus mencari alasan kenapa sampai diusir dari kontrakan. Lagi pula, percuma saja walaupun tidak cerita, pasti lambat laun, Bu Rani dan Pak Burhan akan tahu yang sebenarnya. Karena, supir toko ini juga mengontrak di tempat yang sama denganku.
"Ahmad, kenapa suamimu?" tanya Bu Rani lembut.
"Mas Ahmad, selingkuh, Bu," jawabku sambil menunduk.
"Astagfirullahaladzim, ama siapa, Fat?"
Dengan terbata-bata dan sesekali terisak, aku menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Bu Rani menyimak ceritaku dengan seksama. Wanita berkerudung lebar itu mengusap-usap pundakku, seolah memberikan kekuatan.
"Maaf, saya terpaksa cerita sama Ibu. Saya nggak tau mau cerita ama siapa. Di sini, saya nggak punya siapa-siapa, Bu. Kalo cerita ama orang tua saya, takut jadi beban pikiran buat mereka. Maaf, ya, Bu."
Bu Rani tersenyum lembut. Wanita yang terkenal bijaksana ini, mengusap lembut pundakku.
"Saya malah seneng, kamu mau cerita jujur tentang masalah kamu. Bagi saya, karyawan bukan sekedar karyawan. Kalian adalah keluarga. Apalagi karyawan sepertimu, yang udah bertahun-tahun kerja di sini. Jadi, nggak usah sungkan. Anggap saja, kami sebagai orang tuamu di sini."
"Iya, Bu. Terima kasih. Sebenarnya saya juga malu, menceritakan ini semua. Bagaimanapun aib suami saya adalah aib saya juga. Tapi, saya juga nggak tau harus bagaimana.
"Iya, Fat. Saya ngerti, kok. Tapi, kalau pun kamu nggak cerita, cepat atau lambat, saya akan tetap mendengar masalah ini. Selain kontrakan kamu yang letaknya dekat, karyawan saya juga kan, ada yang ngontrak di sana juga."
"Iya, Bu. Sekali lagi, maaf, dan terima kasih."
"Iya, udah, nggak apa-apa. Sekarang, apa rencana kamu?"
"Saya mau cari kontrakan dulu, Bu."
"Ke mana?"
"Belum tahu, Bu. Kalo bisa jangan di daerah sini. Saya takut, lama-lama orang lain tau perbuatan suami saya, dan saya malu, Bu."
Bu Rani diam, seperti memikirkan sesuatu. "Gini, Fat, saya ada saudara yang punya kontrakan, tapi, agak jauh, sih. Bentar saya hubungi dia dulu, kali aja ada kamar kosong."
"Baik, Bu. Terima kasih."
"Kamu tunggu dulu di sini sebentar."
Bu Rani masuk ke dalam toko, mungkin mau menelepon temannya yang punya kontrakan itu. Tak lama kemudian, wanita berhidung mancung itu kembali.
"Fat, alhamdulillah ada satu kamar kosong di sana. Kamu ke sana saja, lihat dulu. Ini alamat dan nomor teleponnya." Bu Rani menyerahkan selembar kertas bertuliskan alamat dan nomor telepon temannya. Aku membacanya sekilas. Alamatnya tidak terlalu jauh. Hanya satu kali naik angkutan umum. Tak apalah, toh, aku juga masuk pagi terus, dan sebentar lagi cuti. Kalau Mas Ahmad, dia kan laki-laki. Masa iya tidak berani naik angkot malam-malam. Toh, shift siang cuma sampai jam sepuluh malam.
"Makasih, Bu. Saya permisi dulu, takut keburu sore."
"Iya, hati-hati. Sama Ahmad, kan?"
"Iya, Bu. Maaf, kami berdua izin nggak masuk kerja, ya."
"Iya, nggak apa-apa. Nanti saya bilang ke suami saya kalo Ahmad izin."
"Iya, Bu. Terima kasih, permisi assalamualaikum."
"Wa'alaikum salam."
Dengan langkah gontai, aku meninggalkan toko, menuju kontrakan. Hatiku terasa sedikit lega, mungkin karena sudah membagi bebanku dengan Bu Rani.
***
Setibanya di kontrakan, terlihat Mas Ahmad sedang bersiap untuk berangkat kerja.
"Nggak usah kerja, Mas. Aku udah mintain izin tadi. Mending kita cari kontrakan. Nih, kata Bu Rani ada kamar kosong di alamat ini." Aku menyerahkan kertas dari Bu Rani pada Mas Ahmad.
"Kamu, cerita semuanya, Fat?"
"Ya iyalah. Aku, kan, nggak pintar bohong buat cari alasan kenapa kita tiba-tiba pindah."
"Ya ampun, Fatimah! Kamu ini! Aib suami sendiri disebar ke orang lain!"
Aku terkejut mendengar bentakan Mas Ahmad. "Terserah apa katamu!"
Mas Ahmad melotot ke arahku, tapi aku tidak takut.
"Terserah kamu mau ikut apa nggak. Aku mau datang ke alamat itu, buat ngecek kontrakan. Aku pengen cepet pindah dari sini! Malu sama tetangga sini. Cepat atau lambat, mereka pasti bakalan tau kelakuan kamu!"
"Malu! Malu! Semua gara-gara kamu! Kalo kamu bisa sedikit menahan diri, nggak akan ada yang tau!"
"Yang harusnya bisa nahan diri itu kamu, Mas! Jelas-jelas kamu yang salah! Atau kamu keberatan pindah karena nggak bisa lagi ketemu selingkuhan tersayangmu itu? Iya? Nih, kasih ke dia! Suruh cuci yang bersih, tak sudi aku mencuci bekas dosa kalian!"
Aku melemparkan sprei yang sudah kulepas dari kasur pada Mas Ahmad. Mas Ahmad yang berdiri di depan pintu, tampak terkejut. Tepat saat aku melempar sprei itu, Nurma muncul dari kamarnya. Dia juga tampak salah tingkah.
"Mbak, udah. Tenang aja, aku nggak bakal ngerebut Mas Ahmad, kok. Aku udah punya tunangan!"
"Udah tunangan tapi masih kegatelan godain suami orang!" ketusku.
"Mbak, kami cuma iseng!"
Astagfirullah, apa aku tidak salah dengar? Menjijikkan! Mereka berhubungan sejauh itu, dan mengatakan cuma iseng? Apa mereka berdua sudah tak waras?
Aku mendekati Mas Ahmad. "Kamu denger, Mas? Cuma iseng! Jangan-jangan, isengnya bukan cuma ama kamu, hiiy!"
Wajah Mas Ahmad terlihat memerah, mungkin menahan marah, atau malu, aku tak peduli dan pura-pura tak melihat. Aku meraih sapu yang tergantung di dekat pintu. Kemudian dengan sapu itu, aku mendorong sprei yang tergeletak di dekat kaki Mas Ahmad.
"Nur, nih! Cuci bersih! Nggak usah dikembalikan! Ambil aja sekalian buat kamu! Buat nanti kalo iseng lagi ama cowok lain!"
Wajah Nurma seketika berubah pias. Dia seperti akan membalas perkataanku, tapi aku bergegas kembali ke kamar, mengambil dompet dan HP.
"Kamu mau ikut liat kontrakan, apa mau tetap di sini?" tanyaku pada Mas Ahmad.
"Ikutlah!"
"Kirain, masih mau di sini! Mau menikmati keisengan Nurma untuk yang terakhir kali sebelum pindah!" ketusku sambil berjalan melewati badan Mas Ahmad begitu saja.
Aku berjalan mendahului Mas Ahmad. Terdengar suara langkah Mas Ahmad mengikuti di belakangku. Beberapa orang yang berpapasan dengan kami, menyapa ramah. Hampir semua penghuni di sini dan tetangga sekitar kontrakan, mengenalku dan Mas Ahmad. Karena sejak belum menikah, kami sudah tinggal di daerah sini. Terutama aku yang memang belum pernah pindah ke tempat lain. Kalau Mas Ahmad, dulu mengontrak di tempat lain. Semenjak menikah pindah ke sini.
Sebenarnya aku betah di daerah sini. Mereka menerima dan memperlakukanku dengan baik. Para penduduk di sini juga tidak menganggapku sebagai pendatang. Seandainya Mas Ahmad tidak mencurangiku, aku enggan pindah dari sini. Tapi, apa mau dikata? Semua sudah terjadi.
Karma Perselingkuhan Bab 4Satu hari setelah kejadian aku mengetahui perselingkuhan Mas Ahmad dan Nurma, kami pindah kontrakan. Beberapa tetangga menatap iba padaku saat berpamitan. Mereka yang rata-rata sudah bertahun-tahun menghuni tempat ini, sudah kuanggap seperti saudara sendiri. Satu persatu aku menyalami mereka. Para tetangga perempuan, menangis melepas kepindahanku. Sementara Nurma entah ke mana dia. Dari kemarin pintu kamarnya selalu tertutup rapat. Lampu kamarnya juga tidak dinyalakan. Mungkin dia pulang kampung atau menginap di salah satu temannya. Bodo amat, aku tak peduli. Malah bagus, aku tak perlu bertemu dengannya. "Jaga istri dan calon anakmu baik-baik, Ahmad. Jangan diulangi lagi perbuatan yang kemarin!" pesan Bu Haji pada suamiku."Iya, Bu," jawab Mas Ahmad tanpa mengangkat kepalanya. "Kamu hati-hati, ya, Fat. Kalo butuh bantuan, jangan sungkan hubungi kami.""Iya, Insya Allah, Bu."Kemudian wanita bertubuh gempal itu, memelukku erat, beliau berpesan agar aku te
Karma Perselingkuhan Bab 5Omelan Ibu MertuaHari persalinan tiba, aku melahirkan bayi perempuan. Didampingi ibuku dan Mas Ahmad, aku melahirkan secara caesar. Kami terpaksa mengambil jalan ini, karena panggul yang sempit, dan tidak memungkinkan untukku melahirkan secara normal. Bayi perempuan yang diberi nama Zea Nara itu, disambut bahagia oleh seluruh keluarga. Terutama keluargaku.Keluarga Mas Ahmad tinggal di kampung yang berbeda dengan kampungku. Makanya, ibu mertua baru datang hari ini, setelah aku pulang dari rumah sakit. Alasannya, sibuk mengurus dua cucunya. Kedua anak kakaknya Mas Ahmad memang tinggal bersama mertuaku. Sedangkan kakaknya Mas Ahmad bersama suaminya menjadi buruh pabrik di Korea. Mereka pulang dua atau tiga tahun sekali. "Kenapa mesti caesar, Fat? Emang nggak bisa diusahakan lahir normal?" tanya ibu mertuaku sambil menimang Zea. "Kan, Ahmad udah bilang, Fatimah panggulnya sempit, Bu," jawab suamiku. "Makanya, kalo lagi hamil itu, jangan males, harus banya
Karma Perselingkuhan Bab 6DipecatMas Ahmad kembali ke Jakarta untuk bekerja. Dia hanya meminta izin selama seminggu. Sebenarnya agak berat melepas dia pergi. Namun, mau bagaimana lagi? Suamiku hanya karyawan, bukan bos. Mau tidak mau harus taat pada peraturan. Apalagi, zaman sekarang tidak mudah mencari pekerjaan. Lebih banyak yang mencari pekerjaan daripada lapangan pekerjaan yang tersedia. Salah sedikit saja, pasti diminta mengundurkan diri atau diberhentikan, masih banyak yang mau kerja. Karena itulah, aku hanya bisa melepas keberangkatan Mas Ahmad dengan doa. Kalau masalah pekerjaan, aku tahu, Mas Ahmad orangnya bertanggung jawab. Selama bekerja, hampir tak pernah ada masalah berarti. Mas Ahmad cukup bisa dipercaya masalah pekerjaan. Aku berdoa semoga dia bisa menjaga hatinya agar tidak melakukan kesalahan seperti kemarin. Sementara aku, diminta mengundurkan diri dulu dari pekerjaan. Mas Ahmad memintaku untuk mengurus Zea saja. Untuk sementara, aku diminta tinggal bersama ora
Karma Perselingkuhan Bab 7Terbongkarnya RahasiaAku mencoba mengatur napas yang tiba-tiba terasa sesak. Mencoba berpikir positif tentang suamiku. Memikirkan segala kemungkinan yang bisa saja terjadi. Mungkin, perempuan itu saudaranya yang kebetulan menginap di rumah mertuaku. Mungkin, Mas Ahmad sedang ke kamar mandi dan perempuan itu berinisiatif menerima panggilan telepon dariku. "Halo, ini siapa?" tanya pemilik suara di seberang sana, menyeret ingatanku bahwa aku belum menjawab pertanyaannya. Dengan suara bergetar, aku balik bertanya, "Mas Ahmadnya ada?""Lagi ke kamar mandi. Maaf ini siapa?"Aku menghela napas mendengar pertanyaan perempuan itu. Apa nomorku tak diberi nama oleh Mas Ahmad sehingga perempuan itu menanyakan siapa aku? "Saya istrinya, kamu siapa? Lancang banget ngangkat telpon orang!" Hening untuk beberapa saat, hingga samar terdengar suara laki-laki bertanya, "siapa?" "Halo," sapa laki-laki di seberang telepon. Itu suara Mas Ahmad.Tiba-tiba aku merasa seluruh
Karma Perselingkuhan Bab 8Bukti KebohonganSemua mata tertuju padaku. Tegang. Terdengar kasak-kusuk dari beberapa ibu-ibu yang berdiri tidak jauh di sebelah kiriku. Mereka tetangga mertuaku yang mungkin penasaran melihat banyak orang di sini. Aku menatap tajam suami, mertua dan perempuan itu. "Kamu, Mbak! Kamu yang nerima telponku kemarin pagi, kan?" Wajah perempuan yang aku tidak namanya itu, semakin pucat. Terlihat sekali kalau ia gugup. Beberapa kali, dia mengusap keringat yang bermunculan di wajah berhias make up tebal itu. "Dan, kamu, Mas! Tadi pagi, kamu, nolak diajak video call, alasan sudah mau masuk kerja. Terus kamu ngirim foto sedang berada di toko. Kamu pikir, aku nggak tau, kalo kamu udah nggak kerja di sana lagi? Ingat, Mas! Di sana banyak yang kenal aku. Aku bisa dengan mudah mendapatkan informasi tentangmu! Apalagi setelah perselingkuhanmu dengan Nurma beberapa bulan lalu!"Mas Ahmad terlihat kaget dengan kalimatku. "Dek, tapi, itu kan, udah berlalu! Kenapa kamu u
Karma PerselingkuhanBab 9Keputusan AhmadAku mengusap wajah kasar sambil terus beristighfar. Istri Kang Amin mengusap lembut pundakku, seolah memberikan kekuatan. Kalimat ibu mertua sungguh menyakitkan. Tidak ada lagi alasan untukku mempertahankan rumah tangga yang menurutku tidak sehat ini. Suami punya penyakit suka selingkuh, mertua juga ternyata tak menyukai kehadiranku. Jadi, untuk apa aku membuang waktu bersama mereka? Apa yang harus aku perjuangkan? Zea? Mudah-mudahan saat besar nanti, dia mengerti alasanku berpisah dengan ayahnya. "Mas Ahmad, sekarang, bagaimana keputusanmu? Masalah ini, berawal dari kamu yang membawa Mbak Fitri ke sini. Padahal, Mas Ahmad, masih punya istri.""Saya minta cerai!" selaku cepat.Mas Ahmad tampak terkejut. "Pikirkan lagi, Dek. Kasihan anak kita.""Anak? Harusnya yang kamu mikirin anak, sebelum mengkhianati pernikahan kita. Ini bukan yang pertama, Mas. Aku sudah memberikan kesempatan kedua. Nyatanya?"Mas Ahmad terdiam, dia tidak membantah kalim
Karma PerselingkuhanBab 10Masalah Belum Selesai Empat bulan sudah aku resmi menyandang status janda. Aku pikir, masalah akan selesai saat aku tak lagi memiliki ikatan apa-apa dengan Mas Ahmad. Namun, ternyata pikiranku salah. Mantan suamiku itu tak kunjung mengurus surat perceraian kami ke pengadilan. Bahkan, sepertinya dia cenderung mengulur waktu. Entah apa maksudnya. Sedangkan untuk mengurus sendiri, aku belum punya cukup uang. Uang tabungan yang kumiliki, sebagian dipakai untuk modal membuka warung kecil di depan rumah orang tuaku. Sisanya, kusimpan saja untuk berjaga-jaga kalau ada kebutuhan mendadak. Akan tetapi, tetap saja belum cukup untuk mengurus perceraianku dengan Mas Ahmad. Tentang nafkah yang seharusnya tetap diberikan oleh Mas Ahmad, jangan tanyakan itu. Boro-boro memberikan uang untuk kebutuhanku dan Zea selama aku berada dalam masa iddah. Menanyakan kabar anaknya saja tidak. Bahkan, kudengar, Mas Ahmad sudah menikah lagi dengan Fitri, satu bulan setelah ia menjat
Karma Perselingkuhan Bab 11Kepala TokoSejak pertengkaran Mas Ahmad dan istrinya di depan rumah orang tuaku, mantan suamiku itu tidak pernah datang lagi. Boro-boro datang, atau memberikan nafkah untuk anaknya, menanyakan kabar saja tidak. Sedangkan warungku semakin hari semakin sepi. Terkadang malah aku menombok saat belanja lagi. Semalam, tiba-tiba Bu Rani menghubungiku, menawarkan pekerjaan. Bu Rani mengabarkan bahwa, anaknya membuka toko perlengkapan bayi di sebuah pusat perbelanjaan. Mereka butuh karyawan yang bisa dipercaya. Bu Rani menawariku untuk menjaga toko tersebut. Bahkan, aku boleh membawa serta Zea. Untuk tempat tinggal, aku tidak perlu pusing. Aku diperbolehkan tinggal di rumah pemilik toko, bersama dua karyawan lain. "Ibu perhatikan, kamu melamun terus dari pagi. Ada apa, Fat?" Aku menoleh pada Ibu yang sedang menidurkan Zea. "Nggak ada apa-apa, Bu. Cuma, kepikiran tawaran Bu Rani semalam.""Oh. Ibu sih, terserah kamu saja. Tidak akan menyuruh menerima atau menola
Karma Bab 26MimpikuBeberapa ibu-ibu yang merupakan para tetangga dan kerabat, terlihat sibuk. Ada yang memasak di dapur, ada juga yang menata kue-kue di ruang tengah. Sementara suami-suami mereka terlihat membantu Bapak. Para pria itu, mengeluarkan meja dan kursi dari ruang tamu. Kemudian menggelar karpet, yang sebagian meminjam dari tetangga sekitar. Sedangkan aku, hanya diam mengawasi Zea yang asyik bermain barbie di depan televisi. Ada juga Mbak Nurul di dekatku. Wanita kalem itu sedang menata dus snack untuk para tamu.Hari ini, rumah orang tuaku sedikit sibuk. Tiga hari sudah aku berada di rumah. Rencananya, malam ini, orang tuaku akan mengadakan syukuran atas kepulanganku. Hanya acara kecil, mengundang tetangga sekitar saja. Akan tetapi, karena jiwa gotong royong masih melekat kuat, para tetangga dan kerabat, datang membantu dengan sukarela. Aku terharu dengan keikhlasan mereka semua. Mereka mengerjakan tugas masing-masing dengan riang, diiringi celoteh khas ibu-ibu. Aku dan
Karma Bab 25PulangHari ini akhirnya tiba juga. Dengan hati berdebar tak karuan, aku mengecek sekali lagi barang-barang yang akan dibawa, takut ada yang tertinggal. Nyonya Thai Thai dan suaminya mengingatkan tentang dokumen perjalanan dan tiket pesawat, takut tertinggal. Sementara Oma, menatapku sendu. Wanita tua itu berkali-kali memintaku untuk cepat kembali. Katanya, dia pasti akan merindukanku. Ah, Oma, bikin aku terharu saja. Setelah semuanya selesai, dibantu sopir keluarga majikan, aku memasukkan semua barang bawaan ke bagasi. Seperti anak kecil yang akan ditinggal pengasuhnya, Oma merajuk. Dia bersikeras ikut ke Bandara, untuk mengantarku. Akhirnya, anak dan menantu Oma menyerah. Mereka membawa serta Oma ke Bandara. Aku tersenyum kecil saat melihat Oma tersenyum senang. Sepanjang perjalanan, Oma terus-terusan menasehatiku. Selain memintaku cepat kembali dan selalu menghubunginya, dia juga memintaku untuk tidak buru-buru menikah lagi. Katanya, fokus saja membesarkan anak dan
Karma Perselingkuhan Bab 24Dia Pergi Kabar tentang kecelakaan Mas Ahmad terus mengganggu pikiran. Apalagi sejak musibah itu, Fitri jadi lebih sering menghubungiku. Tanpa kuminta, dia mengabarkan bagaimana keadaan Mas Ahmad. Katanya, luka yang diderita mantan suamiku itu cukup parah. Tangan dan kaki kanannya mengalami patah pada tulang. Fitri tidak menjelaskan detailnya. Dia hanya mengatakan bahwa kemungkinan untuk pulih itu memakan waktu cukup lama. Setelah hampir dua minggu dirawat, akhirnya Mas Ahmad diperbolehkan pulang. Menurut cerita Fitri, mereka pulang ke kampung, karena kalau di Jakarta tidak ada yang membantu merawat Mas Ahmad.Aku memberitahu Ibu, kabar soal kecelakaan yang menimpa mantan menantunya itu. Reaksi ibu biasa saja. Akan tetapi, wanita berhati lembut itu tak menolak saat diminta menjenguk Mas Ahmad yang sudah dibawa pulang kampung. Menurut cerita ibu, Mas Ahmad berkali-kali minta maaf padanya. Aku meminta ibu untuk memaafkan semua kesalahan Mas Ahmad di masa l
Karma Bab 23Ahmad Kecelakaan Seperti biasa, saat hari minggu tiba, aku berkumpul bersama Anisa dan teman-teman TKW yang lain di Taipei Main Station. Sebenarnya bukan cuma TKW dan TKI saja yang berkumpul di sini. Mahasiswa dan pekerja imigran dengan profesi lain juga banyak yang berkumpul di sini. Apalagi, kalau pengajian rutin sedang berlangsung, seperti pagi ini. Pasti jumlah pengunjung semakin banyak. Kebetulan pagi ini, penceramahnya seorang Ustadzah terkenal yang diundang langsung dari Indonesia. Dengan tekun, aku menyimak semua yang disampaikan oleh Ustadzah yang selama ini hanya bisa dilihat melalui layar televisi. Entah kebetulan atau tidak, tema kajian pagi ini, adalah 'Jangan Mendendam' sesuai dengan apa yang sedang kualami. Dalam hidup ini, tentu kita tidak selalu mendapatkan apa yang diinginkan. Ada saja kejadian yang membuat kita kecewa dan berujung sakit hati. Ketika sakit hati, kita dapat merasa sangat merana. Apalagi bila yang menyakiti hati kita adalah orang terd
Karma Bab 22Kabar Duka 2Cerita ibu soal permintaan maaf mantan ibu mertua mengganggu pikiranku selama berhari-hari. Hal itu mau tak mau membuatku bertanya pada diri sendiri, apakah aku sudah benar-benar memaafkan mereka? Atau mungkin masih ada sedikit dendam di hatiku untuk mereka? Setiap kali sholat, aku berdoa, memohon ampun untuk diriku sendiri dan untuk mantan ibu mertua. Tak henti-hentinya aku memohon pada Yang Maha Kuasa agar penyakit mantan ibu mertua diangkat dan disembuhkan seperti sedia kala. Sebuah nomor tak dikenal terpampang di layar. Aku yang sedang melipat mukena, seusai sholat Isya, segera menekan tombol hijau. Takutnya penting. "Assalamualaikum," sapaku. Terdengar sahutan salam dari seberang sana. Suara pria yang masih kuingat dengan baik. Suara Mas Ahmad. "Fat. Maaf mengganggu malam-malam begini.""Iya, Mas. Ada apa? Gimana keadaan ibu?""Fat, keadaan ibu semakin memburuk.""Ya Allah, terus sekarang gimana?""Ibu bilang, pengen ngomong sama kamu. Kalo kamu berk
KarmaBab 21Mantan Ibu MertuaTiba-tiba panggilan terputus. Mungkin mantan ibu mertua tidak nyaman dengan kata-kataku. Takut terjadi apa-apa pada Zea dan keluargaku, segera kutekan nomor telepon ibu. Tersambung dan langsung diangkat. Terdengar suara ibu menyapaku dari seberang sana. "Bu, pokoknya jangan berikan Zea sama mereka. Fatimah nggak rela kalo Zea diasuh sama mereka. Kalo memang mereka peduli sama Zea, kenapa selama ini tidak memperhatikan keadaan Zea?" cerocosku dengan napas tersengal menahan amarah. Dari seberang telepon, ibu meyakinkanku bahwa mantan ibu mertua tidak akan bisa membawa Zea."Pantesan anakku cari perempuan lain buat dijadikan istri. Dia bosan punya istri keras kepala sepertimu. Dan, lihat! Setelah cerai dari Ahmad, nggak ada laki-laki yang mau menikah denganmu! Perempuan keras kepala! Untung udah nggak jadi mantuku. Bisa stres lama-lama punya mantu sepertimu!" Tiba-tiba terdengar omelan mantan ibu mertua. Mungkin dia merebut hape di tangan ibuku. Aku mend
KarmaBab 20Benarkah ini Karma? Menurut kabar yang dikirim ibuku, semenjak kematian bayinya, Mas Ahmad kembali tidak peduli pada Zea. Katanya mantan suamiku itu kembali ke Jakarta bersama Fitri. Mantan mertuaku pun tak pernah datang menemui cucunya. Entah apa yang keluarga itu pikirkan, sehingga tega melupakan darah daging mereka. Padahal, saat bayi Mas Ahmad meninggal, kedua orang tuaku datang melayat. Karena, bagaimanapun, keluarga kami pernah ada ikatan. Akan tetapi, sepertinya memang apapun yang keluargaku lakukan, tak ada artinya di mata mereka. Nomor Mas Ahmad sengaja tak kusimpan. Untuk apa? Toh, dia hanya sekali-kalinya menghubungiku. Kalau dia ada perlu dengan Zea, bisa lewat ibu. Aku juga jauh di sini, tak bisa membantu secara langsung kalau Mas Ahmad ingin bertemu dengan anaknya. ***Aku sudah hampir terlelap saat ada sebuah pesan masuk ke hpku. Karena lelah, kuabaikan saja pesan itu. Biar saja, kalau penting pasti akan menelepon, pikirku. Benar saja, baru saja aku akan
Karma Bab 19 Kabar Duka 1 Berhari-hari setelah Mas Ahmad mengirimkan pesan tentang anaknya yang sakit, hatiku jadi tidak tenang. Entah kenapa, pikiranku selalu tertuju pada Zea. Telepon dan video call yang dilakukan, tidak membuatku tenang. Namun, mau bagaimana? Tak mungkin aku tiba-tiba pulang dengan alasan rindu pada anak. Apalagi, baru beberapa bulan di sini dan gajiku juga masih dipotong untuk ganti biaya pemberangkatan. Ya, aku mendaftar jadi TKW dengan sistem potong gaji selama sembilan bulan, untuk ganti biaya pemberangkatan. Rata-rata para TKW melakukan hal yang sama. Karena, kalau mengeluarkan biaya sendiri, biayanya tak sedikit dan kami keberatan. Biaya itu antara lain untuk pembuatan dokumen seperti paspor, visa, dan lain-lain. Belum biaya pelatihan ketrampilan yang kami dapatkan selama di penampungan. Uang saku yang kamu terima pun diambil dari gaji yang dipotong. Tak apa-apa, toh, gaji yang didapat selama beberapa bulan juga bisa menutupi semua potongan itu. Apalagi
Karma Perselingkuhan Bab 18Taiwan, I'm ComingLima jam melayang di udara, akhirnya burung besi raksasa ini mendarat di Bandara Taoyuan, Taiwan. Sesuai arahan petugas PJTKI yang di Jakarta, aku mencari sopir dari agen PJTKI sudah menunggu. Tak butuh waktu lama, akhirnya aku dan beberapa calon TKW lain pun keluar dari Bandara. Sebelum diberangkatkan ke rumah majikan yang akan mempekerjakanku, aku dan yang lain, diminta beristirahat dulu di penampungan. Aku menurut saja. Lima jam berada di pesawat terbang, cukup membuatku lelah. Apalagi ini untuk pertama kalinya buatku. Aku ingin istirahat dulu sebelum bekerja besok. Pagi hari, setelah mandi dan sarapan alakadarnya, kami semua diminta bersiap. Seorang perwakilan dari agen, akan mengantarkan kami satu persatu ke rumah calon majikan. Dengan hati berdebar tak karuan, aku bersiap. Benak dipenuhi tanya, seperti apakah majikanku nanti? Apakah sebaik keluarga Pak Burhan, bosku dulu? ***Satu persatu, dari kami diantar ke rumah calon majika