Cinta berlari menyusuri koridor rumah sakit. Napasnya tersengal. Air mata mengalir, bercampur keringat di wajahnya yang pucat. Pakaiannya berantakan, penuh noda darah yang sudah mulai mengering. Darah putrinya, bau anyirnya menusuk hidung, bercampur dengan aroma antiseptik rumah sakit.
“Bertahanlah, Nak. Bertahanlah….” Suara Cinta terdengar parau, nyaris tak terdengar di tengah hiruk-pikuk rumah sakit. Di atas brankar yang melaju kencang, tubuh kecil Chiara tergolek tak berdaya. Tadi saat keluar dari sekolah, tiba-tiba ada mobil yang melaju dengan kencang menghempaskan tubuh mungilnya. Darah mengalir dari keningnya, membasahi rambut dan wajahnya yang dulu begitu cantik. Sekarang, wajah Chiara hampir tak bisa dikenali. Luka-luka di dahinya menganga. Kelopak matanya tertutup, terlalu lemah untuk terbuka. Lutut Cinta gemetar, kakinya hampir tidak kuat menopang tubuh, tetapi dia terus mengikuti brankar tersebut. Brankar berhenti di depan pintu ruang gawat darurat. Para dokter dan perawat bergerak cepat. Cinta ingin ikut masuk, ingin selalu berada di samping putrinya. Namun, seorang perawat menghadangnya di depan pintu. “Ibu, mohon tunggu di luar.” Cinta menggeleng. Matanya penuh ketakutan. “Tolong, izinkan saya masuk. Saya ibunya!” Suara Cinta bergetar, terdengar sangat nelangsa. “Ibu, mohon bekerja sama. Kami harus segera menangani anak Anda,” ucap perawat itu dengan tegas, tanpa memberi ruang untuk berdebat. Pintu tertutup di depan wajahnya. Tangis Cinta pecah, membayangkan putrinya yang sedang berjuang antara hidup dan mati. Cinta tidak peduli dengan tatapan orang-orang di sekitarnya, tidak peduli dengan suara langkah kaki yang berlalu-lalang. Hanya satu yang ada di pikirannya, keselamatan Chiara. Tangannya gemetar saat merogoh ponsel di saku. Cinta menekan nomor Kevin, suaminya. Tidak ada jawaban. Tidak ingin pasrah begitu saja, Cinta kembali mencoba, tetapi tetap tidak diangkat. “Angkat, Kevin. Angkat ….” Suara Cinta tidak jelas karena dibarengi dengan isak tangis. Matanya nanar menatap layar ponsel. Cinta meremas rambutnya, seakan itu bisa meredakan rasa panik yang menyesakkan dadanya. Dering berulang, tapi tetap tak ada sahutan. Lalu terdengar nada sibuk. Cinta menggigit bibirnya hingga berdarah. Dia ingin berteriak. Ingin marah. Tapi yang tersisa hanya rasa putus asa. Berulang kali Cinta memperhatikan arlojinya. Ini sudah dua puluh menit dan belum ada kabar tentang putrinya. Pintu terbuka, langkah kaki cepat menghampirinya. Seorang dokter dengan jas putih berdiri di hadapannya. Wajahnya terlihat sangat serius, dan sorot matanya penuh beban. “Ibu dari Anak Chiara?” Cinta mengangguk cepat. Dadanya naik turun menahan napas yang tersengal. Tatap matanya terlihat penuh harap akan mendengar kabar baik di tengah kegundahan hatinya. Tetapi kenyataan tak seperti yang diharapkan. "Jadi seperti ini, Anak Chiara mengalami luka serius di kepala dan kakinya, kami harus segera melakukan tindakan operasi." "Operasi?" Cinta membeku. Dia tidak menyangka jika luka putrinya separah ini. "Kalau begitu lakukan apa saja, Dok. Yang terpenting anak saya selamat." "Ada masalah lain, Bu. Pasien sudah kehilangan banyak darah dan memerlukan transfusi. Kami butuh donor segera.” Cinta membatu. Matanya berkedip cepat, mencoba memahami kata-kata dokter itu. Kepalanya berdenyut kala menyadari satu hal yang sangat sulit. Ingatan menghantam Cinta. Sekitar dua tahun lalu, Chiara pernah mengalami demam berdarah yang parah dan membutuhkan transfusi darah segera. Saat itu, Kevin tanpa ragu menjadi pendonor. Dia satu-satunya yang memiliki golongan darah yang sama. Darah Kevin menyelamatkan Chiara kala itu. “Golongan darah yang sesuai dengan Anak Chiara, stok di rumah sakit kosong. Kami sudah menghubungi PMI juga tidak punya persediaan saat ini.” Kalimat itu seperti tamparan untuk Cinta. Terlebih lagi dirinya memiliki golongan darah yang berbeda dengan anaknya. Dia menatap dokter tersebut. "Dok, tolong selamatkan anak saya. Saya ... Saya akan mencari pendonor yang sesuai." Begitu dokter pergi, Cinta berusaha menghubungi Kevin. Kembali hanya dering yang dia dengar, tanpa ada jawaban. Hanya Kevin yang bisa menyelamatkan Chiara, tetapi sampai saat ini dia tidak bisa dihubungi. "Kevin ... angkat telponnya. Chiara membutuhkanmu." Suara Cinta bergetar, dipenuhi rasa panik. Berulang kali Cinta mencoba menghubungi nomor suaminya. Tetap tidak ada jawaban, hingga membuatnya semakin putus asa. Bahkan saat ini nomor suaminya justru menjadi tidak aktif. Dengan sisa tenaga yang ada, Cinta berlari keluar dari rumah sakit. Dia bertekad untuk menemui Kevin langsung di kantornya. Tidak ada waktu untuk menunggu. Tidak ada waktu untuk berpikir. Pada saat putrinya sedang bertaruh nyawa, Kevin entah di mana. Cinta tetap berpikir positif, mungkin saat ini Kevin sedang ada rapat penting dan tidak bisa diganggu, sehingga ponsel dia matikan. Setelah turun dari taksi, Cinta melangkah ke meja resepsionis untuk memastikan jika Kevin sedang berada di tempat. Setelah mendapat informasi yang pasti tentang keberadaan suaminya, Cinta semakin tidak sabar hingga setengah berlari agar bisa segera tiba di ruang kerja suaminya. Karena panik dan terburu-buru Cinta membuka pintu tanpa mengetuk terlebih dahulu. Tetapi tubuhnya lemah seketika, kala matanya disuguhi pemandangan yang tidak pernah dia duga sebelumnya. Kevin berdiri di belakang Maira, sekretarisnya. Perempuan dengan pakaian yang berantakan itu sedang membungkukkan tubuhnya dengan kedua tangan yang bertopang pada meja kerja yang besar. Gerakan tubuh Kevin yang diiringi desah dan erangan itu tiba-tiba berhenti saat pintu terbuka. Kevin tampak gusar menyesali keteledorannya yang lupa mengunci pintu. Tetapi semua terlambat, Cinta sudah melihatnya. “Kevin ….” Lirih suara Cinta, hampir tidak terdengar.Perempuan mana yang tidak hancur hatinya, pada saat putrinya sedang berjuang antara hidup dan mati, suaminya justru sedang berbagi peluh dengan perempuan lain.Kaki Cinta terasa lemas seketika, hingga membuatnya hampir terjatuh. Beberapa karyawan yang melihat langsung bergerak hendak menolongnya. Tetapi saat di depan pintu mereka melihat Kevin yang sedang merapikan celananya secara asal, bahkan gespernya pun belum sempat dia kaitkan.Sementara itu, Maira yang selama ini mereka ketahui sebagai sekretaris Kevin, memunggungi mereka, sepertinya sedang merapikan pakaian dan dandanannya.Sorot mata tajam Kevin membuat beberapa karyawan yang sempat melihat segera menyingkir. Tampaknya mereka cari aman dengan tidak ikut campur dalam masalah pribadi sang pemilik perusahaan.“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Kevin dengan nada tinggi penuh amarah untuk menutupi kesalahan.Cinta terdiam dengan lelehan air mata yang membasahi pipinya, seolah lupa dengan tujuan mendatangi kantor suaminya. Peman
Kata-kata itu menggantung di udara, lebih dingin dari dinding rumah sakit. Cinta menutup mata sejenak, lalu mengangguk pelan. Keselamatan Chiara lebih utama daripada mempertahankan sebuah ikatan yang sudah kehilangan kesakralannya.Kevin mengalihkan pandangannya, merasa menang. Baginya ini adalah hukuman yang setimpal untuk Cinta yang telah mengganggu kesenangannya dan menjatuhkan harga dirinya di hadapan para karyawan.Setelah Cinta menyetujui syarat yang dia ajukan, Kevin melangkah tegap, tanpa ragu, seolah perjanjian yang baru saja mereka buat hanyalah urusan bisnis biasa.Cinta berdiri terpaku di lorong rumah sakit. Air matanya jatuh tanpa suara, menelusuri pipi yang pucat. Dia menatap Kevin yang berjalan menjauh bersamaan dengan seorang tenaga medis yang akan mengambil darahnya untuk didonorkan kepada putrinya.Waktu terasa begitu lambat. Detik-detik terasa seperti beban yang tak tertahankan. Cinta duduk di kursi tunggu yang dingin, tangannya menggenggam erat saputangan kecil, ba
Kevin sudah berpesan kepada Cinta untuk tidak mendatangi sidang perceraian, agar prosesnya bisa berjalan dengan lancar. Dan sekarang, akta cerai itu sudah berada di tangan Cinta.Bunda Aminah memeluk Cinta, memberikan kekuatan dalam menghadapi ujian yang bertubi-tubi datangnya. Tidak ada kata-kata berlebihan, hanya keheningan yang berbicara lebih lantang daripada seribu nasihat. Cinta menunduk, menahan air mata yang nyaris tumpah, menggenggam erat akta cerai di tangannya."Kamu kuat, Nak. Sejak kecil, kamu sudah terbiasa menghadapi badai." ucap Bunda Aminah dengan suara yang menenangkan.Cinta mengangguk pelan, meski hatinya berkata sebaliknya. Dulu, dia datang ke panti ini sebagai anak kecil yang haus kasih sayang. Kini dia kembali, sebagai seorang ibu yang kehilangan segalanya, kecuali putrinya.Terdengar suara salam yang mengalihkan perhatian Cinta dan Bunda Aminah. Keduanya mengenali suara itu dan bergegas keluar.Nora datang dengan langkah cepat, dia mencium punggung tangan Bunda
Cinta menelan ludah, berusaha mengendalikan debaran jantung yang tak beraturan. Janda satu anak itu mengangkat dagu, memasang senyum profesional seolah tidak ada sejarah kelam di antara mereka. berdua "Saya siap untuk bekerja." Cinta berusaha tetap tenang, tetapi tidak bisa menutupi kegugupannya. "Apa yang harus saya lakukan?" Rama menatap Cinta, lalu tiba-tiba tertawa terbahak-bahak dengan tatap mata yang merendahkan. "Ah, Cinta ..." ucap Rama sambil menghela napas, masih menyisakan sisa tawa di bibirnya. "Kamu selalu terburu-buru?" Rama berjalan mendekat, langkahnya santai namun penuh tekanan. "Tidak perlu terburu-buru. Kita punya banyak waktu." Cinta mengeratkan jemarinya, tetap berusaha menjaga ketenangan. Namun, dari nada suara Rama, dia tahu satu hal, Rama yang berdiri di hadapannya ini bukan lagi pria yang pernah berjanji mencintainya seumur hidup. Ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang membuatnya ingin segera pergi, tetapi dia harus bertahan demi Chiara. Ini baru h
Setibanya di restoran mewah, seorang karyawan segera mengarahkan Rama dan Cinta ke tempat yang sudah dipesan sebelumnya. Tanpa sepatah kata, Rama sedikit mengulurkan lengannya. Tatap matanya memberi perintah yang tak terbantahkan. Cinta ragu sejenak, tapi dia tahu tak ada pilihan lain. Dengan gerakan anggun, dia membelitkan lengannya ke lengan Rama, menciptakan pemandangan keserasian yang nyaris sempurna. Rama dan Cinta berjalan berdampingan, seolah pasangan serasi yang memasuki ruangan dengan percaya diri. Namun di balik senyum tipis Rama, terselip ancaman yang tak terucap. Rama membungkuk sedikit, suaranya rendah dan tajam kala berbisik di telinga Cinta. "Mainkan peranmu dengan baik. Jangan mempermalukan aku." Cinta meneguk ludah, berusaha menjaga ketenangan. Menarik napas dalam, Cinta menatap lurus ke depan memulai sandiwara. Pikir Cinta, ini adalah bagian dari pekerjaan. Betapa terkejutnya Cinta saat dia melihat sosok di hadapannya. Dahulu Cinta pernah berada dalam sit
“Kau menangis?” Rama terus memperlakukan Cinta dengan kasar, tak peduli dengan air mata yang mengalir di pipinya. “Jangan berlagak seperti gadis yang baru melepas keperawanannya, aku tahu kau sudah punya anak.” Air mata Cinta tak mampu menimbulkan rasa iba, tidak juga belas kasihan. Rama tidak peduli, dia terus memburu kenikmatan, tentunya untuk dirinya sendiri. Kenangan indah masa lalu yang berkelebat, justru memantik bara dendam di hati Rama. Janji indah yang tak terwujud mengobarkan amarah dan gairah secara bersamaan. Rama mdenulikan telinga atas rintihan dan tangis Cinta, dan membutakan hatinya atas penderitaan perempuan yang pernah dia puja. “Hentikan Rama … aku mohon ….” Cinta mengiba, merintih dan menangis. “Sakit Ram … sakit ….” “Jangan sok suci, pelacur sepertimu pasti sudah biasa melayani banyak pria dengan berbagai gaya.” Rama mengerang dan mempercepat gerakannya semakin beringas. "Kau sudah menandatangani kontrak itu, Cinta. Tubuhmu … milikku sekarang." Setiap sentuh
Dion menatap wajah Cinta dengan saksama, lalu menghela napas panjang. Rasa iba menyelinap ke relung hatinya kala menatap Cinta yang terlihat begitu hancur.Mata Cinta yang sembab, wajahnya pun terlihat pucat, dan bahunya yang bergetar halus menandakan betapa dalam penderitaan yang harus dia tanggung.Dion sadar, belas kasihan tak akan mengubah apa pun.“Cinta,” ucap Dion akhirnya, nadanya lebih lembut dari sebelumnya. “Aku juga tidak bisa berbuat apa-apa."Dion mengusap tengkuk sebelum melanjutkan kalimatnya. "Dengar, suka atau tidak suka, kau harus menjalani kontrak ini. Karena melawan Pak Rama … itu bukan pilihan."Cinta menelan ludah.“Menangis tidak akan mengubah apa pun,” lanjut Dion. “Satu-satunya hal yang bisa kau lakukan sekarang adalah bertahan. Coba nikmati saja!”Dion tersenyum sumir tanpa makna. Entah menertawakan nasib Cinta, atau menertawakan dirinya sendiri yang memberikan saran sangat konyol.“Kumpulkan uang sebanyak yang kau bisa. Saat kontrak ini berakhir, kau bisa m
Di kamar yang luas dan mewah, Cinta berdiri tepat di depan Rama. Sinar matahari yang masuk melalui jendela besar membiaskan siluet tubuh mereka di cermin. Di tangan Cinta, dasi warna hitam dengan motif garis-garis harus dipasang di kerah kemeja Rama.Tangan Cinta bergerak dengan terampil, meski dengan hati yang terasa mati. Pekerjaan ini sudah menjadi kebiasaan. Dahulu, dia melakukan ini dengan penuh cinta untuk Kevin, mantan suaminya. Kini, dia melakukannya dengan terpaksa untuk pria yang telah menginjak-injak harga dirinya.Rama berdiri tegak dengan tatap mata dingin penuh kemenangan. Membiarkan Cinta mengurus dirinya, layaknya seorang istri yang sedang mengurus suami.Cinta terus menundukkan kepala, menghindar dari tatapan itu. Ibu satu anak itu menggigit bibirnya, menahan rasa perih yang menyeruak dalam dadanya karena terjebak dalam pekerjaan hina.Saat simpul dasi sudah terikat dengan sempurna, Cinta hendak meninggalkan Rama. Tetapi, belum sempat Cinta menjauh, tangan Rama sudah
Di kamar yang luas dan mewah, Cinta berdiri tepat di depan Rama. Sinar matahari yang masuk melalui jendela besar membiaskan siluet tubuh mereka di cermin. Di tangan Cinta, dasi warna hitam dengan motif garis-garis harus dipasang di kerah kemeja Rama.Tangan Cinta bergerak dengan terampil, meski dengan hati yang terasa mati. Pekerjaan ini sudah menjadi kebiasaan. Dahulu, dia melakukan ini dengan penuh cinta untuk Kevin, mantan suaminya. Kini, dia melakukannya dengan terpaksa untuk pria yang telah menginjak-injak harga dirinya.Rama berdiri tegak dengan tatap mata dingin penuh kemenangan. Membiarkan Cinta mengurus dirinya, layaknya seorang istri yang sedang mengurus suami.Cinta terus menundukkan kepala, menghindar dari tatapan itu. Ibu satu anak itu menggigit bibirnya, menahan rasa perih yang menyeruak dalam dadanya karena terjebak dalam pekerjaan hina.Saat simpul dasi sudah terikat dengan sempurna, Cinta hendak meninggalkan Rama. Tetapi, belum sempat Cinta menjauh, tangan Rama sudah
Dion menatap wajah Cinta dengan saksama, lalu menghela napas panjang. Rasa iba menyelinap ke relung hatinya kala menatap Cinta yang terlihat begitu hancur.Mata Cinta yang sembab, wajahnya pun terlihat pucat, dan bahunya yang bergetar halus menandakan betapa dalam penderitaan yang harus dia tanggung.Dion sadar, belas kasihan tak akan mengubah apa pun.“Cinta,” ucap Dion akhirnya, nadanya lebih lembut dari sebelumnya. “Aku juga tidak bisa berbuat apa-apa."Dion mengusap tengkuk sebelum melanjutkan kalimatnya. "Dengar, suka atau tidak suka, kau harus menjalani kontrak ini. Karena melawan Pak Rama … itu bukan pilihan."Cinta menelan ludah.“Menangis tidak akan mengubah apa pun,” lanjut Dion. “Satu-satunya hal yang bisa kau lakukan sekarang adalah bertahan. Coba nikmati saja!”Dion tersenyum sumir tanpa makna. Entah menertawakan nasib Cinta, atau menertawakan dirinya sendiri yang memberikan saran sangat konyol.“Kumpulkan uang sebanyak yang kau bisa. Saat kontrak ini berakhir, kau bisa m
“Kau menangis?” Rama terus memperlakukan Cinta dengan kasar, tak peduli dengan air mata yang mengalir di pipinya. “Jangan berlagak seperti gadis yang baru melepas keperawanannya, aku tahu kau sudah punya anak.” Air mata Cinta tak mampu menimbulkan rasa iba, tidak juga belas kasihan. Rama tidak peduli, dia terus memburu kenikmatan, tentunya untuk dirinya sendiri. Kenangan indah masa lalu yang berkelebat, justru memantik bara dendam di hati Rama. Janji indah yang tak terwujud mengobarkan amarah dan gairah secara bersamaan. Rama mdenulikan telinga atas rintihan dan tangis Cinta, dan membutakan hatinya atas penderitaan perempuan yang pernah dia puja. “Hentikan Rama … aku mohon ….” Cinta mengiba, merintih dan menangis. “Sakit Ram … sakit ….” “Jangan sok suci, pelacur sepertimu pasti sudah biasa melayani banyak pria dengan berbagai gaya.” Rama mengerang dan mempercepat gerakannya semakin beringas. "Kau sudah menandatangani kontrak itu, Cinta. Tubuhmu … milikku sekarang." Setiap sentuh
Setibanya di restoran mewah, seorang karyawan segera mengarahkan Rama dan Cinta ke tempat yang sudah dipesan sebelumnya. Tanpa sepatah kata, Rama sedikit mengulurkan lengannya. Tatap matanya memberi perintah yang tak terbantahkan. Cinta ragu sejenak, tapi dia tahu tak ada pilihan lain. Dengan gerakan anggun, dia membelitkan lengannya ke lengan Rama, menciptakan pemandangan keserasian yang nyaris sempurna. Rama dan Cinta berjalan berdampingan, seolah pasangan serasi yang memasuki ruangan dengan percaya diri. Namun di balik senyum tipis Rama, terselip ancaman yang tak terucap. Rama membungkuk sedikit, suaranya rendah dan tajam kala berbisik di telinga Cinta. "Mainkan peranmu dengan baik. Jangan mempermalukan aku." Cinta meneguk ludah, berusaha menjaga ketenangan. Menarik napas dalam, Cinta menatap lurus ke depan memulai sandiwara. Pikir Cinta, ini adalah bagian dari pekerjaan. Betapa terkejutnya Cinta saat dia melihat sosok di hadapannya. Dahulu Cinta pernah berada dalam sit
Cinta menelan ludah, berusaha mengendalikan debaran jantung yang tak beraturan. Janda satu anak itu mengangkat dagu, memasang senyum profesional seolah tidak ada sejarah kelam di antara mereka. berdua "Saya siap untuk bekerja." Cinta berusaha tetap tenang, tetapi tidak bisa menutupi kegugupannya. "Apa yang harus saya lakukan?" Rama menatap Cinta, lalu tiba-tiba tertawa terbahak-bahak dengan tatap mata yang merendahkan. "Ah, Cinta ..." ucap Rama sambil menghela napas, masih menyisakan sisa tawa di bibirnya. "Kamu selalu terburu-buru?" Rama berjalan mendekat, langkahnya santai namun penuh tekanan. "Tidak perlu terburu-buru. Kita punya banyak waktu." Cinta mengeratkan jemarinya, tetap berusaha menjaga ketenangan. Namun, dari nada suara Rama, dia tahu satu hal, Rama yang berdiri di hadapannya ini bukan lagi pria yang pernah berjanji mencintainya seumur hidup. Ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang membuatnya ingin segera pergi, tetapi dia harus bertahan demi Chiara. Ini baru h
Kevin sudah berpesan kepada Cinta untuk tidak mendatangi sidang perceraian, agar prosesnya bisa berjalan dengan lancar. Dan sekarang, akta cerai itu sudah berada di tangan Cinta.Bunda Aminah memeluk Cinta, memberikan kekuatan dalam menghadapi ujian yang bertubi-tubi datangnya. Tidak ada kata-kata berlebihan, hanya keheningan yang berbicara lebih lantang daripada seribu nasihat. Cinta menunduk, menahan air mata yang nyaris tumpah, menggenggam erat akta cerai di tangannya."Kamu kuat, Nak. Sejak kecil, kamu sudah terbiasa menghadapi badai." ucap Bunda Aminah dengan suara yang menenangkan.Cinta mengangguk pelan, meski hatinya berkata sebaliknya. Dulu, dia datang ke panti ini sebagai anak kecil yang haus kasih sayang. Kini dia kembali, sebagai seorang ibu yang kehilangan segalanya, kecuali putrinya.Terdengar suara salam yang mengalihkan perhatian Cinta dan Bunda Aminah. Keduanya mengenali suara itu dan bergegas keluar.Nora datang dengan langkah cepat, dia mencium punggung tangan Bunda
Kata-kata itu menggantung di udara, lebih dingin dari dinding rumah sakit. Cinta menutup mata sejenak, lalu mengangguk pelan. Keselamatan Chiara lebih utama daripada mempertahankan sebuah ikatan yang sudah kehilangan kesakralannya.Kevin mengalihkan pandangannya, merasa menang. Baginya ini adalah hukuman yang setimpal untuk Cinta yang telah mengganggu kesenangannya dan menjatuhkan harga dirinya di hadapan para karyawan.Setelah Cinta menyetujui syarat yang dia ajukan, Kevin melangkah tegap, tanpa ragu, seolah perjanjian yang baru saja mereka buat hanyalah urusan bisnis biasa.Cinta berdiri terpaku di lorong rumah sakit. Air matanya jatuh tanpa suara, menelusuri pipi yang pucat. Dia menatap Kevin yang berjalan menjauh bersamaan dengan seorang tenaga medis yang akan mengambil darahnya untuk didonorkan kepada putrinya.Waktu terasa begitu lambat. Detik-detik terasa seperti beban yang tak tertahankan. Cinta duduk di kursi tunggu yang dingin, tangannya menggenggam erat saputangan kecil, ba
Perempuan mana yang tidak hancur hatinya, pada saat putrinya sedang berjuang antara hidup dan mati, suaminya justru sedang berbagi peluh dengan perempuan lain.Kaki Cinta terasa lemas seketika, hingga membuatnya hampir terjatuh. Beberapa karyawan yang melihat langsung bergerak hendak menolongnya. Tetapi saat di depan pintu mereka melihat Kevin yang sedang merapikan celananya secara asal, bahkan gespernya pun belum sempat dia kaitkan.Sementara itu, Maira yang selama ini mereka ketahui sebagai sekretaris Kevin, memunggungi mereka, sepertinya sedang merapikan pakaian dan dandanannya.Sorot mata tajam Kevin membuat beberapa karyawan yang sempat melihat segera menyingkir. Tampaknya mereka cari aman dengan tidak ikut campur dalam masalah pribadi sang pemilik perusahaan.“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Kevin dengan nada tinggi penuh amarah untuk menutupi kesalahan.Cinta terdiam dengan lelehan air mata yang membasahi pipinya, seolah lupa dengan tujuan mendatangi kantor suaminya. Peman
Cinta berlari menyusuri koridor rumah sakit. Napasnya tersengal. Air mata mengalir, bercampur keringat di wajahnya yang pucat. Pakaiannya berantakan, penuh noda darah yang sudah mulai mengering. Darah putrinya, bau anyirnya menusuk hidung, bercampur dengan aroma antiseptik rumah sakit.“Bertahanlah, Nak. Bertahanlah….” Suara Cinta terdengar parau, nyaris tak terdengar di tengah hiruk-pikuk rumah sakit.Di atas brankar yang melaju kencang, tubuh kecil Chiara tergolek tak berdaya. Tadi saat keluar dari sekolah, tiba-tiba ada mobil yang melaju dengan kencang menghempaskan tubuh mungilnya.Darah mengalir dari keningnya, membasahi rambut dan wajahnya yang dulu begitu cantik. Sekarang, wajah Chiara hampir tak bisa dikenali. Luka-luka di dahinya menganga. Kelopak matanya tertutup, terlalu lemah untuk terbuka.Lutut Cinta gemetar, kakinya hampir tidak kuat menopang tubuh, tetapi dia terus mengikuti brankar tersebut.Brankar berhenti di depan pintu ruang gawat darurat. Para dokter dan perawat