Hanya Mantan Istri ----Untuk beberapa saat, aku dan Rahma saling berpandangan. Rasa bimbang datang, antara ingin masuk ke dalam ruangan atau tetap menunggu di luar sambil menguping pembicaraan antara bang Asrul dan Risa."Kamu tidak akan mendapatkan apa yang kau inginkan."Terdengar Bang Asrul berkata lagi dengan lirih, namun bisa kudengar dengan jelas dari luar."Kamu ....!" Teriak Risa, dengan tangan yang diangkat ke atas, seolah hendak memukul bang Asrul.Aku dan Rahma spontan berlari masuk ke dalam ruangan. Tapi langkah kami terhenti tepat di depan pintu tatkala kulihat seorang dokter dan perawat berjalan ke arah kami.Kulihat, Risa buru-buru menurunkan tangannya ketika menyadari kehadiran kami.Risa melengos ketika kami mendekat ke pinggir tempat tidur, di mana bang Asrul terbaring. Mungkin dia mengira, aku langsung pulang saat dia datang tadi pagi. Melihatnya seperti itu, aku hanya bisa tersenyum kecut."Bagaimana keadaan Pak Asrul sekarang, apa sudah lebih baik?" tanya dokter
Pulang ke Rumah Nizar----Setelah pikiran menjadi lebih tenang, aku berniat kembali ke dalam ruangan di mana bang Asrul dirawat."Sebaiknya kita kembali masuk, aku takut Risa melakukan sesuatu pada bang Asrul," kataku pada Rahma.Aku menggamit tangan Rahma, untuk mengikutiku. Rahma mensejajarkan langkahnya dengaku, hingga kami berjalan beriringan."Sepertinya, bang Asrul menyembunyikan sesuatu dari Risa deh, Kak," ucap Rahma."Aku juga berpikir begitu, apalagi jika dilihat dari sikap Risa, yang seperti tak menginginkan kesembuhan bang Asrul," jawabku datar.Mungkin, jika tidak melihat sendiri, aku tidak akan percaya. Namun melihat tingkah Risa beberapa hari ini dan ucapan bang Asrul yang kudengar tadi, aku semakin yakin jika Risa tengah mengincar sesuatu, sementara bang Asrul tidak mau memberikannya. Tapi apa?Aku berusaha mengingat segala hal tentang Bang Asrul selama kami bersama dulu.Dan sejauh yang aku tahu, Bang Asrul bukan suami yang suka berbohong atau menyimpan sesuatu untuk
Bang Asrul Tiada ---Setelah menempuh perjalanan sekitar 30 menit, kami sampai di rumah bang Nizar.Tampak istri bang Nizar menyambut kedatangan kami di depan pintu, dengan senyum ramahnya Aku memeluk istri bang Nizar, ada sedikit haru memuat hati. Karena, ini adalah pertemuan pertama kami sejak aku berpisah dengan banng Asrul.Karena dulu kami sering bertemu ketika ada acara keluarga ataupun acara kantor bang Asrul, di mana sering membawa keluarga masing-masing saat ada kumpul."Marina, apa kabar?" tanya istri bang Nizar sambil memelukku."Alhamdulillah, aku baik-baik saja. Bagaimana kamu sendiri, Irma, bagaimana dengan si kecil?" tanyaku balik."Alhamdulillah, baik juga, mereka ada di dalam," Irma sambil menjawab menunjuk pada bayi yang sedang tidur pulas di dalam kotak bayi.Bang Nizar dan adik laki-lakinya, membantu bang Asrul masuk ke dalam kamar. Sementara itu, aku berjalan mendekati ke arah kotak bayi, dimana anak bungsu dari bang Nizar dan Irma tertidur.Kuelus pipinya lembu
Risa (1)----Hari itu, aku mendapat kabar dari Nizar kalau bang Asrul berada di rumah sakit. Dan bukan itu saja, Nizar juga menyempatkan untuk memaki diriku lewat telpon, dengan mengatakan bahwa aku adalah istri yang tidak tahu diri.Menurut dirinya, aku juga termasuk istri durhaka, karena meninggalkan suami ketika sedang sakit. Benar-benar menyebalkan sekali dia. Dia pikir dia siapa?Hanya karena berteman baik dengan bang Asrul, lalu bisa seenaknya memaki diriku. Tidak ingin berlama-lama mendengar ceramahnya, kumatikan telpon setelah mendapat alamat rumah sakit, di mana bang Asrul dirawat.Sebenarnya, ketika mengetahui bang Asrul masuk rumah sakit, ada sedikit rasa kasihan di hatiku dan ingin segera menjenguknya. Tapi buru-buru kutepis rasa itu. Bukankah ini yang aku tunggu selama ini? Jika Asrul sakit, maka tujuanku akan segera terlaksana.Pagi itu, setelah menitipkan Ara, anakku pada ibu, aku bergegas menuju ke rumah sakit. Namun dalam perjalanan, aku bertemu Hesti, teman SMA ku d
Risa (2)----Tiga bulan sebelumnya "Bang ... baju-baju ini disimpan di mana? Lemari di dalam kamar sudah penuh dengan baju Abang," Tanyaku pada bang Asrul, ketika kami pindah ke kontrakan yang baru.Sebuah rumah kontrakan yang lumayan besar, dan dekat dengan tempat kerja bang Asrul. Dan itu membuatku sedikit kesulitan.Karena baru kusadari, ternyata kami tidak memiliki banyak perabot untuk mengisi rumah ini. Terutama, menyimpan baju-baju kami, apalagi, bajuku sangat banyak.Sementara, di rumah ini hanya ada satu lemari kecil yang sudah agak usang yang ditinggalkan pemilik rumah."Simpan saja di situ, nanti kalau kita sudah beli lemari dan beberapa perabot lain, baru kita susun."Bang Asrul menjawab tanpa melihat ke arahku dan tetap melanjutkan mengepel lantai. Dengan sedikit kesal, kuhentakkan kaki sebelum berlalu meninggalkan bang Asrul.Aku memilih untuk masuk ke dalam kamar, dan merebahkan tubuh di atas kasur yang di gelar di atas lantai. Karena, kami memang belum memiliki ranjan
Surat Wasiat ****Orang-orang yang mengantar Asrul ke pemakaman satu per satu mulai pulang.Hanya menyisakan diriku, bang Nizar dan Rahma serta beberapa teman kerja bang Asrul.Rahma berjongkok di dekat gundukan tanah yang masih basah. Matanya sembab, sesekali punggung tangannya menyeka airmata yang membasahi pipi.“Kita ihklaskan perpisahan bang Arul, ya, Kak,” ucap Rahma ikut berjongkok di sampingku sambil mengusap lembut punggungku.Aku menaburkan sisa bunga yang ada di dalam keranjang ke atas gundukan tanah tersebut, lalu menoleh ke arah Rahma."Kakak sudah mengihklaskannya, Rahma. Kakak hanya sedih, di akhir hidupnya, tak ada satupun keluarga ada di orangtuanya, bahkan di hari ini, hari pemakamannya," ucapku lirih.Aku menghapus airmata yang membasahi kedua pipi, sebelum bangkit berdiri.“Sebaiknya kita pulang sekarang, ada sesuatu yang ingin aku berikan padamu,” ucap bang Nizar berkata sambil menatap ke arahku, suaranya terdengar berat.“Sesuatu, apa itu, Bang?” Selidikku, aku
Yang Terlupakan ---“Yang memisahkan sebuah hubungan bukanlah kematian atau perceraian, namun matinya sebuah komunikasi ketika kita masih hidup”---Dan dalam hidupku, aku sudah melalui dua fase tersebut. Pertama, ketika hubunganku dengan bang Asrul retak, yang berawal dari buruknya komunikasi di antara kami. Dan yang ke dua adalah, saat kematian bang Asrul. Di mana aku benar-benar merasakan sebuah perpisahan di sana."Rahma, sebaiknya kita pulang sekarang." Aku mengajak Rahma untuk berpamitan pada bang Nizar dan Irma.Satu per satu, kumasukkan semua surat yang ditinggalkan bang Asrul kembali ke dalam amplop coklat berukuran besar.“Baiklah, hati-hati di jalan ya?” Irma memelukku, mengantar kami sampai ke depan pintu.“Bang Nizar, terima kasih banyak untuk semua yang sudah Abang lakukan untuk Bang Asrul,” ucapku tulus.Bang Nizar mengangguk sambil tersenyum. Sekali lagi, aku memeluk Irma, sebelum meninggalkan rumah mereka.Bang Asrul sungguh beruntung, mempunyai sahabat terbaik merek
Surat Asrul-----"Abang tahu, selama menjadi suami, tidak banyak yang bisa abang berikan untukmu. Bahkan, kamu rela membantu abang dengan menerima jahitan di rumah. Bahkan tak jarang, menyelesaikan jahitan sampai tengah malam.' 'Mengingat hal itu, membuat hati abang begitu sakit, sakit karena abang telah menyia-nyiakan wanita yang begitu baik. Bahkan tega mengambil sesuatu yang telah kamu kumpulkan selama bertahun-tahun dan diberikan pada wanita lain.''Marina ... tahukah kamu apa yang paling abang sesalkan dalam hidup? Tak lain dan tidak bukan, adalah saat ketika abang mengucapkan talak untukmu.Andai waktu bisa abang putar ulang, abang lebih memilih untuk tidak pernah mengucapkannya. Namun apa daya, nasi sudah menjadi bubur, dan abang harus menerima segala resiko yang terjadi. Termasuk perlakuan kasar dari wanita yang pernah kumenangkan hatinya.''Wanita yang abang sangka adalah permata, tak lebih dari pecahan kaca. Yang diakhir hidup abang, menggoreskan begitu banyak luka. Hingg
Aku Ingin Berjalan Beriringan Denganmu----“Marina, dengan disaksikan ibuku, aku memintamu untuk menjadi istriku. Menikahlah denganku ….” Setelah mengatakan kalimat tersebut, Alvaro mengeluarkan cincin dari kotak kecil yang dipegangnya. Perlahan, dia mengulurkan tangannya dan meraih tanganku.Untuk sesaat, dunia seperti berhenti berputar. Aku seolah dibawa kembali ke masalalu, di mana seorang pria melakukan persis seperti yang dilakukan Alvaro saat ini. Lelaki itu meraih tanganku dan menyematkan cincin di jari manisku. Aku tersenyum lebar begitu cincin itu sudah tersemat di jari manisku. Lalu, perlahan sosok pria itu mendekat dan mencium lembut punggung tanganku. Namun, aku tidak merasakan apa-apa ketika bibirnya meyentuh tanganku, karena sosok pria itu perlahan menghilang dari pandangan mata.“Marina,” panggil Alvaro. Panggilan itu sontak membuatku tersentak dan serta-merta menarik tanganku dari genggaman tangannya.“Al, aku tidak bisa, maafkan aku,” kataku lirih.Kulihat wajah Alva
Wanita Dalam Hidupnya----“Siapa?” Tanyaku penuh penasaran.Meski sempat terbersit tentang gambaran seseorang yang pernah dia ceritakan waktu itu, namun aku ragu apakah orang yang dimaksud adalah beliau.“Kamu akan mengetahuinya dalam waktu dekat,” jawabnya sambil tersenyum.Aku masih memandangnya penuh tanya, mencoba memintanya untuk memberitahuku siapa orang yang dia maksud dengan menggunakan bahasa isyarat. Namun bukannya memberi jawaban yang kuinginkan, dia memilih mengambil bunga yang kuletakkan di atas pangkuan lalu memindahkannya ke atas meja, lalu dengan pelan tangan kekarnya mendorong kursi rodaku menuju jendela.“Aku sudah menceritakan semua tentangmu padanya,” ucapnya sambil memandang ke luar jendela. Aku menoleh, kulihat kedua sudut bibirnya melengkung dan senyum itu jelas terlihat olehku ketika dia menoleh ke arahku.“Jangan takut, aku yakin kamu akan menyukainya,” ucapnya lagi.Lalu kalimat demi kalimat meluncur dari bibirnya, dan entah sejak kapan, aku begitu menikmati
Happy Ending----“Syukurlah, kamu sudah sadar Marina,” ucap seseorang di sampingku.Aku berusaha menoleh untuk memastikan siapa orang yang ada di sampingku, namun ketika aku menggerakkan kepala untuk menoleh, terasa sakit dan ngilu hingga membuatku mengaduh dan merintih kesakitan.“Aduh ….” Ucapku sambil memegang leherku yang terasa sakit. Dan di saat itu pula aku melihat jarum infus yang menancap di lenganku, juga sebuah perban di leher ketika aku merabanya.Aku memejamkan mata sejenak, mencoba mengingat kejadian terakhir yang kualami sebelum akhirnya aku kehilangan kesadaran.“Kamu tidak apa-apa, Nak? Ibu tahu ini pasti sangat menyakitkan sekali bagimu.”Aku kembali membuka mata perlahan, kulihat ibu yang duduk di sampingku meneteskan air mata. Rupanya, suara-suara yang kudengar adalah suara ibuku, dan suara itu juga yang selalu membuatku kembali ke alam sadar setiap kali aku pingsan dan juga ketika koma. Wanita yang melahirkanku itu selalu berada di sampingku, yang tidak putus mel
Amanda Menggila----“A---apa yang akan kamu lakukan, Amanda?” tanyaku gugup saat kulihat Amanda berjalan mendekati, di tangannya menggenggam sesuatu yang berkilau.Amanda tidak menghiraukan ucapanku, dia makin mendekat dan akhirnya berhenti tepat di depanku. Perlahan, dia membungkukkan tubuhnya ke arahku, bukan itu saja, dia lalu berjongkok tepat di depanku sambil menatapku tajam.Amanda menyeringai, memperlihatkan giginya yang rapi, andai saat ini dia tidak membawa benda itu, mungkin senyum itu terlihat sangat cantik, namun kini, senyumnya terlihat sangat menakutkan. Aku seperti sedang berada dalam suatu adegan menegangkan di mana sang tokoh antagonis sedang berusaha melukai tokoh protagonis. Meskipun sebenarnya, apa yang saat ini terjadi bukan lagi sebuah adegan dalam film atau nonel, namun terjadi langsung padaku.“Kamu tahu, Marina, aku itu sangat sangat membencimu. Jangankan melihatmu, mendengar namamu disebut saja, membuatku sangat muak dan benci,” ucapnya.“Aku tidak tahu apa
Suami Irna Tertangkap----“Aku baru saja mendapat kabar dari Alvaro, kalau saat ini suamimu sudah tertangkap. Dia dan seorang pria ditangkap di salah satu rumah kos yang tidak jauh dari tempat tinggal Amanda.”Irna terdiam, dia terlihat seperti kehilangan kata-kata. Karena kulihat dia beberapa kali seperti ingin mengatakan sesuatu namun urung. Mungkinkah kabar tertangkapnya suaminya itu membuatnya sedih? Bisa jadi begitu, bagaimanapun juga, mereka adalah suami istri yang sudah menghabiskan waktu belasan tahun hidup bersama. Meskipun Irna saat ini begitu murka terhadap suaminya atas semua yang telah dilakukan, namun tetap saja tidak merubah kenyataan kalau keduanya pernah saling menyintai.“Irna, kamu baik-baik saja?” tanyaku setelah beberapa saat.“i---iya, aku baik-baik saja,” jawabnya gugup sambil merubah posisi duduknya.“Apakah kamu baik-baik saja?” tanya pemuda yang tadi datang bersamanya pelan. Dia terlihat khawatir melihat perubahan Irna.“Aku tidak apa-apa,” jawab Irna pelan.
Bertemu Irna-----Percakapanku dengan Alvaro berlalu begitu saja, tanpa adanya kejelasan tentang apa maksud dari ucapannya saat itu. Meskipun sudah satu minggu berlalu, namun aku masih mengingat dengan jelas kata demi kata yang dia ucapkan saat itu.Dia mengatakan kalau dirinya akan menjadi pengganti kakiku seandainya aku benar-benar kehilangan kemampuan untuk berjalan, dia juga mengatakan akan menggendongku ke manapun aku ingin pergi. Sungguh sebuah kalimat yang romantic dan puitis dan akan membuat hati setiap wanita meleleha saat mendengarnya. Dan seandainya aku mendengar kalimat itu sepuluh atau lima belas tahun lalu, hatiku pun akan meleleh dan luluh. Namun sayang, dia mengucapakan kalimat itu di saat yang tidak tepat, di saat aku tidak ingin mendengar apapun selain kabar baik tentang kesehatanku, juga kasus tabrak lari yang kualami. Aku ingin sekali melihat mereka, para pelaku dan juga dalang di balik semuanya, tertangkap dan meringkuk di balik jeruji besi.Drtt … drtt ….Lamuna
Akan Menjadi Pengganti Kakimu.----“Irna … telah kehilangan bayinya,” sahut Al lirih.Aku kembali menghela napas dalam, meskipun aku belum pernah merasakan hamil sebelumnya, namun mendengar berita kalau Irna telah kehilangan bayinya, membuatku merasa sedih, seperti ada sesuatu yang ditarik paksa dari dalam hatiku. Karena aku tahu kalau Irna benar-benar menginginkan bayi itu, seorang anak yang telah lama dia dambakan, namun dia harus kehilangan bayi itu sebelum dia sempat melihat wajahnya, sungguh menyedihkan.“Bagaimana Irna bisa kehilangan bayinya? Apakah dia keguguran?” selidikku.“Iya, dia keguguran. Namun sebenarnya dia bisa mempertahankan bayinya andai saja ….”Alvaro menggantung kalimatnya hingga membuatku penasaran. Karena dari yang aku ketahui, Irna pasti akan melakukan apapun untuk menyelamatkan kandungannya, namun kenyataannya dia justru harus keguguran. Pasti ada sesuatu hal yang menimpa Irna saat itu.“Dia terlambat untuk mendapatkan perawatan dari dokter sehingga bayinya
Mencoba Ikhlas----Hari ini dokter datang membawa kabar baik, aku sduah diperbolrhkan untuk pulang. Ibu dan bapak terlihat sangat bahagia mendengarnya, namun aku tahu, di balik senyum bahagia mereka berdua. Tersembunyi kesedihan yang luar biasa. Aku tahu, mereka berdua selalu berusaha untu tetap tersenyum di depanku, namun aku yakin kalau sebenarnya mereka sangat bersedih, mengetahui fakta kalau aku tidak bisa lagi berjalan. Meskipun dokter berulang kali meyakinkanku dan kedua orang tuaku, kalau aku akan bisa berjalan lagi seperti semula, namun tetap saja kenyataan pahit kalau saat ini aku harus menggunakan kursi roda sebagai pengganti kakiku, dan itu tidak mudah bagiku untuk menerimanya.Keyakinanku semakin kuat ketika tanpa sengaja aku terbangun di malam hari dan mendapati ibu dan bapak sedang berbicara dengan suara lirih dalam remang cahaya lampu. Aku mencoba menajamkan pendengaran untuk bisa mengetahui apa yang saat itu kedua orang tuaku bicarakan. Mereka berdua sedang membicarak
Cobaan Kedua [Marina]----Kurasakan tubuhku terasa begitu sakit, seolah seluruh tulang di tubuhku remuk. Ingin sekali aku menggerakkan tubuh, namun tidak mampu. Jangankan menggerakkan tubuh, sekedar membuka keedua mata pun aku tidak bisa. Apakah aku sudah mati? Kalau memang aku sudah mati, kenapa aku bisa mendengar suara orang-orang yang ada di sekitarku? Aku bahkan bisa mendengar suara Alvaro, meskipun itu samar-samar. Aku juga bisa mengenali suara Devan dan Rahma yang sedang berbicara di dekatku.“Marina, bangunlah, Nak. Sudah lama sekali kamu tertidur, tidakkah kamu ingin melihat ibu dan bapak? Bapak ada di sini, sudah beberapa hari ini bapakmu menemani ibu di sini, menunggumu bangun.”Suara itu, aku tahu siapa pemiliknya. Wanita yang suaranya selalu mampu membuatku merasa nyaman dan tenang setiap kali berbicara dengannya. Iya, itu suara ibu.“Bu, Marina juga kangen sama ibu,” ucapku. Namun suaraku tidak pernah keluar dari mulutku.Lalu, kurasakan sentuhan lembut di tanganku, se