Kata-kata itu menggantung di udara, lebih dingin dari dinding rumah sakit. Cinta menutup mata sejenak, lalu mengangguk pelan. Keselamatan Chiara lebih utama daripada mempertahankan sebuah ikatan yang sudah kehilangan kesakralannya.
Kevin mengalihkan pandangannya, merasa menang. Baginya ini adalah hukuman yang setimpal untuk Cinta yang telah mengganggu kesenangannya dan menjatuhkan harga dirinya di hadapan para karyawan. Setelah Cinta menyetujui syarat yang dia ajukan, Kevin melangkah tegap, tanpa ragu, seolah perjanjian yang baru saja mereka buat hanyalah urusan bisnis biasa. Cinta berdiri terpaku di lorong rumah sakit. Air matanya jatuh tanpa suara, menelusuri pipi yang pucat. Dia menatap Kevin yang berjalan menjauh bersamaan dengan seorang tenaga medis yang akan mengambil darahnya untuk didonorkan kepada putrinya. Waktu terasa begitu lambat. Detik-detik terasa seperti beban yang tak tertahankan. Cinta duduk di kursi tunggu yang dingin, tangannya menggenggam erat saputangan kecil, basah oleh air mata. Cinta memejamkan mata, mencoba mengusir kenangan tentang Kevin yang dulu penuh kasih, kini hanya menyisakan bayang-bayang laki-laki asing. Kevin kembali setelah selesai mendonorkan darah. Wajahnya datar, suaranya dingin tanpa empati. "Tanggung jawabku sudah selesai.” Kevin berdiri di hadapan Cinta tanpa menurunkan nada arogan. "Aku sudah siapkan asuransi untuk biaya pengobatan Chiara sampai dia keluar dari rumah sakit. Kau tidak perlu khawatir soal itu." Cinta menatap Kevin, mencoba menemukan lelaki yang pernah membuatnya jatuh cinta. Tapi yang dia lihat hanyalah pria asing yang hatinya telah pergi bersama perempuan lain. "Aku akan segera mengurus perceraian. Setelah itu, aku akan mengesahkan pernikahanku dengan Maira," lanjut Kevin tanpa ragu, seolah tidak mempedulikan keselamatan putrinya yang sedang berjuang hidup di ruang operasi. Cinta hanya mengangguk pelan. Tidak ada kata yang mampu keluar. Luka hatinya terlalu dalam untuk dijelaskan dengan ucapan. Setelah menjalani operasi, Chiara dipindahkan ke ruang perawatan. Tubuh kecilnya terbaring lemah di atas brankar, selang infus menempel di lengannya. Cinta duduk di sampingnya, menggenggam tangan mungil itu, mencoba menenangkan meski hatinya sendiri penuh luka. Chiara sering terbangun dari tidurnya dengan tangis kesakitan, tubuhnya meringis setiap kali bergerak. "Mama, Papa mana? Kenapa Papa nggak datang?" tanya Chiara dengan suara pelan, dan tatap mata penuh harap. Cinta terdiam sejenak, dadanya sesak. Ia mengelus rambut putrinya dengan lembut, mencoba menahan air mata yang hampir tumpah. "Papa sedang sibuk, Sayang. Papa sedang cari uang untuk membayar rumah sakit," jawabnya berusaha terdengar tenang. “Chia, bobok dulu, ya. Mama akan selalu menemani Chia di sini.” Setiap pertanyaan Chiara tentang Kevin adalah luka baru bagi Cinta. Ia merasa bingung dan hancur, tidak tahu bagaimana harus menjelaskan kenyataan pahit ini kepada putrinya. Karena pengaruh obat, kini Chiara sudah kembali terlelap. Cinta duduk di sampingnya, punggungnya bersandar lelah pada kursi keras rumah sakit. Tangannya masih menggenggam jemari kecil Chiara yang dingin. Matanya kosong, menatap lantai kusam. Pikirannya melayang, membayangkan masa depan yang tanpa arah. Pintu ruang perawatan Chiara berderit pelan. Cinta menoleh, matanya sayu terlihat lelah. Nora berdiri di ambang pintu, ragu-ragu, lalu melangkah masuk. Wajahnya cemas, dan suaranya terdengar pelan. "Maaf, Cin ... Aku baru tahu dari Ibu Panti. Aku ... harusnya datang lebih cepat.” Sahabat Cinta dari panti asuhan itu langsung memeluk tubuhnya dengan erat, seolah siap menjadi sandaran berbagi beban. Setelah pelukan terurai Cinta mengangguk dengan senyum yang dipaksakan. Nora menarik kursi pelan lalu duduk di hadapan Cinta. Matanya berkaca saat melihat Chiara yang terbaring tidak berdaya. "Apa benar ... kau akan cerai? Karena dia ... sudah menikah lagi?" cecar Nora pelan, suaranya mengandung ketidakpercayaan. Cinta menunduk, mengangguk. Dadanya terasa sesak, tapi tak ada air mata yang tersisa. Hanya keheningan yang penuh luka. Nora menghela napas panjang, lalu mendesis penuh amarah, “Miskinkan saja dia! Kalau sudah miskin, pasti si pelakor itu akan meninggalkannya.” Cinta tersenyum tipis, entah menertawakan dirinya sendiri yang harus menerima takdir dikhianati oleh suaminya, atau menertawakan testimony sang sahabat yang sepertinya sangat tidak masuk akal. Kevin Augusto Sanjaya, lelaki yang lima tahun lalu menikahi Cinta adalah seorang CEO dan calon perwaris tunggal perusahaan Sanjaya Group. Bukan hanya memiliki bisnis yang sedang berkembang pesat, tetapi dia juga memiliki saham di beberapa perusahaan lain yang tentunya akan selalu menambah pundi-pundi kekayaannya saat deviden dibagikan. Cinta menggeleng pelan sambil menatap lelah wajah Nora. “Apa lagi yang bisa aku pertahankan dalam pernikahan ini, jika hatinya sudah tidak bersama kami lagi?” Perselingkuhan yang nyata di depan mata, sikap Kevin yang sama sekali tidak menunjukkan cinta dan kasih sayang kepada keluarga lagi, membuat Cinta merasa hubungannya dengan Kevin sudah tidak bisa diselamatkan lagi. Bagaimana tidak, setelah mendonorkan darahnya Kevin tidak pernah menemani Chiara sama sekali. “Lalu kau pasrah begitu saja?” “Untuk kebebasannya Kevin sudah membayar dengan darah. Bagiku, sudah cukup dengan melihat anakku selamat.” Cinta mengalihkan pandangannya ke arah Chiara dan menatapnya dengan sendu. Sebenarnya Cinta ingin memperjuangkan hak-hak putrinya, tetapi dia tidak memiliki kekuatan. Pengacara Kevin beberapa kali mendatangi Cinta di rumah sakit. Bukan hanya untuk memastikan Cinta menerima semua keputusan Kevin, tetapi juga menebar ancaman akan menghentikan biaya pengobatan Chiara jika Cinta mempersulit perceraian mereka. Jadi, fokus Cinta saat ini hanyalah bagaimana dia bisa bertahan hidup dengan putrinya. Nora menggeleng tidak percaya. “Lalu apa rencanamu ke depan?” “Aku sudah meminta izin kepada Bunda Aminah untuk tinggal di panti asuhan sampai aku mendapat tempat tinggal.” Nora mengangguk samar, untuk hal itu dia sudah mendengar penjelasan dari Bunda Aminah. “Lalu ... kau akan bekerja?” Cinta mengangguk samar. Setelah bercerai dari Kevin, tentu dia tidak bisa menuntut nafkah lagi. Bahkan untuk Chiara, tampaknya Cinta hanya bisa menanti kesadaran Kevin sendiri. “Kau bisa membantuku?” tanya Cinta terdengar memohon. Nora hanya tersenyum, lalu dengan ponselnya beberapa kali dia mengambil foto Cinta secara candid. Cinta tergagap. “Buat apa?” “Nanti aku tunjukkan pada temenku, siapa tahu masih ada lowongan.” Hati Cinta tersentuh penuh haru, dia memaksakan senyum sambil mengusap punggung tangan Nora. “Terima kasih.”Kevin sudah berpesan kepada Cinta untuk tidak mendatangi sidang perceraian, agar prosesnya bisa berjalan dengan lancar. Dan sekarang, akta cerai itu sudah berada di tangan Cinta.Bunda Aminah memeluk Cinta, memberikan kekuatan dalam menghadapi ujian yang bertubi-tubi datangnya. Tidak ada kata-kata berlebihan, hanya keheningan yang berbicara lebih lantang daripada seribu nasihat. Cinta menunduk, menahan air mata yang nyaris tumpah, menggenggam erat akta cerai di tangannya."Kamu kuat, Nak. Sejak kecil, kamu sudah terbiasa menghadapi badai." ucap Bunda Aminah dengan suara yang menenangkan.Cinta mengangguk pelan, meski hatinya berkata sebaliknya. Dulu, dia datang ke panti ini sebagai anak kecil yang haus kasih sayang. Kini dia kembali, sebagai seorang ibu yang kehilangan segalanya, kecuali putrinya.Terdengar suara salam yang mengalihkan perhatian Cinta dan Bunda Aminah. Keduanya mengenali suara itu dan bergegas keluar.Nora datang dengan langkah cepat, dia mencium punggung tangan Bunda
Cinta menelan ludah, berusaha mengendalikan debaran jantung yang tak beraturan. Janda satu anak itu mengangkat dagu, memasang senyum profesional seolah tidak ada sejarah kelam di antara mereka. berdua "Saya siap untuk bekerja." Cinta berusaha tetap tenang, tetapi tidak bisa menutupi kegugupannya. "Apa yang harus saya lakukan?" Rama menatap Cinta, lalu tiba-tiba tertawa terbahak-bahak dengan tatap mata yang merendahkan. "Ah, Cinta ..." ucap Rama sambil menghela napas, masih menyisakan sisa tawa di bibirnya. "Kamu selalu terburu-buru?" Rama berjalan mendekat, langkahnya santai namun penuh tekanan. "Tidak perlu terburu-buru. Kita punya banyak waktu." Cinta mengeratkan jemarinya, tetap berusaha menjaga ketenangan. Namun, dari nada suara Rama, dia tahu satu hal, Rama yang berdiri di hadapannya ini bukan lagi pria yang pernah berjanji mencintainya seumur hidup. Ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang membuatnya ingin segera pergi, tetapi dia harus bertahan demi Chiara. Ini baru h
Setibanya di restoran mewah, seorang karyawan segera mengarahkan Rama dan Cinta ke tempat yang sudah dipesan sebelumnya. Tanpa sepatah kata, Rama sedikit mengulurkan lengannya. Tatap matanya memberi perintah yang tak terbantahkan. Cinta ragu sejenak, tapi dia tahu tak ada pilihan lain. Dengan gerakan anggun, dia membelitkan lengannya ke lengan Rama, menciptakan pemandangan keserasian yang nyaris sempurna. Rama dan Cinta berjalan berdampingan, seolah pasangan serasi yang memasuki ruangan dengan percaya diri. Namun di balik senyum tipis Rama, terselip ancaman yang tak terucap. Rama membungkuk sedikit, suaranya rendah dan tajam kala berbisik di telinga Cinta. "Mainkan peranmu dengan baik. Jangan mempermalukan aku." Cinta meneguk ludah, berusaha menjaga ketenangan. Menarik napas dalam, Cinta menatap lurus ke depan memulai sandiwara. Pikir Cinta, ini adalah bagian dari pekerjaan. Betapa terkejutnya Cinta saat dia melihat sosok di hadapannya. Dahulu Cinta pernah berada dalam sit
“Kau menangis?” Rama terus memperlakukan Cinta dengan kasar, tak peduli dengan air mata yang mengalir di pipinya. “Jangan berlagak seperti gadis yang baru melepas keperawanannya, aku tahu kau sudah punya anak.” Air mata Cinta tak mampu menimbulkan rasa iba, tidak juga belas kasihan. Rama tidak peduli, dia terus memburu kenikmatan, tentunya untuk dirinya sendiri. Kenangan indah masa lalu yang berkelebat, justru memantik bara dendam di hati Rama. Janji indah yang tak terwujud mengobarkan amarah dan gairah secara bersamaan. Rama mdenulikan telinga atas rintihan dan tangis Cinta, dan membutakan hatinya atas penderitaan perempuan yang pernah dia puja. “Hentikan Rama … aku mohon ….” Cinta mengiba, merintih dan menangis. “Sakit Ram … sakit ….” “Jangan sok suci, pelacur sepertimu pasti sudah biasa melayani banyak pria dengan berbagai gaya.” Rama mengerang dan mempercepat gerakannya semakin beringas. "Kau sudah menandatangani kontrak itu, Cinta. Tubuhmu … milikku sekarang." Setiap sentuh
Dion menatap wajah Cinta dengan saksama, lalu menghela napas panjang. Rasa iba menyelinap ke relung hatinya kala menatap Cinta yang terlihat begitu hancur.Mata Cinta yang sembab, wajahnya pun terlihat pucat, dan bahunya yang bergetar halus menandakan betapa dalam penderitaan yang harus dia tanggung.Dion sadar, belas kasihan tak akan mengubah apa pun.“Cinta,” ucap Dion akhirnya, nadanya lebih lembut dari sebelumnya. “Aku juga tidak bisa berbuat apa-apa."Dion mengusap tengkuk sebelum melanjutkan kalimatnya. "Dengar, suka atau tidak suka, kau harus menjalani kontrak ini. Karena melawan Pak Rama … itu bukan pilihan."Cinta menelan ludah.“Menangis tidak akan mengubah apa pun,” lanjut Dion. “Satu-satunya hal yang bisa kau lakukan sekarang adalah bertahan. Coba nikmati saja!”Dion tersenyum sumir tanpa makna. Entah menertawakan nasib Cinta, atau menertawakan dirinya sendiri yang memberikan saran sangat konyol.“Kumpulkan uang sebanyak yang kau bisa. Saat kontrak ini berakhir, kau bisa m
Di kamar yang luas dan mewah, Cinta berdiri tepat di depan Rama. Sinar matahari yang masuk melalui jendela besar membiaskan siluet tubuh mereka di cermin. Di tangan Cinta, dasi warna hitam dengan motif garis-garis harus dipasang di kerah kemeja Rama.Tangan Cinta bergerak dengan terampil, meski dengan hati yang terasa mati. Pekerjaan ini sudah menjadi kebiasaan. Dahulu, dia melakukan ini dengan penuh cinta untuk Kevin, mantan suaminya. Kini, dia melakukannya dengan terpaksa untuk pria yang telah menginjak-injak harga dirinya.Rama berdiri tegak dengan tatap mata dingin penuh kemenangan. Membiarkan Cinta mengurus dirinya, layaknya seorang istri yang sedang mengurus suami.Cinta terus menundukkan kepala, menghindar dari tatapan itu. Ibu satu anak itu menggigit bibirnya, menahan rasa perih yang menyeruak dalam dadanya karena terjebak dalam pekerjaan hina.Saat simpul dasi sudah terikat dengan sempurna, Cinta hendak meninggalkan Rama. Tetapi, belum sempat Cinta menjauh, tangan Rama sudah
Di sebuah butik mewah yang berada di kawasan elit kota terasa sangat eksklusif. Cahaya lampu kristal yang menggantung di langit-langit memantulkan kilauan halus pada rak-rak pakaian berlabel desainer terkenal. Aroma lembut parfum mahal menguar di udara, menyatu dengan suara lembut musik klasik yang mengalun pelan. Di salah satu sudut butik, perempuan peruh baya dengan anggun mengenakan gaun berwarna pastel, tengah memilih beberapa gaun. Dia adalah Widya, nyonya besar keluarga Narendra, yang tidak lain adalah mama Rama. Widya tampak asik berbincang dengan Evita, seorang gadis muda berparas manis yang sudah lama menaruh hati pada Rama. Evita, dengan balutan dress putih sederhana yang elegan, tersenyum mendengar cerita Widya. “Sekarang Rama sedang melakukan perjalanan bisnis. Papanya semakin percaya dengan hasil kerja Rama yang selalu memuaskan,” ujar Widya bangga, menyerahkan satu gaun kepada pramuniaga untuk dibawa ke ruang ganti. “Dia akan bertemu dengan beberapa pengusaha penting
Rama melangkah mendekati Cinta, matanya menyapu tubuhnya dengan tatapan yang penuh nafsu. Di tangannya, ponsel masih terhubung dengan Evita, panggilan yang sengaja tidak diakhiri.Rama ingin Evita mendengar segalanya, ingin gadis itu tahu bahwa tidak ada ruang untuknya di hatinya. Dengan gerakan perlahan, Rama meletakkan ponsel di nakas, memastikan suara mereka tetap terdengar jelas di sisi lain telepon.“Kamu cantik malam ini,” ucap Rama dengan suara datar namun penuh intensitas. Kata-katanya menggantung di udara, seolah menunggu reaksi.“Terima kasih,” jawab Evita dari ujung telepon, suaranya lembut namun penuh harap.Wajah Evita merona, hatinya pun melambung tinggi. Untuk sesaat, dia membayangkan Rama sedang berbicara padanya, memujinya dengan penuh cinta. Tapi semua itu tidak berlangsung lama, dan segera hancur berkeping-keping.“Aah….”Satu desahan lembut lolos dari bibir Cinta saat Rama mulai menyentuhnya. Sentuhannya kasar, penuh tuntutan dan gairah.Cinta mencoba menahan napas
Cinta mengepalkan tangannya di bawah meja. Dalam diam, Cinta sedang mengumpulkan keberanian untuk melawan. Janda beranak satu itu sudah siap dengan segala konsekuensinya.“Aku mengajakmu bertemu bukan untuk bilang ‘ya’,” ujar Cinta akhirnya. Suaranya yang tenang justru terasa menghujam di dada Nora.Senyum Nora menipis. Matanya menyipit karena tidak percaya melihat keberanian Cinta. “Lalu … untuk apa?”“Untuk memberitahu kamu, jika aku tidak akan goyah dengan pendirianku sekarang,” jawab Cinta pelan. “Aku tidak akan takut dengan segala ancamanmu, Nora. Kamu bisa mengatakan kepada siapa pun tentang masa laluku. Dan aku tidak akan peduli dengan penilaian mereka.”Teror tiada henti dari Nora justru semakin meyakinkan Cinta, jika niatnya untuk meninggalkan lembah hina, lebih besar dari ketakutan jika aibnya akan terbongkar.Cinta sadar, kapan pun aib itu bisa terbongkar, entah dari Nora, atau dari orang lain yang pernah melihatnya bersama Rama. Hujatan dan caci maki akan tertuju kepadanya
Sejak kehadiran Nora, hari-hari Cinta mulai terasa semakin penuh tekanan. Sejak tautan gosip itu menyebar, dia merasa seolah seluruh mata memandangnnya dengan tatapan hina.Setiap menyaksikan pelanggan yang sedang bercanda sambil menikmati hidangan, Cinta merasa seolah mereka sedang membicarakan dirinya. Kini hidup Cinta terasa tidak tenang, dipenuhi dengan berbagai kecurigaan. Cinta merasa, setiap orang yang memandangnya seolah ingin mengupas lapis demi lapis tubuh dan masa lalunya.Nora terus meneror. Kadang hanya kiriman emoji api, atau tautan komentar jahat dari netizen.Bahkan sosok yang telah menjadi teman bertumbuh sejak masa kecil itu, tidak segan mengirim pesan bernada ancaman, “Tinggal tunggu waktu sampai anakmu tahu siapa ibunya sebenarnya.”Cinta membaca setiap pesan yang dikirim oleh Nora, tetapi tidak satu pun yang dia balas.Untuk masalah yang satu ini, Cinta merasa benar-benar harus menghadapinya sendiri. Dia tidak tahu harus berbagi dengan siapa.Ini bukan tentang luk
Cinta berdiri di balik meja kasir, mengenakan blus putih sederhana dan celemek cokelat khas kafe miliknya. Ia menatap Hardy, barista muda yang sedang menuangkan espresso ke dalam cangkir. Pemuda itu berhenti sejenak saat menyadari Cinta melangkah menghampirinya, tampaknya ada hal penting yang ingin dia bicarakan.“Hardy!”Mendengar panggilan dari Cinta, Hardy segera meletakkan milk jug ke atas meja, lalu berbalik menghadap bos barunya.“Iya, Mbak?”Karena usia para karyawan tidak terlalu jauh dengan Cinta, mereka memanggil Cinta dengan panggilan 'Mbak' agar lebih akrab. Meski ada beberapa yang belum terbiasa, dan tetap memanggil 'bu' seperti saat bersama dengan Anisa dulu.“Terima kasih, ya,” ucap Cinta, menatap mata Hardy dengan tulus. “Kamu sudah bantu sampaikan pesanku ke Pak Davin. Aku tahu ini bukan posisi yang nyaman buat kamu, apalagi kalian masih ada hubungan kekerabatan.”Hardy tersenyum tipis, meski matanya tampak sedikit canggung. “Nggak apa-apa, Mbak. Mas Davin juga… ya,
Cinta berdiri di dekat meja kasir, menatap kosong ke arah para karyawan yang mulai merapikan kafe menjelang waktu tutup. Lantunan musik lembut masih mengalun pelan dari speaker di sudut ruangan, bercampur dengan suara kursi digeser, gelas dicuci, dan ucapan ringan antar sesama karyawan. Semuanya tampak biasa, seperti hari-hari sebelumnya. Tapi tidak dengan Cinta.Bayangan wajah Nora terus menghantui pikirannya. Senyum licik itu. Kata demi kata yang seperti racun. Ancaman yang bisa meruntuhkan semua yang selama ini dia bangun dengan susah payah.Tangannya yang menggenggam kain lap di meja mulai bergetar. Cinta berusaha tetap tegak, tersenyum kecil saat Rizka melambaikan tangan pamit. Tapi senyum itu tak sampai ke matanya. Begitu pintu kafe tertutup dan tinggal suara detik jam dinding yang terdengar jelas, Cinta menyandarkan tubuhnya ke meja, diam-diam menunduk.Air mata itu jatuh pelan. Tanpa suara. Tanpa drama. Hanya butiran kecil yang mengalir perlahan di pipinya. Ia menyekanya cep
Cinta menyandarkan punggungnya pada kursi, menatap Nora dengan sorot mata dingin, meski amarah dalam dadanya membara. Dalam diamnya, ia mengingat kembali semua luka yang sudah lama ia pendam, malam-malam panjang penuh air mata, rasa jijik yang tidak bisa hilang dari tubuhnya, dan suara erangan dan desahan Rama yang terus menghantui pikirannya. Semua itu berawal dari satu nama, Nora.“Aku tidak akan pernah lupa, Nor,” ucap Cinta akhirnya, suaranya datar namun tajam. “Nggak akan lupa dari mana uang itu berasal. Dari mana aku bisa beli kafe ini. Dan aku juga nggak akan lupa siapa sahabatku yang menjerumuskan aku ke lembah itu.”Nora tersenyum kecil, seperti tak tersentuh oleh tudingan itu. Ia menyilangkan kakinya, mengambil cangkir kopi yang tinggal setengah, lalu menyesapnya dengan santai. “Kamu harusnya berterima kasih sama aku, Cin. Bukan malah melempar kesalahan seperti ini."Cinta menyipitkan mata. “Terima kasih? Karena kamu sudah menjual aku?”Nora tertawa, pahit dan sarkastik. “O
Nora. Sahabat masa kecil, seseorang yang dulu tidur di ranjang sebelah di panti asuhan. Yang berbagi sepotong roti dan mimpi-mimpi kecil tentang masa depan yang lebih baik. Tetapi dia adalah perempuan yang telah menghancurkan hidup Cinta. Dengan kata-kata manis dan senyum pura-pura, Nora menggiringnya ke dalam perangkap. Membuatnya percaya bahwa pekerjaan itu akan membawa kehidupan lebih baik, tetapi yang ia dapatkah adalah kehinaan. Kehinaan bersama Rama. Satu bulan menjadi budak nafsu mantan kekasihnya, sampai kini masih menghantui tidurnya.Sekarang, Nora duduk santai, tertawa pelan, tanpa beban. Seolah semua itu tak pernah terjadi. Seolah mereka masih dua anak yatim piatu yang saling menjaga.Tiara menoleh dan melambaikan tangan dengan wajah senang melihat kehadiran Cinta. “Kak Cintaaa! Lihat Kak Nora datang."Cinta mengangguk pelan. Senyum kecil dipaksakan, meski tangan yang menggenggam alat bantu jalan Chiara mulai gemetar.Nora bangkit dari duduknya, menghampiri Cinta lalu
Tangan Rama mengambil map itu perlahan, membuka lembar demi lembar isinya, sebagian berisi catatan pengamatan, beberapa foto candid, dan selembar fotokopi dokumen rumah sakit.“Apa maksudmu banyak orang? Siapa saja?” tanya Rama cepat, nada suaranya mulai menajam.Selo menyandarkan tubuhnya ke kursi, tangan terlipat di dada. Ia menatap Rama seperti sedang mengamati pecahan teka-teki yang hampir utuh.“Selain njenengan,” ucap Selo Ardi datar, “ada mantan suaminya. Ada kemungkinan dia menyesal dan ingin rujuk kembali."Rama mengeraskan rahangnya, ada kecemburuan yang tiba-tiba menyeruak di dalam hatinya. Dia sudah menantikan Cinta begitu lama, dan tidak akan membiarkan ada yang menghalanginya, termasuk mantan suaminya.Kini, bukan hanya meluluhkan hati kedua orang tuanya agar memberi restu, tetapi juga menaklukkan putri Cinta, yang mungkin saja akan lebih condong untuk memilih ayah kandungnya."Terus… ibu mertuanya. Lebih berbahaya. Dia nggak bergerak terang-terangan, tapi saya lihat di
Rama menarik napas panjang, berusaha meneguhkan fokus meski pikirannya berkelindan antara paparan proyek dan kabar dari Selo Ardi. Rama tetap berdiri tegap di hadapan jajaran direksi dan calon investor yang duduk menyimak. Seorang investor senior dari Jepang, Mr. Takahashi, mengangkat tangan.“Mr. Rama, bagaimana Anda memastikan teknologi energi surya ini dapat diimplementasikan secara efisien di iklim tropis seperti Indonesia, mengingat musim hujan yang panjang?”Rama tersenyum tenang. “Pertanyaan yang sangat baik, Mr. Takahashi. Kami telah bekerja sama dengan mitra teknologi dari Eropa dan Singapura untuk menciptakan panel surya dengan sistem penyimpanan energi yang lebih efisien. Dengan baterai lithium-iron phosphate generasi terbaru, daya tetap bisa disuplai selama 48 jam bahkan tanpa sinar matahari. Kami juga sudah menguji prototipe di Jawa Barat dengan hasil yang sangat menjanjikan.”Salah satu petinggi lokal, Pak Ardiansyah, menyusul bertanya, “Bagaimana dengan kepercayaan mas
Malam menurunkan sunyinya pelan-pelan, memeluk bangunan kafe yang kini telah sepi. Lampu-lampu temaram di sudut-sudut ruang memantulkan bayangan yang tenang di dinding kayu. Setelah memastikan Chiara sudah benar-benar terlelap di kamarnya, Cinta melangkahkan kakinya ke tempat Tiara sedang duduk berselonjor di sofa kecil dekat dapur, menyeruput teh hangat yang baru saja ia seduh.Cinta ikut duduk di sampingnya, menarik napas panjang sebelum akhirnya berkata, “Tadi siang Davin datang.”Tiara melirik, sedikit terkejut namun tak sepenuhnya heran. “Pak Davin? Maksudnya… mantan bos besar?”Cinta mengangguk pelan. “Dia minta kerja. Katanya Farah sebentar lagi melahirkan, dan dia butuh penghasilan tetap.”Tiara menghela napas panjang, meletakkan cangkirnya di atas meja kecil di depan mereka. Ia menatap Cinta dengan sorot tajam namun penuh kepedulian. “Mbak Cinta serius mempertimbangkannya?”“Aku masih bingung,” jawab Cinta jujur. “Mau nolak kasihan, mau terima juga gimana. Mbak ingat pesan