Hei, tunggu, hentikan," ujarnya dengan suara sedikit meninggi."Kenapa apa kau takut?""Tidak, tapi ini bukan tempatnya," jawabnya."Hmm, baiklah." Kubenahi kembali apa yang tadi coba kutarik."Ah, kau ini," ujarnya menghela napas dan menggeleng pelan."Tolong menikahlah denganku," ucapku menangkupkan tangan."Kau melamarku?""Iya, anggap saja," jawabku menggeleng, setengah putus asa."Tapi kau akan memutus masa lajangku," ujarnya menggeleng."Aku tak akan banyak tingkah atau tuntutan, kita bisa bercerai lagi setelah ini," ungkapku cepat."Baiklah." Dia menghela napas seperti terpaksa, tapi aku tak peduli."Wah, ya ampun, makasih ya," ujarku melompat gembira."Jangan bersikap bahwa aku seakan-akan telah mengganti bonekamu yang hilang, biasa saja," ujarnya ketus."Ah, kau makin manis ketika bersikap dingin," jawabku mencuil ujung payudaranya dia terkejut dan nyaris terlonjak dari tempat tidur."Hei, lancang ya," ujarnya melotot."Kau kan, akan jadi suamiku, jadi terbiasalah." Aku terta
"Kami bisa membawanya dengan paksa atau mengambil tindakan keras," ucapnya masih berusaha menarik tanganku."Hentikan, lepaskan dia atau aku akan lupa hubungan baik dengan nyonya kalian, sebagai gantinya, aku akan pergi ke sana dan bicara. Jadi bawa aku saja," ujar kolonel William."Jangan!" cegah anak-anaknya dengan tegang."Jangan khawatir, tak akan terjadi apa apa padaku," balasnya."Tidak, kami tidak Anda jadi tolong bekerja samalah demi hubungan baik Anda dengan nyonya kami," balas pria pria itu."Aku tetap tak setuju, bisa jadi wanita ini akan dipaksa mengugurkan janinnya, kalian memaksa dia naik ke meja aborsi dan menjadikan dia trauma karena hal tersebut. Kau pikir aku bodoh? Aku akan pergi menemui Erika. Jadi lepaskan wanita muda itu."Karena tidak punya pilihan lain akhirnya preman yang kesemuanya berpakaian hitam dan setelan jas itu menjauh. Mereka hanya mendengkus sambil menatapku lalu membalikkan badan dan pergi."Pa, gak usah pergi Pa, gimana kalo ternyata Papa yang dija
Aku kembali di bawah ke rumah kolonel William, kali ini bersama Roni yang dipulangkan dari rumah sakit, pemuda itu terlihat jauh lebih sehat dan cerah dibanding kemarin, dia diturunkan oleh keluarganya dari mobil dan dibantu masuk ke kamar. Sedang aku berdiri terpaku tak tahu harus bersikap seperti apa, duduk di mana atau menyapa siapa, canggung sekali karena semua anggota keluarga berkumpul. Setelah mengantarkan Roni ke kamarnya mereka lalu mengajakku duduk di ruang tamu, berkumpul dengan formasi lengkap keluarganya sangat membuatku gugup dan merasa terintimidasi, aku cemas atas apa yang akan mereka bicarakan. "Kemarilah, duduklah dekat ibunya Roni," ujar istri Om Heri, dia ramah, tapi suaminya masih terlihat tak suka padaku. "Baik, Tante," balasku mendekat dan duduk layaknya anak manis. "Kami akan membicarakan rencana pernikahan kalian, menurutmu, kau ingin itu terjadi seperti apa?" tanya istri Om Heri. "Uhm, biar Tante dan keluarga saja yang mengatur," jawabku. "Tapi, kami tet
"Kau tahu hanya kita di sini, biasanya kau akan bersikap nakal dan menggodaku mengapa kau begitu kalem?""Aku merasa bersalah," balasku. Dia mengangkat wajahku hingga sejajar dengan tatapan matanya."Apa yang akan kamu berikan ketika kau telah jadi istriku? Bisakah kau melayaniku dengan baik?""A-aku akan berusaha baik dan bersikap wajar. Aku akan berterima kasih seumur hidup untuk perlindungan ini.""Hehehe, kau pengecut kecil yang menggemaskan, aku suka kau berlindung dalam pelukanku karena dengan begini aku merasa memilikimu," gumamnya sambil mendekap dan mencium bahuku.Ada rasa hangat ketika bibirnya mengenai bahuku, ada geli dan sedikit nyaman, ingin kudorong tapi tak tega, jadi aku hanya bisa menggigit bibir ketika sentuhannya mulai menjalar ke leher dan tangan itu menyusup ke balik penutup tubuhku. "Kau adalah milikku sekarang," bisiknya dan itu kata terakhir yang dia ucapkan sebelum aku lupa segalanya.*Aku tidak begitu ingat betapa indahnya kejadian semalam, yang pasti a
Om Heri meletakkanku di ranjang, membantu menaikkan selimut menutupi kakiku dan menyalakan AC, dia masih terlihat garang dan tidak suka namun tidak mampu menyembunyikan kekhawatirannya."Maaf," ucapnya pelan. Aku tidak tahu itu terdengar tulus atau tidak tapi karena dia sudah mengucapkannya aku akan berterima kasih."Aku sangat khawatir terjadi apa-apa pada Imelda. Dia sedang hamil dan itu adalah cucu pertamaku," ungkapkan Tante Vina yang menyusul Om Heri ke kamar."Tenang saja tidak akan terjadi apa-apa, aku sudah suruh anak-anak untuk menelpon dokter," jawabnya."Roni belum tahu yang terjadi, karena dia masih tidur, aku tidak bisa bayangkan dia mengetahui kejadian sebenarnya dan mengamuk ke seluruh anggota keluarga. Kau tahu sendiri sifat anak itu," gumam ibunya Roni."Itu tidak akan terjadi Mbak Vina, aku bisa menjaminnya, aku akan mengkondisikan segala sesuatu menjadi aman, akan kusuruh sepupu-sepupu Roni untuk pulang dan tidak mendatangi tempat ini sampai minggu depan," ujarnya.
Mengetahui anakku dan segala sepak terjangnya yang memusingkan, aku sungguh tak tahu harus berkata apa lagi untuk mencegahnya.**Hari itu ...Setelah tak terhitung berapa kali aku harus bertengkar dengan Nyonya Erika, membahas dan mendebat keputusan kejamnya yang ingin memaksa Bendi untuk mempoligami anakku,Akhirnya ini puncak dari semua itu.Erika datang melempar surat cerai ke atas meja, dan pergi dengan senyum jahatnya meninggalkan segala kemarahan dan sumpah serapah putriku yang tak terima dengan perlakuannya. Sesungguhnya saat itulah hati seorang ibu yang berharap putrinya akan bahagia dengan pernikahan, menjadi hancur. Aku marah, ingin sekali menangis saat membaca lembaran putih bertuliskan nama Imelda dengan pengesahan cerai, namun aku menahannya agar putriku tidak semakin rapuh.Aku dan Mas Yadi berusaha untuk membuatnya tetap tegar dengan segala saran dan ucapan tulus kami untuk menghiburnya. Meski dalam dada, jiwaku tergerus oleh rasa kecewa dan ingin sekali diriku--andai
Kubawakan Teh ke ruang tengah dan menyajikannya dengan penuh ketulusan, kutuangkan minuman beraroma melati itu lalu membagikan yang pada anggota keluarga. Namun aku langsung terkejut karena ternyata kami memiliki tamu di antara semua orang, Nyonya Erika. Aku tidak ingat kapan terakhir Bertemu dengannya tapi ini benar-benar kejutan yang cukup membuat urat kepalaku menegang.Dia tersenyum dengan ekspresi sinis sementara anggota keluarga yang lain hanya diam, aku gemetar dan nyaris saja menumpahkan teko teh panas ke kakiku, untungnya diri ini masih bisa menguasai keadaan."Bagaimana, kau terkejut bertemu aku?""Aku hanya tidak menyangka," balasku."Kau terlihat manis sebagai calon menantu baru Aku tidak menyangka bahwa kau sebaik ini," pujinya sekaligus menyindir."Terima kasih," jawabku sambil menyodorkan secangkir teh untuk wanita angkuh itu. Tiba-tiba semua orang memutuskan untuk bangkit dan meninggalkan kami, aku bingung dan tidak tahu harus berkata apa-apa lagi. Entah kemana Roni
Setelah insiden pertengkaran dengan Nyonya Erika, anggota keluarga William datang dan menyuruhku untuk naik ke lantai dua, memaksaku untuk melupakan dan tidak lagi bertanya."Tapi, dia sudah melecehkanku.""Sudah cukup jangan diperpanjang lagi pergi ganti bajumu dan kita akan pergi ke suatu tempat," suruh Tante Vina."Kemana?""Ada saja.""Apa maksudnya kalian tidak membelah atau melerai pertengkaran saya dengan Erika?""Kami hanya ingin melihat sejauh mana keberanianmu," balas Om Heri terkekeh sinis."Tentu saja saya mewarisi keberanian ibu saya," jawabku mendesis kesal, aku langsung naik dan membanting pintu kamarku.Roni? Entah di mana dia saat pertengkaran itu terjadi, apakah keluarganya sengaja mengalihkan pemuda itu agar tidak mengetahui masalahku? Ah, dasar orang kaya memang aneh.**Ternyata mereka mengajakku berbelanja, memilih gaun pengantin dan cadar yang akan menutupi wajahku ketika berjalan ke meja akad. Mereka bersikap wajar, seakan tidak memperdulikan perasaanku yang t
Hari itu adalah ulang tahun Kakek William yang ke 74, kami sekeluarga sepakat untuk melakukan dinner ke sebuah restoran yang cukup berkelas di kota ini.Jadi, sejak pukul 8 malam semua orang sudah bersiap-siap, masing-masing berdandan cantik menggunakan gaun terbaik dan perhiasan yang apik. Pun aku dan Roni, sudah jauh-jauh hari menyiapkan pakaian yang pantas agar terlihat memukau di hadapan anggota keluarga dan kerabat jauh yang diundang datang."Kamu cantik Sayang," ucap Roni ketika dia menghampiriku ke kaca rias, dibantunya diri ini untuk menaikkan resleting belakang gaun malam. Lalu dia mendaratkan kecupan di bahuku."Aku tidak rugi memperjuangkanmu sebagai milikku, aku bangga mendapatkanmu Imel," ucapnya sambil menatap pantulan diriku di kaca."Kamu romantis dan pandai memuji, terima kasih ya," balasku sambil mendekatkan wajah dan mengecup pipinya."Awas lipstik itu menempel dan mengalihkan perhatian semua orang di pesta," ucapnya menggoda."Oh, jangan khawatir, lipstik ini trans
"Uhm, Lit, kamu mau kemana?" tanya ibu mertua kepada istri Om Heri."Aku udah kenyang, kalian lanjutkan aja makannya," jawabnya ketus."Tapi, bahkan roti kamu belum habis," sanggah Tante Vina."Aku udah enggak lapar," jawabnya sambil menjauh."Kamu sih, bikin mood orang hancur," ucap Tante Vina serata menyenggol lenganku."Aku tidak bermaksud untuk menyakiti, aku hanya menyanggah argumen," balasku membela diri."kadang menyanggah seseorang yang lebih tua terlihat kurang sopan dan seperti sok pintar, tolong kendalikan dirimu untuk lain kali," ujar kakek sambil tersenyum tipis, lalu dia melanjutkan makannya."Aku menyesal dan minta maaf sekali," ucapku menunduk pelan."Ah, tidak apa apa, lupakan saja," jawab Tante Vina sambil melanjutkan makannya.Kadang aku merasa berada di lingkungan yang paling ideal untuk seorang gadis yang merindukan pernikahan apik dan keluarga besar, kudapatkan cinta dan perhatian dari banyak orang tapi di sisi lain kadang mereka terlalu kaku dan berpegang pada a
Setelah matikan kepergian cathrine aku masuk lagi ke dalam rumah, melanjutkan kegiatanku bersama keluarga dan suamiku tercinta.*Pukul tujuh aku naik kamar lalu merebahkan diri di tempat tidur, entah kenapa pikiran yang menggelayuti perasaan dan kepalaku ini terus menerus bekerja tentang Catherine dan Bendi.Aku bingung, aku juga yakin bahwa dia dalang utamanya, yang jadi pertanyaan mengapa dia melaporkan hal ini pada Bendi Jika dia memang berupaya untuk membunuhku.Apakah itu hanya alibi saja, agar nanti jika aku meninggal, dia tidak akan disalahkan dimata hukum dan kepolisian? Jika iya begitu, maka Catherine adalah wanita berhati jahat yang mengerikan, bahkan lebih jahat dari Kartika mantan istri Ayah dan Erika mantan ibu mertuaku."Oh, Tuhan, entah mengapa dalam lika-liku dan kisah hidupku... Kenapa kami harus ditimpa kesialan dan selalu berhubungan dengan wanita-wanita yang jahat. Tidak bisakah Engkau melepaskan kami dari cengkraman dan kelicikan mereka?" Aku mengeluh pada Tuhan
Mobil polisi tiba dan langsung menggelandang ketiga penjahat yang sejak tadi mengancam kami ke dalam mobil patroli. Ketika pria yang dibekuk nampak ingin meronta dan tidak terima dengan apa yang menimpa mereka namun nasi sudah menjadi bubur.Wanita tinggi semampai dengan model rambut mengembangkan dekat telinga, menghampiriku dengan senyum manisnya."Nyonya Imel, Apa yang kamu lakukan berlama-lama dalam fitting room. Apa kamu mengetahui bahwa kamu sedang diuntit?""Sebenarnya aku tidak begitu yakin, tapi karena aku sedang hamil dan tidak mau cari masalah, karena itulah aku berusaha melindungi diri dan jaga jarak.""Untungnya aku segera menyadari karena suamimu menghubungiku sesaat setelah mendapatkan laporan dari sepupunya. Aku berada di lokasi ini ketika dia menelepon sehingga aku tidak terlambat.""Terima kasih untuk datang tepat waktu aku benar-benar merasa diselamatkan," ucapku pada wanita dengan bibir seksi itu."Sebagai mantan napi dan orang yang pernah terlibat dengan mafia, i
Jika aku hanya bertahan diam di tempat ini, maka mereka akan tetap di sana untuk menungguku, mereka akan menembak begitu aku keluar, aku harus cari cara.(Ki, kita keluarga yuk, Ki.) ajakku pada Kiki via pesan.(Gak Mbak, aku takut, aku gemetar lho, Mba.) (Kalau begitu berdirilah dengan aman, karena aku akan mencoba memantau.)(Caranya gimana?)Aku tidak menjawabnya, tapi karena fitting room terbuat dari triplek dan kusen yang dicat sehingga aku bisa pelan pelan memanjat dan melihat keadaan dari atas.Ternyata ketiga preman itu berdiri dengan waspada, mata mereka tertuju ke arah fitting room di mana aku berada, sempat hampir bertemu mata dengan salah satu dari mereka tapi untungnya aku segera menyembunyikan diri.Perlahan aku turun dengan napas tertahan lalu berdiri dengan tubuh gemetar, sementara ada suara langkah kaki mendekat lalu mengetuk pintu kamar ganti tempatku.Tok .. Tok ...."Siapa ya, bentar ...." tanyaku dengan intonasi seakan aku tak tahu apa apa.Tok ....Sekali lagi
Hari itu aku dan sepupu Roni berjalan bersama pergi ke butik dan salon untuk perawatan, Setelah berbelanja di beberapa otlet barang khusus wanita, kususuri jalan untuk pergi ke salon perawatan yang hanya berjarak satu blok dari tempat kami semula. Kunikmati setiap sisi jalan yang ditumbuhi pohon rindang di mana daunnya yang menguning berguguran. setiap sudut jalan tertata rapi dan bersih, gedung-gedung butik bernuansa Eropa berjajar seakan kami sedang berada di kota Paris, juga suasana kota yang cukup menyenangkan dan sejuk membuat aku semangat untuk berjalan kaki menikmati kebebasanku."Eh, ada merasa aneh gak sih?" tanya Kiki sepupu Mas Roni dari adik ayahnya."Gak ada tuh ..." "Lihat itu mobil klasik merah yang sejak tadi terlihat mengikuti kita. Kita berada di outlet di blok sebelah dan mobil itu di sana, sekarang kita di sini dan mobil itu juga mengikuti, apa itu anak suruh Bendi?""Masak sih?" bisik Catherine dengan wajah cemas. Seketika saja wanita yang bekerja sebagai seora
Keesokan hari, suara burung berkicau, matahari menyembul dari balik tirai dan membias dari kaca, ke tempat tidur juga wajahku.Perlahan kukerjabkan mata, mengumpulkan kesadaran dan ingatan lalu terbangun sempurna sembari mengedarkan pandangan."Ya, yang kemarin itu bukan mimpi aku memang sudah dibawa pulang, sudah berada di tengah keluarga dan kini dalam pelukan suamiku."Kutatap pria tampan dengan hidung mancung yang kini terlelap, bibirnya terlihat menggoda untuk dikecup namun dengkuran halus itu menahan diriku. Ada iba, karena jika aku mengganggunya maka dia akan terganggu dan terbangun. Dia baru saja sehat dari rangkaian luka panjang, bahkan mungkin luka itu masih terasa perih di bagian dalam. Aku tak mau mengganggunya, ingin membuat dia terjaga karena ciuman ku. Perlahan kuturunkan tangannya dari perutku, lalu dengan gerakan halus kuturuni tempat tidur dan beranjak ke kamar mandi. Namun baru saja hendak bangkit, suami menarik tali bahu lingerie yang kukenakan."Mau kemana?" tany
Ternyata dia tidak ditangkap, kudengar bahwa Bendi masih berkeliaran dan memimpin gangsternya meski polisi mengawasi. Dari percakapan di makan malam kemarin anggota keluarga membahas tentangnya dan sepak terjang pria itu."Kenapa dia tidak ditahan jika terbukti bersalah?""Ibunya mengakui kesalahannya dan mengatakan bahwa anaknya tidak terlibat."Sungguhkah? Tapi polisi pun tahu kan bahwa pria itu sangat berbahaya?""Kamu sudah tahu bahwa ketimpangan hukum itu benar-benar terjadi di negara ini, segala sesuatu bisa dibeli dengan uang di zaman sekarang," jawab kakek William sambil memotong medium rare steak dan menikmatinya."Tapi bukankah membela pemuda itu akan menimbulkan kehebohan publik sekarang pun semua orang bisa menilai ...." Catherine menimpali sambil menatap kakeknya."Dengan alasan kesopanan seseorang bisa diringankan dari jerat hukum bahkan bebas. Aku yakin mereka sudah menjamin ratusan juta untuk sebuah kebebasan."Aku mau menyesal sekali mengapa Roni bisa berteman dengan
*Pagi itu pintu selku dibuka dengan kencang, terali digeser lebar, beberapa sipir datang menemuiku dengan wajah dingin mereka yang tanpa ekspresi. Mereka berempat berdiri sementara aku meringkuk di sudut ruangan melindungi diri dari dingin dan serangan nyamuk yang tanpa ampun terus menerus datang dan menghisap darah ini."Kamu ...!" Mereka menudingku dengan tongkat kayu dan menatapku dengan pelototan tajam.Aku yang merasa kaget dan sadar tidak melakukan kesalahan apapun, mulai was-was dan khawatir, takut mereka menyeretku ke sel isolasi atau menyiksa diri ini dengan siksaan yang pedih."Ada apa?""Keluar dan ikut bersama kami!""Ke-kemana?""Ikut saja," ujar salah seoranh sipir sambil menghampiri dan menyeret lengan bajuku."Iya-iya, saya akan ikut, jangan seret saya, nanti saya terjatuh," jawabku sambil berusaha menetrasilir kekhawatiran dalam hati. Apa gerangan yang terjadi ketika pada sipir kejam berhati dingin ini mencariku, membawaku dengan pengawalan ke arah gerbang tanpa men