Share

Bab 44b

Penulis: Aisyah Nur Permata
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Kapokmu Kapan, Mas? (44b)

Entah bagaimana Pak Arsyad dan aku tidur malam itu, saat terbangun di pagi harinya kami sudah dalam posisi saling berpelukan. Kami sama-sama terkejut dan saling melepas diri. Aku cepat-cepat bangun dan menuju kamar mandi.

Jantungku berlarian tak beraturan ketika mengingat posisi kami tadi. Aku tidak boleh terbawa perasaan! Aku yakin, Pak Arsyad juga tidak ada rasa terhadapku. Apalagi sejak aku mengakui semuanya pagi itu di dalam mobilnya. Sikapnya yang ramah berubah dingin sejak hari itu. Aku tak boleh bermain hati!

Pak Arsyad bergantian denganku menggunakan kamar mandi. Setelah selesai, barulah kami keluar dari motel itu bersama. Selanjutnya kami menuju mobil untuk melanjutkan perjalanan.

Namun, di parkiran tidak terdapat mobil milik Pak Arsyad. Saat kami tanyakan pihak motel tentang itu pun tak ada jawaban pasti untuk itu. Kemungkinan besar mobil Pak Arsyad dicuri saat kami terlelap.

"Jadi gimana, Pak? Kita ke kantor polisi untuk lapor mobil Bapak dicuri?"
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Astuti
makin tegang euy..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Kapokmu Kapan, Mas?   Bab 45a

    Kapokmu Kapan, Mas? (45)Aku memandangi Ira dan Pak Arsyad secara bergantian. Apakah mereka saling kenal? Di mana dan bagaimana?"Kalian saling kenal?" tanyaku pada akhirnya.Bukannya menjawab, Ira dan Pak Arsyad malah saling melempar tawa. Aku jadi bingung dibuatnya. Apa sebenarnya hubungan mereka?"Udah, ayo masuk dulu!" ajak Ira.Kami lantas duduk di ruang tamu rumah nenek Ira. Emak dan Nining datang membawakan minuman dan camilan. Mereka juga ikut duduk setelahnya."Kalian saling kenal?" Aku kembali menanyakan status hubungan Ira dengan Pak Arsyad."Banget, Ti!" jawab Ira."Di mana? Gimana?" Entah mengapa aku sangat penasaran dengan kedekatan mereka."Ehm. Ada yang cemburu." Celetukan Ira membuat Pak Arsyad yang sedang menyesap tehnya jadi tersedak.Dengan sigap aku menyodorkan air mineral dari dalam tasku."Apaan, sih, Ra. Gak lucu!" Aku mencebik."Aku sama Mas Yayat ini tetanggaan dulu waktu di kampung, Ti. Gak usah cemburu gitu, dong." Ira terus saja menggodaku."Siapa yang cem

  • Kapokmu Kapan, Mas?   Bab 45b

    Kapokmu Kapan, Mas? (45b)Setelah semua selesai didiskusikan, aku pamit pulang ke rumah Bude Ningsih. Kubiarkan Emak dan Nining tinggal bersama Ira dulu. Pak Arsyad juga ikut pamit pulang.Pak Arsyad memesan dua taksi online untuk aku dan dirinya. Arah kami berlawanan. Jadi, tidak memungkinkan kami menumpang satu mobil yang sama. Kami berpisah saat taksi online pesanan kami datang.Aku berjanji akan menghubungi Ira dan Pak Arsyad begitu diriku sampai di rumah Bude Ningsih. Mereka berdua begitu mencemaskanku. Begitu juga dengan Emak dan Nining.Dalam perjalanan pulang ke rumah Bude Ningsih, entah mengapa aku menjadi gelisah. Aku seperti mendapat firasat buruk. Berulang kali aku beristigfar dan memohon perlindungan Allah.Macet panjang semakin membuatku gelisah."Kok, macet di sini, ya, Pak? Biasanya jalur sini bebas macet, loh," ucapku ke sopir taksi onile."Wah, gak tau juga saya, Bu. Tapi ini panjang banget kayaknya macetnya. Gak bergerak sama sekali juga mobil-mobil di depan."Hampi

  • Kapokmu Kapan, Mas?   Bab 46a

    Kapokmu Kapan, Mas? (46)Seketika itu juga perawat datang dan mengajakku pergi dari sana. Beberapa orang perawat lain dan dokter bergegas menuju tempat Bude Ningsih. Firasatku buruk tentang itu.Pak Arsyad yang menunggu di depan ruang ICU, segera menghampiriku saat aku keluar ruangan itu."Bagaimana, Ti?" tanyanya.Aku menggeleng.Hampir saja aku limbung terjatuh ke lantai kalau Pak Arsyad tidak segera menadah tubuhku. Segera saja aku dituntunnya untuk duduk di kursi tunggu yang letaknya tak jauh dari depan ruangan itu. Pak Arsyad juga memberiku air minum setelah aku duduk."Ada apa?" tanyanya kemudian."Bude Ningsih suruh saya sembunyi, Pak," ucapku lirih."Kenapa?""Kata beliau, mereka sudah tau saya masih hidup.""Lalu, Bude Ningsih bilang apa lagi?"Aku menggeleng."Bude gak bilang apa-apa lagi, Pak. Bude ...." Setelah mengatakan itu, aku refleks memeluk Pak Arsyad dan menumpahkan tangis dalam pelukannya.Pak Arsyad mencoba menenangkanku dengan mengelus dan menepuk pelan pundakku

  • Kapokmu Kapan, Mas?   Bab 46b

    Kapokmu Kapan, Mas? (46b)Sebenarnya aku hanya berbasa-basi guna mencairkan suasana canggung yang mulai kurasakan. Sayangnya, Pak Arsyad malah menanggapinya serius. Dia malah sibuk menjelaskan tentang pelacak rahasia yang dipasangkan ke mobilnya oleh perusahaan asuransi yang diikutinya.Jarak rumah sakit dengan rumah orang tua Pak Arsyad menjadi dekat karena kami melewati jalan tol. Jadi hanya butuh waktu kurang lebih setengah jam, kami sampai di rumah itu. Seorang satpam menyambut kedatangan kami dengan membukakan gerbang rumah.Aku turun setelah Pak Arsyad terlebih dulu turun dari mobil. Kami lalu berjalan beriringan masuk ke dalam rumah. Di ruang tamu rumah itu, kami disambut seorang wanita yang kutaksir adalah salah satu pekerja di sana."Tolong siapkan kamar kosong buat dia, ya, Mbak!" perintah Pak Arsyad kepada orang itu."Baik, Den," jawab wanita itu."Kamu tunggu di sini dulu, ya! Nanti langsung masuk kamar aja kalau sudah siap. Saya mau siap-siap dulu. Ada meeting penting seb

  • Kapokmu Kapan, Mas?   Bab 47a

    Kapokmu Kapan, Mas? (47)"Bapak serius?" tanyaku."Apa saya terlihat sedang bergurau?" Pak Arsyad balik bertanya.Aku menggeleng."Saya serius. Tapi ... sepertinya kamu yang tidak serius.""Ma-maksud Bapak apa?""Saya pikir selama ini kamu belum benar-benar serius memberi Robi pelajaran. Seperti kamu terlalu takut menyakitinya. Padahal, sudah secara terang-terangan dia menyakiti kamu berulang kali."Kata-kata Pak Arsyad rasanya seperti sebuah tamparan keras bagiku. Selama ini aku memang seperti yang dikatakannya. Takut-takut dalam menjalankan niatku memberi Bang Robi pelajaran."Apa karena kamu masih terlalu mencintainya?"Pertanyaan Pak Arsyad berhasil membuatku yang tadinya menunduk, jadi menengadah. Lalu, cepat-cepat kuberikan sebuah gelengan kepadanya sebagai jawaban."Tidak!" tegasku."Saya sudah tidak mencintainya. Entahlah ... rasa itu sudah terlalu lama hilang untuknya. Saya juga tidak yakin pernah merasakan itu."Pak Arsyad tak membalas kata-kataku. Dia malah berlalu berjalan

  • Kapokmu Kapan, Mas?   Bab 47b

    Kapokmu Kapan, Mas? (47b)"Kamu jangan pergi sendiri! Nanti saya antar saja," sela Pak Arsyad."Tunggu saya selesai meeting. Jam sepuluh paling lama," lanjutnya.Aku mengiakan saja perintahnya. Sementara ayah dan ibu Pak Arsyad tampak senang dengan itu. Entah karena apa.Pak Arsyad berangkat kerja bersamaan dengan kedua orang tuanya pergi.Benar saja, Pak Arsyad menepati janjinya. Tepat jam sepuluh pagi, pria itu kembali ke rumah untuk menjemputku. Kami pergi bersama menjenguk Bude Ningsih.Syukurlah, kondisi kesehatan Bude Ningsih berangsur membaik. Kalau tidak ada halangan, aku bisa membawa pulang beliau dalam waktu dekat. Bude Ningsih sangat senang saat kuceritakan sekarang aku tinggal bersama keluarga Pak Arsyad.Setelah dari rumah sakit, Pak Arsyad mengajakku makan siang bersama di sebuah restoran yang letaknya tak jauh dari rumah sakit."Saya sudah mulai meneror Robi. Sepertinya berhasil," ucap Pak Arsyad di tengah kegiatan makan kami."Memang, Mas ngapain dia?""Saya mengirimi

  • Kapokmu Kapan, Mas?   Bab 48a

    Kapokmu Kapan, Mas? (48)Aku dan Pak Arsyad langsung pulang ke rumah orang tuanya."Jangan begadang lagi malam ini! Kamu harus istirahat yang cukup!" perintah Pak Arsyad sesaat sebelum kami turun dari mobil."Nyuruh aku gak begadang padahal sendirinya begadang telponan sama cewek," gumamku lirih."Apa kamu bilang?"Aku jadi salah tingkah karena pertanyaannya."Ah, bukan apa-apa, Pak," kilahku."Ya sudah, turun!""Iya ...."Aku langsung mengunci diri di kamar setelah masuk rumah. Kurebahkan tubuh setelah membersihkan diri sebelumnya. Aku sangat lelah sehingga membuatku terlelap dengan mudah.Pagi hari, aku terbangun oleh alarm yang kusetel sebelum Subuh. Kubersihkan diri dan menunaikan kewajibanku. Lagi dan lagi, kutumpahkan semua resah dan gelisah lewat panjatan doa.Tepat setelah aku selesai melipat mukena, ponselku berdering. Panggilan masuk dari Pak Arsyad. Entah ada perlu apa sampai dirinya meneleponku di pagi buta."Assalamualaikum ....""Waalaikumsalam. Ada apa, ya, Mas?""Kamu

  • Kapokmu Kapan, Mas?   Bab 48b

    Kapokmu Kapan, Mas? (48a)Sesampainya di apartemen, Pak Arsyad langsung mengeluarkan laptop yang dibawanya di mobil dan menyalakannya. Pria itu lantas menyambungkan sebuah flashdisk dari dalam amplop cokelat tadi.Pak Arsyad membuka sebuah file dan menyalakan video dalam file tersebut. Dalam video itu, terlihat Bang Robi bangun tidur di sebuah ruangan dengan keadaan tertutup selimut. Di sana juga ada seorang wanita yang tidur di sampingnya.Bang Robi terlibat perdebatan dengan perempuan itu. Ternyata Bang Robi tidak menggunakan busana atasan. Entah bagian bawahnya aku tak melihat karena tertutup selimut. Sementara wanita itu tampak menutup tubuhnya dengan selimut.Melihat itu, membuatku menoleh ke Pak Arsyad."Dia siapa?" tanyaku seraya menunjuk wanita di dalam video."Orang yang sengaja saya sewa untuk menjebak Robi. Kenapa? Kamu cemburu?""Tidak. Buat apa cemburu? Kejadiannya kapan?"Pak Arsyad lantas bercerita tentang apa yang dilakukan anak buahnya kepada Bang Robi, Bang Anton, se

Bab terbaru

  • Kapokmu Kapan, Mas?   Bab 53b

    Kapokmu Kapan, Mas? (53b)Aku masuk dan tiba-tiba pintu itu terkunci dari luar."Masuk saja. Tidak perlu takut, Dek!" perintah Bang Robi.Tangannya menunjuk sebuah sofa agar aku duduk di sana. Kuletakkan tasku di samping."Gak usah tegang gitu, Dek," kata Bang Robi saat melihatku membetulkan posisi duduk berulang kali.Aku tak menjawab kata-katanya."Aku ke sini mau to the point aja, Bang!" kataku kemudian."Kamu butuh apa memangnya?""Aku gak butuh apa-apa, Bang. Aku malah mau menyerahkan ini." Kulempar map berisi duplikat surat-surat berharga peninggalan orang tuaku ke atas meja yang menjadi pembatas aku dan Bang Robi."Silakan ambil semua itu. Itu yang Abang inginkan, kan?" tanyaku.Bukannya menjawab, Bang Robi malah tertawa."Bukan itu, Sayang! Abang gak butuh itu semua. Yang Abang butuh itu kamu!""Aku? Maksud Abang apa? Bukannya Abang niat bunuh aku?"Bang Robi kembali tertawa."Nah, itu kamu tau.""Kenapa Abang segitu jahatnya sama aku? Salah aku apa, Bang?""Salah kamu karena

  • Kapokmu Kapan, Mas?   Bab 53a

    Kapokmu Kapan, Mas? (53)Aku bersiap berangkat setelah Bang Robi mengirimkan pesan berisi tempat di mana kami akan bertemu. Kusiapkan apa-apa saja yang kuperlukan untuk menemui Bang Robi. Aku harus menyelesaikan semuanya.Baru saja aku memutar gagang pintu kamar, dari luar sudah didorong orang. Ternyata Pak Arsyad yang mendorong. Aku yang tadinya sudah di ambang pintu, harus mundur beberapa langkah karena Pak Arsyad yang ikut masuk ke kamarku. Tangannya lantas menutup pintu kamarku dan menguncinya dengan cepat. Lalu, kunci itu disembunyikannya di dalam saku celana yang dikenakannya."Mas ... balikin kuncinya! Saya mau pergi," pintaku.Bukannya memberikan apa yang kupinta, Pak Arsyad malah menempelkan belakangnya ke pintu. Dengan santai Pak Arsyad bersedekap dan berucap, "Kalau bisa, coba ambil sendiri!""Mas ... tolong! Saya mau pergi. Sudah ada janji.""Janji dengan Robi?"Aku mengangguk."Tidak akan saya biarkan kamu keluar dari sini, kalau begitu.""Mas ... tolong ngertiin saya kal

  • Kapokmu Kapan, Mas?   Bab 52b

    Kapokmu Kapan, Mas? (52b)Malam itu, aku tak dapat tidur dengan pulas. Marahnya Pak Arsyad mendominasi pikiranku. Aku tak suka dengan itu. Sungguh menyakitkan.Pagi harinya, saat sarapan, aku sengaja meminta izin kepada kedua orang tua Pak Arsyad, serta Bude Ningsih."Siang nanti Titi izin keluar, ya, Ma, Pa, Bude."Ketiganya serempak menanyakan tujuanku."Mau menyelesaikan sesuatu yang harus diselesaikan," jawabku.Pak Arsyad diam saja tak merespon apa pun. Dia juga tak melirikku barang sedikit. Ada rasa sakit kurasakan karena itu.Meskipun Pak Arsyad marah, aku sudah bertekad bulat untuk menemui Bang Robi. Aku ingin menyelesaikan semuanya. Semua upaya yang aku dan Pak Arsyad lakukan selama ini tak berdampak banyak. Jadi, ini jalan terakhir untuk mengakhiri semuanya. Setidaknya, setelah Bang Robi mendapatkan semua yang diinginkannya, aku berharap tidak ada lagi korban. Aku semakin takut menjadi sumber dosa banyak orang.Ternyata, setelah sarapan, Pak Arsyad tidak berangkat ke kantor

  • Kapokmu Kapan, Mas?   Bab 52a

    Kapukmu Kapan Mas? (52a)Selepas shalat, aku menyusul Pak Arsyad yang telah lebih dulu menunggu di mobil."Kita pulang sekarang?" tanya Pak Arsyad setelah aku duduk di kursi samping kemudi."Memang masih ada rencana mau ke mana lagi, Mas?" Aku balik bertanya."Tidak juga. Tapi siapa tau kamu butuh pergi ke suatu tempat untuk film diri."Benar juga kata Pak Arsyad. Aku butuh tempat untuk syuting diri. Juga untuk menjernihkan pikiran."Boleh, sih, Mas. Tapi saya gak tau mau ke mana.""Gimana kalau ke pantai?""Boleh."Pak Arsyad lantas melajukan mobilnya menuju pantai. Kami lalu duduk di tepi pantai beralas tikar yang disewakan. Pak Arsyad juga memesan dua buah kelapa muda untuk kami nikmati.Cukup lama kami dalam diam menikmati semilir angin pantai yang menyejukkan. Aku sibuk dengan pikiranku tentang langkah selanjutnya yang akan kuambil. Entah dengan Pak Arsyad, apa yang dipikirkannya, aku tak bisa menebak.Seandainya waktu dapat kuputar. Aku pasti akan berusaha sebaik mungkin agar se

  • Kapokmu Kapan, Mas?   Bab 51c

    Kapokmu Kapan, Mas? (51c)Aku benar-benar dibuat terkejut dengan pengakuan itu. Dadaku bergemuruh. Tak pernah kusangka semua itu."Itu pun karena saya diancam. Bapak mengancam akan membunuh anak bungsu saya yang sedang berada di rumah sakit.""Mbok punya anak selain Mas Wisnu?" tanyaku heran. Pasalnya, selama ini yang kutahu Mbok Mina hanya punya satu anak."Anak saya ada dua, Bu. Wisnu anak pertama saya. Adiknya bernama Siti. Dia sedang dalam masa perawatan di rumah sakit jiwa. Pak Robi tau itu. Saya juga kurang mengerti beliau tau dari mana. Padahal saya tidak pernah bercerita. Pak Robi menggunakan Siti untuk menekan saya memberitahukan tentang kepergian Ibu. Saya terpaksa memberitahu alamat rumah di kampung."Astaghfirullah ...."Awalnya, saya pikir Bapak mau menjemput Ibu secara baik-baik. Jadi saya beri saja. Tapi ... saya malah disuruh hubungi Wisnu. Saya disuruh bohong tentang sakit dan nyuruh Wisnu nyusul ke kota. Di situ, perasaan saya sudah gak enak. Tapi saya gak bisa berbu

  • Kapokmu Kapan, Mas?   Bab 51b

    Kapokmu Kapan, Mas? (51b)Karena bosan tak mendapat jawaban, Mas Wisnu akhirnya kembali ke motornya dan pergi dari tempat itu. Aku dan Pak Arsyad membuntutinya. Cukup jauh perjalanan yang harus kami tempuh sampai akhirnya kami tiba di sebuah rumah. Tempat motor Mas Wisnu berhenti.Di depan rumah itu terlihat Mbok Mina keluar menyambut putranya. Tampak ibu dan anak itu saling berbincang entah apa. Mereka lalu masuk ke rumah bersama dan mengunci pintu setelahnya.Aku dan Pak Arsyad masih setia di dalam mobil. Kami menunggu kesempatan untuk dapat masuk ke rumah itu dan meminta penjelasan. Pak Arsyad yakin betul bahwa ada sesuatu keterkaitan antara mereka dan apa yang sedang terjadi kepadaku.Satu jam sudah kami menunggu di dalam mobil. Akan tetapi, Pak Arsyad belum juga mau kami turun menghampiri rumah itu. Perutku sudah perih, tetapi tak sampai hati kuutarakan."Ayo, kita turun!" Pak Arsyad memberi perintah setelah melihat Mas Wisnu keluar dari rumah itu. Sepertinya Mas Wisnu hendak sa

  • Kapokmu Kapan, Mas?   Bab 51a

    Kapokmu Kapan, Mas? (51)"Jadi, apa yang akan Mas lakuin selanjutnya?" Aku bertanya."Kita buntuti Wisnu.""Kita?" Aku mengernyit."Iya. Apa kamu gak mau tau apa yang sebenarnya terjadi? Saya ada feeling kuat mereka ada kaitannya dengan kasus ini.""Begitu menurut Mas?"Pak Arsyad mengangguk."Kalau begitu, saya ikut. Kapan Mas mau laksanain rencana itu?" ucapku."Kemungkinan besok sore sepulang kerja. Atau lihat besok, deh. Pokoknya kamu siap-siapa aja. Kalau saya telpon, kita siap berangkat.""Oke, Mas, kalau gitu.""Ya udah, ini udah malam. Kamu tidur, sana!""Iya, Mas. Mas juga, ya! Terima kasih udah mau saya repotin malam begini.""Santai."Kami lantas kembali ke kamar masing-masing untuk beristirahat.Namun, sebelum dapat terlelap, aku kembali teringat mimpi malam sebelumnya. Aku bermimpi sedang bertengkar dengan Mbok Mina dan Mas Wisnu di tepu jurang. Hampir saja kami terpeleset ke dalam jurang itu. Aku merasa itu adalah sebuah petunjuk. Semoga saja aku segera mengetahui maksud

  • Kapokmu Kapan, Mas?   Bab 50b

    Kapukmu Kapan Mas? (50b)"Kayaknya korban pembunuhan, Mbak."Entah mengapa, saya merasa ngeri dengan informasi itu. Apakah Mas Adam juga menjadi salah satu korban Bang Robi? Entahlah. Aku tak berani berspekulasi.Karena hari semakin petang, Pak Arsyad mengajakku untuk pulang setelah sedikit berbasa-basi dengan tetangga Mas Adam yang kami tanyai. Sepanjang perjalanan pulang, aku lebih banyak diam. Begitu juga dengan Pak Arsyad.Malamnya aku merasa gelisah. Bahkan dalam tidur pun aku jadi tidak tenang. Mataku terpejam, tapi sama sekali aku tidak merasa tidur. Pikiranku berlarian ke berbagai praduga.Barulah setelah lewat pukul dua dini hari, aku bisa terlelap. Akan tetapi, sebuah mimpi aneh muncul dalam tidurku. Aku memimpikan Mbok Mina dan Mas Wisnu.Aku terbangun tepat saat azan Subuh berkumandang. Berkali-kali aku beristighfar demi keputusan debar di dada. Apakah mimpiku adalah pertanda? Atau hanya bunga tidur semata.Sudah cukup lama aku tak mendapat kabar dari Mbok Mina dan Mas Wis

  • Kapokmu Kapan, Mas?   Bab 50a

    Kapokmu Kapan, Mas? (50)Aku benar-benar terkejut melihat Bang Robi menarik tanganku. Ingin rasanya kutepis dan berlari menjauh darinya. Akan tetapi, suasana di lain arah pun sedang tak kondusif.Terpaksa, aku hanya pasrah dibawanya. Kami akhirnya keluar dari gedung itu. Segera kutepis tangan Bang Robi. Dari kejauhan, terlihat Pak Arsyad. Aku segera lari menghampirinya."Kamu gak kenapa-kenapa, kan?" tanya Pak Arsyad ketika aku sampai di depannya.Belum sempat aku menjawab, Bang Robi sudah menimpali, "Cewek lo gak kenapa-kenapa, kok, Bro. Aman.""Lo yang nyelametin dia, Bi?" tanya Pak Arsyad."Iya.""Thanks, ya, Bi."Bang Robi hanya mengangguk menanggapi ucapan Pak Arsyad."Lain kali, jagain cewek lo baik-baik, Bro. Dia kayaknya sensian sama cowok." Bang Robi menyindirku.Pak Arsyad malah tertawa menanggapi perkataan Bang Robi.Pak Arsyad melihat ke arahku. Aku menggeleng sebagai isyarat tak melakukan apa pun kepadanya."Diapain emangnya lo, Bi?""Gak, kok. Dah, ya, gue duluan. Sial.

DMCA.com Protection Status