Sesampainya di rumah sakit aku langsung menemui Papa dan Mama yang sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Aku tanya kabar dan melihat Papa baik-baik saja."Papa ..." Aku langsung mendekat dan memeluknya."Gimana keadaanmu Imelda?"" Baik ibunya Roni memperlakukanku dengan baik Pa.""Oh, Syukurlah," jawabnya."Gimama keadaan Papa, ada yang parah?""Tidak terlalu, pelurunya menembus perut dan hampir memutuskan usus papa," jawabnya."Ngeri sekali, maafkan aku ya, Pa, karena aku papa jadi seperti ini.""Enggak apa-apa gimana keadaan Roni?" "Belum ketemu, Pa," jawabku."Papa dengar kamu hamil dengannya, apa itu benar?" Ayahku itu bertanya dengan nada lembut dan dia tidak terlihat marah sama sekali padahal aku telah mempermalukannya."Tidak, aku tidak hamil, aku hanya pura-pura," jawabku."Satu kebohongan akan berujung pada kebohongan yang lain anakku, jangan begitu," ucap papa"Di luar sana, entah kegaduhan apa yang telah kau lakukan, entah kenapa firasatku merasa bahwa ini tidak bagus,"
Hei, tunggu, hentikan," ujarnya dengan suara sedikit meninggi."Kenapa apa kau takut?""Tidak, tapi ini bukan tempatnya," jawabnya."Hmm, baiklah." Kubenahi kembali apa yang tadi coba kutarik."Ah, kau ini," ujarnya menghela napas dan menggeleng pelan."Tolong menikahlah denganku," ucapku menangkupkan tangan."Kau melamarku?""Iya, anggap saja," jawabku menggeleng, setengah putus asa."Tapi kau akan memutus masa lajangku," ujarnya menggeleng."Aku tak akan banyak tingkah atau tuntutan, kita bisa bercerai lagi setelah ini," ungkapku cepat."Baiklah." Dia menghela napas seperti terpaksa, tapi aku tak peduli."Wah, ya ampun, makasih ya," ujarku melompat gembira."Jangan bersikap bahwa aku seakan-akan telah mengganti bonekamu yang hilang, biasa saja," ujarnya ketus."Ah, kau makin manis ketika bersikap dingin," jawabku mencuil ujung payudaranya dia terkejut dan nyaris terlonjak dari tempat tidur."Hei, lancang ya," ujarnya melotot."Kau kan, akan jadi suamiku, jadi terbiasalah." Aku terta
"Kami bisa membawanya dengan paksa atau mengambil tindakan keras," ucapnya masih berusaha menarik tanganku."Hentikan, lepaskan dia atau aku akan lupa hubungan baik dengan nyonya kalian, sebagai gantinya, aku akan pergi ke sana dan bicara. Jadi bawa aku saja," ujar kolonel William."Jangan!" cegah anak-anaknya dengan tegang."Jangan khawatir, tak akan terjadi apa apa padaku," balasnya."Tidak, kami tidak Anda jadi tolong bekerja samalah demi hubungan baik Anda dengan nyonya kami," balas pria pria itu."Aku tetap tak setuju, bisa jadi wanita ini akan dipaksa mengugurkan janinnya, kalian memaksa dia naik ke meja aborsi dan menjadikan dia trauma karena hal tersebut. Kau pikir aku bodoh? Aku akan pergi menemui Erika. Jadi lepaskan wanita muda itu."Karena tidak punya pilihan lain akhirnya preman yang kesemuanya berpakaian hitam dan setelan jas itu menjauh. Mereka hanya mendengkus sambil menatapku lalu membalikkan badan dan pergi."Pa, gak usah pergi Pa, gimana kalo ternyata Papa yang dija
Aku kembali di bawah ke rumah kolonel William, kali ini bersama Roni yang dipulangkan dari rumah sakit, pemuda itu terlihat jauh lebih sehat dan cerah dibanding kemarin, dia diturunkan oleh keluarganya dari mobil dan dibantu masuk ke kamar. Sedang aku berdiri terpaku tak tahu harus bersikap seperti apa, duduk di mana atau menyapa siapa, canggung sekali karena semua anggota keluarga berkumpul. Setelah mengantarkan Roni ke kamarnya mereka lalu mengajakku duduk di ruang tamu, berkumpul dengan formasi lengkap keluarganya sangat membuatku gugup dan merasa terintimidasi, aku cemas atas apa yang akan mereka bicarakan. "Kemarilah, duduklah dekat ibunya Roni," ujar istri Om Heri, dia ramah, tapi suaminya masih terlihat tak suka padaku. "Baik, Tante," balasku mendekat dan duduk layaknya anak manis. "Kami akan membicarakan rencana pernikahan kalian, menurutmu, kau ingin itu terjadi seperti apa?" tanya istri Om Heri. "Uhm, biar Tante dan keluarga saja yang mengatur," jawabku. "Tapi, kami tet
"Kau tahu hanya kita di sini, biasanya kau akan bersikap nakal dan menggodaku mengapa kau begitu kalem?""Aku merasa bersalah," balasku. Dia mengangkat wajahku hingga sejajar dengan tatapan matanya."Apa yang akan kamu berikan ketika kau telah jadi istriku? Bisakah kau melayaniku dengan baik?""A-aku akan berusaha baik dan bersikap wajar. Aku akan berterima kasih seumur hidup untuk perlindungan ini.""Hehehe, kau pengecut kecil yang menggemaskan, aku suka kau berlindung dalam pelukanku karena dengan begini aku merasa memilikimu," gumamnya sambil mendekap dan mencium bahuku.Ada rasa hangat ketika bibirnya mengenai bahuku, ada geli dan sedikit nyaman, ingin kudorong tapi tak tega, jadi aku hanya bisa menggigit bibir ketika sentuhannya mulai menjalar ke leher dan tangan itu menyusup ke balik penutup tubuhku. "Kau adalah milikku sekarang," bisiknya dan itu kata terakhir yang dia ucapkan sebelum aku lupa segalanya.*Aku tidak begitu ingat betapa indahnya kejadian semalam, yang pasti a
Om Heri meletakkanku di ranjang, membantu menaikkan selimut menutupi kakiku dan menyalakan AC, dia masih terlihat garang dan tidak suka namun tidak mampu menyembunyikan kekhawatirannya."Maaf," ucapnya pelan. Aku tidak tahu itu terdengar tulus atau tidak tapi karena dia sudah mengucapkannya aku akan berterima kasih."Aku sangat khawatir terjadi apa-apa pada Imelda. Dia sedang hamil dan itu adalah cucu pertamaku," ungkapkan Tante Vina yang menyusul Om Heri ke kamar."Tenang saja tidak akan terjadi apa-apa, aku sudah suruh anak-anak untuk menelpon dokter," jawabnya."Roni belum tahu yang terjadi, karena dia masih tidur, aku tidak bisa bayangkan dia mengetahui kejadian sebenarnya dan mengamuk ke seluruh anggota keluarga. Kau tahu sendiri sifat anak itu," gumam ibunya Roni."Itu tidak akan terjadi Mbak Vina, aku bisa menjaminnya, aku akan mengkondisikan segala sesuatu menjadi aman, akan kusuruh sepupu-sepupu Roni untuk pulang dan tidak mendatangi tempat ini sampai minggu depan," ujarnya.
Mengetahui anakku dan segala sepak terjangnya yang memusingkan, aku sungguh tak tahu harus berkata apa lagi untuk mencegahnya.**Hari itu ...Setelah tak terhitung berapa kali aku harus bertengkar dengan Nyonya Erika, membahas dan mendebat keputusan kejamnya yang ingin memaksa Bendi untuk mempoligami anakku,Akhirnya ini puncak dari semua itu.Erika datang melempar surat cerai ke atas meja, dan pergi dengan senyum jahatnya meninggalkan segala kemarahan dan sumpah serapah putriku yang tak terima dengan perlakuannya. Sesungguhnya saat itulah hati seorang ibu yang berharap putrinya akan bahagia dengan pernikahan, menjadi hancur. Aku marah, ingin sekali menangis saat membaca lembaran putih bertuliskan nama Imelda dengan pengesahan cerai, namun aku menahannya agar putriku tidak semakin rapuh.Aku dan Mas Yadi berusaha untuk membuatnya tetap tegar dengan segala saran dan ucapan tulus kami untuk menghiburnya. Meski dalam dada, jiwaku tergerus oleh rasa kecewa dan ingin sekali diriku--andai
Kubawakan Teh ke ruang tengah dan menyajikannya dengan penuh ketulusan, kutuangkan minuman beraroma melati itu lalu membagikan yang pada anggota keluarga. Namun aku langsung terkejut karena ternyata kami memiliki tamu di antara semua orang, Nyonya Erika. Aku tidak ingat kapan terakhir Bertemu dengannya tapi ini benar-benar kejutan yang cukup membuat urat kepalaku menegang.Dia tersenyum dengan ekspresi sinis sementara anggota keluarga yang lain hanya diam, aku gemetar dan nyaris saja menumpahkan teko teh panas ke kakiku, untungnya diri ini masih bisa menguasai keadaan."Bagaimana, kau terkejut bertemu aku?""Aku hanya tidak menyangka," balasku."Kau terlihat manis sebagai calon menantu baru Aku tidak menyangka bahwa kau sebaik ini," pujinya sekaligus menyindir."Terima kasih," jawabku sambil menyodorkan secangkir teh untuk wanita angkuh itu. Tiba-tiba semua orang memutuskan untuk bangkit dan meninggalkan kami, aku bingung dan tidak tahu harus berkata apa-apa lagi. Entah kemana Roni
Ternyata dia tidak ditangkap, kudengar bahwa Bendi masih berkeliaran dan memimpin gangsternya meski polisi mengawasi. Dari percakapan di makan malam kemarin anggota keluarga membahas tentangnya dan sepak terjang pria itu."Kenapa dia tidak ditahan jika terbukti bersalah?""Ibunya mengakui kesalahannya dan mengatakan bahwa anaknya tidak terlibat."Sungguhkah? Tapi polisi pun tahu kan bahwa pria itu sangat berbahaya?""Kamu sudah tahu bahwa ketimpangan hukum itu benar-benar terjadi di negara ini, segala sesuatu bisa dibeli dengan uang di zaman sekarang," jawab kakek William sambil memotong medium rare steak dan menikmatinya."Tapi bukankah membela pemuda itu akan menimbulkan kehebohan publik sekarang pun semua orang bisa menilai ...." Catherine menimpali sambil menatap kakeknya."Dengan alasan kesopanan seseorang bisa diringankan dari jerat hukum bahkan bebas. Aku yakin mereka sudah menjamin ratusan juta untuk sebuah kebebasan."Aku mau menyesal sekali mengapa Roni bisa berteman dengan
*Pagi itu pintu selku dibuka dengan kencang, terali digeser lebar, beberapa sipir datang menemuiku dengan wajah dingin mereka yang tanpa ekspresi. Mereka berempat berdiri sementara aku meringkuk di sudut ruangan melindungi diri dari dingin dan serangan nyamuk yang tanpa ampun terus menerus datang dan menghisap darah ini."Kamu ...!" Mereka menudingku dengan tongkat kayu dan menatapku dengan pelototan tajam.Aku yang merasa kaget dan sadar tidak melakukan kesalahan apapun, mulai was-was dan khawatir, takut mereka menyeretku ke sel isolasi atau menyiksa diri ini dengan siksaan yang pedih."Ada apa?""Keluar dan ikut bersama kami!""Ke-kemana?""Ikut saja," ujar salah seoranh sipir sambil menghampiri dan menyeret lengan bajuku."Iya-iya, saya akan ikut, jangan seret saya, nanti saya terjatuh," jawabku sambil berusaha menetrasilir kekhawatiran dalam hati. Apa gerangan yang terjadi ketika pada sipir kejam berhati dingin ini mencariku, membawaku dengan pengawalan ke arah gerbang tanpa men
*Ini adalah hari persidangan terakhir, persidangan yang akan menentukan apakah aku harus kalah atau menang. Apakah perjuanganku akan berhenti sampai di sini atau hari-hari panjang masih tetap akan kulalui di balik jeruji besi.Sejak pagi aku sudah menyiapkan pakaian, mandi dengan bersih dan merapikan rambutku. Kenakan jaket untuk melindungi diri ini dari pendingin cuaca karena sejak hamil aku menjadi mudah kembung dan kedinginan.Pukul delapan pagi, mobil tahanan yang akan membawaku ke persidangan, terdengar menjemput, bunyi sirene panjang tanda pintu sudah terbuka menjadikan itu sebagai isyarat bahwa sipir akan mengantarku ke pintu luar dan memastikan aku telah naik ke mobil tahanan dengan aman."Berikan tanganmu." Sipir memerintahkanku untuk menunjukkan kedua tanganku karena dia akan menggelangi borgol."Sebenarnya tanpa itu pun saya tidak akan ke mana-mana.""Kita ikuti prosedur saja," jawab wanita yang terbentuk bersikap tegas dan sedikit kasar karena selalu berhubungan dengan p
"Bagaimana perasaanmu?" tanya Roni ketika sidang berakhir, dia menemuiku di meja terdakwa dekat dengan pengacaraku."Sedikit lega, mungkin aku punya harapan baru Ron._""Bukan kemungkinan harapan Sayang, tadi pasti aku akan berusaha agar kau bisa bebas dan melahirkan anak kita dengan nyaman di rumah sakit terbaik," jawabnya sambil mengelusi perutku dengan lembut."Makasih ya, Roni." Kupeluk dia dengan penuh cinta dan berterima kasih padanya, sementara suamiku membelai punggung ini dengan lembut sebelum polisi membawaku kembali ke lapas."Ron, kapan aku akan terbebas dari tempat itu. Mengapa jalannya kasus lamban sekali, yang ada hanya sidang tanpa kesudahan lalu aku kembali ke tempat mengerikan yang dipenuhi penjahat itu. Andai aku tidak hamil, mungkin mudah mengatasinya, tapi karena keadaanku payah, aku sangat tidak tahu apa yang harus kulakukan." Aku mengeluh dengan air mata menggenang di pelupuk mata."Sabar ya, aku sedang berusaha melepasmu."Dia menggenggam tanganku dengan penuh
"Rupanya kau mulai menunjukkan tajir ya. ..?" Seorang ketua kelompok geng wanita dari penjara sebelah timur yang kebetulan berpapasan denganku di lorong bui menyapa diri ini. Aku saat itu baru saja kembali dari ruang mandi tahanan.Dia nampak menyeringai dengan misterius dan tersenyum sinis."Kita semua mencoba bertahan hidup," jawabku."Caramu bertahan luar biasa juga," kuncinya sambil menepuk-nepuk punggung ini."Maaf tolong jangan pukul-pukul saya dengan kencang, saya sedang hamil." Kutepis tangan wanita itu yang mulai terlihat ingin melecehkanku padahal dia sendiri adalah seorang wanita.Mungkin tersinggung kutepis demikian sehingga dia memelintir pergelangan tanganku, lalu menguncinya ke belakang punggungku. Lantas dia mendorong wajah ini ke dinding."Dengar ... aku hanya memperingatkanmu, jangan coba-coba membantah atau melawan kami karena meski kau punya banyak pelindung, hidup ditempat ini tidak seaman yang kamu kira," gumamnya sambil menepuk pipiku."Baiklah, jika tidak digan
*Aku dibawa ke ruang sel sendiri setelah selesai diobati di klinik, lalu aku diberikan sebuah kasur kecil untuk istirahat. Suamiku mengantar diri ini dengan penuh kasih lalu menyertaiku dan duduk di sampingku."Dengar ya, bertahanlah sedikit lagi, aku akan mengeluarkanmu dari tempat ini dan membebaskanmu," bisik Roni sambil mendudukkan diri ini di tempat tidur yang terbuat dari besi berukuran kecil.Aku yang telah lemah dan baru saja mendapatkan pengobatan di wajah hanya bisa meneteskan air mata, aku mengangguk pelan tanpa banyak bicara padanya."Bertahanlah demi bayi kita," bisiknya."Bagaimana jika aku dihukum mati karena terbukti bersalah?""Tidak ada bukti yang mengarah secara langsung padamu, hanya karena kau terekam di gerbang depan bukan berarti kamu pelaku.""Kalau begitu, harus ada orang yang bisa dijadikan pelaku, harus ada kambing hitam, karena polisi perlu menyalahkan seseorang dan membawa tersangka ke depan pengadilan.""Polisi sudah memintaku sebagai saksi," ucap Ro
"Ron ... Roni, ya Allah ...." Orang yang kupanggil langsung mengalihkan tatapannya dan segera menghambur untuk memeluk diri ini wajahnya yang masih pucat dan langkah kakinya yang masih lemah tidak menyurutkan niatnya untuk tetap menyongsongku yang terduduk lemah, terkapar di dalam sel isolasi."Imel, maafin aku ya, aku telat," ucapnya sambil membenahi rambut yang berantakan menutupi wajahku dengan pelan disentuhnya perut ini yang mulai membuncit menunjukkan bahwa kehamilanku berkembang dengan baik."Bagaimana bayi?""Baik-baik saja," ujarku."Alhamdulillah," ucapnya membingkai wajah ini dengan kedua tangan, sedang aku langsung meringis menahan luka bakar yang baru saja Irina lakukan pada wajahku."Auh, Ron, Maaf, wajahku ..." Pria itu kaget, doa tersentak melihat darah dan lendir lengket bekas bakar di jemari tangannya, diperiksanya dagu ini dengan cepat, dan tentu meradanglah, suamiku melihat luka itu."Siapa yang lakukan ini?!" teriaknya, saking kerasnya, gema suara itu memantul ke
"Apa apaan ini?" teriak sipir dengan mata membeliak."Mereka mencampur susu saya dengan pasir," ucapku sambil menumpahkan kotak susu ke hadapan sipir, melihat susu yang dipenuhi debu dan kerikil kecil membuat sipir menjadi melotot kepada ketiga perempuan yang ada di selku."Ini perbuatan kalian?""Tidak, Bu, kami tidak tahu apa-apa wanita ini memang mencari permasalahan agar dia bisa memukul kami dan melampiaskan jiwa psikopatnya," ujar seorang wanita membela diri."Sungguhkah?" wanita yang berseragam biru pudar itu melotot padaku."Seperti yang Anda tahu saya baru saja pulang dari persidangan sejak pagi tadi, kita makanan saya dimakan dan susu kehamilan saya dicampur dengan kerikil. Saya rasa sejahat apapun seseorang mereka tidak pantas diperlakukan dengan cara seperti ini?!" jawabku lantang."Hal itu pula yang ingin aku sampaikan padamu bahwa, sejahat apapun, menyiram orang lain dengan air panas adalah hal kejam dan tidak berprikemanusiaan!" Kelihatannya Ibu sipir lebih memihak pad
Persidangan hari ini berakhir, para jaksa dan pengunjung ruang sidang nampak membubarkan diri. Dari sudut ruangan kulihat Irina nampak menatapku dengan mata penuh dendam dan air mata. Dia terlihat sangat murka dan mau melakukan apa saja demi menghukumku."Mari, Anda harus kami bawa ke mobil Tahanan," ucap seorang polisi. Aku yang kebetulan duduk di kursi pesakitan langsung diangkat menuju pintu utara demi meninggalkan ruang sidang. Sekilas kubalikkan badan dan melihat irina nampak berbisikan dengan jaksa yang baru saja menuntutku di depan sidang. Nampaknya jaksa itu memang mengenal Irina sehingga dia pun nampak sangat benci dan terus mengintimidasi diri ini.Ketika keluar ke pelataran pengadilan, aku disambut puluhan wartawan dan jepreten blitz kamera, berbagai pertanyaan mereka lemparkan membuat hati ini tersudut dan makin menciut."Nona Imelda, apa komentar Anda tentang sidang yang berlangsung hari ini?" tanya seorang wanita."Apa Anda sungguh membunuh seseorang demi dendam dan kec