Beranda / Lain / Karma Perselingkuhan / Omelan Ibu Mertua

Share

Omelan Ibu Mertua

Penulis: Dwi Mei Rahayu
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Karma Perselingkuhan 

Bab 5

Omelan Ibu Mertua

Hari persalinan tiba, aku melahirkan bayi perempuan. Didampingi ibuku dan Mas Ahmad, aku melahirkan secara caesar. Kami terpaksa mengambil jalan ini, karena panggul yang sempit, dan tidak memungkinkan untukku melahirkan secara normal. 

Bayi perempuan yang diberi nama Zea Nara itu, disambut bahagia oleh seluruh keluarga. Terutama keluargaku.

Keluarga Mas Ahmad tinggal di kampung yang berbeda dengan kampungku. Makanya, ibu mertua baru datang hari ini, setelah aku pulang dari rumah sakit. Alasannya, sibuk mengurus dua cucunya. Kedua anak kakaknya Mas Ahmad memang tinggal bersama mertuaku. Sedangkan kakaknya Mas Ahmad bersama suaminya menjadi buruh pabrik di Korea. Mereka pulang dua atau tiga tahun sekali. 

"Kenapa mesti caesar, Fat? Emang nggak bisa diusahakan lahir normal?" tanya ibu mertuaku sambil menimang Zea. 

"Kan, Ahmad udah bilang, Fatimah panggulnya sempit, Bu," jawab suamiku. 

"Makanya, kalo lagi hamil itu, jangan males, harus banyak bergerak, apa lagi menjelang persalinan. Biar lahirannya gampang. Nih, ibu, anak empat semuanya lahir di rumah. Cuma sama emak paraji. Nggak ada yang pake acara jalan-jalan ke rumah sakit. Buang-buang uang saja," omel ibu mertuaku. 

Meski hati terasa sakit mendengar omelan ibu mertua, tapi aku diam saja. Dua tahun menjadi menantunya, aku paham betul sifat beliau. Perempuan berkulit sawo matang itu akan semakin meradang kalau omongannya dibantah. Bakal panjang urusannya. Karena itulah aku memilih diam. Begitu juga Mas Ahmad, yang malah memilih keluar kamar, pura-pura ke kamar mandi. 

"Fat, apa rencanamu setelah melahirkan?" tanya ibu mertua setelah Mas Ahmad berlalu. 

"Maksudnya, Bu?"

"Ya, apa mau tetap di kampung, apa balik lagi ke Jakarta?" 

"Belum tau, Bu." Aku memang belum menyusun rencana apa-apa setelah melahirkan. Luka bekas jahitan di perut saja belum sepenuhnya pulih, boro-boro memikirkan hal lain. 

"Kalian ini bagaimana? Hidup, kok, nggak punya rencana!"

"Bukan begitu, Bu. Nunggu saya pulih dulu, baru mikirin hal lain."

"Nih, saran ibu, ya. Kamu jangan keluar kerja. Anakmu ini, titipkan saja sama ibu. Nanti, tiap bulan kalian kirimkan biaya untuk beli kebutuhannya, ke ibu. Kakaknya Ahmad juga gitu, kok."

Jujur aku agak terkejut mendengar usul ibu mertua. "Saya pikir-pikir dulu, Bu. Anak saya juga baru lahir. Cuti saya masih dua bulan lagi."

"Jangan kelamaan mikir! Nih, mumpung kalian masih muda, kerja aja yang rajin. Kumpulin uang, buat masa depan kalian. Masalah ngurus anak, serahin aja sama ibu yang udah pengalaman."

"Gimana nanti aja, Bu." Malas berdebat, aku menjawab sekenanya, berharap ibu mertuaku diam dan tidak melanjutkan omelannya. Namun, ternyata aku salah. 

"Fat, hidup itu jangan gimana nanti! Harus direncanakan! Apalagi kalian belum punya rumah! Boro-boro tabungan! Emangnya kalian mau terus-terusan numpang di rumah orang tua?"

'Duh, salah lagi! Mas Ahmad ke mana coba? Harusnya dia juga ikut mendengarkan omelan ibunya. Bukan malah pergi gitu aja. Ish, ibuku juga ke mana? Ke warung, kok, nggak balik-balik dari tadi.' Aku hanya berani menggerutu dalam hati sambil memilin tepian daster yang kupakai. 

"Nggak malu apa? Nikah udah dua tahun, tapi masih numpang! Tuh, lihat! Kakaknya Ahmad, mereka berdua kerja di pabrik! Sekarang udah punya rumah, sawah, sepeda motor, sebentar lagi mau bikin tambak ikan! Anak-anak, mereka titipkan ke ibu. Tidak masalah! Masih muda itu, cari duit yang banyak! Nggak usah manja! Apalagi sok-sokan mau ngurus anak sendiri! Tau dirilah, punya orang tua pas-pasan!"

"Astagfirullah!" tanpa sadar aku beristighfar cukup keras mendengar kalimat ibu mertua yang kurasa semakin menjadi. Sementara untuk melawan, aku pun tak berani. 

"Ada apa ini? Sepertinya serius banget. Loh, Bu Besan, kok berdiri? Belum disuguhi minum lagi. Kamu ini gimana, Fat? Kok, ibu mertuamu dianggurin," ujar Ibu yang tiba-tiba muncul di pintu kamar. 

"Nggak usah repot-repot! Saya juga nggak lama, kok. Kasihan kedua cucu saya di rumah kalo terlalu lama ditinggal!" sahut ibu mertua ketus. 

"Loh, kenapa mereka tadi nggak diajak aja? Pasti mereka seneng, dapat adik baru."

"Kedua cucuku itu, nggak biasa panas-panasan dan kena angin! Takut sakit. Kalo sakit, aku juga yang repot."

"Oh, gitu. Anaknya Fatimah juga, kan, cucumu juga. Apa nggak pengin nemenin, nginep dulu barang sehari atau dua hari. Biar kedua cucumu yang lain dijemput sama Ahmad, nanti."

"Nggak usah! Biar aku pulang saja. Kalo Fatimah pengin anaknya deket sama saya, bawa saja ke sana! Biar saya yang urus! Sama kayak anak kakaknya Ahmad!"

"Maksudnya, Bu?"

Ibu mertua mengulangi lagi kata-kata yang ia ucapkan padaku tadi. Ibuku menyimak dengan seksama. Aku melihat raut wajah ibu sedikit keruh, mungkin beliau juga tidak nyaman dengan kalimat besannya. Sementara aku, memilih diam. Karena, jika bersuara, pasti akan semakin memperkeruh suasana. 

"Maaf, Bu Besan. Usul Bu Besan memang bagus. Tapi, Fatimah sama Ahmad pasti sudah punya rencana sendiri untuk hidup mereka. Sebaiknya, kita tidak usah ikut campur, apalagi ikut mengatur. Sebagai orang tua, lebih baik, kita mendoakan agar mereka dimudahkan dalam mencari rejeki," timpal ibu setelah ibu mertuaku selesai bicara. 

"Halah! Ibu sama anak sama saja! Dikasih saran bagus, membantah terus! Banyak alasan! Terserah ah! Saya mau pulang saja! Pusing di sini lama-lama!"

Saat ibuku terlihat akan membantah, aku memberikan kode agar diam. Untung anakku menangis, jadi ibuku tak membalas omelan besannya. Cepat aku meminta Zea, yang masih dalam gendongan ibu mertua, untuk ditenangkan, lalu kususui. 

"Ibu pulang dulu! Mana Ahmad! Suruh dia cari tukang ojek!" 

Tanpa menjawab, ibuku langsung pergi dari kamarku.  Kemudian terdengar suara ibu memanggil Mas Ahmad. 

"Coba kalo kalian punya sepeda motor, kan enak. Nggak perlu naik ojek ke mana-mana. Makanya, kerja yang rajin. Mumpung masih muda. Contoh tuh, kakaknya Ahmad!"

"Iya, Bu. Nanti saya pikir-pikir dulu saran ibu."

"Ya sudah. Ibu pulang. Assalamualaikum.'

"Iya, Bu. Wa'alaikumsalam. Hati-hati di jalan."

Aku mencium tangan kanan ibu mertua, lalu mengikuti langkahnya ke luar dari kamarku. Di teras, terlihat Mas Ahmad sudah bersama Kang Amin, tetangga kami, yang memang berprofesi sebagai tukang ojek. Setelah berpamitan pada ibuku, ibu mertuaku langsung naik ke jok sepeda motor. Detik berikutnya Kang Amin membawa pergi ibu mertua dari halaman rumah ibuku. 

Kami semua masuk ke rumah. Ibuku langsung ke dapur. Sementara aku dan Mas Ahmad duduk di ruang tamu sekaligus ruang keluarga. Rumah orang tuaku memang sangat sederhana dengan perabot seadanya. Televisi menjadi satu-satunya barang mewah di sini. 

"Mas, tadi kamu ke mana?" 

Mas Ahmad yang sedang menonton televisi, menoleh. "Ada, di sini. Nonton tivi."

"Kamu ini, aku diomelin ama ibu malah ke luar. Bukannya belain. Tega banget, sih!"

"Bukan gitu, Dek. Kamu tau sendiri sifat ibuku gimana, kan? Kalo dijawab, semakin menjadi. Makanya aku ke luar kamar. Daripada nggak bisa nahan emosi."

"Iya, juga, sih."

"Udah, kamu nggak usah mikirin omongan ibuku. Benar apa kata ibumu tadi. Kita berhak merencanakan sendiri hidup kita. Aku malah pengennya kamu diam aja di rumah, ngurus anak. Biar aku aja yang kerja."

"Iya, Mas."

Akhirnya aku diam, ikut menonton televisi. Benar apa kata ibuku dan Mas Ahmad. Kami berhak merencanakan hidup kami sendiri. Orang tua cukup mendukung dan mendoakan, selama itu baik dan tidak merugikan orang lain. 

Bab terkait

  • Karma Perselingkuhan    Dipecat

    Karma Perselingkuhan Bab 6DipecatMas Ahmad kembali ke Jakarta untuk bekerja. Dia hanya meminta izin selama seminggu. Sebenarnya agak berat melepas dia pergi. Namun, mau bagaimana lagi? Suamiku hanya karyawan, bukan bos. Mau tidak mau harus taat pada peraturan. Apalagi, zaman sekarang tidak mudah mencari pekerjaan. Lebih banyak yang mencari pekerjaan daripada lapangan pekerjaan yang tersedia. Salah sedikit saja, pasti diminta mengundurkan diri atau diberhentikan, masih banyak yang mau kerja. Karena itulah, aku hanya bisa melepas keberangkatan Mas Ahmad dengan doa. Kalau masalah pekerjaan, aku tahu, Mas Ahmad orangnya bertanggung jawab. Selama bekerja, hampir tak pernah ada masalah berarti. Mas Ahmad cukup bisa dipercaya masalah pekerjaan. Aku berdoa semoga dia bisa menjaga hatinya agar tidak melakukan kesalahan seperti kemarin. Sementara aku, diminta mengundurkan diri dulu dari pekerjaan. Mas Ahmad memintaku untuk mengurus Zea saja. Untuk sementara, aku diminta tinggal bersama ora

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Karma Perselingkuhan    Terbongkarnya Rahasia

    Karma Perselingkuhan Bab 7Terbongkarnya RahasiaAku mencoba mengatur napas yang tiba-tiba terasa sesak. Mencoba berpikir positif tentang suamiku. Memikirkan segala kemungkinan yang bisa saja terjadi. Mungkin, perempuan itu saudaranya yang kebetulan menginap di rumah mertuaku. Mungkin, Mas Ahmad sedang ke kamar mandi dan perempuan itu berinisiatif menerima panggilan telepon dariku. "Halo, ini siapa?" tanya pemilik suara di seberang sana, menyeret ingatanku bahwa aku belum menjawab pertanyaannya. Dengan suara bergetar, aku balik bertanya, "Mas Ahmadnya ada?""Lagi ke kamar mandi. Maaf ini siapa?"Aku menghela napas mendengar pertanyaan perempuan itu. Apa nomorku tak diberi nama oleh Mas Ahmad sehingga perempuan itu menanyakan siapa aku? "Saya istrinya, kamu siapa? Lancang banget ngangkat telpon orang!" Hening untuk beberapa saat, hingga samar terdengar suara laki-laki bertanya, "siapa?" "Halo," sapa laki-laki di seberang telepon. Itu suara Mas Ahmad.Tiba-tiba aku merasa seluruh

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Karma Perselingkuhan    Bukti Kebohongan

    Karma Perselingkuhan Bab 8Bukti KebohonganSemua mata tertuju padaku. Tegang. Terdengar kasak-kusuk dari beberapa ibu-ibu yang berdiri tidak jauh di sebelah kiriku. Mereka tetangga mertuaku yang mungkin penasaran melihat banyak orang di sini. Aku menatap tajam suami, mertua dan perempuan itu. "Kamu, Mbak! Kamu yang nerima telponku kemarin pagi, kan?" Wajah perempuan yang aku tidak namanya itu, semakin pucat. Terlihat sekali kalau ia gugup. Beberapa kali, dia mengusap keringat yang bermunculan di wajah berhias make up tebal itu. "Dan, kamu, Mas! Tadi pagi, kamu, nolak diajak video call, alasan sudah mau masuk kerja. Terus kamu ngirim foto sedang berada di toko. Kamu pikir, aku nggak tau, kalo kamu udah nggak kerja di sana lagi? Ingat, Mas! Di sana banyak yang kenal aku. Aku bisa dengan mudah mendapatkan informasi tentangmu! Apalagi setelah perselingkuhanmu dengan Nurma beberapa bulan lalu!"Mas Ahmad terlihat kaget dengan kalimatku. "Dek, tapi, itu kan, udah berlalu! Kenapa kamu u

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Karma Perselingkuhan    Keputusan

    Karma PerselingkuhanBab 9Keputusan AhmadAku mengusap wajah kasar sambil terus beristighfar. Istri Kang Amin mengusap lembut pundakku, seolah memberikan kekuatan. Kalimat ibu mertua sungguh menyakitkan. Tidak ada lagi alasan untukku mempertahankan rumah tangga yang menurutku tidak sehat ini. Suami punya penyakit suka selingkuh, mertua juga ternyata tak menyukai kehadiranku. Jadi, untuk apa aku membuang waktu bersama mereka? Apa yang harus aku perjuangkan? Zea? Mudah-mudahan saat besar nanti, dia mengerti alasanku berpisah dengan ayahnya. "Mas Ahmad, sekarang, bagaimana keputusanmu? Masalah ini, berawal dari kamu yang membawa Mbak Fitri ke sini. Padahal, Mas Ahmad, masih punya istri.""Saya minta cerai!" selaku cepat.Mas Ahmad tampak terkejut. "Pikirkan lagi, Dek. Kasihan anak kita.""Anak? Harusnya yang kamu mikirin anak, sebelum mengkhianati pernikahan kita. Ini bukan yang pertama, Mas. Aku sudah memberikan kesempatan kedua. Nyatanya?"Mas Ahmad terdiam, dia tidak membantah kalim

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Karma Perselingkuhan    Masalah Belum Selesai

    Karma PerselingkuhanBab 10Masalah Belum Selesai Empat bulan sudah aku resmi menyandang status janda. Aku pikir, masalah akan selesai saat aku tak lagi memiliki ikatan apa-apa dengan Mas Ahmad. Namun, ternyata pikiranku salah. Mantan suamiku itu tak kunjung mengurus surat perceraian kami ke pengadilan. Bahkan, sepertinya dia cenderung mengulur waktu. Entah apa maksudnya. Sedangkan untuk mengurus sendiri, aku belum punya cukup uang. Uang tabungan yang kumiliki, sebagian dipakai untuk modal membuka warung kecil di depan rumah orang tuaku. Sisanya, kusimpan saja untuk berjaga-jaga kalau ada kebutuhan mendadak. Akan tetapi, tetap saja belum cukup untuk mengurus perceraianku dengan Mas Ahmad. Tentang nafkah yang seharusnya tetap diberikan oleh Mas Ahmad, jangan tanyakan itu. Boro-boro memberikan uang untuk kebutuhanku dan Zea selama aku berada dalam masa iddah. Menanyakan kabar anaknya saja tidak. Bahkan, kudengar, Mas Ahmad sudah menikah lagi dengan Fitri, satu bulan setelah ia menjat

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Karma Perselingkuhan    Kepala Toko

    Karma Perselingkuhan Bab 11Kepala TokoSejak pertengkaran Mas Ahmad dan istrinya di depan rumah orang tuaku, mantan suamiku itu tidak pernah datang lagi. Boro-boro datang, atau memberikan nafkah untuk anaknya, menanyakan kabar saja tidak. Sedangkan warungku semakin hari semakin sepi. Terkadang malah aku menombok saat belanja lagi. Semalam, tiba-tiba Bu Rani menghubungiku, menawarkan pekerjaan. Bu Rani mengabarkan bahwa, anaknya membuka toko perlengkapan bayi di sebuah pusat perbelanjaan. Mereka butuh karyawan yang bisa dipercaya. Bu Rani menawariku untuk menjaga toko tersebut. Bahkan, aku boleh membawa serta Zea. Untuk tempat tinggal, aku tidak perlu pusing. Aku diperbolehkan tinggal di rumah pemilik toko, bersama dua karyawan lain. "Ibu perhatikan, kamu melamun terus dari pagi. Ada apa, Fat?" Aku menoleh pada Ibu yang sedang menidurkan Zea. "Nggak ada apa-apa, Bu. Cuma, kepikiran tawaran Bu Rani semalam.""Oh. Ibu sih, terserah kamu saja. Tidak akan menyuruh menerima atau menola

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Karma Perselingkuhan    Bab 12

    Karma PerselingkuhanBab 12Apa Maumu? Untuk beberapa detik, aku terpaku di tempat sambil mengeratkan pelukan pada Zea. Sementara sosok itu semakin dekat. Dari sekian banyak pusat perbelanjaan di Jakarta, kenapa dia memilih datang ke sini? "Fatimah! Kamu di sini? Bagaimana kabar kalian?"Kalau bukan tempat umum aku pasti sudah menjawab pertanyaan itu dengan omelan. Buat apa dia menanyakan kabar kami? Bukankah kami terlihat baik-baik saja? "Eh, baik, Mas."Aku sama sekali tak berniat menanyakan kabarnya. Buat apa? Basa-basi? Toh, dia terlihat sehat dan bahagia. "Kamu di sini? Jalan-jalan atau?""Aku kerja. Maaf, Mas permisi, aku mau lanjut kerja."Belum sempat aku masuk ke dalam toko, seorang perempuan tiba-tiba menghampiri kami. Langkahnya tampak tergesa. "Oh, jadi kalian janjian di sini! Pantas aja, aku lagi milih baju ditinggal!" teriaknya membuat beberapa orang menoleh. Aku terkejut, tak menyangka akan mendapatkan perlakuan seperti ini. Otak bergerak cepat, mengantisipasi kal

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Karma Perselingkuhan    Keguguran

    Karma Perselingkuhan Bab 13Keguguran Waktu terus berlalu. Tidak terasa delapan bulan sudah, aku resmi menjadi janda di mata hukum negara dan agama. Ada kelegaan tersendiri yang kurasakan setelah mengantongi akta cerai. Mas Ahmad dan istrinya tak lagi datang mengganggu hidupku dan Zea. Mas Ahmad tak terdengar kabarnya. Dia memutus semua komunikasi denganku. Itu lebih baik untukku. Akan tetapi, terkadang aku merasa kasihan pada Zea. Dia menjadi korban keegoisan ayah dan ibu tirinya. Bocah cantik itu hanya tumbuh bersamaku. Padahal, aku dengar, Mas Ahmad dan istrinya tinggal di Jakarta. Mas Ahmad bekerja di sebuah pabrik. Namun, kalau memang Mas Ahmad tak ingin menemui anaknya, aku bisa apa? Tak mungkin aku memaksanya datang untuk Zea. Toh, Zea dikelilingi orang-orang yang menyayanginya. "Mbak, ada yang nyari," ujar Rara, lembut. Aku yang sedang mencatat stok barang, menoleh pada Rara, yang tampak tak sendiri. Untuk beberapa detik, aku tertegun melihat siapa yang datang bersama R

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29

Bab terbaru

  • Karma Perselingkuhan    Taiwan I'm Coming

    Karma Perselingkuhan Bab 18Taiwan, I'm ComingLima jam melayang di udara, akhirnya burung besi raksasa ini mendarat di Bandara Taoyuan, Taiwan. Sesuai arahan petugas PJTKI yang di Jakarta, aku mencari sopir dari agen PJTKI sudah menunggu. Tak butuh waktu lama, akhirnya aku dan beberapa calon TKW lain pun keluar dari Bandara. Sebelum diberangkatkan ke rumah majikan yang akan mempekerjakanku, aku dan yang lain, diminta beristirahat dulu di penampungan. Aku menurut saja. Lima jam berada di pesawat terbang, cukup membuatku lelah. Apalagi ini untuk pertama kalinya buatku. Aku ingin istirahat dulu sebelum bekerja besok. Pagi hari, setelah mandi dan sarapan alakadarnya, kami semua diminta bersiap. Seorang perwakilan dari agen, akan mengantarkan kami satu persatu ke rumah calon majikan. Dengan hati berdebar tak karuan, aku bersiap. Benak dipenuhi tanya, seperti apakah majikanku nanti? Apakah sebaik keluarga Pak Burhan, bosku dulu? ***Satu persatu, dari kami diantar ke rumah calon majika

  • Karma Perselingkuhan    Keputusan Bapak

    Karma Perselingkuhan Bab 17 Keputusan BapakAku menatap Bapak dan Ibu yang juga terlihat saling pandang. Mungkin, kedua orang tuaku juga terkejut dengan permintaan ibunya Mas Ahmad. Jujur, aku tidak bisa menerima permintaan mantan ibu mertua. Enak saja, setelah sekian lama, baru meminta untuk merawat Zea. Selama ini, mereka ke mana? Jangankan berkunjung, menanyakan kabar saja tidak. Kok, seenaknya tiba-tiba ingin merawat Zea. "Bagaimana, Pak, Bu? Bagus, kan, usulan saya?" tanya ibunya Mas Ahmad. Setelah beberapa saat diam, akhirnya Bapak buka suara. "Maaf, Bu Sri. Alhamdulillah kami, tidak merasa kerepotan mengurus Zea. Jadi, maaf, kami tidak bisa memberikan Zea, untuk dirawat bersama Bu Sri. Lagipula, Bu Sri, sudah direpotkan dengan dua cucu yang lain, kan?"Mendengar penolakan Bapak, wajah mantan mertuaku semakin keruh. "Kan, ada Ahmad dan Fitri. Mereka mau, kok, ngurus Zea," ketusnya. "Maaf, Bu Sri. Bukan kami tidak percaya pada kalian. Tapi, kalo nggak salah, istrinya Ahmad

  • Karma Perselingkuhan    Zea Jadi Rebutan

    Karma Perselingkuhan Bab 16Zea Jadi RebutanPerjalanan dari kampung, ke kota kabupaten untuk menuju tempat pelatihan terasa lama sekali. Mungkin karena pikiranku yang masih tertinggal di rumah. Sepanjang jalan, wajah polos Zea selalu terbayang. Air mata berkali-kali jatuh. Dalam hati dipenuhi tanya, apakah Zea mencariku? Apa bocah lucu itu tidak mengamuk saat tahu ibunya tak ada di rumah? Dua teman perjalanan yang duduk di samping kiri kanan, tak henti-hentinya menghiburku. Namanya Mbak Wati dan Mbak Rini. Ini kedua kalinya bagi mereka pergi meninggalkan keluarga. Sebelumnya Mbak Wati dan Mbak Rini bekerja menjadi TKW di Malaysia. Akan tetapi, sekarang mereka memilih Taiwan, sebagai negara tujuan untuk mengadu nasib. Mbak Wati dan Mbak Rini mengaku, bukan tak sayang keluarga atau tak bersyukur dengan penghasilan suami mereka. Akan tetapi, mereka ingin menabung untuk masa depan. Profesi tukang ojek yang digeluti suami mereka, hanya cukup untuk makan dan kebutuhan sehari-hari. Tida

  • Karma Perselingkuhan    Mengejar Mimpi

    Karma PerselingkuhanBab 15Mengejar MimpiMbak Rania menyimak penuturanku dengan seksama, hingga selesai. Wanita berhidung mancung itu menarik napas lalu membuangnya perlahan. "Fat, sebenarnya, saya keberatan kalo kamu mengundurkan diri. Dari kamu masih jadi karyawan di toko mama, saya udah suka cara kerja kamu. Tapi, saya juga nggak berhak menghalangi mimpi kamu. Saya yakin, bukan hanya sekedar masalah gaji besar yang kamu kejar. Ada impian besar lain yang ingin kamu raih, betul?"Air mataku kembali tumpah mendengar kalimat Mbak Rania. "Pergilah, Fat. Kejar mimpimu. Jangan pernah menoleh sebelum mimpi itu menjadi nyata. Saya mengizinkan kamu mundur, dengan catatan kamu harus lebih sukses daripada sewaktu kerja dengan saya, paham, kan, maksud saya?" Aku mengangguk sambil terus mengusap air mata. Tak disangka, Mbak Rania bangun dan memelukku."Saya yakin, kamu akan berhasil. Kamu wanita hebat," bisik Mbak Rania sambil melepas pelukan. Wanita berkerudung biru itu tersenyum sambil me

  • Karma Perselingkuhan    Mengundurkan Diri

    Karma Perselingkuhan Bab 14 Mengundurkan Diri Berbulan-bulan setelah permintaan maaf itu, Mas Ahmad tak pernah lagi muncul. Entahlah, mungkin dia tidak lagi merindukan Zea yang semakin besar dan aktif. Dari kabar yang kudengar, Fitri akhirnya hamil lagi. Mungkin tiga atau empat bulan lagi, dia melahirkan. Mungkin karena itulah, Mas Ahmad sudah tidak peduli pada Zea. Walaupun kasihan pada Zea, tapi, aku tak peduli. Yang penting, mereka tidak mengganggu hidupku. Itu sudah lebih dari cukup. "Fatimah? Kamu, Fatimah, kan?" sapa seorang perempuan berkerudung kuning gading padaku. Aku mengerutkan kening, mencoba mengenali perempuan yang tengah tersenyum padaku itu. Kemudian mataku membulat, saat menyadari siapa yang kinu berdiri di depanku. "Anisa?" pekikku senang. Perempuan itu mengangguk, lalu menyalami dan memelukku. Kami saling menanyakan kabar masing-masing, lalu Anisa memperkenalkan anak dan suaminya. "Kok, bisa ada di sini, Nis?" tanyaku penasaran. Karena setahuku, Anisa beker

  • Karma Perselingkuhan    Keguguran

    Karma Perselingkuhan Bab 13Keguguran Waktu terus berlalu. Tidak terasa delapan bulan sudah, aku resmi menjadi janda di mata hukum negara dan agama. Ada kelegaan tersendiri yang kurasakan setelah mengantongi akta cerai. Mas Ahmad dan istrinya tak lagi datang mengganggu hidupku dan Zea. Mas Ahmad tak terdengar kabarnya. Dia memutus semua komunikasi denganku. Itu lebih baik untukku. Akan tetapi, terkadang aku merasa kasihan pada Zea. Dia menjadi korban keegoisan ayah dan ibu tirinya. Bocah cantik itu hanya tumbuh bersamaku. Padahal, aku dengar, Mas Ahmad dan istrinya tinggal di Jakarta. Mas Ahmad bekerja di sebuah pabrik. Namun, kalau memang Mas Ahmad tak ingin menemui anaknya, aku bisa apa? Tak mungkin aku memaksanya datang untuk Zea. Toh, Zea dikelilingi orang-orang yang menyayanginya. "Mbak, ada yang nyari," ujar Rara, lembut. Aku yang sedang mencatat stok barang, menoleh pada Rara, yang tampak tak sendiri. Untuk beberapa detik, aku tertegun melihat siapa yang datang bersama R

  • Karma Perselingkuhan    Bab 12

    Karma PerselingkuhanBab 12Apa Maumu? Untuk beberapa detik, aku terpaku di tempat sambil mengeratkan pelukan pada Zea. Sementara sosok itu semakin dekat. Dari sekian banyak pusat perbelanjaan di Jakarta, kenapa dia memilih datang ke sini? "Fatimah! Kamu di sini? Bagaimana kabar kalian?"Kalau bukan tempat umum aku pasti sudah menjawab pertanyaan itu dengan omelan. Buat apa dia menanyakan kabar kami? Bukankah kami terlihat baik-baik saja? "Eh, baik, Mas."Aku sama sekali tak berniat menanyakan kabarnya. Buat apa? Basa-basi? Toh, dia terlihat sehat dan bahagia. "Kamu di sini? Jalan-jalan atau?""Aku kerja. Maaf, Mas permisi, aku mau lanjut kerja."Belum sempat aku masuk ke dalam toko, seorang perempuan tiba-tiba menghampiri kami. Langkahnya tampak tergesa. "Oh, jadi kalian janjian di sini! Pantas aja, aku lagi milih baju ditinggal!" teriaknya membuat beberapa orang menoleh. Aku terkejut, tak menyangka akan mendapatkan perlakuan seperti ini. Otak bergerak cepat, mengantisipasi kal

  • Karma Perselingkuhan    Kepala Toko

    Karma Perselingkuhan Bab 11Kepala TokoSejak pertengkaran Mas Ahmad dan istrinya di depan rumah orang tuaku, mantan suamiku itu tidak pernah datang lagi. Boro-boro datang, atau memberikan nafkah untuk anaknya, menanyakan kabar saja tidak. Sedangkan warungku semakin hari semakin sepi. Terkadang malah aku menombok saat belanja lagi. Semalam, tiba-tiba Bu Rani menghubungiku, menawarkan pekerjaan. Bu Rani mengabarkan bahwa, anaknya membuka toko perlengkapan bayi di sebuah pusat perbelanjaan. Mereka butuh karyawan yang bisa dipercaya. Bu Rani menawariku untuk menjaga toko tersebut. Bahkan, aku boleh membawa serta Zea. Untuk tempat tinggal, aku tidak perlu pusing. Aku diperbolehkan tinggal di rumah pemilik toko, bersama dua karyawan lain. "Ibu perhatikan, kamu melamun terus dari pagi. Ada apa, Fat?" Aku menoleh pada Ibu yang sedang menidurkan Zea. "Nggak ada apa-apa, Bu. Cuma, kepikiran tawaran Bu Rani semalam.""Oh. Ibu sih, terserah kamu saja. Tidak akan menyuruh menerima atau menola

  • Karma Perselingkuhan    Masalah Belum Selesai

    Karma PerselingkuhanBab 10Masalah Belum Selesai Empat bulan sudah aku resmi menyandang status janda. Aku pikir, masalah akan selesai saat aku tak lagi memiliki ikatan apa-apa dengan Mas Ahmad. Namun, ternyata pikiranku salah. Mantan suamiku itu tak kunjung mengurus surat perceraian kami ke pengadilan. Bahkan, sepertinya dia cenderung mengulur waktu. Entah apa maksudnya. Sedangkan untuk mengurus sendiri, aku belum punya cukup uang. Uang tabungan yang kumiliki, sebagian dipakai untuk modal membuka warung kecil di depan rumah orang tuaku. Sisanya, kusimpan saja untuk berjaga-jaga kalau ada kebutuhan mendadak. Akan tetapi, tetap saja belum cukup untuk mengurus perceraianku dengan Mas Ahmad. Tentang nafkah yang seharusnya tetap diberikan oleh Mas Ahmad, jangan tanyakan itu. Boro-boro memberikan uang untuk kebutuhanku dan Zea selama aku berada dalam masa iddah. Menanyakan kabar anaknya saja tidak. Bahkan, kudengar, Mas Ahmad sudah menikah lagi dengan Fitri, satu bulan setelah ia menjat

DMCA.com Protection Status