Perempuan mana yang tidak hancur hatinya, pada saat putrinya sedang berjuang antara hidup dan mati, suaminya justru sedang berbagi peluh dengan perempuan lain.
Kaki Cinta terasa lemas seketika, hingga membuatnya hampir terjatuh. Beberapa karyawan yang melihat langsung bergerak hendak menolongnya. Tetapi saat di depan pintu mereka melihat Kevin yang sedang merapikan celananya secara asal, bahkan gespernya pun belum sempat dia kaitkan. Sementara itu, Maira yang selama ini mereka ketahui sebagai sekretaris Kevin, memunggungi mereka, sepertinya sedang merapikan pakaian dan dandanannya. Sorot mata tajam Kevin membuat beberapa karyawan yang sempat melihat segera menyingkir. Tampaknya mereka cari aman dengan tidak ikut campur dalam masalah pribadi sang pemilik perusahaan. “Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Kevin dengan nada tinggi penuh amarah untuk menutupi kesalahan. Cinta terdiam dengan lelehan air mata yang membasahi pipinya, seolah lupa dengan tujuan mendatangi kantor suaminya. Pemandangan yang begitu menyakitkan hingga membuatnya hanya bisa meratap tanpa berkata-kata. Sementara itu, Kevin terlihat frustrasi karena kesenangan terganggu saat belum tertuntaskan. Dia juga merasa kedatangan Cinta membuka aib perselingkuhannya dengan Maira. Tatap mata Kevin beralih ke arah Maira, sekretarisnya, yang sekarang sudah selesai merapikan diri. Tanpa berkata-kata, Kevin menarik tangan Maira dan membawanya keluar dari ruangan. Di luar, beberapa karyawan masih terdiam, menatap mereka dengan ekspresi yang sulit dibaca. Meski penampilannya belum rapi sempurna, tetapi Kevin tetap berdiri penuh wibawa di hadapan karyawannya. Menatap mereka satu per satu seolah ingin menunjukkan kekuasaannya. “Hari ini saya akan membuat pengakuan penting di hadapan kalian.” Suara Kevin menggelegar di ruangan itu. Maira berdiri di sampingnya dengan kepalanya tertunduk. “Jangan pernah merendahkan Maira,” lanjut Kevin sambil memegang tangan Maira dengan erat. “Karena selain menjadi sekretaris saya, Maira adalah istri siri saya.” Para karyawan itu hanya diam seolah tidak peduli, tetapi ada beberapa di antaranya yang menganggukkan kepala pura-pura memahami situasi. “Jadi setelah ini, saya tidak ingin ada gunjingan apa pun kepada Maira atau pun hal-hal yang berkaitan dengan hubungan kami. Sekarang, kalian boleh melanjutkan pekerjaan kalian.” Para karyawan segera kembali ke meja masing-masing, pura-pura sibuk dengan pekerjaan mereka. Beberapa masih mencuri pandang ke arah Kevin dan Cinta, tapi tidak ada yang berani berkomentar. Suasana ruang kantor terasa lebih dingin, lebih sunyi, seolah semua orang menahan napas. Kevin, dengan tangan masih menggenggam erat Maira, melangkah mendekati Cinta. Tatapannya dingin, tidak ada sedikit pun rasa bersalah di wajahnya. “Pulanglah sekarang!” Suara tegas Kevin menunjukkan amarah yang belum mereda. “Kita akan bicarakan ini nanti di rumah.” Cinta tetap diam, pikirannya masih kacau. Mulutnya sulit untuk mengucap tujuan kedatangannya yang sebenarnya, meski kata-kata itu terasa sudah di ujung lidah. Kevin mengerutkan kening melihat istrinya tetap berdiri di tempat. “Apa lagi yang kau inginkan sekarang?” Suara Kevin semakin meninggi. “Kau tidak mengerti bahasa manusia? Pulang!” Tangannya mengepal menahan kesal. Cinta menggeleng. Air mata masih mengalir di pipinya. Hatinya semakin hancur, tetapi dia harus mengatakan yang sebenarnya. “Aku tidak akan pergi sebelum kau ikut denganku,” ucap Cinta akhirnya dengan suara bergetar. Kevin semakin tidak sabar. “Dasar wanita tidak tahu diri! Kau membuat keributan di kantorku, mempermalukanku. Jika kau tidak pergi sekarang, aku akan menyuruh satpam menyeretmu keluar!” Cinta mengangkat wajahnya. Matanya merah dan basah, tapi sorotnya penuh luka dan kemarahan. “Chiara kecelakaan, Kev. Dia sekarang di rumah sakit. Dia butuh darahmu.” Kevin membeku. Cengkeramannya pada tangan Maira melemah. Napasnya tersendat. “Apa?” suaranya hampir tidak keluar. “Chiara butuh darahmu, sekarang,” ulang Cinta, suaranya lebih tajam. Untuk pertama kalinya sejak awal kedatangan Cinta, wajah Kevin berubah. Mungkin amarahnya sudah siap meledak, tetapi mendengar kabar putrinya kecelakaan Kevin tidak bisa mengabaikan begitu saja. “Sekarang Chiara di rumah sakit,” ucap Cinta dengan terbata-bata dibarengi suara tangis. “Dia membutuhkan transfusi darah dan harus segera dioperasi. “Kita ke rumah sakit sekarang.” Kevin segera menarik tangan Cinta, melangkah keluar meninggalkan Maira yang masih terlihat takut dan malu. Saat berjalan bersama Cinta, Kevin menyadari jika kekuasaannya ternyata tidak mampu untuk membungkam semua orang. Suara-suara sumbang menggunjingkan dirinya memanaskan hati dan telinganya. Di perusahaannya sendiri, orang-orang yang dia gaji berani melontarkan kata-kata pedas menghakimi dirinya. Hal itu memicu amarah Kevin yang sempat mereda, dia menganggap Cinta telah membongkar aibnya. “Benar-benar tidak bermoral, bisa-bisanya mereka ena-ena di kantor. Sampai ketahuan istri sah, lagi.” “Memangnya kalau sudah nikah siri hubungan mereka jadi bener, gitu? Apapun bentuknya selingkuh itu tetap saja khianat, dasar kaum munafikun.” Cinta yang mendengar kala melangkah keluar, merasa itu bukanlah bentuk dukungan untuknya yang sedang hancur, tetapi justru akan menjadi sumber masalah baru yang lebih besar. Setibanya di rumah sakit, Kevin sungguh terkejut mengetahui kondisi putrinya saat ini. Dia tidak menyangka jika keadaan Chiara sangat buruk. Dokter berdiri di depan mereka dengan wajah serius. "Putri Anda mengalami pendarahan hebat dan trauma berat pada tulang keringnya. Dia membutuhkan transfusi darah dan harus segera dioperasi." Entah terbuat dari apa hati Kevin, penjelasan dari dokter tidak membuatnya tersentuh tetapi justru semakin tersulut amarahnya. Harga dirinya terlalu tinggi hingga menyingkirkan kepeduliannya kepada putrinya sendiri. "Aku tidak tahu perempuan macam apa dirimu, kau bahkan tidak bisa menjaga anak kita dengan baik," desisnya, seolah kata-kata itu bisa menghapus rasa bersalahnya. Cinta menahan napas, tidak ada air mata kali ini. Hanya rasa hancur yang terlalu dalam untuk diungkapkan. Kevin mendekat, suaranya dingin. "Aku akan berikan darahku untuk Chiara … tapi ada syaratnya." Cinta menatap Kevin, matanya memerah. "Apapun itu, asal Chiara selamat,” ucap Cinta penuh kepedihan. "Kita cerai setelah ini ….” Kevin menjeda kalimatnya, menatap Cinta penuh intimidasi. “Kalau kau setuju, aku akan mendonorkan darahku untuk Chiara."Kata-kata itu menggantung di udara, lebih dingin dari dinding rumah sakit. Cinta menutup mata sejenak, lalu mengangguk pelan. Keselamatan Chiara lebih utama daripada mempertahankan sebuah ikatan yang sudah kehilangan kesakralannya.Kevin mengalihkan pandangannya, merasa menang. Baginya ini adalah hukuman yang setimpal untuk Cinta yang telah mengganggu kesenangannya dan menjatuhkan harga dirinya di hadapan para karyawan.Setelah Cinta menyetujui syarat yang dia ajukan, Kevin melangkah tegap, tanpa ragu, seolah perjanjian yang baru saja mereka buat hanyalah urusan bisnis biasa.Cinta berdiri terpaku di lorong rumah sakit. Air matanya jatuh tanpa suara, menelusuri pipi yang pucat. Dia menatap Kevin yang berjalan menjauh bersamaan dengan seorang tenaga medis yang akan mengambil darahnya untuk didonorkan kepada putrinya.Waktu terasa begitu lambat. Detik-detik terasa seperti beban yang tak tertahankan. Cinta duduk di kursi tunggu yang dingin, tangannya menggenggam erat saputangan kecil, ba
Kevin sudah berpesan kepada Cinta untuk tidak mendatangi sidang perceraian, agar prosesnya bisa berjalan dengan lancar. Dan sekarang, akta cerai itu sudah berada di tangan Cinta.Bunda Aminah memeluk Cinta, memberikan kekuatan dalam menghadapi ujian yang bertubi-tubi datangnya. Tidak ada kata-kata berlebihan, hanya keheningan yang berbicara lebih lantang daripada seribu nasihat. Cinta menunduk, menahan air mata yang nyaris tumpah, menggenggam erat akta cerai di tangannya."Kamu kuat, Nak. Sejak kecil, kamu sudah terbiasa menghadapi badai." ucap Bunda Aminah dengan suara yang menenangkan.Cinta mengangguk pelan, meski hatinya berkata sebaliknya. Dulu, dia datang ke panti ini sebagai anak kecil yang haus kasih sayang. Kini dia kembali, sebagai seorang ibu yang kehilangan segalanya, kecuali putrinya.Terdengar suara salam yang mengalihkan perhatian Cinta dan Bunda Aminah. Keduanya mengenali suara itu dan bergegas keluar.Nora datang dengan langkah cepat, dia mencium punggung tangan Bunda
Cinta menelan ludah, berusaha mengendalikan debaran jantung yang tak beraturan. Janda satu anak itu mengangkat dagu, memasang senyum profesional seolah tidak ada sejarah kelam di antara mereka. berdua "Saya siap untuk bekerja." Cinta berusaha tetap tenang, tetapi tidak bisa menutupi kegugupannya. "Apa yang harus saya lakukan?" Rama menatap Cinta, lalu tiba-tiba tertawa terbahak-bahak dengan tatap mata yang merendahkan. "Ah, Cinta ..." ucap Rama sambil menghela napas, masih menyisakan sisa tawa di bibirnya. "Kamu selalu terburu-buru?" Rama berjalan mendekat, langkahnya santai namun penuh tekanan. "Tidak perlu terburu-buru. Kita punya banyak waktu." Cinta mengeratkan jemarinya, tetap berusaha menjaga ketenangan. Namun, dari nada suara Rama, dia tahu satu hal, Rama yang berdiri di hadapannya ini bukan lagi pria yang pernah berjanji mencintainya seumur hidup. Ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang membuatnya ingin segera pergi, tetapi dia harus bertahan demi Chiara. Ini baru h
Setibanya di restoran mewah, seorang karyawan segera mengarahkan Rama dan Cinta ke tempat yang sudah dipesan sebelumnya. Tanpa sepatah kata, Rama sedikit mengulurkan lengannya. Tatap matanya memberi perintah yang tak terbantahkan. Cinta ragu sejenak, tapi dia tahu tak ada pilihan lain. Dengan gerakan anggun, dia membelitkan lengannya ke lengan Rama, menciptakan pemandangan keserasian yang nyaris sempurna. Rama dan Cinta berjalan berdampingan, seolah pasangan serasi yang memasuki ruangan dengan percaya diri. Namun di balik senyum tipis Rama, terselip ancaman yang tak terucap. Rama membungkuk sedikit, suaranya rendah dan tajam kala berbisik di telinga Cinta. "Mainkan peranmu dengan baik. Jangan mempermalukan aku." Cinta meneguk ludah, berusaha menjaga ketenangan. Menarik napas dalam, Cinta menatap lurus ke depan memulai sandiwara. Pikir Cinta, ini adalah bagian dari pekerjaan. Betapa terkejutnya Cinta saat dia melihat sosok di hadapannya. Dahulu Cinta pernah berada dalam sit
“Kau menangis?” Rama terus memperlakukan Cinta dengan kasar, tak peduli dengan air mata yang mengalir di pipinya. “Jangan berlagak seperti gadis yang baru melepas keperawanannya, aku tahu kau sudah punya anak.” Air mata Cinta tak mampu menimbulkan rasa iba, tidak juga belas kasihan. Rama tidak peduli, dia terus memburu kenikmatan, tentunya untuk dirinya sendiri. Kenangan indah masa lalu yang berkelebat, justru memantik bara dendam di hati Rama. Janji indah yang tak terwujud mengobarkan amarah dan gairah secara bersamaan. Rama mdenulikan telinga atas rintihan dan tangis Cinta, dan membutakan hatinya atas penderitaan perempuan yang pernah dia puja. “Hentikan Rama … aku mohon ….” Cinta mengiba, merintih dan menangis. “Sakit Ram … sakit ….” “Jangan sok suci, pelacur sepertimu pasti sudah biasa melayani banyak pria dengan berbagai gaya.” Rama mengerang dan mempercepat gerakannya semakin beringas. "Kau sudah menandatangani kontrak itu, Cinta. Tubuhmu … milikku sekarang." Setiap sentuh
Dion menatap wajah Cinta dengan saksama, lalu menghela napas panjang. Rasa iba menyelinap ke relung hatinya kala menatap Cinta yang terlihat begitu hancur.Mata Cinta yang sembab, wajahnya pun terlihat pucat, dan bahunya yang bergetar halus menandakan betapa dalam penderitaan yang harus dia tanggung.Dion sadar, belas kasihan tak akan mengubah apa pun.“Cinta,” ucap Dion akhirnya, nadanya lebih lembut dari sebelumnya. “Aku juga tidak bisa berbuat apa-apa."Dion mengusap tengkuk sebelum melanjutkan kalimatnya. "Dengar, suka atau tidak suka, kau harus menjalani kontrak ini. Karena melawan Pak Rama … itu bukan pilihan."Cinta menelan ludah.“Menangis tidak akan mengubah apa pun,” lanjut Dion. “Satu-satunya hal yang bisa kau lakukan sekarang adalah bertahan. Coba nikmati saja!”Dion tersenyum sumir tanpa makna. Entah menertawakan nasib Cinta, atau menertawakan dirinya sendiri yang memberikan saran sangat konyol.“Kumpulkan uang sebanyak yang kau bisa. Saat kontrak ini berakhir, kau bisa m
Di kamar yang luas dan mewah, Cinta berdiri tepat di depan Rama. Sinar matahari yang masuk melalui jendela besar membiaskan siluet tubuh mereka di cermin. Di tangan Cinta, dasi warna hitam dengan motif garis-garis harus dipasang di kerah kemeja Rama.Tangan Cinta bergerak dengan terampil, meski dengan hati yang terasa mati. Pekerjaan ini sudah menjadi kebiasaan. Dahulu, dia melakukan ini dengan penuh cinta untuk Kevin, mantan suaminya. Kini, dia melakukannya dengan terpaksa untuk pria yang telah menginjak-injak harga dirinya.Rama berdiri tegak dengan tatap mata dingin penuh kemenangan. Membiarkan Cinta mengurus dirinya, layaknya seorang istri yang sedang mengurus suami.Cinta terus menundukkan kepala, menghindar dari tatapan itu. Ibu satu anak itu menggigit bibirnya, menahan rasa perih yang menyeruak dalam dadanya karena terjebak dalam pekerjaan hina.Saat simpul dasi sudah terikat dengan sempurna, Cinta hendak meninggalkan Rama. Tetapi, belum sempat Cinta menjauh, tangan Rama sudah
Di sebuah butik mewah yang berada di kawasan elit kota terasa sangat eksklusif. Cahaya lampu kristal yang menggantung di langit-langit memantulkan kilauan halus pada rak-rak pakaian berlabel desainer terkenal. Aroma lembut parfum mahal menguar di udara, menyatu dengan suara lembut musik klasik yang mengalun pelan. Di salah satu sudut butik, perempuan peruh baya dengan anggun mengenakan gaun berwarna pastel, tengah memilih beberapa gaun. Dia adalah Widya, nyonya besar keluarga Narendra, yang tidak lain adalah mama Rama. Widya tampak asik berbincang dengan Evita, seorang gadis muda berparas manis yang sudah lama menaruh hati pada Rama. Evita, dengan balutan dress putih sederhana yang elegan, tersenyum mendengar cerita Widya. “Sekarang Rama sedang melakukan perjalanan bisnis. Papanya semakin percaya dengan hasil kerja Rama yang selalu memuaskan,” ujar Widya bangga, menyerahkan satu gaun kepada pramuniaga untuk dibawa ke ruang ganti. “Dia akan bertemu dengan beberapa pengusaha penting
Cinta mengepalkan tangannya di bawah meja. Dalam diam, Cinta sedang mengumpulkan keberanian untuk melawan. Janda beranak satu itu sudah siap dengan segala konsekuensinya.“Aku mengajakmu bertemu bukan untuk bilang ‘ya’,” ujar Cinta akhirnya. Suaranya yang tenang justru terasa menghujam di dada Nora.Senyum Nora menipis. Matanya menyipit karena tidak percaya melihat keberanian Cinta. “Lalu … untuk apa?”“Untuk memberitahu kamu, jika aku tidak akan goyah dengan pendirianku sekarang,” jawab Cinta pelan. “Aku tidak akan takut dengan segala ancamanmu, Nora. Kamu bisa mengatakan kepada siapa pun tentang masa laluku. Dan aku tidak akan peduli dengan penilaian mereka.”Teror tiada henti dari Nora justru semakin meyakinkan Cinta, jika niatnya untuk meninggalkan lembah hina, lebih besar dari ketakutan jika aibnya akan terbongkar.Cinta sadar, kapan pun aib itu bisa terbongkar, entah dari Nora, atau dari orang lain yang pernah melihatnya bersama Rama. Hujatan dan caci maki akan tertuju kepadanya
Sejak kehadiran Nora, hari-hari Cinta mulai terasa semakin penuh tekanan. Sejak tautan gosip itu menyebar, dia merasa seolah seluruh mata memandangnnya dengan tatapan hina.Setiap menyaksikan pelanggan yang sedang bercanda sambil menikmati hidangan, Cinta merasa seolah mereka sedang membicarakan dirinya. Kini hidup Cinta terasa tidak tenang, dipenuhi dengan berbagai kecurigaan. Cinta merasa, setiap orang yang memandangnya seolah ingin mengupas lapis demi lapis tubuh dan masa lalunya.Nora terus meneror. Kadang hanya kiriman emoji api, atau tautan komentar jahat dari netizen.Bahkan sosok yang telah menjadi teman bertumbuh sejak masa kecil itu, tidak segan mengirim pesan bernada ancaman, “Tinggal tunggu waktu sampai anakmu tahu siapa ibunya sebenarnya.”Cinta membaca setiap pesan yang dikirim oleh Nora, tetapi tidak satu pun yang dia balas.Untuk masalah yang satu ini, Cinta merasa benar-benar harus menghadapinya sendiri. Dia tidak tahu harus berbagi dengan siapa.Ini bukan tentang luk
Cinta berdiri di balik meja kasir, mengenakan blus putih sederhana dan celemek cokelat khas kafe miliknya. Ia menatap Hardy, barista muda yang sedang menuangkan espresso ke dalam cangkir. Pemuda itu berhenti sejenak saat menyadari Cinta melangkah menghampirinya, tampaknya ada hal penting yang ingin dia bicarakan.“Hardy!”Mendengar panggilan dari Cinta, Hardy segera meletakkan milk jug ke atas meja, lalu berbalik menghadap bos barunya.“Iya, Mbak?”Karena usia para karyawan tidak terlalu jauh dengan Cinta, mereka memanggil Cinta dengan panggilan 'Mbak' agar lebih akrab. Meski ada beberapa yang belum terbiasa, dan tetap memanggil 'bu' seperti saat bersama dengan Anisa dulu.“Terima kasih, ya,” ucap Cinta, menatap mata Hardy dengan tulus. “Kamu sudah bantu sampaikan pesanku ke Pak Davin. Aku tahu ini bukan posisi yang nyaman buat kamu, apalagi kalian masih ada hubungan kekerabatan.”Hardy tersenyum tipis, meski matanya tampak sedikit canggung. “Nggak apa-apa, Mbak. Mas Davin juga… ya,
Cinta berdiri di dekat meja kasir, menatap kosong ke arah para karyawan yang mulai merapikan kafe menjelang waktu tutup. Lantunan musik lembut masih mengalun pelan dari speaker di sudut ruangan, bercampur dengan suara kursi digeser, gelas dicuci, dan ucapan ringan antar sesama karyawan. Semuanya tampak biasa, seperti hari-hari sebelumnya. Tapi tidak dengan Cinta.Bayangan wajah Nora terus menghantui pikirannya. Senyum licik itu. Kata demi kata yang seperti racun. Ancaman yang bisa meruntuhkan semua yang selama ini dia bangun dengan susah payah.Tangannya yang menggenggam kain lap di meja mulai bergetar. Cinta berusaha tetap tegak, tersenyum kecil saat Rizka melambaikan tangan pamit. Tapi senyum itu tak sampai ke matanya. Begitu pintu kafe tertutup dan tinggal suara detik jam dinding yang terdengar jelas, Cinta menyandarkan tubuhnya ke meja, diam-diam menunduk.Air mata itu jatuh pelan. Tanpa suara. Tanpa drama. Hanya butiran kecil yang mengalir perlahan di pipinya. Ia menyekanya cep
Cinta menyandarkan punggungnya pada kursi, menatap Nora dengan sorot mata dingin, meski amarah dalam dadanya membara. Dalam diamnya, ia mengingat kembali semua luka yang sudah lama ia pendam, malam-malam panjang penuh air mata, rasa jijik yang tidak bisa hilang dari tubuhnya, dan suara erangan dan desahan Rama yang terus menghantui pikirannya. Semua itu berawal dari satu nama, Nora.“Aku tidak akan pernah lupa, Nor,” ucap Cinta akhirnya, suaranya datar namun tajam. “Nggak akan lupa dari mana uang itu berasal. Dari mana aku bisa beli kafe ini. Dan aku juga nggak akan lupa siapa sahabatku yang menjerumuskan aku ke lembah itu.”Nora tersenyum kecil, seperti tak tersentuh oleh tudingan itu. Ia menyilangkan kakinya, mengambil cangkir kopi yang tinggal setengah, lalu menyesapnya dengan santai. “Kamu harusnya berterima kasih sama aku, Cin. Bukan malah melempar kesalahan seperti ini."Cinta menyipitkan mata. “Terima kasih? Karena kamu sudah menjual aku?”Nora tertawa, pahit dan sarkastik. “O
Nora. Sahabat masa kecil, seseorang yang dulu tidur di ranjang sebelah di panti asuhan. Yang berbagi sepotong roti dan mimpi-mimpi kecil tentang masa depan yang lebih baik. Tetapi dia adalah perempuan yang telah menghancurkan hidup Cinta. Dengan kata-kata manis dan senyum pura-pura, Nora menggiringnya ke dalam perangkap. Membuatnya percaya bahwa pekerjaan itu akan membawa kehidupan lebih baik, tetapi yang ia dapatkah adalah kehinaan. Kehinaan bersama Rama. Satu bulan menjadi budak nafsu mantan kekasihnya, sampai kini masih menghantui tidurnya.Sekarang, Nora duduk santai, tertawa pelan, tanpa beban. Seolah semua itu tak pernah terjadi. Seolah mereka masih dua anak yatim piatu yang saling menjaga.Tiara menoleh dan melambaikan tangan dengan wajah senang melihat kehadiran Cinta. “Kak Cintaaa! Lihat Kak Nora datang."Cinta mengangguk pelan. Senyum kecil dipaksakan, meski tangan yang menggenggam alat bantu jalan Chiara mulai gemetar.Nora bangkit dari duduknya, menghampiri Cinta lalu
Tangan Rama mengambil map itu perlahan, membuka lembar demi lembar isinya, sebagian berisi catatan pengamatan, beberapa foto candid, dan selembar fotokopi dokumen rumah sakit.“Apa maksudmu banyak orang? Siapa saja?” tanya Rama cepat, nada suaranya mulai menajam.Selo menyandarkan tubuhnya ke kursi, tangan terlipat di dada. Ia menatap Rama seperti sedang mengamati pecahan teka-teki yang hampir utuh.“Selain njenengan,” ucap Selo Ardi datar, “ada mantan suaminya. Ada kemungkinan dia menyesal dan ingin rujuk kembali."Rama mengeraskan rahangnya, ada kecemburuan yang tiba-tiba menyeruak di dalam hatinya. Dia sudah menantikan Cinta begitu lama, dan tidak akan membiarkan ada yang menghalanginya, termasuk mantan suaminya.Kini, bukan hanya meluluhkan hati kedua orang tuanya agar memberi restu, tetapi juga menaklukkan putri Cinta, yang mungkin saja akan lebih condong untuk memilih ayah kandungnya."Terus… ibu mertuanya. Lebih berbahaya. Dia nggak bergerak terang-terangan, tapi saya lihat di
Rama menarik napas panjang, berusaha meneguhkan fokus meski pikirannya berkelindan antara paparan proyek dan kabar dari Selo Ardi. Rama tetap berdiri tegap di hadapan jajaran direksi dan calon investor yang duduk menyimak. Seorang investor senior dari Jepang, Mr. Takahashi, mengangkat tangan.“Mr. Rama, bagaimana Anda memastikan teknologi energi surya ini dapat diimplementasikan secara efisien di iklim tropis seperti Indonesia, mengingat musim hujan yang panjang?”Rama tersenyum tenang. “Pertanyaan yang sangat baik, Mr. Takahashi. Kami telah bekerja sama dengan mitra teknologi dari Eropa dan Singapura untuk menciptakan panel surya dengan sistem penyimpanan energi yang lebih efisien. Dengan baterai lithium-iron phosphate generasi terbaru, daya tetap bisa disuplai selama 48 jam bahkan tanpa sinar matahari. Kami juga sudah menguji prototipe di Jawa Barat dengan hasil yang sangat menjanjikan.”Salah satu petinggi lokal, Pak Ardiansyah, menyusul bertanya, “Bagaimana dengan kepercayaan mas
Malam menurunkan sunyinya pelan-pelan, memeluk bangunan kafe yang kini telah sepi. Lampu-lampu temaram di sudut-sudut ruang memantulkan bayangan yang tenang di dinding kayu. Setelah memastikan Chiara sudah benar-benar terlelap di kamarnya, Cinta melangkahkan kakinya ke tempat Tiara sedang duduk berselonjor di sofa kecil dekat dapur, menyeruput teh hangat yang baru saja ia seduh.Cinta ikut duduk di sampingnya, menarik napas panjang sebelum akhirnya berkata, “Tadi siang Davin datang.”Tiara melirik, sedikit terkejut namun tak sepenuhnya heran. “Pak Davin? Maksudnya… mantan bos besar?”Cinta mengangguk pelan. “Dia minta kerja. Katanya Farah sebentar lagi melahirkan, dan dia butuh penghasilan tetap.”Tiara menghela napas panjang, meletakkan cangkirnya di atas meja kecil di depan mereka. Ia menatap Cinta dengan sorot tajam namun penuh kepedulian. “Mbak Cinta serius mempertimbangkannya?”“Aku masih bingung,” jawab Cinta jujur. “Mau nolak kasihan, mau terima juga gimana. Mbak ingat pesan