Setibanya di restoran mewah, seorang karyawan segera mengarahkan Rama dan Cinta ke tempat yang sudah dipesan sebelumnya.
Tanpa sepatah kata, Rama sedikit mengulurkan lengannya. Tatap matanya memberi perintah yang tak terbantahkan. Cinta ragu sejenak, tapi dia tahu tak ada pilihan lain. Dengan gerakan anggun, dia membelitkan lengannya ke lengan Rama, menciptakan pemandangan keserasian yang nyaris sempurna. Rama dan Cinta berjalan berdampingan, seolah pasangan serasi yang memasuki ruangan dengan percaya diri. Namun di balik senyum tipis Rama, terselip ancaman yang tak terucap. Rama membungkuk sedikit, suaranya rendah dan tajam kala berbisik di telinga Cinta. "Mainkan peranmu dengan baik. Jangan mempermalukan aku." Cinta meneguk ludah, berusaha menjaga ketenangan. Menarik napas dalam, Cinta menatap lurus ke depan memulai sandiwara. Pikir Cinta, ini adalah bagian dari pekerjaan. Betapa terkejutnya Cinta saat dia melihat sosok di hadapannya. Dahulu Cinta pernah berada dalam situasi yang sama saat mendampingi Kevin, dalam pertemuan seperti ini, dengan klien yang sama. Hendra Wijaya, seorang pria berusia lima puluhan, mengenakan jas mahal dan duduk di samping istrinya yang anggun. Namun, tatapannya tertuju pada Cinta lebih lama dari seharusnya. Tatap mata dan senyum licik Hendra Wijaya, menyisakan rasa tidak nyaman di hati Cinta. Setelah hidangan penutup disajikan dan percakapan bisnis hampir mencapai kesepakatan, ponsel istri Hendra Wijaya berdering. "Maaf, saya harus menerima panggilan ini sebentar," ucap istri Hendra Wijaya dengan senyum ramah sebelum bangkit dan melangkah menjauh dari meja menuju area yang lebih tenang. Cinta berusaha tetap tenang, tetapi dia merasakan tatapan Hendra Wijaya semakin intens. Rama, yang masih fokus pada pembicaraan bisnis, tidak menyadari pergerakan pria paruh baya itu yang kini sedikit bergeser, mendekat ke arahnya. Lalu, dengan suara rendah dan nada yang seakan menguliti setiap lapisan pertahanannya, Hendra Wijaya berbisik, "Inikah profesi terselubung Ex Nyonya Sanjaya yang membuatnya diceraikan secara tiba-tiba?" Cinta merasakan napasnya tertahan, benar-benar tidak tahu arah pembicaraan pria di hadapannya. "Setelah Rama Narendra meninggalkan kota ini," sambung Hendra Wijaya dengan nada licik, "kamu bisa bekerja dengan saya, dan saya akan membayarmu dengan harga yang sanagt tinggi." Terdengar suara langkah kaki mendekat, istri Hendra Wijaya kembali. Hendra Wijaya langsung kembali ke posisinya semula, seolah tak pernah terjadi apa-apa. Cinta merasakan dadanya sesak. Kata-kata Hendra Wijaya masih terngiang di kepalanya. Dia menatap Rama, berharap menemukan jawaban. Namun, Rama tampak tenang, seolah menikmati tatapan merendahkan dari Hendra Wijaya terhadap dirinya. Makan malam dengan Hendra Wijaya berakhir. Setelah menempuh perjalanan yang penuh dengan kesunyian, akhirnya mereka tiba di vila. Cinta merasa tugasnya hari ini sudah selesai dan bersiap menuju kamarnya. Namun, sebelum dia sempat melangkah lebih jauh, Rama menarik tangannya. Tubuh rampingnya membentur dada Rama dan terperangkap dalam pelukan pria itu. Cinta menelan ludah, berusaha menenangkan diri. "Apa lagi yang harus saya lakukan? Membuatkan kopi atau mempersiapkan keperluan Anda untuk esok hari?" Suara Cinta terdengar tenang, tetapi jantungnya berdebar kencang. Rama menyeringai dengan sorot mata yang merendahkan. "Tugasmu tidak berhenti di sini, Cinta," bisiknya di dekat telinganya. "Layani aku di atas ranjang!" Darah Cinta berdesir. Tubuhnya menegang, amarah dan keterkejutan bercampur menjadi satu. Tanpa berpikir, tangannya melayang. Tamparan keras mendarat di wajah Rama, memenuhi ruangan dengan suara tajam. Rama diam. Matanya gelap, penuh kilatan amarah. Cinta menggigit bibirnya, menyadari konsekuensi dari tindakannya. Namun, dia tak menyesal. Tidak sedikit pun. Cinta belum sempat melangkah mundur ketika Rama mencengkram lengannya dengan kasar. Tanpa memberi kesempatan untuk melawan, dia menarik paksa Cinta menuju kamarnya. "Rama! Lepaskan!" Cinta meronta, tapi genggaman tangan Rama terlalu kuat. Pintu kamar terbanting terbuka, sebelum Cinta bisa mengatur keseimbangannya Rama mendorong hingga hampir tersungkur, tapi tepian ranjang menahan tubuhnya. Napas Cinta memburu, tubuhnya gemetar antara amarah dan ketakutan. Rama berjalan menuju nakas lalu membuka laci dan menarik sebuah map dengan gerakan kasar. Tanpa ragu, dia melemparkannya ke wajah Cinta. "Baca kontrak kerja yang kau tanda tangani!” Suara Rama dingin, penuh kemarahan yang tertahan. Jantung Cinta berdebar kencang. Dengan tangan gemetar, dia membuka map itu. Matanya menelusuri setiap kata, dan dadanya langsung sesak. Ini bukan kontrak yang dia baca dan tanda tangani sebelumnya. Ini berbeda. Tetapi Cinta ingat, dia memang menandatangani dua kontrak. Saat itu Mama Lisa mengatakan yang satunya hanya Salinan, dan dia tidak sempat membacanya. Cinta sadar, dia telah terjebak. Tangan Cinta gemetar saat matanya menangkap angka-angka dalam dokumen. Jumlah uang yang seharusnya ia terima jauh lebih besar dari yang diberikan Mama Lisa. Tapi yang membuatnya semakin terkejut adalah klausul denda. Jika ia mengingkari kontrak, harus membayar tiga kali lipat dari jumlah yang tertera. Napas Cinta memburu. Ia hanya menerima sepertiga dari angka ini. Lalu, ke mana sisanya? "Apa ini?" tanya Cinta dengan suara bergetar. Rama tersenyum miring. "Kau sudah membacanya sendiri. Jadi …." Rama tidak melanjutkan kalimatnya tetapi mengitari Cinta sambil memandang tubuh indahnya dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Lakukan tugasmu dengan baik!” bisik Rama sambil menyentuh punggung polos Cinta. Cinta berlari, tetapi Rama lebih cepat meraih tubuhnya dan mendorong jatuh di ranjang. Dengan lengan kekar dan paha berototnya Rama mengungkung tubuh Cinta. “Jangan munafik! Bukankah ini pekerjaanmu selama ini?” Cinta menggelengkan kepala, dia terus mencoba melawan. Tetapi tenaganya kalah jauh dari Rama. Hingga akhirnya derai air mata Cinta diiringi suara desah yang tertahan, kala Rama menyentuhnya dengan liar dan memasukinya secara kasar.“Kau menangis?” Rama terus memperlakukan Cinta dengan kasar, tak peduli dengan air mata yang mengalir di pipinya. “Jangan berlagak seperti gadis yang baru melepas keperawanannya, aku tahu kau sudah punya anak.” Air mata Cinta tak mampu menimbulkan rasa iba, tidak juga belas kasihan. Rama tidak peduli, dia terus memburu kenikmatan, tentunya untuk dirinya sendiri. Kenangan indah masa lalu yang berkelebat, justru memantik bara dendam di hati Rama. Janji indah yang tak terwujud mengobarkan amarah dan gairah secara bersamaan. Rama mdenulikan telinga atas rintihan dan tangis Cinta, dan membutakan hatinya atas penderitaan perempuan yang pernah dia puja. “Hentikan Rama … aku mohon ….” Cinta mengiba, merintih dan menangis. “Sakit Ram … sakit ….” “Jangan sok suci, pelacur sepertimu pasti sudah biasa melayani banyak pria dengan berbagai gaya.” Rama mengerang dan mempercepat gerakannya semakin beringas. "Kau sudah menandatangani kontrak itu, Cinta. Tubuhmu … milikku sekarang." Setiap sentuh
Dion menatap wajah Cinta dengan saksama, lalu menghela napas panjang. Rasa iba menyelinap ke relung hatinya kala menatap Cinta yang terlihat begitu hancur.Mata Cinta yang sembab, wajahnya pun terlihat pucat, dan bahunya yang bergetar halus menandakan betapa dalam penderitaan yang harus dia tanggung.Dion sadar, belas kasihan tak akan mengubah apa pun.“Cinta,” ucap Dion akhirnya, nadanya lebih lembut dari sebelumnya. “Aku juga tidak bisa berbuat apa-apa."Dion mengusap tengkuk sebelum melanjutkan kalimatnya. "Dengar, suka atau tidak suka, kau harus menjalani kontrak ini. Karena melawan Pak Rama … itu bukan pilihan."Cinta menelan ludah.“Menangis tidak akan mengubah apa pun,” lanjut Dion. “Satu-satunya hal yang bisa kau lakukan sekarang adalah bertahan. Coba nikmati saja!”Dion tersenyum sumir tanpa makna. Entah menertawakan nasib Cinta, atau menertawakan dirinya sendiri yang memberikan saran sangat konyol.“Kumpulkan uang sebanyak yang kau bisa. Saat kontrak ini berakhir, kau bisa m
Di kamar yang luas dan mewah, Cinta berdiri tepat di depan Rama. Sinar matahari yang masuk melalui jendela besar membiaskan siluet tubuh mereka di cermin. Di tangan Cinta, dasi warna hitam dengan motif garis-garis harus dipasang di kerah kemeja Rama.Tangan Cinta bergerak dengan terampil, meski dengan hati yang terasa mati. Pekerjaan ini sudah menjadi kebiasaan. Dahulu, dia melakukan ini dengan penuh cinta untuk Kevin, mantan suaminya. Kini, dia melakukannya dengan terpaksa untuk pria yang telah menginjak-injak harga dirinya.Rama berdiri tegak dengan tatap mata dingin penuh kemenangan. Membiarkan Cinta mengurus dirinya, layaknya seorang istri yang sedang mengurus suami.Cinta terus menundukkan kepala, menghindar dari tatapan itu. Ibu satu anak itu menggigit bibirnya, menahan rasa perih yang menyeruak dalam dadanya karena terjebak dalam pekerjaan hina.Saat simpul dasi sudah terikat dengan sempurna, Cinta hendak meninggalkan Rama. Tetapi, belum sempat Cinta menjauh, tangan Rama sudah
Di sebuah butik mewah yang berada di kawasan elit kota terasa sangat eksklusif. Cahaya lampu kristal yang menggantung di langit-langit memantulkan kilauan halus pada rak-rak pakaian berlabel desainer terkenal. Aroma lembut parfum mahal menguar di udara, menyatu dengan suara lembut musik klasik yang mengalun pelan. Di salah satu sudut butik, perempuan peruh baya dengan anggun mengenakan gaun berwarna pastel, tengah memilih beberapa gaun. Dia adalah Widya, nyonya besar keluarga Narendra, yang tidak lain adalah mama Rama. Widya tampak asik berbincang dengan Evita, seorang gadis muda berparas manis yang sudah lama menaruh hati pada Rama. Evita, dengan balutan dress putih sederhana yang elegan, tersenyum mendengar cerita Widya. “Sekarang Rama sedang melakukan perjalanan bisnis. Papanya semakin percaya dengan hasil kerja Rama yang selalu memuaskan,” ujar Widya bangga, menyerahkan satu gaun kepada pramuniaga untuk dibawa ke ruang ganti. “Dia akan bertemu dengan beberapa pengusaha penting
Rama melangkah mendekati Cinta, matanya menyapu tubuhnya dengan tatapan yang penuh nafsu. Di tangannya, ponsel masih terhubung dengan Evita, panggilan yang sengaja tidak diakhiri.Rama ingin Evita mendengar segalanya, ingin gadis itu tahu bahwa tidak ada ruang untuknya di hatinya. Dengan gerakan perlahan, Rama meletakkan ponsel di nakas, memastikan suara mereka tetap terdengar jelas di sisi lain telepon.“Kamu cantik malam ini,” ucap Rama dengan suara datar namun penuh intensitas. Kata-katanya menggantung di udara, seolah menunggu reaksi.“Terima kasih,” jawab Evita dari ujung telepon, suaranya lembut namun penuh harap.Wajah Evita merona, hatinya pun melambung tinggi. Untuk sesaat, dia membayangkan Rama sedang berbicara padanya, memujinya dengan penuh cinta. Tapi semua itu tidak berlangsung lama, dan segera hancur berkeping-keping.“Aah….”Satu desahan lembut lolos dari bibir Cinta saat Rama mulai menyentuhnya. Sentuhannya kasar, penuh tuntutan dan gairah.Cinta mencoba menahan napas
Cinta beranjak dari tempat tidur, menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Hatinya masih berdebar mengingat cara Rama menatapnya tadi. Senyum itu. Tatapan itu. Terlalu berbahaya.Cinta meraih pakaian yang tergeletak di kursi, bersiap untuk meninggalkan kamar. Tapi baru saja melangkah, tangan Rama dengan cepat menangkap pergelangan tangannya hingga membuat Cinta kembali terduduk di tepian ranjang.“Tetaplah di sini.” Suara Rama terdengar rendah, hampir seperti bisikan.Cinta menoleh, menemukan pria itu masih bersandar di kepala ranjang, menatapnya dengan ekspresi yang sulit ia artikan. Seolah berat melepaskannya.“Aku harus membuat sarapan dan menyiapkan pakaianmu,” ujar Cinta pelan.Rama menghela napas, lalu bersandar lebih santai. “Hari ini aku tidak ada pekerjaan. Tapi nanti malam ada gala dinner.”Cinta hanya diam, menunggu kelanjutannya.“Aku ingin kau mendampingiku.”Cinta mengerutkan kening, sedikit terkejut. “Aku?”Rama mengangguk. “Ya. Dan aku ingin kau tampil cantik malam ini
Kala Cinta dan Rama sedang asik berbelanja, di tempat yang berbeda meski hatinya sedang terpatahkan tetapi dia tetap memperjuangkan rasa cintanya kepada Rama.Kini Evita sudah berada di rumah keluarga Narendra. Dia duduk dengan anggun di ruang tamu berhadapan dengan Widya, Mama Rama, yang sedang menikmati teh di sore hari.Meskipun hatinya masih perih setelah mengetahui Rama bersama perempuan lain, ia tidak menunjukkan kelemahannya. Senyum manis tetap menghiasi wajahnya."Padahal baru kemarin ketemu, tapi rasanya sudah kangen dengan Tante Widya," ucap Evita dengan nada lembut.Widya menatapnya dengan penuh kasih. "Ah, Evita, kamu memang anak yang manis. Tante juga senang kamu datang. Seandainya saja kamu sudah menikah dengan Rama, tentu tante tidak akan kesepian. Apalagi kalau kalian sudah punya anak."Evita mengangguk. Rasa percaya dirinya membumbung tinggi. Evita terdiam sejenak memilah dan memilih kata dengan hati-hati agar tidak terkesan terlalu agresif."Tante bisa saja. Tapi apa
Maira menautkan lengannya erat pada Kevin, tersenyum penuh kemenangan, seolah ingin menegaskan siapa yang kini berdiri di sisinya.Cinta menahan napas. Ini tidak akan mudah. Mungkin rasa cinta sudah terkikis habis, tetapi rasa sakit karena pengkhianatan dan pengabaian dari Kevin masih terasa. Apalagi hal itu membuatnya harus terjebak bersama Rama.Sementara itu Rama dan Kevin, meski keduanya tidak mengenal secara pribadi, tetapi mereka saling mengetahui sepak terjang masing-masing dalam dunia bisnis. Ada persaingan tak kasat mata sebagai sesama pengusaha muda, selain masalah perempuan yang kini berada di samping mereka.Rama semakin mempererat genggamannya di pinggang Cinta, jarinya menekan kuat seakan ingin mengukir jejak kepemilikannya. Lalu, dengan langkah mantap dan penuh kharisma, ia membawa Cinta mendekati Kevin.Rama tersenyum tipis dan mengulurkan tangan. “Senang akhirnya bisa bertemu dengan Kevin Sanjaya. Perkenalkan, saya Rama Narendra.”Kevin membalas jabatan tangan itu, ek
Cinta mengepalkan tangannya di bawah meja. Dalam diam, Cinta sedang mengumpulkan keberanian untuk melawan. Janda beranak satu itu sudah siap dengan segala konsekuensinya.“Aku mengajakmu bertemu bukan untuk bilang ‘ya’,” ujar Cinta akhirnya. Suaranya yang tenang justru terasa menghujam di dada Nora.Senyum Nora menipis. Matanya menyipit karena tidak percaya melihat keberanian Cinta. “Lalu … untuk apa?”“Untuk memberitahu kamu, jika aku tidak akan goyah dengan pendirianku sekarang,” jawab Cinta pelan. “Aku tidak akan takut dengan segala ancamanmu, Nora. Kamu bisa mengatakan kepada siapa pun tentang masa laluku. Dan aku tidak akan peduli dengan penilaian mereka.”Teror tiada henti dari Nora justru semakin meyakinkan Cinta, jika niatnya untuk meninggalkan lembah hina, lebih besar dari ketakutan jika aibnya akan terbongkar.Cinta sadar, kapan pun aib itu bisa terbongkar, entah dari Nora, atau dari orang lain yang pernah melihatnya bersama Rama. Hujatan dan caci maki akan tertuju kepadanya
Sejak kehadiran Nora, hari-hari Cinta mulai terasa semakin penuh tekanan. Sejak tautan gosip itu menyebar, dia merasa seolah seluruh mata memandangnnya dengan tatapan hina.Setiap menyaksikan pelanggan yang sedang bercanda sambil menikmati hidangan, Cinta merasa seolah mereka sedang membicarakan dirinya. Kini hidup Cinta terasa tidak tenang, dipenuhi dengan berbagai kecurigaan. Cinta merasa, setiap orang yang memandangnya seolah ingin mengupas lapis demi lapis tubuh dan masa lalunya.Nora terus meneror. Kadang hanya kiriman emoji api, atau tautan komentar jahat dari netizen.Bahkan sosok yang telah menjadi teman bertumbuh sejak masa kecil itu, tidak segan mengirim pesan bernada ancaman, “Tinggal tunggu waktu sampai anakmu tahu siapa ibunya sebenarnya.”Cinta membaca setiap pesan yang dikirim oleh Nora, tetapi tidak satu pun yang dia balas.Untuk masalah yang satu ini, Cinta merasa benar-benar harus menghadapinya sendiri. Dia tidak tahu harus berbagi dengan siapa.Ini bukan tentang luk
Cinta berdiri di balik meja kasir, mengenakan blus putih sederhana dan celemek cokelat khas kafe miliknya. Ia menatap Hardy, barista muda yang sedang menuangkan espresso ke dalam cangkir. Pemuda itu berhenti sejenak saat menyadari Cinta melangkah menghampirinya, tampaknya ada hal penting yang ingin dia bicarakan.“Hardy!”Mendengar panggilan dari Cinta, Hardy segera meletakkan milk jug ke atas meja, lalu berbalik menghadap bos barunya.“Iya, Mbak?”Karena usia para karyawan tidak terlalu jauh dengan Cinta, mereka memanggil Cinta dengan panggilan 'Mbak' agar lebih akrab. Meski ada beberapa yang belum terbiasa, dan tetap memanggil 'bu' seperti saat bersama dengan Anisa dulu.“Terima kasih, ya,” ucap Cinta, menatap mata Hardy dengan tulus. “Kamu sudah bantu sampaikan pesanku ke Pak Davin. Aku tahu ini bukan posisi yang nyaman buat kamu, apalagi kalian masih ada hubungan kekerabatan.”Hardy tersenyum tipis, meski matanya tampak sedikit canggung. “Nggak apa-apa, Mbak. Mas Davin juga… ya,
Cinta berdiri di dekat meja kasir, menatap kosong ke arah para karyawan yang mulai merapikan kafe menjelang waktu tutup. Lantunan musik lembut masih mengalun pelan dari speaker di sudut ruangan, bercampur dengan suara kursi digeser, gelas dicuci, dan ucapan ringan antar sesama karyawan. Semuanya tampak biasa, seperti hari-hari sebelumnya. Tapi tidak dengan Cinta.Bayangan wajah Nora terus menghantui pikirannya. Senyum licik itu. Kata demi kata yang seperti racun. Ancaman yang bisa meruntuhkan semua yang selama ini dia bangun dengan susah payah.Tangannya yang menggenggam kain lap di meja mulai bergetar. Cinta berusaha tetap tegak, tersenyum kecil saat Rizka melambaikan tangan pamit. Tapi senyum itu tak sampai ke matanya. Begitu pintu kafe tertutup dan tinggal suara detik jam dinding yang terdengar jelas, Cinta menyandarkan tubuhnya ke meja, diam-diam menunduk.Air mata itu jatuh pelan. Tanpa suara. Tanpa drama. Hanya butiran kecil yang mengalir perlahan di pipinya. Ia menyekanya cep
Cinta menyandarkan punggungnya pada kursi, menatap Nora dengan sorot mata dingin, meski amarah dalam dadanya membara. Dalam diamnya, ia mengingat kembali semua luka yang sudah lama ia pendam, malam-malam panjang penuh air mata, rasa jijik yang tidak bisa hilang dari tubuhnya, dan suara erangan dan desahan Rama yang terus menghantui pikirannya. Semua itu berawal dari satu nama, Nora.“Aku tidak akan pernah lupa, Nor,” ucap Cinta akhirnya, suaranya datar namun tajam. “Nggak akan lupa dari mana uang itu berasal. Dari mana aku bisa beli kafe ini. Dan aku juga nggak akan lupa siapa sahabatku yang menjerumuskan aku ke lembah itu.”Nora tersenyum kecil, seperti tak tersentuh oleh tudingan itu. Ia menyilangkan kakinya, mengambil cangkir kopi yang tinggal setengah, lalu menyesapnya dengan santai. “Kamu harusnya berterima kasih sama aku, Cin. Bukan malah melempar kesalahan seperti ini."Cinta menyipitkan mata. “Terima kasih? Karena kamu sudah menjual aku?”Nora tertawa, pahit dan sarkastik. “O
Nora. Sahabat masa kecil, seseorang yang dulu tidur di ranjang sebelah di panti asuhan. Yang berbagi sepotong roti dan mimpi-mimpi kecil tentang masa depan yang lebih baik. Tetapi dia adalah perempuan yang telah menghancurkan hidup Cinta. Dengan kata-kata manis dan senyum pura-pura, Nora menggiringnya ke dalam perangkap. Membuatnya percaya bahwa pekerjaan itu akan membawa kehidupan lebih baik, tetapi yang ia dapatkah adalah kehinaan. Kehinaan bersama Rama. Satu bulan menjadi budak nafsu mantan kekasihnya, sampai kini masih menghantui tidurnya.Sekarang, Nora duduk santai, tertawa pelan, tanpa beban. Seolah semua itu tak pernah terjadi. Seolah mereka masih dua anak yatim piatu yang saling menjaga.Tiara menoleh dan melambaikan tangan dengan wajah senang melihat kehadiran Cinta. “Kak Cintaaa! Lihat Kak Nora datang."Cinta mengangguk pelan. Senyum kecil dipaksakan, meski tangan yang menggenggam alat bantu jalan Chiara mulai gemetar.Nora bangkit dari duduknya, menghampiri Cinta lalu
Tangan Rama mengambil map itu perlahan, membuka lembar demi lembar isinya, sebagian berisi catatan pengamatan, beberapa foto candid, dan selembar fotokopi dokumen rumah sakit.“Apa maksudmu banyak orang? Siapa saja?” tanya Rama cepat, nada suaranya mulai menajam.Selo menyandarkan tubuhnya ke kursi, tangan terlipat di dada. Ia menatap Rama seperti sedang mengamati pecahan teka-teki yang hampir utuh.“Selain njenengan,” ucap Selo Ardi datar, “ada mantan suaminya. Ada kemungkinan dia menyesal dan ingin rujuk kembali."Rama mengeraskan rahangnya, ada kecemburuan yang tiba-tiba menyeruak di dalam hatinya. Dia sudah menantikan Cinta begitu lama, dan tidak akan membiarkan ada yang menghalanginya, termasuk mantan suaminya.Kini, bukan hanya meluluhkan hati kedua orang tuanya agar memberi restu, tetapi juga menaklukkan putri Cinta, yang mungkin saja akan lebih condong untuk memilih ayah kandungnya."Terus… ibu mertuanya. Lebih berbahaya. Dia nggak bergerak terang-terangan, tapi saya lihat di
Rama menarik napas panjang, berusaha meneguhkan fokus meski pikirannya berkelindan antara paparan proyek dan kabar dari Selo Ardi. Rama tetap berdiri tegap di hadapan jajaran direksi dan calon investor yang duduk menyimak. Seorang investor senior dari Jepang, Mr. Takahashi, mengangkat tangan.“Mr. Rama, bagaimana Anda memastikan teknologi energi surya ini dapat diimplementasikan secara efisien di iklim tropis seperti Indonesia, mengingat musim hujan yang panjang?”Rama tersenyum tenang. “Pertanyaan yang sangat baik, Mr. Takahashi. Kami telah bekerja sama dengan mitra teknologi dari Eropa dan Singapura untuk menciptakan panel surya dengan sistem penyimpanan energi yang lebih efisien. Dengan baterai lithium-iron phosphate generasi terbaru, daya tetap bisa disuplai selama 48 jam bahkan tanpa sinar matahari. Kami juga sudah menguji prototipe di Jawa Barat dengan hasil yang sangat menjanjikan.”Salah satu petinggi lokal, Pak Ardiansyah, menyusul bertanya, “Bagaimana dengan kepercayaan mas
Malam menurunkan sunyinya pelan-pelan, memeluk bangunan kafe yang kini telah sepi. Lampu-lampu temaram di sudut-sudut ruang memantulkan bayangan yang tenang di dinding kayu. Setelah memastikan Chiara sudah benar-benar terlelap di kamarnya, Cinta melangkahkan kakinya ke tempat Tiara sedang duduk berselonjor di sofa kecil dekat dapur, menyeruput teh hangat yang baru saja ia seduh.Cinta ikut duduk di sampingnya, menarik napas panjang sebelum akhirnya berkata, “Tadi siang Davin datang.”Tiara melirik, sedikit terkejut namun tak sepenuhnya heran. “Pak Davin? Maksudnya… mantan bos besar?”Cinta mengangguk pelan. “Dia minta kerja. Katanya Farah sebentar lagi melahirkan, dan dia butuh penghasilan tetap.”Tiara menghela napas panjang, meletakkan cangkirnya di atas meja kecil di depan mereka. Ia menatap Cinta dengan sorot tajam namun penuh kepedulian. “Mbak Cinta serius mempertimbangkannya?”“Aku masih bingung,” jawab Cinta jujur. “Mau nolak kasihan, mau terima juga gimana. Mbak ingat pesan