Rumah Tangga Baru Asrul---Risa membuka paket yang baru saja diantar oleh kurir. Dua pasang sepatu warna silver dan hitam."Bang ... mana yang cocok di kaki Risa?" Sambil mencoba sepatu bergantian, Risa bertanya padaku."Dua-duanya cocok." Jawabku asal."Pilih salah satu Bang, bukan semua," protes Risa mendengar jawabanku."Yang hitam lebih bagus." Kataku setelah mengamati sejanak sepatu yang baru saja dia beli."Kok hitam, bukan silver ya? Padahal kalau silver lebih cocok dipadu padankan sama baju pengantin kita," ujarnya.Aku tidak menanggapi ucapan Risa. Sepatu warna silver memang lebih cocok untuknya, namun aku tidak menginginkan dia memakai warna itu. Karena silver adalah warna kesukaan Marina.Sementara, resit dari pembelian sepatu tersebut masih kupegang. Sebuah harga yang menurutku cukup mahal.Bahkan selama pernikahanku dengan Marina, pun, belum pernah aku membelikan dia sepatu dengan harga mahal.Dia selalu berdalih "sayang uangnya, lebih baik ditabung untuk hal yang lebih
Bukan Pernikahan Impian---Semua tamu dan keluarga sudah pulang, rumah orang tua Risa, yang sekarang sudah menjadi mertuaku kembali sepi."Risa, ini anak kamu, dari tadi rewel. Padahal sudah diberi susu," ucap ibu mertua. Beliau kemudian masuk dengan menggendong bayi mungil yang sedang menangis."Bang, gendonglah sebentar, dia sekarang kan anakmu juga. Aku mau ganti baju," ucap Risa.Tanpa menunggu persetujuanku, Risa memberikan bayi itu ke pangkuanku, kemudian dia berlalu."Cup cup cup, dede lapar ya?"Aku berusaha menenangkannya dengan memberi susu yang ada di botol sambil menimang-nimang dan mengajaknya berbicara. Perlahan, bayi mungil itu mulai tenang hingga akhirnya tertidur pulas.Sementara Risa yang sudah mengganti pakaiannya, berbaring di tempat tidur sambil memainkan ponsel, entah apa yang dia lihat di sana."Risa, dede sudah tidur," ucapku padanya. Dede adalah nama panggilan untuk bayi mungil ini."Tidurkan di box nya Bang, itu ada di dekat Abang," jawab Risa sambil menunju
Asrul Sakit ---"Rina ... Asrul sakit."Pesan Bang Nizar pagi itu, namun karena aku terlalu sibuk, pesan itu baru kubuka siang hari, dan langsung membuatku syok dan terkejut.Di bawah pesan tersebut, sebuah foto terpampang, entah foto siapa. Karena aku juga belum sempat mendownload nya.Ponselku hampir saja terlepas, ketika foto tersebut telah terdownload. Sosok yang begitu aku kenal, terbaring di atas tempat tidur.Namun, bukan itu yang membuatku jatuh dan luruh memeluk lutut. Buru-buru kuambil ponsel yang tergeletak di lantai.Mencoba meyakinkan pandangan mataku, dan berharap apa yang kulihat tadi adalah orang lain. Namun, semakin kutatap sosok dalam foto tersebut, membuat hatiku terasa nyeri, sakit.Bang Asul. Laki-laki yang pernah menjadi suamiku selama lima belas tahun itu tampak tak berdaya, di atas tempat tidur.Sosok yang pernah begitu kukenal itu kini begitu kurus, dengan mata cekung dan wajah tirus yang menonjolkan tulang wajahnya. Tak ada lagi kehidupan di sana.Tubuh yang
Ke Rumah Sakit---“Yang menyatukan dua hati selain cinta adalah, Rasa. Rasa saling memiliki dan menyayangi”-Marina----Aku berjalan cepat melewati lorong rumah sakit, salah satu ruangan yang dikatakan bang Nizar kemarin. Perasaan campur aduk kembali memenuhi kepala, kenapa aku begitu takut?Sementara itu, Rahma berusaha menjejari langkahku, kami berjalan cepat tanpa berkata apa-apa.Lalu kami berhenti di depan salah satu ruangan, perlahan kami mendekat. Dari balik kaca, saya melihat dokter memasang selang infus di tangan bang Asrul. Sementara itu, tubuh kurusnya tergolek tidak berdaya.Ada perasaan nyeri di dalan hati menyaksikan semua itu, melihat bagaimana tubuh tidak berdaya Bang Asrul tergolek di dalam sana, kutekan dadaku pelan, agar mengurangi rasa nyeri di dalam sana.Aku menoleh, ketika kulihat bang Nizar berjalan tergesa-gesa ke arah kami. Dia hanya tersenyum untuk menyapa, mungkin tahu, kalau saat itu aku sedang tidak dalam kondisi baik-baik saja dan lebih memilih untuk d
Takut Kehilangan---“Kehilangan terbesar bukanlah kematian. Namun hilangnya komunikasi ketika masih bersama”-Marina-***"Rahma, berhentilah menggerutu, kita berdoa semoga bang Asrul segera sembuh," pintaku setelah kami berdua berada di dalam mobil."Kakak sabar banget ya, jadi orang? Kak Marina tidak dengar bagaimana tadi Risa memanggil kakak hanya dengan sebutan nama saja?" Rahma berkata sambil menatap lekat wajahku."Lalu, apa aku harus menjambak rambut Risa dan mencakar wajahnya, sehingga semua yang ada di rumah sakit jadi heboh? Lagipula, tidak ada keharusan dia memanggilku dengan sebutan kakak atau apa pun, meskipun aku lebih tua darinya," jawabku menanggapi ocehan Rahma."Ih, ya ga gitu juga lah, tapi setidaknya tadi Kak Marina bertindak tegas atas kelancangannya. Ga sopan banget dia," jawabnya dengan wajah yang ditekuk."Aku tahu, dan menurutku tidak ada yang salah kalau Risa hanya memanggilku dengan sebutan nama. Bukankah kami sekarang sudah tidak mempunyai hubungan apa-apa
Derita Asrul---Aku masih menyeka tangan dan tubuh Bang Asrul, sambil membiarkan pikiranku berkelana entah ke mana. Menyusuri bayangan masa lalu yang datang silih berganti, saat tersadar, kudapati air dalam baskom sudah menjadi dingin. Lalu buru-buru aku mengganti air di baskom, dengan yang baru. Saat mengelap wajah dan tangan bang Asrul, terasa lengket sekali, jadi harus mengganti dengan air bersih. Entah sudah berapa lama bang Asrul tidak membersihkan tubuhnya."Bang Nizar, sejak kapan Risa pergi?" tanyaku pada bang Nizar yang sedang mengetik sesuatu di ponselnya."Tak lama setelah kalian pulang," jawab bang Nizar singkat.Aku terpekur, menatap air dalam baskom. Pelan aku menarik napas dalam, kemudian mengembuskannya pelan."Berarti sejak kemarin abang sendirian di sini?" Ucapku kemudian Aku berhenti mengelap tangan bang Asrul, dan merubah posisi dudukku, hingga menghadap bang Nizar. Sementara bang Nizar masih asik memandangi ponselnya."Iya. Seperti yang kubilang kemarin kan, ka
Menahan Emosi---“Hal tersulit dalam hidup adalah, ketika harus mengikhlaskan dan mengakui bahwa sesuatu yang hilang itu tak akan kembali lagi”-Marina-****Kutinggalkan Risa yang masih berdiri mematung di sana. Aku tidak lagi peduli apa yang akan dia lakukan pada Bang Asrul nanti, toh itu bukanlah urusanku, dan aku juga bukan siapa-siapa bagi Bang Asrul. Perasaan dongkol menyelimuti hati, ketika kaki berjalan menyusuri lorong rumah sakit. "Iya, aku memang bukan siapa-siapanya bang Asrul, hanya seorang mantan istri." Berkali-kali kuingatkan diriku sendiri tentang siapa diriku bagi mereka.Akan tetapi, saat ini sebenarnya bukanlah waktu yang tepat untuk meributkan siapa yang paling berhak atau paling berkewajiban untuk merawat bang Asrul yang sedang sakit.Walau merawat bang Asrul sebenarnya bukanlah tanggung jawabku, namun sebagai orang yang pernah dekat dengannya, aku tidak bisa membiarkan dirinya terbaring sendirian tanpa ada sanak saudara yang menemani dan merawat.Terlebih Risa
Hanya Mantan Istri ----Untuk beberapa saat, aku dan Rahma saling berpandangan. Rasa bimbang datang, antara ingin masuk ke dalam ruangan atau tetap menunggu di luar sambil menguping pembicaraan antara bang Asrul dan Risa."Kamu tidak akan mendapatkan apa yang kau inginkan."Terdengar Bang Asrul berkata lagi dengan lirih, namun bisa kudengar dengan jelas dari luar."Kamu ....!" Teriak Risa, dengan tangan yang diangkat ke atas, seolah hendak memukul bang Asrul.Aku dan Rahma spontan berlari masuk ke dalam ruangan. Tapi langkah kami terhenti tepat di depan pintu tatkala kulihat seorang dokter dan perawat berjalan ke arah kami.Kulihat, Risa buru-buru menurunkan tangannya ketika menyadari kehadiran kami.Risa melengos ketika kami mendekat ke pinggir tempat tidur, di mana bang Asrul terbaring. Mungkin dia mengira, aku langsung pulang saat dia datang tadi pagi. Melihatnya seperti itu, aku hanya bisa tersenyum kecut."Bagaimana keadaan Pak Asrul sekarang, apa sudah lebih baik?" tanya dokter
Aku Ingin Berjalan Beriringan Denganmu----“Marina, dengan disaksikan ibuku, aku memintamu untuk menjadi istriku. Menikahlah denganku ….” Setelah mengatakan kalimat tersebut, Alvaro mengeluarkan cincin dari kotak kecil yang dipegangnya. Perlahan, dia mengulurkan tangannya dan meraih tanganku.Untuk sesaat, dunia seperti berhenti berputar. Aku seolah dibawa kembali ke masalalu, di mana seorang pria melakukan persis seperti yang dilakukan Alvaro saat ini. Lelaki itu meraih tanganku dan menyematkan cincin di jari manisku. Aku tersenyum lebar begitu cincin itu sudah tersemat di jari manisku. Lalu, perlahan sosok pria itu mendekat dan mencium lembut punggung tanganku. Namun, aku tidak merasakan apa-apa ketika bibirnya meyentuh tanganku, karena sosok pria itu perlahan menghilang dari pandangan mata.“Marina,” panggil Alvaro. Panggilan itu sontak membuatku tersentak dan serta-merta menarik tanganku dari genggaman tangannya.“Al, aku tidak bisa, maafkan aku,” kataku lirih.Kulihat wajah Alva
Wanita Dalam Hidupnya----“Siapa?” Tanyaku penuh penasaran.Meski sempat terbersit tentang gambaran seseorang yang pernah dia ceritakan waktu itu, namun aku ragu apakah orang yang dimaksud adalah beliau.“Kamu akan mengetahuinya dalam waktu dekat,” jawabnya sambil tersenyum.Aku masih memandangnya penuh tanya, mencoba memintanya untuk memberitahuku siapa orang yang dia maksud dengan menggunakan bahasa isyarat. Namun bukannya memberi jawaban yang kuinginkan, dia memilih mengambil bunga yang kuletakkan di atas pangkuan lalu memindahkannya ke atas meja, lalu dengan pelan tangan kekarnya mendorong kursi rodaku menuju jendela.“Aku sudah menceritakan semua tentangmu padanya,” ucapnya sambil memandang ke luar jendela. Aku menoleh, kulihat kedua sudut bibirnya melengkung dan senyum itu jelas terlihat olehku ketika dia menoleh ke arahku.“Jangan takut, aku yakin kamu akan menyukainya,” ucapnya lagi.Lalu kalimat demi kalimat meluncur dari bibirnya, dan entah sejak kapan, aku begitu menikmati
Happy Ending----“Syukurlah, kamu sudah sadar Marina,” ucap seseorang di sampingku.Aku berusaha menoleh untuk memastikan siapa orang yang ada di sampingku, namun ketika aku menggerakkan kepala untuk menoleh, terasa sakit dan ngilu hingga membuatku mengaduh dan merintih kesakitan.“Aduh ….” Ucapku sambil memegang leherku yang terasa sakit. Dan di saat itu pula aku melihat jarum infus yang menancap di lenganku, juga sebuah perban di leher ketika aku merabanya.Aku memejamkan mata sejenak, mencoba mengingat kejadian terakhir yang kualami sebelum akhirnya aku kehilangan kesadaran.“Kamu tidak apa-apa, Nak? Ibu tahu ini pasti sangat menyakitkan sekali bagimu.”Aku kembali membuka mata perlahan, kulihat ibu yang duduk di sampingku meneteskan air mata. Rupanya, suara-suara yang kudengar adalah suara ibuku, dan suara itu juga yang selalu membuatku kembali ke alam sadar setiap kali aku pingsan dan juga ketika koma. Wanita yang melahirkanku itu selalu berada di sampingku, yang tidak putus mel
Amanda Menggila----“A---apa yang akan kamu lakukan, Amanda?” tanyaku gugup saat kulihat Amanda berjalan mendekati, di tangannya menggenggam sesuatu yang berkilau.Amanda tidak menghiraukan ucapanku, dia makin mendekat dan akhirnya berhenti tepat di depanku. Perlahan, dia membungkukkan tubuhnya ke arahku, bukan itu saja, dia lalu berjongkok tepat di depanku sambil menatapku tajam.Amanda menyeringai, memperlihatkan giginya yang rapi, andai saat ini dia tidak membawa benda itu, mungkin senyum itu terlihat sangat cantik, namun kini, senyumnya terlihat sangat menakutkan. Aku seperti sedang berada dalam suatu adegan menegangkan di mana sang tokoh antagonis sedang berusaha melukai tokoh protagonis. Meskipun sebenarnya, apa yang saat ini terjadi bukan lagi sebuah adegan dalam film atau nonel, namun terjadi langsung padaku.“Kamu tahu, Marina, aku itu sangat sangat membencimu. Jangankan melihatmu, mendengar namamu disebut saja, membuatku sangat muak dan benci,” ucapnya.“Aku tidak tahu apa
Suami Irna Tertangkap----“Aku baru saja mendapat kabar dari Alvaro, kalau saat ini suamimu sudah tertangkap. Dia dan seorang pria ditangkap di salah satu rumah kos yang tidak jauh dari tempat tinggal Amanda.”Irna terdiam, dia terlihat seperti kehilangan kata-kata. Karena kulihat dia beberapa kali seperti ingin mengatakan sesuatu namun urung. Mungkinkah kabar tertangkapnya suaminya itu membuatnya sedih? Bisa jadi begitu, bagaimanapun juga, mereka adalah suami istri yang sudah menghabiskan waktu belasan tahun hidup bersama. Meskipun Irna saat ini begitu murka terhadap suaminya atas semua yang telah dilakukan, namun tetap saja tidak merubah kenyataan kalau keduanya pernah saling menyintai.“Irna, kamu baik-baik saja?” tanyaku setelah beberapa saat.“i---iya, aku baik-baik saja,” jawabnya gugup sambil merubah posisi duduknya.“Apakah kamu baik-baik saja?” tanya pemuda yang tadi datang bersamanya pelan. Dia terlihat khawatir melihat perubahan Irna.“Aku tidak apa-apa,” jawab Irna pelan.
Bertemu Irna-----Percakapanku dengan Alvaro berlalu begitu saja, tanpa adanya kejelasan tentang apa maksud dari ucapannya saat itu. Meskipun sudah satu minggu berlalu, namun aku masih mengingat dengan jelas kata demi kata yang dia ucapkan saat itu.Dia mengatakan kalau dirinya akan menjadi pengganti kakiku seandainya aku benar-benar kehilangan kemampuan untuk berjalan, dia juga mengatakan akan menggendongku ke manapun aku ingin pergi. Sungguh sebuah kalimat yang romantic dan puitis dan akan membuat hati setiap wanita meleleha saat mendengarnya. Dan seandainya aku mendengar kalimat itu sepuluh atau lima belas tahun lalu, hatiku pun akan meleleh dan luluh. Namun sayang, dia mengucapakan kalimat itu di saat yang tidak tepat, di saat aku tidak ingin mendengar apapun selain kabar baik tentang kesehatanku, juga kasus tabrak lari yang kualami. Aku ingin sekali melihat mereka, para pelaku dan juga dalang di balik semuanya, tertangkap dan meringkuk di balik jeruji besi.Drtt … drtt ….Lamuna
Akan Menjadi Pengganti Kakimu.----“Irna … telah kehilangan bayinya,” sahut Al lirih.Aku kembali menghela napas dalam, meskipun aku belum pernah merasakan hamil sebelumnya, namun mendengar berita kalau Irna telah kehilangan bayinya, membuatku merasa sedih, seperti ada sesuatu yang ditarik paksa dari dalam hatiku. Karena aku tahu kalau Irna benar-benar menginginkan bayi itu, seorang anak yang telah lama dia dambakan, namun dia harus kehilangan bayi itu sebelum dia sempat melihat wajahnya, sungguh menyedihkan.“Bagaimana Irna bisa kehilangan bayinya? Apakah dia keguguran?” selidikku.“Iya, dia keguguran. Namun sebenarnya dia bisa mempertahankan bayinya andai saja ….”Alvaro menggantung kalimatnya hingga membuatku penasaran. Karena dari yang aku ketahui, Irna pasti akan melakukan apapun untuk menyelamatkan kandungannya, namun kenyataannya dia justru harus keguguran. Pasti ada sesuatu hal yang menimpa Irna saat itu.“Dia terlambat untuk mendapatkan perawatan dari dokter sehingga bayinya
Mencoba Ikhlas----Hari ini dokter datang membawa kabar baik, aku sduah diperbolrhkan untuk pulang. Ibu dan bapak terlihat sangat bahagia mendengarnya, namun aku tahu, di balik senyum bahagia mereka berdua. Tersembunyi kesedihan yang luar biasa. Aku tahu, mereka berdua selalu berusaha untu tetap tersenyum di depanku, namun aku yakin kalau sebenarnya mereka sangat bersedih, mengetahui fakta kalau aku tidak bisa lagi berjalan. Meskipun dokter berulang kali meyakinkanku dan kedua orang tuaku, kalau aku akan bisa berjalan lagi seperti semula, namun tetap saja kenyataan pahit kalau saat ini aku harus menggunakan kursi roda sebagai pengganti kakiku, dan itu tidak mudah bagiku untuk menerimanya.Keyakinanku semakin kuat ketika tanpa sengaja aku terbangun di malam hari dan mendapati ibu dan bapak sedang berbicara dengan suara lirih dalam remang cahaya lampu. Aku mencoba menajamkan pendengaran untuk bisa mengetahui apa yang saat itu kedua orang tuaku bicarakan. Mereka berdua sedang membicarak
Cobaan Kedua [Marina]----Kurasakan tubuhku terasa begitu sakit, seolah seluruh tulang di tubuhku remuk. Ingin sekali aku menggerakkan tubuh, namun tidak mampu. Jangankan menggerakkan tubuh, sekedar membuka keedua mata pun aku tidak bisa. Apakah aku sudah mati? Kalau memang aku sudah mati, kenapa aku bisa mendengar suara orang-orang yang ada di sekitarku? Aku bahkan bisa mendengar suara Alvaro, meskipun itu samar-samar. Aku juga bisa mengenali suara Devan dan Rahma yang sedang berbicara di dekatku.“Marina, bangunlah, Nak. Sudah lama sekali kamu tertidur, tidakkah kamu ingin melihat ibu dan bapak? Bapak ada di sini, sudah beberapa hari ini bapakmu menemani ibu di sini, menunggumu bangun.”Suara itu, aku tahu siapa pemiliknya. Wanita yang suaranya selalu mampu membuatku merasa nyaman dan tenang setiap kali berbicara dengannya. Iya, itu suara ibu.“Bu, Marina juga kangen sama ibu,” ucapku. Namun suaraku tidak pernah keluar dari mulutku.Lalu, kurasakan sentuhan lembut di tanganku, se