Kapokmu Kapan, Mas? (44b)Entah bagaimana Pak Arsyad dan aku tidur malam itu, saat terbangun di pagi harinya kami sudah dalam posisi saling berpelukan. Kami sama-sama terkejut dan saling melepas diri. Aku cepat-cepat bangun dan menuju kamar mandi.Jantungku berlarian tak beraturan ketika mengingat posisi kami tadi. Aku tidak boleh terbawa perasaan! Aku yakin, Pak Arsyad juga tidak ada rasa terhadapku. Apalagi sejak aku mengakui semuanya pagi itu di dalam mobilnya. Sikapnya yang ramah berubah dingin sejak hari itu. Aku tak boleh bermain hati!Pak Arsyad bergantian denganku menggunakan kamar mandi. Setelah selesai, barulah kami keluar dari motel itu bersama. Selanjutnya kami menuju mobil untuk melanjutkan perjalanan.Namun, di parkiran tidak terdapat mobil milik Pak Arsyad. Saat kami tanyakan pihak motel tentang itu pun tak ada jawaban pasti untuk itu. Kemungkinan besar mobil Pak Arsyad dicuri saat kami terlelap."Jadi gimana, Pak? Kita ke kantor polisi untuk lapor mobil Bapak dicuri?"
Kapokmu Kapan, Mas? (45)Aku memandangi Ira dan Pak Arsyad secara bergantian. Apakah mereka saling kenal? Di mana dan bagaimana?"Kalian saling kenal?" tanyaku pada akhirnya.Bukannya menjawab, Ira dan Pak Arsyad malah saling melempar tawa. Aku jadi bingung dibuatnya. Apa sebenarnya hubungan mereka?"Udah, ayo masuk dulu!" ajak Ira.Kami lantas duduk di ruang tamu rumah nenek Ira. Emak dan Nining datang membawakan minuman dan camilan. Mereka juga ikut duduk setelahnya."Kalian saling kenal?" Aku kembali menanyakan status hubungan Ira dengan Pak Arsyad."Banget, Ti!" jawab Ira."Di mana? Gimana?" Entah mengapa aku sangat penasaran dengan kedekatan mereka."Ehm. Ada yang cemburu." Celetukan Ira membuat Pak Arsyad yang sedang menyesap tehnya jadi tersedak.Dengan sigap aku menyodorkan air mineral dari dalam tasku."Apaan, sih, Ra. Gak lucu!" Aku mencebik."Aku sama Mas Yayat ini tetanggaan dulu waktu di kampung, Ti. Gak usah cemburu gitu, dong." Ira terus saja menggodaku."Siapa yang cem
Kapokmu Kapan, Mas? (45b)Setelah semua selesai didiskusikan, aku pamit pulang ke rumah Bude Ningsih. Kubiarkan Emak dan Nining tinggal bersama Ira dulu. Pak Arsyad juga ikut pamit pulang.Pak Arsyad memesan dua taksi online untuk aku dan dirinya. Arah kami berlawanan. Jadi, tidak memungkinkan kami menumpang satu mobil yang sama. Kami berpisah saat taksi online pesanan kami datang.Aku berjanji akan menghubungi Ira dan Pak Arsyad begitu diriku sampai di rumah Bude Ningsih. Mereka berdua begitu mencemaskanku. Begitu juga dengan Emak dan Nining.Dalam perjalanan pulang ke rumah Bude Ningsih, entah mengapa aku menjadi gelisah. Aku seperti mendapat firasat buruk. Berulang kali aku beristigfar dan memohon perlindungan Allah.Macet panjang semakin membuatku gelisah."Kok, macet di sini, ya, Pak? Biasanya jalur sini bebas macet, loh," ucapku ke sopir taksi onile."Wah, gak tau juga saya, Bu. Tapi ini panjang banget kayaknya macetnya. Gak bergerak sama sekali juga mobil-mobil di depan."Hampi
Kapokmu Kapan, Mas? (46)Seketika itu juga perawat datang dan mengajakku pergi dari sana. Beberapa orang perawat lain dan dokter bergegas menuju tempat Bude Ningsih. Firasatku buruk tentang itu.Pak Arsyad yang menunggu di depan ruang ICU, segera menghampiriku saat aku keluar ruangan itu."Bagaimana, Ti?" tanyanya.Aku menggeleng.Hampir saja aku limbung terjatuh ke lantai kalau Pak Arsyad tidak segera menadah tubuhku. Segera saja aku dituntunnya untuk duduk di kursi tunggu yang letaknya tak jauh dari depan ruangan itu. Pak Arsyad juga memberiku air minum setelah aku duduk."Ada apa?" tanyanya kemudian."Bude Ningsih suruh saya sembunyi, Pak," ucapku lirih."Kenapa?""Kata beliau, mereka sudah tau saya masih hidup.""Lalu, Bude Ningsih bilang apa lagi?"Aku menggeleng."Bude gak bilang apa-apa lagi, Pak. Bude ...." Setelah mengatakan itu, aku refleks memeluk Pak Arsyad dan menumpahkan tangis dalam pelukannya.Pak Arsyad mencoba menenangkanku dengan mengelus dan menepuk pelan pundakku
Kapokmu Kapan, Mas? (46b)Sebenarnya aku hanya berbasa-basi guna mencairkan suasana canggung yang mulai kurasakan. Sayangnya, Pak Arsyad malah menanggapinya serius. Dia malah sibuk menjelaskan tentang pelacak rahasia yang dipasangkan ke mobilnya oleh perusahaan asuransi yang diikutinya.Jarak rumah sakit dengan rumah orang tua Pak Arsyad menjadi dekat karena kami melewati jalan tol. Jadi hanya butuh waktu kurang lebih setengah jam, kami sampai di rumah itu. Seorang satpam menyambut kedatangan kami dengan membukakan gerbang rumah.Aku turun setelah Pak Arsyad terlebih dulu turun dari mobil. Kami lalu berjalan beriringan masuk ke dalam rumah. Di ruang tamu rumah itu, kami disambut seorang wanita yang kutaksir adalah salah satu pekerja di sana."Tolong siapkan kamar kosong buat dia, ya, Mbak!" perintah Pak Arsyad kepada orang itu."Baik, Den," jawab wanita itu."Kamu tunggu di sini dulu, ya! Nanti langsung masuk kamar aja kalau sudah siap. Saya mau siap-siap dulu. Ada meeting penting seb
Kapokmu Kapan, Mas? (47)"Bapak serius?" tanyaku."Apa saya terlihat sedang bergurau?" Pak Arsyad balik bertanya.Aku menggeleng."Saya serius. Tapi ... sepertinya kamu yang tidak serius.""Ma-maksud Bapak apa?""Saya pikir selama ini kamu belum benar-benar serius memberi Robi pelajaran. Seperti kamu terlalu takut menyakitinya. Padahal, sudah secara terang-terangan dia menyakiti kamu berulang kali."Kata-kata Pak Arsyad rasanya seperti sebuah tamparan keras bagiku. Selama ini aku memang seperti yang dikatakannya. Takut-takut dalam menjalankan niatku memberi Bang Robi pelajaran."Apa karena kamu masih terlalu mencintainya?"Pertanyaan Pak Arsyad berhasil membuatku yang tadinya menunduk, jadi menengadah. Lalu, cepat-cepat kuberikan sebuah gelengan kepadanya sebagai jawaban."Tidak!" tegasku."Saya sudah tidak mencintainya. Entahlah ... rasa itu sudah terlalu lama hilang untuknya. Saya juga tidak yakin pernah merasakan itu."Pak Arsyad tak membalas kata-kataku. Dia malah berlalu berjalan
Kapokmu Kapan, Mas? (47b)"Kamu jangan pergi sendiri! Nanti saya antar saja," sela Pak Arsyad."Tunggu saya selesai meeting. Jam sepuluh paling lama," lanjutnya.Aku mengiakan saja perintahnya. Sementara ayah dan ibu Pak Arsyad tampak senang dengan itu. Entah karena apa.Pak Arsyad berangkat kerja bersamaan dengan kedua orang tuanya pergi.Benar saja, Pak Arsyad menepati janjinya. Tepat jam sepuluh pagi, pria itu kembali ke rumah untuk menjemputku. Kami pergi bersama menjenguk Bude Ningsih.Syukurlah, kondisi kesehatan Bude Ningsih berangsur membaik. Kalau tidak ada halangan, aku bisa membawa pulang beliau dalam waktu dekat. Bude Ningsih sangat senang saat kuceritakan sekarang aku tinggal bersama keluarga Pak Arsyad.Setelah dari rumah sakit, Pak Arsyad mengajakku makan siang bersama di sebuah restoran yang letaknya tak jauh dari rumah sakit."Saya sudah mulai meneror Robi. Sepertinya berhasil," ucap Pak Arsyad di tengah kegiatan makan kami."Memang, Mas ngapain dia?""Saya mengirimi
Kapokmu Kapan, Mas? (48)Aku dan Pak Arsyad langsung pulang ke rumah orang tuanya."Jangan begadang lagi malam ini! Kamu harus istirahat yang cukup!" perintah Pak Arsyad sesaat sebelum kami turun dari mobil."Nyuruh aku gak begadang padahal sendirinya begadang telponan sama cewek," gumamku lirih."Apa kamu bilang?"Aku jadi salah tingkah karena pertanyaannya."Ah, bukan apa-apa, Pak," kilahku."Ya sudah, turun!""Iya ...."Aku langsung mengunci diri di kamar setelah masuk rumah. Kurebahkan tubuh setelah membersihkan diri sebelumnya. Aku sangat lelah sehingga membuatku terlelap dengan mudah.Pagi hari, aku terbangun oleh alarm yang kusetel sebelum Subuh. Kubersihkan diri dan menunaikan kewajibanku. Lagi dan lagi, kutumpahkan semua resah dan gelisah lewat panjatan doa.Tepat setelah aku selesai melipat mukena, ponselku berdering. Panggilan masuk dari Pak Arsyad. Entah ada perlu apa sampai dirinya meneleponku di pagi buta."Assalamualaikum ....""Waalaikumsalam. Ada apa, ya, Mas?""Kamu