Risa Pulang Pagi----Aku membelalakkan mata, sambil menatap wajah polos Mayla yang basah oleh air mata. Entah sudah berapa lama bocah perempuan ini menangis sendirian di rumah.Kutarik napas dalam, lalu mengulurkan tangan padanya. Mayla membiarkanku mengusap wajahnya untuk menghapus air mata, lalu membawanya ke dalam pelukanku.Kudekap tubuhnya dalam pelukan, tubuhnya masih bergoncang karena isak tangis.Tega sekali Risa meninggalkan anaknya sendirian dalam rumah, apakah dia tidak merasa khawatir akan terjadi sesuatu yang buruk pada Mayla?"Tidak apa-apa, Mayla. Ada Tante di sini," kataku sambil mengusap punggungnya lembut. Lalu membawanya masuk.Kutuntun Mayla menuju sofa, dan duduk bersamanya di sana. Kuedarkan pandangan ke seluruh ruang tamu rumah Risa. Tidak banyak barang, hanya satu set sofa dan bufet kecil di sudut ruangan. Dan aku masih tidak habis pikir, kemana dia pergi malam-malam begini? Apakah dia juga sering melakukan hal ini sebelumnya?"Tante, Mayla lapar." Mayla berka
Sahabat Alvaro----"Bukan!" Dengan cepat aku menjawab ucapan Alvaro. Aku tidak ingin dia berpikir bahwa kejadian di restoran semalam adalah penyebab aku kurang tidur."Kamu yakin?" Al berkerut, sorot matanya penuh selidik. Sepertinya dia tidak percaya dengab ucapanku."Iya. Ini memang tidak ada hubungannya dengan kejadian saat makan malam. Tapi ...."Aku menggantung kalimatku. Merasa ragu, apakah harus menceritakan pada Alvaro tentang kejadian semalam, bagaimana Mayla menangis di tengah malam mencari ibunya, karena Risa pergi entah kemana dan baru pulang ke rumah menjelang pagi."Tapi apa?" tanya Al cepat.Terlambat! Sepertinya aku memang harus memberitahukan pada Al semuanya, kalau tidak, dia pasti akan mengejar dane mncecarku dengan berbagai pertanyaan. Terlebih kini Al berjalan mendekat ke arahku.Kuletakkan kain lap di atas meja, memutar tubuhku menghadap ke arahnya yang kini sudah berdiri tepat di depanku."Ini ... karena tetangga baruku," lirihku.Al mengernyit, lalu dia menar
Namanya Devan ----"Kamu mengenalnya?" Tanya lelaki itu lagi.Al menggaruk kepalanya, lalu dia tersenyum sambil berjalan menghampiri kami."Iya, aku mengenalnya. Namanya Marina," jawab Al.Pria yang dipanggil Devan oleh Al kini mengalihkan pandangannya padaku, pandangan penuh selidik. Dia memindaiku dari ujung kepala hingga ujung kaki."Sudah sudah ... jangan dilihatin terus, nanti kamu jatuh cinta padanya," ujar Al mengalihkan perhatian Devan dariku."Ck ...." Devan berdecak, sambil melempar pandangannya ke arah jalan. Sungguh tidak sopan, setelah memperhatikanku, kini dia melengos sambil berdecak. "Jadi gimana, ini? Apa motormu benar-benar tidak bisa dihidupkan?" Tanya Al."Begitulah," jawabnya sambil mengangkat kedua bahu "Ya sudah, kita bawa motornya ke bengkel besok, untuk sementara kamu bisa meninggalkannya di sini. Kamu tidak keberatan, kan, Marina?" Al mengalihkan pandangannya padaku, meminta persetujuanku."Iya, lebih baik besok saja dibawa ke bengkel," ucapku membenarkan
Pria Dingin-----Selain rasa penyesalan, karena telah membuat orang lain celaka karena kelalaianku, aku bahkan sempat berpikir negatif tentang dirinya. Betapa bodohnya aku."Ambillah cuti besok, buat dirimu rileks sebelum kembali bekerja."Kalimat Al terngiang di telinga. Dia memberiku potongan agar aku bisa menyegarkan dan melemaskan urat syaraf dari ketegangan. Dan dia benar, aku memang sangat lelah akhir-akhir ini. Bahkan beberapa hari terkahir, aku tidak bisa tidur nyenyak. Suara rengekan anak Risa, terdengar hampir setiap malam, entah apa yang dilakukan wanita itu, sehingga anaknya sering menangis.Hari masih terlalu pagi, aku ingin melanjutkan tidur kembali dan berniat jalan-jalan ke pantai setelahnya.Tapi... suara ketukan di pintu membuatku menahan keinginan.Tok tok tok...."Mbak!" Terdengar suara panggilan di antara ketukan pintu. Dan aku mengenal suara itu. Kuraih jaket sebelum keluar kamar.Benar saja, begitu aku membuka pintu, kulihat Risa berdiri di depan pintu dengan w
Titip Mayla-----"Kak Marina sedang tidak bercanda, kan?"Rahma kembali bertanya, sepertinya dia belum percaya kalau aku bertemu dengan Risa dan bahkan rumah kami bersebelahan."Kakak tidak bercanda, Kakak serius," jawabku."Kak Marina harus menjelaskan padaku sekarang!" Todong Rahma, kali ini dia terdengar marah.Kutarik napas dalam, bingung harus memulai cerita dari mana. Lagi pula, aku tidak mungkin menceritakan semuanya pada Rahma, tidak akan selesai dalam waktu satu hari."Sebenarnya... aku bertemu dengan Risa di sini. Bukan itu saja, kami bahkan bertetangga," jelasku."Apa? Lelucon apa lagi, ini, Kak?!" Suara Rahma meninggi.Aku sangat mengerti kenapa Rahma seperti itu, karena dia sangat tahu bagaimana hubunganku dengan Risa dulu.Pasti tidak mudah baginya untuk menerima kenyataan itu."Kak Marina, kamu serius?" "Iya." Lirikku. Aku menarik napas sebelum kembali melanjutkan ceritaku."Risa tinggal tepat di sebelah rumah kontrakanku, Rahma. Dia tinggal bersama dengan Mayla, anak
Titip Anakku---Tidak biasanya rumah Risa sepi, bahkan sejak kemarin, aku belum melihatnya keluar dari rumah. Bahkan celoteh Mayla tidak kudengar."Apakah mereka baik-baik saja?" pikirku.Sekali lagi, aku menoleh ke samping, dalam hati aku berharap Mayla keluar dari pintu sambil memanggil namaku. Namun aku harus menelan kekecewaan, karena sosok bocah itu tidak kelihatan.Aku menarik napas dalam, sebelum melangkahkan kaki menuju tempat kerja. Dari belakang, terdengar suara motor yang semakin mendekat lalu tiba-tiba berhenti tepat di depanku."Hai ... kita bertemu lagi," ucap pria itu setelah membuka kaca helm."Devan?""Kita satu arah, naiklah!" ucapnya lagi sambil memberikan isyarat agar aku naik ke atas motornya."Tidak, aku ... jalan kaki saja, toh tidak terlalu jauh," tolakku halus."Kamu menolak?" tanyanya."Tidak, tapi ...." Aku tidak melanjutkan kalimatku, dan hanya mengangkat kedua bahu sambil memperhatikan motor Devan.Begitu menyadari sesuatu, Devan menutup wajahnya dengan s
Pergulatan Batin ****Sudah dua hari Mayla tinggal bersamaku, hal itu membuat Rahma yang awalnya akan segera pulang begitu masa liburannya berakhir, memutuskan untuk tinggal menemaniku selama beberapa hari lagi.Sementara Mayla? Entahlah. Sampai detik ini, aku tidak tahu bagaimana perasaanku terhadap bocah kecil itu. Meskipun aku tidak membencinya, namun sisi lain dari diriku juga belum bisa menerima kehadirannya dalam kehidupan. Terlebih lagi setiap kali aku melihat wajah polosnya, setiap kali itu pula kenangan masa lalu seolah hadir dan menari-nari di depan pelupuk mata.“Mbak, sampai kapan kamu akan seperti ini?” tanya Rahma yang sudah duduk di tepi tempat tidur. Aku menurunkan selimut yang menutup seluruh tubuhku sampai batas leher, jeda mata kami bersirobok. Terlihat Rahma menghela nafas dalam dan terlihat Bersiap untuk mengeluarkan kalimat berikutnya, namun aku buru-buru menutup kembali wajahku dengan selimut.“Setidaknya, makanlah dulu biar punya tenaga untuk mengurus anak or
Dukungan Orang Terdekat------Kuremas ponsel yang ada di genggaman, aku tidak tahu jika Alvaro begitu mengkhawatirkanku. Meskipun aku belum membaca pesan yang dia kirimkan, namun melihat pesannya yang berderet, adalah sebuah bukti. Terlebih setelah mendengar semua penjelasannya tadi, semua itu membuatku kehilangan kata-kata.“Maaf, aku tidak sempat memberitahukan padamu. Aku bahkan tidak meminta ijin cuti ….” Kataku dengan suara lirih.“Yah, aku tahu itu. Dan itu bukan sebuah perilaku yang bagus, terlebih kamu termasuk pegawai baru,” ucap Alvaro dengan suara berat.“Aku minta maaf karena ….”“Tapi kamu jangan khawatir, aku dan pegawai yang lain tahu apa yang saat ini sedang terjadi.” Alvaro memotong cepat ucapanku. “Tapi lain kali kamu tidak boleh nelakukan hal seperti itu lagi,” Sambungnya.Aku menarik napas lega mendengar penuturan Al, setidaknya, dia tidak marah padaku karena tidak masuk kerja tanpa ijin, bagaimanapun juga, dia masih tetap bosku, orang yang memberiku gaji. Untuk