Berbenah lah (2)-----Setelah berbisik di telingaku, Risa tersenyum tipis, namun di mataku, senyumannya itu seolah sedang mengejekku."Apa yang akan dia perbuat padaku?" Pikirku sesaat setelah mendengar kalimat yang baru saja diucapkan Risa."Tidak perlu mengancamku, Risa. Aku yakin kamu akan melakukan sesuatu yang tidak jauh berbeda dengan apa yang pernah kamu lakukan padaku dulu, bukan begitu?" kataku setenang mungkin. Namun demikian, aku bisa melihat kegusaran dari sorot mata Risa."Jangan sok tahu, Mbak," kata Risa dengan mata melotot. Aku tersenyum melihat reaksinya yang berlebihan. Lalu menarik napas dan berniat meninggalkannya."Risa, berbenahlah. Kamu harusnya bisa belajar dari apa yang telah terjadi padamu. Ingatlah, kamu sudah menjadi seorang ibu sekarang. Bukan begitu, Mayla?" kataku sambil memegang pipi gembul bocah perempuan yang ada di hadapanku."Namanya benar, Mayla, kan?" tanyaku sambil menatap Risa.Risa meraih tangan Mayla, lalu mendengkus sambil berlalu dari hadap
Gangguan Pertama----Mobil Al melaju pelan, menyusuri jalanan yang sedikit lengang. Sementara langit berubah warna, semburat jingga di ufuk barat membuat suasana hatiku berubah sendu. Aku melempar pandagan ke luar jendela, menatap pohon akasia yang berjajar di pinggir jalan, dan seolah ikut berlari mengejar laju mobil.Dulu, dulu sekali, aku sering menghabiskan suasana senja dengan bang Asrul. Dia akan akan dengan senang hati membawaku ke tepi pantai untuk menikmati indahnya kemilau jingga yang memantul di atas permukaan laut. “Saat kita menikmati Sunset di sini, akan selalu ada yang menikmati sun rise di belahan bumi yang lain.” Adalah kalimat yang selalu diucapkan bang Asrul setiap kali aku menatap keindahan sunset."Pasti banyak sekali kenangan yang mungkin sampai saat ini belum bisa kamu lupakan. Tapi ... bukan berarti kamu akan membiarkan dirimu terkungkung dalam kenangan itu. Terlebih, jika itu membuatmu tersiksa."Aku sedikit tergagap, ketika Alvaro berkata, memecah kehening
Risa Pulang Pagi----Aku membelalakkan mata, sambil menatap wajah polos Mayla yang basah oleh air mata. Entah sudah berapa lama bocah perempuan ini menangis sendirian di rumah.Kutarik napas dalam, lalu mengulurkan tangan padanya. Mayla membiarkanku mengusap wajahnya untuk menghapus air mata, lalu membawanya ke dalam pelukanku.Kudekap tubuhnya dalam pelukan, tubuhnya masih bergoncang karena isak tangis.Tega sekali Risa meninggalkan anaknya sendirian dalam rumah, apakah dia tidak merasa khawatir akan terjadi sesuatu yang buruk pada Mayla?"Tidak apa-apa, Mayla. Ada Tante di sini," kataku sambil mengusap punggungnya lembut. Lalu membawanya masuk.Kutuntun Mayla menuju sofa, dan duduk bersamanya di sana. Kuedarkan pandangan ke seluruh ruang tamu rumah Risa. Tidak banyak barang, hanya satu set sofa dan bufet kecil di sudut ruangan. Dan aku masih tidak habis pikir, kemana dia pergi malam-malam begini? Apakah dia juga sering melakukan hal ini sebelumnya?"Tante, Mayla lapar." Mayla berka
Sahabat Alvaro----"Bukan!" Dengan cepat aku menjawab ucapan Alvaro. Aku tidak ingin dia berpikir bahwa kejadian di restoran semalam adalah penyebab aku kurang tidur."Kamu yakin?" Al berkerut, sorot matanya penuh selidik. Sepertinya dia tidak percaya dengab ucapanku."Iya. Ini memang tidak ada hubungannya dengan kejadian saat makan malam. Tapi ...."Aku menggantung kalimatku. Merasa ragu, apakah harus menceritakan pada Alvaro tentang kejadian semalam, bagaimana Mayla menangis di tengah malam mencari ibunya, karena Risa pergi entah kemana dan baru pulang ke rumah menjelang pagi."Tapi apa?" tanya Al cepat.Terlambat! Sepertinya aku memang harus memberitahukan pada Al semuanya, kalau tidak, dia pasti akan mengejar dane mncecarku dengan berbagai pertanyaan. Terlebih kini Al berjalan mendekat ke arahku.Kuletakkan kain lap di atas meja, memutar tubuhku menghadap ke arahnya yang kini sudah berdiri tepat di depanku."Ini ... karena tetangga baruku," lirihku.Al mengernyit, lalu dia menar
Namanya Devan ----"Kamu mengenalnya?" Tanya lelaki itu lagi.Al menggaruk kepalanya, lalu dia tersenyum sambil berjalan menghampiri kami."Iya, aku mengenalnya. Namanya Marina," jawab Al.Pria yang dipanggil Devan oleh Al kini mengalihkan pandangannya padaku, pandangan penuh selidik. Dia memindaiku dari ujung kepala hingga ujung kaki."Sudah sudah ... jangan dilihatin terus, nanti kamu jatuh cinta padanya," ujar Al mengalihkan perhatian Devan dariku."Ck ...." Devan berdecak, sambil melempar pandangannya ke arah jalan. Sungguh tidak sopan, setelah memperhatikanku, kini dia melengos sambil berdecak. "Jadi gimana, ini? Apa motormu benar-benar tidak bisa dihidupkan?" Tanya Al."Begitulah," jawabnya sambil mengangkat kedua bahu "Ya sudah, kita bawa motornya ke bengkel besok, untuk sementara kamu bisa meninggalkannya di sini. Kamu tidak keberatan, kan, Marina?" Al mengalihkan pandangannya padaku, meminta persetujuanku."Iya, lebih baik besok saja dibawa ke bengkel," ucapku membenarkan
Pria Dingin-----Selain rasa penyesalan, karena telah membuat orang lain celaka karena kelalaianku, aku bahkan sempat berpikir negatif tentang dirinya. Betapa bodohnya aku."Ambillah cuti besok, buat dirimu rileks sebelum kembali bekerja."Kalimat Al terngiang di telinga. Dia memberiku potongan agar aku bisa menyegarkan dan melemaskan urat syaraf dari ketegangan. Dan dia benar, aku memang sangat lelah akhir-akhir ini. Bahkan beberapa hari terkahir, aku tidak bisa tidur nyenyak. Suara rengekan anak Risa, terdengar hampir setiap malam, entah apa yang dilakukan wanita itu, sehingga anaknya sering menangis.Hari masih terlalu pagi, aku ingin melanjutkan tidur kembali dan berniat jalan-jalan ke pantai setelahnya.Tapi... suara ketukan di pintu membuatku menahan keinginan.Tok tok tok...."Mbak!" Terdengar suara panggilan di antara ketukan pintu. Dan aku mengenal suara itu. Kuraih jaket sebelum keluar kamar.Benar saja, begitu aku membuka pintu, kulihat Risa berdiri di depan pintu dengan w
Titip Mayla-----"Kak Marina sedang tidak bercanda, kan?"Rahma kembali bertanya, sepertinya dia belum percaya kalau aku bertemu dengan Risa dan bahkan rumah kami bersebelahan."Kakak tidak bercanda, Kakak serius," jawabku."Kak Marina harus menjelaskan padaku sekarang!" Todong Rahma, kali ini dia terdengar marah.Kutarik napas dalam, bingung harus memulai cerita dari mana. Lagi pula, aku tidak mungkin menceritakan semuanya pada Rahma, tidak akan selesai dalam waktu satu hari."Sebenarnya... aku bertemu dengan Risa di sini. Bukan itu saja, kami bahkan bertetangga," jelasku."Apa? Lelucon apa lagi, ini, Kak?!" Suara Rahma meninggi.Aku sangat mengerti kenapa Rahma seperti itu, karena dia sangat tahu bagaimana hubunganku dengan Risa dulu.Pasti tidak mudah baginya untuk menerima kenyataan itu."Kak Marina, kamu serius?" "Iya." Lirikku. Aku menarik napas sebelum kembali melanjutkan ceritaku."Risa tinggal tepat di sebelah rumah kontrakanku, Rahma. Dia tinggal bersama dengan Mayla, anak
Titip Anakku---Tidak biasanya rumah Risa sepi, bahkan sejak kemarin, aku belum melihatnya keluar dari rumah. Bahkan celoteh Mayla tidak kudengar."Apakah mereka baik-baik saja?" pikirku.Sekali lagi, aku menoleh ke samping, dalam hati aku berharap Mayla keluar dari pintu sambil memanggil namaku. Namun aku harus menelan kekecewaan, karena sosok bocah itu tidak kelihatan.Aku menarik napas dalam, sebelum melangkahkan kaki menuju tempat kerja. Dari belakang, terdengar suara motor yang semakin mendekat lalu tiba-tiba berhenti tepat di depanku."Hai ... kita bertemu lagi," ucap pria itu setelah membuka kaca helm."Devan?""Kita satu arah, naiklah!" ucapnya lagi sambil memberikan isyarat agar aku naik ke atas motornya."Tidak, aku ... jalan kaki saja, toh tidak terlalu jauh," tolakku halus."Kamu menolak?" tanyanya."Tidak, tapi ...." Aku tidak melanjutkan kalimatku, dan hanya mengangkat kedua bahu sambil memperhatikan motor Devan.Begitu menyadari sesuatu, Devan menutup wajahnya dengan s
Aku Ingin Berjalan Beriringan Denganmu----“Marina, dengan disaksikan ibuku, aku memintamu untuk menjadi istriku. Menikahlah denganku ….” Setelah mengatakan kalimat tersebut, Alvaro mengeluarkan cincin dari kotak kecil yang dipegangnya. Perlahan, dia mengulurkan tangannya dan meraih tanganku.Untuk sesaat, dunia seperti berhenti berputar. Aku seolah dibawa kembali ke masalalu, di mana seorang pria melakukan persis seperti yang dilakukan Alvaro saat ini. Lelaki itu meraih tanganku dan menyematkan cincin di jari manisku. Aku tersenyum lebar begitu cincin itu sudah tersemat di jari manisku. Lalu, perlahan sosok pria itu mendekat dan mencium lembut punggung tanganku. Namun, aku tidak merasakan apa-apa ketika bibirnya meyentuh tanganku, karena sosok pria itu perlahan menghilang dari pandangan mata.“Marina,” panggil Alvaro. Panggilan itu sontak membuatku tersentak dan serta-merta menarik tanganku dari genggaman tangannya.“Al, aku tidak bisa, maafkan aku,” kataku lirih.Kulihat wajah Alva
Wanita Dalam Hidupnya----“Siapa?” Tanyaku penuh penasaran.Meski sempat terbersit tentang gambaran seseorang yang pernah dia ceritakan waktu itu, namun aku ragu apakah orang yang dimaksud adalah beliau.“Kamu akan mengetahuinya dalam waktu dekat,” jawabnya sambil tersenyum.Aku masih memandangnya penuh tanya, mencoba memintanya untuk memberitahuku siapa orang yang dia maksud dengan menggunakan bahasa isyarat. Namun bukannya memberi jawaban yang kuinginkan, dia memilih mengambil bunga yang kuletakkan di atas pangkuan lalu memindahkannya ke atas meja, lalu dengan pelan tangan kekarnya mendorong kursi rodaku menuju jendela.“Aku sudah menceritakan semua tentangmu padanya,” ucapnya sambil memandang ke luar jendela. Aku menoleh, kulihat kedua sudut bibirnya melengkung dan senyum itu jelas terlihat olehku ketika dia menoleh ke arahku.“Jangan takut, aku yakin kamu akan menyukainya,” ucapnya lagi.Lalu kalimat demi kalimat meluncur dari bibirnya, dan entah sejak kapan, aku begitu menikmati
Happy Ending----“Syukurlah, kamu sudah sadar Marina,” ucap seseorang di sampingku.Aku berusaha menoleh untuk memastikan siapa orang yang ada di sampingku, namun ketika aku menggerakkan kepala untuk menoleh, terasa sakit dan ngilu hingga membuatku mengaduh dan merintih kesakitan.“Aduh ….” Ucapku sambil memegang leherku yang terasa sakit. Dan di saat itu pula aku melihat jarum infus yang menancap di lenganku, juga sebuah perban di leher ketika aku merabanya.Aku memejamkan mata sejenak, mencoba mengingat kejadian terakhir yang kualami sebelum akhirnya aku kehilangan kesadaran.“Kamu tidak apa-apa, Nak? Ibu tahu ini pasti sangat menyakitkan sekali bagimu.”Aku kembali membuka mata perlahan, kulihat ibu yang duduk di sampingku meneteskan air mata. Rupanya, suara-suara yang kudengar adalah suara ibuku, dan suara itu juga yang selalu membuatku kembali ke alam sadar setiap kali aku pingsan dan juga ketika koma. Wanita yang melahirkanku itu selalu berada di sampingku, yang tidak putus mel
Amanda Menggila----“A---apa yang akan kamu lakukan, Amanda?” tanyaku gugup saat kulihat Amanda berjalan mendekati, di tangannya menggenggam sesuatu yang berkilau.Amanda tidak menghiraukan ucapanku, dia makin mendekat dan akhirnya berhenti tepat di depanku. Perlahan, dia membungkukkan tubuhnya ke arahku, bukan itu saja, dia lalu berjongkok tepat di depanku sambil menatapku tajam.Amanda menyeringai, memperlihatkan giginya yang rapi, andai saat ini dia tidak membawa benda itu, mungkin senyum itu terlihat sangat cantik, namun kini, senyumnya terlihat sangat menakutkan. Aku seperti sedang berada dalam suatu adegan menegangkan di mana sang tokoh antagonis sedang berusaha melukai tokoh protagonis. Meskipun sebenarnya, apa yang saat ini terjadi bukan lagi sebuah adegan dalam film atau nonel, namun terjadi langsung padaku.“Kamu tahu, Marina, aku itu sangat sangat membencimu. Jangankan melihatmu, mendengar namamu disebut saja, membuatku sangat muak dan benci,” ucapnya.“Aku tidak tahu apa
Suami Irna Tertangkap----“Aku baru saja mendapat kabar dari Alvaro, kalau saat ini suamimu sudah tertangkap. Dia dan seorang pria ditangkap di salah satu rumah kos yang tidak jauh dari tempat tinggal Amanda.”Irna terdiam, dia terlihat seperti kehilangan kata-kata. Karena kulihat dia beberapa kali seperti ingin mengatakan sesuatu namun urung. Mungkinkah kabar tertangkapnya suaminya itu membuatnya sedih? Bisa jadi begitu, bagaimanapun juga, mereka adalah suami istri yang sudah menghabiskan waktu belasan tahun hidup bersama. Meskipun Irna saat ini begitu murka terhadap suaminya atas semua yang telah dilakukan, namun tetap saja tidak merubah kenyataan kalau keduanya pernah saling menyintai.“Irna, kamu baik-baik saja?” tanyaku setelah beberapa saat.“i---iya, aku baik-baik saja,” jawabnya gugup sambil merubah posisi duduknya.“Apakah kamu baik-baik saja?” tanya pemuda yang tadi datang bersamanya pelan. Dia terlihat khawatir melihat perubahan Irna.“Aku tidak apa-apa,” jawab Irna pelan.
Bertemu Irna-----Percakapanku dengan Alvaro berlalu begitu saja, tanpa adanya kejelasan tentang apa maksud dari ucapannya saat itu. Meskipun sudah satu minggu berlalu, namun aku masih mengingat dengan jelas kata demi kata yang dia ucapkan saat itu.Dia mengatakan kalau dirinya akan menjadi pengganti kakiku seandainya aku benar-benar kehilangan kemampuan untuk berjalan, dia juga mengatakan akan menggendongku ke manapun aku ingin pergi. Sungguh sebuah kalimat yang romantic dan puitis dan akan membuat hati setiap wanita meleleha saat mendengarnya. Dan seandainya aku mendengar kalimat itu sepuluh atau lima belas tahun lalu, hatiku pun akan meleleh dan luluh. Namun sayang, dia mengucapakan kalimat itu di saat yang tidak tepat, di saat aku tidak ingin mendengar apapun selain kabar baik tentang kesehatanku, juga kasus tabrak lari yang kualami. Aku ingin sekali melihat mereka, para pelaku dan juga dalang di balik semuanya, tertangkap dan meringkuk di balik jeruji besi.Drtt … drtt ….Lamuna
Akan Menjadi Pengganti Kakimu.----“Irna … telah kehilangan bayinya,” sahut Al lirih.Aku kembali menghela napas dalam, meskipun aku belum pernah merasakan hamil sebelumnya, namun mendengar berita kalau Irna telah kehilangan bayinya, membuatku merasa sedih, seperti ada sesuatu yang ditarik paksa dari dalam hatiku. Karena aku tahu kalau Irna benar-benar menginginkan bayi itu, seorang anak yang telah lama dia dambakan, namun dia harus kehilangan bayi itu sebelum dia sempat melihat wajahnya, sungguh menyedihkan.“Bagaimana Irna bisa kehilangan bayinya? Apakah dia keguguran?” selidikku.“Iya, dia keguguran. Namun sebenarnya dia bisa mempertahankan bayinya andai saja ….”Alvaro menggantung kalimatnya hingga membuatku penasaran. Karena dari yang aku ketahui, Irna pasti akan melakukan apapun untuk menyelamatkan kandungannya, namun kenyataannya dia justru harus keguguran. Pasti ada sesuatu hal yang menimpa Irna saat itu.“Dia terlambat untuk mendapatkan perawatan dari dokter sehingga bayinya
Mencoba Ikhlas----Hari ini dokter datang membawa kabar baik, aku sduah diperbolrhkan untuk pulang. Ibu dan bapak terlihat sangat bahagia mendengarnya, namun aku tahu, di balik senyum bahagia mereka berdua. Tersembunyi kesedihan yang luar biasa. Aku tahu, mereka berdua selalu berusaha untu tetap tersenyum di depanku, namun aku yakin kalau sebenarnya mereka sangat bersedih, mengetahui fakta kalau aku tidak bisa lagi berjalan. Meskipun dokter berulang kali meyakinkanku dan kedua orang tuaku, kalau aku akan bisa berjalan lagi seperti semula, namun tetap saja kenyataan pahit kalau saat ini aku harus menggunakan kursi roda sebagai pengganti kakiku, dan itu tidak mudah bagiku untuk menerimanya.Keyakinanku semakin kuat ketika tanpa sengaja aku terbangun di malam hari dan mendapati ibu dan bapak sedang berbicara dengan suara lirih dalam remang cahaya lampu. Aku mencoba menajamkan pendengaran untuk bisa mengetahui apa yang saat itu kedua orang tuaku bicarakan. Mereka berdua sedang membicarak
Cobaan Kedua [Marina]----Kurasakan tubuhku terasa begitu sakit, seolah seluruh tulang di tubuhku remuk. Ingin sekali aku menggerakkan tubuh, namun tidak mampu. Jangankan menggerakkan tubuh, sekedar membuka keedua mata pun aku tidak bisa. Apakah aku sudah mati? Kalau memang aku sudah mati, kenapa aku bisa mendengar suara orang-orang yang ada di sekitarku? Aku bahkan bisa mendengar suara Alvaro, meskipun itu samar-samar. Aku juga bisa mengenali suara Devan dan Rahma yang sedang berbicara di dekatku.“Marina, bangunlah, Nak. Sudah lama sekali kamu tertidur, tidakkah kamu ingin melihat ibu dan bapak? Bapak ada di sini, sudah beberapa hari ini bapakmu menemani ibu di sini, menunggumu bangun.”Suara itu, aku tahu siapa pemiliknya. Wanita yang suaranya selalu mampu membuatku merasa nyaman dan tenang setiap kali berbicara dengannya. Iya, itu suara ibu.“Bu, Marina juga kangen sama ibu,” ucapku. Namun suaraku tidak pernah keluar dari mulutku.Lalu, kurasakan sentuhan lembut di tanganku, se