Flashback
“Hana ikut keluar kota sama Anisa dan yang lain,” ucap Marco tiba-tiba, menghentikan kesibukan Hana di meja kerjanya. Mata Hana berbinar. Ini pertama kalinya ia mendapat kesempatan untuk ikut proyek luar kota setelah beberapa bulan bekerja. Semangatnya langsung meningkat. Sudah lama ia ingin pergi ke luar kota, apalagi untuk urusan pekerjaan. "Loh, kenapa Hana, Mas?" suara Risa menyela, nada suaranya terdengar kurang senang. "Biar Hana bisa belajar. Kamu kan sudah sering," jawab Marco santai sebelum melangkah keluar dari ruangan tim administrasi dan kreatif. Hana menangkap sekilas ekspresi tak suka di wajah Risa. Perasaan tak enak mulai muncul di benaknya. "Ini nggak apa-apa, kan, Nis?" bisik Hana pelan kepada Anisa, masih ragu. "Tenang aja, Bos sendiri yang nyuruh," jawab Anisa, menepuk punggung tangan Hana untuk meyakinkannya. "Udah, jangan dipikirin si Risa. Memang dia kayak gitu..." tambah Anisa dengan suara lebih pelan. ✨✨✨ Pagi itu, mereka semua berkumpul di studio sebelum pukul tujuh. Studio masih tutup, hanya tim yang akan berangkat yang berada di sana. Perjalanan menuju vila di puncak berjalan lancar tanpa hambatan berarti. Sesampainya di vila, mereka disambut oleh seorang pria paruh baya yang diperkirakan adalah pemiliknya. Bangunan vila dua lantai dengan desain kayu bergaya tradisional tampak begitu hangat dan nyaman. Semilir angin dingin khas pegunungan membuat Hana menarik napas dalam-dalam, menikmati kesegaran yang tak bisa ia dapatkan di kota. “Udara di sini enak banget,” gumamnya sambil tersenyum. Tanpa membuang waktu, mereka langsung bersiap untuk pengambilan foto dan video. "Anisa, Hana, bantu modelnya bersiap, ya," pinta Yudha saat semuanya sudah mulai beraktivitas. Pekerjaan kali ini melibatkan dua proyek sekaligus: promosi vila dan pemotretan untuk sebuah brand pakaian. Tak menunggu lama mereka langsung memulai pekerjaan agar cepat selesai. Hingga tidak terasa sudah waktunya makan siang. "Waktunya salat zuhur, yuk!" ajak Yudha kepada semua orang, sebelum makan siang. Sebagian besar langsung bersiap untuk salat, kecuali Hana yang sedang berhalangan. Ia memilih duduk di beranda, menikmati teh hangat yang sudah disediakan. Dari tempatnya duduk, ia bisa melihat Yudha yang menjadi imam salat. Hana memperhatikan sosok pria itu tanpa sadar tersenyum. Sorot matanya mencerminkan kekaguman. "Rajin salat, wajah tampan, dan pekerja keras..." gumamnya pelan. Seolah tersadar, ia segera mengalihkan pandangannya dan memutuskan berjalan-jalan di sekitar vila. Udara sejuk dan pemandangan kebun teh yang luas membuatnya semakin rileks. Ia menarik napas panjang, menikmati ketenangan yang sulit ia dapatkan di kota. Ia begitu menikmati moment tanpa menyadari seseorang mendekat dari arah dalam. "Han," suara Yudha membuatnya menoleh. "Makan siang sudah siap, ayo," ajaknya. "Oh, iya..." Hana berjalan mengikuti Yudha menuju dapur. Mereka berjalan dalam diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. “Besok free?” tanya Yudha tiba-tiba. "Kenapa?" "Gak sih ... cuma mau ajak jalan aja," jawab Yudha, menggaruk kepalanya canggung. "Boleh aja, tapi mau ke mana?" "Lihat nanti aja," ucap Yudha singkat, tepat saat mereka sampai di dapur. Yudha menarik kursi kosong dan menyuruh Hana duduk, sebelum akhirnya duduk di sampingnya. "Ayo makan, jangan malu-malu," ujar pemilik vila dengan ramah. "Alhamdulillah, pas banget lapar," sahut Azmi dengan tawa kecil, mencairkan suasana. "Kalau mau jalan-jalan sebentar setelah ini juga boleh," tawar pemilik vila. Mata Anisa langsung berbinar mendengar tawaran itu. "Mau banget, Pak!" serunya semangat. ✨✨✨ Setelah makan siang, mereka menyusuri kebun teh yang hijau, menikmati pemandangan sekaligus mengambil beberapa foto. Sesekali, mereka meminta Pak Tarji, asisten pemilik vila, untuk mengambil foto mereka. Dengan bimbingan Yudha, Pak Tarji mulai bisa mengoperasikan kamera sederhana. Saat mereka melewati jalan yang agak menurun dan licin, Yudha tiba-tiba mengulurkan tangannya ke arah Hana. "Hati-hati, Han," katanya lembut. Hana ragu sejenak sebelum akhirnya menerima uluran tangan itu. Jemari mereka bertaut beberapa detik lebih lama dari yang seharusnya. "Jalannya udah aman, Yud," goda Azmi dari belakang. Mereka berdua langsung melepas tangan masing-masing. Hana berjalan lebih dulu, berusaha menghindari tatapan orang-orang. Anisa yang ada di sampingnya tiba-tiba menyodorkan ponsel. "Han, coba lihat deh," katanya. Di layar, terlihat story W******p Risa—sebuah foto dengan wajah seseorang yang sengaja ditutupi stiker. Tanpa caption. Namun, Hana langsung mengenali jaket yang dikenakan orang itu. Ia melirik ke belakang, ke arah Yudha yang berjalan tak jauh dari mereka. Jaketnya sama persis. "Jaket Yudha, kan?" bisik Anisa dengan nada penuh arti. Hana kembali menatap layar. Jantungnya berdebar tak nyaman. "Yud, ini kamu?" tanya Anisa langsung, memperlihatkan layar ponselnya kepada Yudha. Yudha menatap ponsel itu sesaat sebelum berkata, "Bukan. Jaket kayak gitu banyak." "Dih, bilang aja iya. Orang kita-kita sering lihat kalian jalan bareng," balas Anisa tak percaya. "Kan satu proyek. Makanya sering bareng," jelas Yudha dengan nada santai. Hana diam. Benarkah hanya sebatas rekan kerja? Jika memang tidak ada apa-apa, kenapa Risa sampai berani mengunggah story seperti itu? Pikiran Hana penuh dengan pertanyaan yang tak terjawab. Namun, ia memutuskan menepis semuanya. Mungkin, hanya Risa yang menyukai Yudha. Atau... mungkin, ada sesuatu yang belum ia ketahui."Seru, kan, Han, kerja di luar?" ucap Anisa pada Hana yang duduk di sampingnya. Mereka sedang melihat proses pengambilan video di setiap ruangan vila. "Seru... kerja sambil healing, hehe," balas Hana, diikuti tawa kecil mereka berdua. Namun, perhatian Hana tak pernah lepas dari Yudha sedetik pun. Ia terus memperhatikan setiap gerakan pria itu—dari cara Yudha mengarahkan tim, mengatur pencahayaan, hingga menyusun tampilan ruangan agar terlihat lebih menarik. Setelah pekerjaan selesai, mereka berencana langsung pulang, mengingat sebelumnya sudah sempat berjalan-jalan. Namun, bagi Hana, perjalanan kerja kali ini lebih dari sekadar pengalaman baru. Setiap gerakan Yudha terasa menarik di matanya. Jika dalam keseharian Yudha sudah terlihat memesona, saat bekerja pesonanya justru semakin bertambah. Postur tinggi, mata teduh, alis tebal, kulit sawo matang, serta rambut yang selalu tertata rapi—semua itu membuat Hana semakin sulit mengalihkan pandangan. "Han, tolong ambilkan skrip yan
Begitu memasuki rumah, Hana langsung disambut oleh ibunya yang tengah duduk di ruang tamu. "Gimana, Bu, tadi di rumah Tante?" tanyanya sambil melepas tas. "Alhamdulillah, hampir semua beres. Kamu sudah minta izin untuk lusa? Ada acara keluarga, kan?" Hari ini, ibu Hana baru saja pulang dari rumah Tante Mila, yang tengah mempersiapkan lamaran untuk anaknya. Hana menggeleng pelan. "Belum, Bu. Besok rencananya Hana mau bilang ke Mas Marco." Setelah itu, ia bergegas masuk ke kamar dan meletakkan tas di atas meja rias di samping tempat tidurnya. Tubuhnya terasa begitu lelah setelah perjalanan dari puncak. Namun, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya—kekhawatiran setiap kali menghadiri acara keluarga. Pertanyaan yang sama akan selalu muncul. "Kapan nikah?" "Udah punya calon belum?" Hana sudah bosan mendengar itu semua, meskipun sering disampaikan dengan nada bercanda. Kalau boleh memilih, ia lebih suka tak menghadiri acara seperti itu. "Ya sudah, mandi dulu sana. Baru tidur," ujar
"Hana berangkat dulu, Bu. Assalamu'alaikum," ujar Hana, mencium tangan ibunya sebelum pergi. Sebenarnya, ia masih lelah setelah perjalanan kemarin, ditambah lagi tidurnya larut malam. Tapi pekerjaan menunggunya, jadi ia tetap berangkat. Perjalanan ke studio memakan waktu sekitar dua puluh menit. Begitu sampai, ia baru saja mematikan motor ketika melihat Yudha keluar. "Mau ke mana, Yud?" tanyanya sambil melepas helm. "Ada urusan sebentar, aku keluar dulu, ya," jawab Yudha singkat sebelum melangkah pergi. Hana hanya mengangguk, lalu masuk ke dalam studio. Di meja kerja, Anisa sudah duduk sambil memainkan ponselnya. "Assalamu'alaikum," sapa Hana. "Wa’alaikumsalam. Kurang tidur, ya?" Anisa menatapnya dengan pandangan menilai. "Kelihatan banget?" Hana merogoh tasnya, mengambil cermin kecil. Ia mendesah pelan saat melihat bayangannya—matanya masih sedikit bengkak akibat kurang tidur. "Kamu nggak capek?" "Udah biasa, Han," jawab Anisa santai, menaik-turunkan alisnya. Wajar, Anisa sud
Berikut revisi naskah agar lebih mengalir, jelas, dan memiliki emosi yang lebih kuat: "Aku mau berangkat. Ketemuan di sana, ya." Sebuah pesan dari Hana untuk Yudha. Hari ini mereka berencana makan malam bersama. Sejak perjalanan mereka ke puncak, hubungan mereka semakin dekat. Mereka sepakat bertemu di sebuah kafe yang lokasinya berada di tengah-tengah antara rumah mereka. Jarum jam di pergelangan tangan Hana menunjukkan pukul tujuh lewat lima belas. Lima belas menit berlalu dari waktu yang dijanjikan, tetapi Yudha belum juga muncul. Pesannya pun belum dibaca. Hana mulai gelisah. Ada sesuatu yang terjadi? pikirnya. Beberapa kali ia memeriksa ponsel. Tetap tidak ada pemberitahuan dari Yudha. Ting! Sebuah pesan masuk. Anisa: Han, keluar yuk! Ternyata dari Anisa. Hana sempat berpikir untuk mengajaknya ke kafe. Namun, bagaimana kalau tiba-tiba Yudha datang? Apa yang harus ia katakan? Ia mencoba menghubungi Yudha. Hanya nada sambungan yang terdengar. Hana mendesah kesal.
"Ok... Aku udah mulai ngerti. Jadi, setelah Risa diterima di pemerintahan, Yudha batalin... karena itu tadi, ibunya?" "Dia bilang gak bisa menikah dalam waktu dekat. Katanya gak mau aku nunggu lama tanpa kepastian. Dia kasih aku kebebasan kalau mau jalan sama siapa pun..." Hana menarik napas dalam sebelum melanjutkan, "Tau-taunya beberapa bulan kemudian, dia nikah sama Risa." Anisa menatap Hana dengan iba. Sekarang semua masuk akal—kenapa Hana tidak datang ke pernikahan Yudha, kenapa dia menghapus pertemanan di media sosial, dan kenapa di kantor dia lebih banyak diam. Bahkan saat diajak keluar, selalu ada alasan untuk menolak. Semua itu karena Yudha. "Gila sih," ujar Anisa dengan nada geram. "Cuma gara-gara Risa diterima kerja di pemerintahan, Yudha langsung nikahin dia? Aku udah curiga, Han. Risa itu sering banget cari perhatian Yudha. Terus suka pamer kebersamaan mereka di sosmed. Kamu gak curiga?" Hana tersenyum kecut. "Curiga pasti. Tapi, kamu tahu sendiri kan, An... Yudha sela
"Yud, tadi di kantor gimana?" tanya Ibu Yudha begitu Yudha tiba di rumah. Baru saja ia meletakkan tas di kamar, ibunya langsung masuk tanpa mengetuk. "Seperti biasa. Memangnya kenapa, Bu?" "Enggak, cuma ... kali aja Hana cerita sesuatu ke kamu. Soalnya tadi Ibu ketemu dia," kata Ibu Yudha sambil berjalan ke pintu, bersiap keluar kamar. "Ketemu di mana?" Yudha sedikit penasaran. "Di tempat makan. Tapi cuma saling sapa aja, kok," jawab Ibu Yudha singkat, lalu buru-buru keluar. Ia bersyukur Hana tidak menceritakan pertemuan mereka—terutama soal pinjaman uang. Dalam hati, Ibu Yudha sebenarnya merasa malu. Ia baru saja meminjam uang dengan alasan untuk kebutuhan pokok, tapi nyatanya malah bersantai dengan teman-temannya. Tring! Tring! Ponsel Yudha bergetar dari dalam tas. Ia mengeluarkannya dan segera mengangkat panggilan. "Halo, Yang ...," sapa Yudha pada penelepon yang ternyata adalah Risa, istrinya. "Besok jemput aku, ya? Aku ada pelatihan tiga hari di hotel. Jam tiga sore sampa
Setelah pulang dari luar, Yudha dan Risa masuk ke kamar untuk berganti pakaian dan membersihkan diri. Setelahnya, mereka berkumpul bersama di ruang tengah, menikmati martabak yang Yudha beli sambil menonton acara televisi. "Ris, jalan-jalan dulu yuk sebelum kamu balik ke tempat kerja?" ajak Ibu Yudha dengan wajah sumringah. Ia selalu mengajak Risa pergi setiap kali menantunya pulang. Harapannya, ia bisa mendapatkan sesuatu, entah baju, tas, sepatu, atau kosmetik seperti dulu sebelum Risa menikah dengan Yudha. Risa yang asyik menatap layar ponsel hanya menjawab santai, tanpa mengalihkan pandangan. "Lihat nanti ya, Bu, kalau Risa gak capek." Ibu Yudha langsung kesal mendengar jawabannya. Ekspresinya berubah, meskipun ia berusaha menyembunyikannya. Yudha yang duduk di samping Risa menyenggol lengannya pelan. "Main ponselnya bisa nanti aja, gak? Ibu lagi ngomong sama kamu." "Aku lagi periksa kerjaan, Beb," sahut Risa tanpa sedikit pun menurunkan ponselnya. "Iya, tapi bisa nanti kan?
“Kamu kapan, Han? tuh Syifa udah lamaran, kamu nya masih aja belum ada pasangan,” celetuk Tante Mila. Hana yang mendengar perkataan itu, merasa sedikit risih saat pertanyaan itu di lontarkan di depan keluarga yang lain. Entah pertanyaan keberapa kali yang sudah ia dengar. Hana menatap tante Mila. “Doakan cepet nyusul Syifa, Tante …,” tak mudah bagi Hana untuk tersenyum. Seolah semua baik-baik saja padahal hati sudah perih. Apalagi kejadian ia batal tunangan masih jelas di ingatannya. “Jodoh gak ada yang tau kapan datangnya, cukup doakan semoga dapat yang terbaik,” kali ini paman Syakir yang begitu dihormati dikeluarga Hana buka suara. Beliau kakak tertua Ibu Hana sementara tante Mila adalah adik dari Ibunya. Mereka tiga bersaudara. ‘Alhamdulillah masih ada yang belain’ ucap Hana dalam hati. Jika ada Ifa, Tante Mila pasti tidak akan berkata seperti itu, karena ifa “Kamu kapan, Han? Tuh, Syifa udah lamaran. Kamu masih aja sendiri,” celetuk Tante Mila dengan nada setengah meledek. Ha
Hana mengernyit saat mendapati Yudha berdiri di depan pintu kamarnya."Ada apa?"Yudha merogoh saku, mengeluarkan beberapa lembar uang, lalu meraih tangan Hana dan meletakkannya di sana."Ini uang yang ibu pinjam dulu. Aku baru tahu soal ini, dan aku ingin segera mengembalikannya."Hana menatap uang itu. Sempat ragu untuk menerima, tapi menolak pun terasa seperti menghina keluarga Yudha."Oh, oke." Ia hendak menarik tangannya, tapi Yudha menggenggamnya lebih erat.Tatapan mereka bertemu."Maaf...." suara Yudha terdengar lirih, penuh penyesalan.Hana hanya diam."Beri aku satu kesempatan lagi...."Hana tercekat. Entah kenapa, mendengar kata-kata itu, dadanya terasa sesak.Ia mengerjap, mencoba memahami apa yang baru saja dikatakan Yudha. "Apa maksudmu?"Yudha menatapnya dalam-dalam. "Aku menyesal, Han ... Aku menyesal memilih Risa. Seharusnya aku tidak pernah meninggalkanmu. Tidak harus mendengarkan Ibu. Aku bodoh."Jantung Hana berdegup kencang. Kata-kata itu, andai saja ia dengar dul
Ponsel Hana berdering saat ia tiba di hotel. Nomor asing, tapi foto profilnya jelas memperlihatkan wajah Risa. Hana menghela napas berat. Rasanya sudah cukup lelah berurusan dengan wanita itu, tapi ia tetap menjawab dengan enggan. "Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam. Han, aku gak jadi nitip. Aku ambil aja langsung. Kamu di mana?" Suara Risa terdengar tanpa basa-basi. Yudha, yang berdiri di samping istrinya, mengernyit heran. Ia mendengar Risa menyebut nama "Han". Apakah itu Hana? "Baru sampai hotel. Ini mau masuk." "Aku tunggu di lobi." Telepon terputus begitu saja. Tanpa sopan santun. Hana kembali menarik napas, berusaha menahan kekesalan. "Kenapa?" tanya Ali. "Risa mau ambil titipannya sendiri. Dia nunggu di lobi." Tak lama, mereka tiba di lobi hotel. Hana berjalan menuju meja resepsionis, sementara Ifa memilih langsung ke kamar. "Han!" Suara Risa terdengar lantang. Hana menoleh, dan betapa terkejutnya ia melihat siapa yang berdiri di sebelah Risa. Yudha.
Seharian ini Yudha bekerja dengan gelisah. Pikirannya terus melayang ke kota tempat Risa, Hana, dan Ali berada. Ia tidak bisa mengabaikan fakta bahwa mereka bertiga ada di satu tempat yang sama. Keinginan untuk menyusul semakin kuat, tetapi keuangan sedang tidak stabil. Lagi pula, mereka akan kembali bekerja pada hari Senin. Namun, semakin ia mencoba menahan diri, semakin tidak tenang rasanya. Akhirnya, muncul ide untuk meminjam uang kepada Zaki, rekan kerjanya yang sedang sibuk di depan laptop. "Zak, lo ada uang nggak? Gue mau pinjam," tanya Yudha langsung. Zaki menoleh dengan dahi berkerut. "Tumbenan lo pinjam uang. Berapa?" Yudha cepat menghitung perkiraan biaya tiket pesawat pulang-pergi, transportasi, makan, serta penginapan karena tidak mungkin tidur sekamar dengan Risa yang berbagi kamar dengan rekan kerjanya. Setelah semuanya ia perhitungkan, ia menunjukkan angka di layar ponselnya. Zaki membulatkan mata. "Segini?" "Ya. Gue transfer sekarang ya?" "Transfer aja, br
"Mbak, kenal sama cowok tadi?" suara seseorang tiba-tiba menyapa Sasa, yang masih termenung setelah kejadian tadi. Sasa menoleh. Seorang perempuan berdiri di dekatnya, wajahnya tampak penasaran. Sasa mengerutkan kening. "Maaf, kita kenal?" Perempuan itu tersenyum tipis, seolah memahami kebingungan Sasa. "Oh, saya Risa. Dulu satu tempat kerja sama cewek yang dihampiri cowok sama Mbak tadi." Mendengar itu, Sasa langsung tertarik. "Oh ya? Terus?" Risa mendekat sedikit, menurunkan suaranya. "Dia itu centil, Mbak. Suka goda laki orang. Suami saya yang udah nikah aja masih dideketin." Sasa tertegun. "Maksudnya... dia deket sama cowok tadi?" "Sepertinya, sih. Suami saya pernah lihat foto mereka bareng," ujar Risa, nada suaranya terdengar sedikit puas setelah menyampaikan informasi itu. Sasa menghela napas. Tanpa ia sadari, ia bertemu dengan seseorang yang mungkin sudah menggantikan posisinya di hati Ali—lelaki yang masih sangat ia rindukan. Penyesalan menyelip di hatinya. Dulu
"Han, sudah siap?" tanya Ifa. Mereka berencana kulineran di luar. Cuaca yang tadi mendung kini berubah lebih cerah, meskipun tidak sepenuhnya. Setidaknya cukup nyaman untuk berjalan-jalan. Tujuan mereka kali ini adalah sebuah depot legendaris yang sudah berdiri sejak puluhan tahun lalu, bahkan sebelum mereka lahir. Konon, makanan di sana sangat enak, mulai dari mie hingga lumpia yang banyak digemari orang. Mereka memilih berjalan kaki. Sekitar lima belas menit kemudian, mereka tiba di lokasi. Suasana depot ramai, hampir tidak ada kursi kosong. Aroma khas makanan menyeruak, menggoda selera. Perut mereka yang sudah lapar sejak tadi pun semakin tidak sabar untuk diisi. "Mau pesan apa? Makan di sini atau dibungkus?" tanya seorang pegawai, kira-kira berusia awal dua puluhan, kepada mereka yang berdiri di dekat etalase menu. "Makan di sini. Ada tempat kosong, nggak, Mbak?" Ifa bertanya sambil celingukan mencari meja kosong. "Berapa orang? Saya cek dulu, ya." "Dua orang," sahut Ifa. Si
"Ngapain kamu di sini? Ada kerjaan sama yang lain? Sama Yudha juga? Dia nggak bilang apa-apa?" Risa membombardir Hana dengan banyak pertanyaan. Sementara itu, ia membiarkan rekannya melakukan check-in. Dengan angkuh, ia melipat kedua tangannya di dada, wajahnya penuh kesombongan. Sebelum jadi pegawai saja sudah sombong, sekarang malah makin menjadi, batinnya. "Liburan, berdua sama sepupu," jawab Hana singkat, padat, dan jelas. Baginya, tidak ada alasan untuk memberikan penjelasan lebih lanjut, apalagi bertanya kabar. Lagipula, orang di depannya ini sepertinya sudah membencinya sampai ke ubun-ubun. "Enak banget, ya? Yang lain kerja, kamu malah liburan. Kamu apain Mas Marco sampai dia mau kasih izin?" sindir Risa. "Sa, kamu tahu namanya cuti tahunan, kan? Bukannya dulu kamu juga kerja di sana? Bahkan lebih lama. Harusnya kamu paham," sahut Hana. Kali ini, ia tidak mau repot-repot bersikap lembut. Sebelum Hana sempat menanggapi lebih lanjut, suara panggilan seseorang terdengar. "Sa,
"Udah lama banget kita gak liburan berdua ya, Han?" ucap Ifa saat mereka dalam perjalanan menuju Kota M. Dari sana, mereka akan melanjutkan perjalanan ke Kota J dengan kereta, sesuai rencana yang sudah mereka buat jauh-jauh hari. Karena hari ini Jumat, Hana meminta izin cuti sehari. Biasanya, ia dan Ifa libur di hari Sabtu dan Minggu, kecuali ada permintaan mendadak dari kantor. Sejak mulai bekerja, Hana sudah jarang liburan, terlebih saat pandemi melanda. Bahkan ketika sedang galau sekalipun, ia lebih memilih berdiam diri di rumah. "Bener, Fa. Ali tadinya mau ikut, tapi kerjaan lagi gak bisa ditinggal," jawab Hana saat mereka sudah duduk di dalam pesawat. "Nanti aja kalian berdua," goda Ifa sambil mengangkat alisnya. Hana hanya bisa tertawa kecil mendengar candaan sepupunya itu. Mereka hanya terpaut satu tahun, dan Ifa adalah sepupu yang paling dekat dengannya. Dengan Ria, kakak Ifa, Hana juga cukup akrab, tapi tidak seerat dengan Ifa. Berbeda dengan Syifa dan Sani, anak dari Tant
Ayu… Yudha udah di kantor. Risa mengirim pesan itu kepada Ayu. Sejak tadi, Yudha tidak bisa dihubungi. Bahkan pesan terbarunya pagi ini pun tak dibalas. Hal itu semakin membuatnya kesal. Pesan terakhir yang dibalas Yudha adalah tengah malam tadi. Gila aja, seharian hampir gak bisa dihubungi, gerutunya. Ketidakhadiran Yudha di ponsel membuat Risa kurang fokus bekerja. Matanya terus tertuju pada layar ponsel, menunggu balasan. Jam di layar menunjukkan pukul 08.49—harusnya Yudha sudah tiba di kantor. Udah nih, baru aja datang. Kenapa? balas Ayu, tak lupa mengirim foto Yudha yang baru saja memasuki kantor. Risa menatap foto itu. Yudha mengenakan jaket cokelat muda—sama seperti yang ia punya. Seperti jaket couple jika mereka mengenakannya bersama. Padahal, Yudha membelinya lebih dulu, dan Risa membelinya belakangan. Bilangin sama Yudha buka chat. Ayu langsung membalas Oke dan berjalan ke arah Yudha yang baru saja duduk. “Yud, kata Risa buka pesan,” ucapnya. "Ok, thank you, Ayuu…," j
Flashback Risa mendengus pelan. "Kenapa sih harus Hana?" Kesal benar rasanya. Kenapa bos menyuruhnya bekerja sama dengan Hana? Ada Anisa dan Ayu, tapi tetap saja yang dipilih Hana. Dari awal masuk, Risa memang tidak suka dengan perempuan itu. Wajahnya memang manis, diakui atau tidak. Tidak heran jika Yudha terus melirik ke arahnya. Bukan hanya Yudha, banyak rekan kerja lain juga seperti itu. Apalagi waktu itu, Hana yang ditunjuk untuk ikut pemotretan ke Puncak. Sialan. Baru satu hari Risa tidak masuk, perempuan itu sudah mengambil peran besar. Dulu, saat Risa baru bekerja di sini, tidak ada kesempatan seperti itu. Hampir setahun ia bekerja, barulah mendapat proyek luar kota. Itu pun masih lebih banyak ditempatkan di bagian customer service. Sementara Hana? Baru beberapa bulan sudah dilibatkan dalam berbagai proyek besar. Apa karena kecantikannya si bos jadi lebih memperhatikannya? Tidak, Risa tidak bisa diam saja. "Woy, kenapa melamun?" Suara Ayu membuyarkan lamun