*Happy Reading*
"Ya ... ya ... kalau Nur sih ... terserah Abang sama Emak."
Pletak!
"Aduh!"
Seketika aku pun mengaduh, saat mendapat jitakan pedas dari Mak Kanjeng, sedetik setelah aku menjawab.
Duh, gusti ... punya emak begini banget, ya? Tangannya ringan banget kek permen kapas.
"Bener-bener lo, ya? Udah gue bela-belain biar lo dapet suara. Eh, jawaban lo malah kek gitu. Bikin usaha gue sia-sia aja lo! Dasar, oneng!"
Ingat, ya! Ucapan seorang ibu itu adalah doa. Jadi ... sekarang kalian tahu kan, kenapa aku bisa se-oon ini?
Lah, Emak aku sendiri ngomongnya begitu terus. Gimana gak beneran kejadian, coba?
"Ya, terus, Nur harus jawab apa, Mak? Nur sendiri bingung harus jawab apa?" akuku kemudian, setengah kesal sama Mak Kanjeng.
"Bingung kenapa, lo? Bingung pilih yang mana? Ih, sok laku lo. Yang ngelamar aja cuma sebiji gini, masih aja bingung. Tinggal jawab ya atau enggak aja, repot banget lo Nur. Mu
*Happy Reading* Akhirnya, karena tahu tidak akan bisa melawan titah Mak Kanjeng. Aku pun pasrah dengan segala mau Emak-Emak doyan jitak itu. Daripada benjol, yee kan? Mending turuti aja udah. Nikah, nikah dah sama Ammar. Toh, gak ada ruginya ini. Malah lebihnya over load. Palingan Bang Al doang yang masih uring-uringan, karena masih gak rela nyerahin aku sama playboy cem si Ammar itu. Mungkin karena itu juga, akhirnya Mak Kanjeng pun mengubah keputusannya, yaitu memberi aku dan Ammar waktu lagi untuk saling mengenal. Kalau kata Emak sih, namanya taaruf. Tapi untukku, sama aja kayak pacaran. Orang jadinya aku sama Ammar sering banget berduaan kek orang pacaran. Bahkan, kadang di beberapa kesempatan, pergi berdua hingga malam. Nah, ini yang aku maksud di bab sebelumnya. Tentang salah kaprah arti dari taaruf di jaman sekarang. Untungnya, Ammar tidak se
*Happy Reading*"Alhamdulilah Ya Allah. Akhirnya lo sadar juga, Nur," seru Mak Kanjeng heboh, ketika melihat aku akhirnya membuka mata.Di mana aku?Sepertinya, aku tidak mengenal tempat ini. Tapi, bau antiseptic yang menyengat membuat aku yakin, jika saat ini aku pasti tengah berada di Rumah sakit, atau tempat medis sejenisnya.Aku kenapa?"Nur, apa yang kamu rasain? Ada sakit atau rasa gak nyaman? Ngomong coba sama Abang." Kali ini Bang Al yang bertanya, dengan raut wajah yang syarat akan kekhawatiran.Aku mengerjap sejenak, meredakan rasa pusing yang sebenarnya masih sedikit menggelayuti kepalaku. Seraya menatap Mak Kanjeng dan Bang Al secara bergantian.Aku baru sadar, ternyata mata Mak Kanjeng bengkak dan memerah. Apa Mak Kanjeng baru saja menangis hebat?"Nur?" Tak segera mendapat jawaban dariku. Bang Al kembali memanggil meminta ate
*Happy Reading*Sebenarnya, aku tidak terlalu punya banyak memory tentang Bapak. Bahkan, wajahnya saja, aku lupa.Entah itu karena aku tidak pernah melihat beliau selama ini. Atau, karena memang Mak Kanjeng dan Bang Al juga tak pernah menceritakan apapun soal Bapak padaku.Untuk alasannya sendiri. Jujur saja, aku tidak tahu, dan memang tidak pernah menanyakannya.Eh, pernah sih dulu. Dulu sekali saat aku masih sekolah dasar. Namun karena saat aku bertanya, raut wajah Mak Kanjeng langsung berubah sendu dan malah jadi sering menangis diam-diam. Aku pun jadi tidak berani bertanya lagi. Karena tak ingin melihat Mak Kanjeng sedih.Dulu, kukira itu karena Bapak Sebenarnya sudah tidak ada. Makanya Mak Kanjeng jadi sesedih itu. Tapi ternyata ....."Pergi dari sini, Pak! Jangan ganggu kami lagi! Khususnya Emak dan Nur. Karena Al gak akan biarin Bapak nyakitin mereka lagi!"
*Happy Reading*"Jadi itu alasan Emak selama ini, memaksa Nur nikah muda?""Iya, Al," jawab Mak Kanjeng, sambil menunduk dalam. "Emak cuma berharap, saat Bapak kalian keluar penjara, Nur sudah nikah dan di bawa sama suaminya. Hingga Bapak kalian tidak bisa menemukan Nur, dan tidak menyakiti Nur lagi. Emak bener-bener takut kejadian dulu terulang lagi, Al. Emak gak kuat liat Nur di sakiti lagi."Mak Kanjeng terisak setelah menceritakan alasan dibalik pemaksaannya menyuruh aku cepat menikah selama ini.Bang Al yang mendengar hal itupun langsung mengusap wajah dengan kasar, dan terlihat kecewa sekali pada Emak.Tentu saja dia kecewa, karena ternyata selama ini Mak Kanjeng menyembunyikan rahasia sebesar ini darinya. Padahal, sejak Bapak tidak bersama kami, Bang Al lah yang mengambil alih tanggung jawab sebagai kepala Rumah tangga.Sejak Bapak di penjara karena penganiayan terhadap Emak Kanjeng. Bang Al bekerja keras, banting tulang membant
*Happy Reading*"Bener, kamu sebenarnya juga suka sama Pak Ammar?"Aku langsung menghela napa panjang, saat akhirnya tanya itu benar-benar dilontarkan Bang Al Padaku."Udah gak usah ditanya lagi. Orang kayak adek lo ini, mana mau ngaku!" sambar Mak Kanjeng sok tahu.Tak ayal, ucapan Mak Kanjeng pun menghadirkan helaan napas dalam dari Bang Al, karena ...."Mak, yang Al tanya tuh, Nur. Emak bisa diem sebentar, gak?" ucap Bang Al, mencoba bersabar pada sifat emak yang memang kadang kek bensin eceran."Ngapain sih, Al, ditanya lagi? Kan, Emak udah jelasin semuanya sama elo tadi." Mak Kanjeng tak mau mengerti."Tapi itukan versi Emak. Versi si Nur, Al belum dengar," balas Bang Al. Masih mencoba tetap bersabar.Jangan heran. Segalak-galaknya Bang Al, emang paling gak bisa bentak Emak, atau pun aku. Malahan sangat menjaga sekali, dan untuk alasa
*Happy Reading*Kukira, setelah mendengar celetukan Mak Kanjeng. Bang Al akan ngamuk, atau minimal marah sama aku.Ternyata yang terjadi adalah, dia malah mengusap wajahnya pelan, sebelum kemudian menghela napas panjang dan menatapku intens.Ditatap seperti itu, otomatis aku pun menunduk, benar-benar tak berani membalas tatapan Bang Al yang memang tajam.Nah, coba itu. Di situasi biasa aja tatapan Bang Al selalu terlihat tajam. Apalagi di situasi aku sekarang. Rasanya seperti di intimidasi secara tidak langsung."Al, kamu tidak bisa menyalahkan Nur untuk perasaannya. Karena cinta itu kadang diluar logika."Entah karena merasa seorang pria yang wajib melindungi wanitanya, atau karena ingin cari muka. Ammar pun tiba-tiba buka suara. Mencoba untuk memberi pengertian pada Bang Al."Sekarang kamu tahu, kan? Kalau kami memang saling mencintai, jadi, saya mohon jangan halangi hubungan kami lagi." Ammar kembali bersuara.Se
*Happy Reading*Ah sialan!Gara-gara ucapan si Nurhayati. Aku jadi kepikiran terus pada keadaan Ammar saat ini.Ammar bangkrut? Bener gak, sih? Kalau bener, kasihan, dong. Dia kan biasa hidup kek anak sultan. Apa aja tinggal tunjuk, tinggal beli, tinggal bayar. Kalau beneran bangkrut, gimana ya hidupnya sekarang?Duh, aku jadi kepikiran. Tapi ... gimana caranya tahu keadaan Ammar, kalau orangnya aja gak pernah nongol didepan aku.Apa ... aku telpon aja, ya? Tapi ... tengsin, ah! Masa cewek nelpon duluan. Nanti aku disangka cewe apakah? Tapi ... kalau gak nelpon disangkanya aku gak perduli lagi.Aduh! Jadi galau aku! Gimana dong ini? Telpon? jangan? Telpon? Jangan? Ugh ... Tokek mana, sih? Nongol kek bentar. Bantuin aku mikir gitu. Aku rindu suaramu tokek."Nur?"Allahhu akbar! Kaget gue!Sedang asyik bergulat dengan pikiran sendiri. Tiba-tiba saja pundakku ditepuk orang, disertai panggilan y
*Happy Reading*From: 089xxxxxx: Nurbaeti? Benar? Bisa kita bertemu besok di cafe xxx. Saya ingin bicara penting sama kamu.Siapa, nih?Refleks aku menggaruk rambut yang masih terbalut hijab abu muda hari ini, seraya memutar otak melihat deretan nomor asing yang tertera di sana.Siapa tahu aku kenal gitu, gengs?Namun ternyata, seberapa lama pun aku putar otakku yang memang kapasitas Ram-nya sedikit. Tetap saja aku tidak menemukan titik terang akan nomor itu.Nomornya siapa, sih?Orang iseng, ya?Hadew, males banget aku ngurusin beginian. Serius, pemirsah! Aku memang tipe orang, yang tidak mau menggubris yang namanya nomor asing yang mampir di ponselku.Apapun alasannya. Selama itu nomor asing, itu akan aku abaikan. Meski sebenarnya ternyata itu dari salah satu temen, atau bahkan si Nurhayati yang ganti nomor lagi-- maklum artes. Aku gak akan angkat selama dia gak chat dan menyebutkan namanya.Sombong?
*Happy reading*"Jadi, anak itu kamu, Mas?" tanyaku tak percaya, setelah mendengar penuturan Ammar tentang kisah 12 tahun lalu yang lumayan bikin aku kepo selama ini."Iya, itu aku. Yang baru saja lepas dari para penculik, dan sengaja bersembunyi di keramaian Pasar Malam," akunya kemudian. Membuat aku tertegun setelahnya."Di ... culik?" Beoku tanpa sadar."Yups! Aku memang habis di culik waktu itu, makanya tampilanku kumel dan ... kelaparan sekali," jawabnya lugas, seraya mengelus perut ratanya dengan penuh drama.Kalau begitu, wajar sih dia aneh malam itu. Dia pasti masih waspada pada orang asing saat itu."Makanya aku gak bisa lupain malam itu, sayang. Karena kehadiran kamu itu benar-benar seperti malaikat untukku. Meski malaikatnya lumayan pelit."Seketika aku pun mencebik kesal, dan memukul dada bidangnya karena sindirannya barusan.Ammar malah tergelak renyah, sebelum menangkap tanganku dan menggengmnya
Sekeping masa lalu ...."Dek, kamu tunggu di sini sebentar, ya? Jangan ke mana-mana! Nanti ilang, repot abang nyariin kamu. Pokoknya, diem anteng di sini sampai Abang balik, okeh!" titah tegas Bang Al, yang aku angguki dengan antusias."Kalau ada yang gangguin, teriak aja. Sekenceng-kencengnya, nanti abang bakalan lari ke sini." Bang Al menambahkan, dengan ketegasan yang sama.Aku pun kembali mengangguk patuh."Iya, Abang. Nur ngerti. Udah sana, nanti antriannya makin panjang, kita pulangnya telat lagi. Nanti diomelin Emak sama Bapak," jawabku kemudian, seraya mengibaskan tangan menyuruh Bang Al pergi.Bukan pergi ninggalin aku. Tapi pergi untuk antri di tukang kerak telor untuk membelikan pesanan Emak juga Bapak.Itu syarat utama agar kami diijinkan datang ke Pasar Malam ini sama Bapak. Karenanya, aku pun tak mau sampai Bang Al kehabisan panganan itu, yang berakhir tamparan keras dari Bapak.Bapakku itu galak banget soalnya. Ka
*Happy Reading*"Kenapa?""Pegel, sakit juga," sahutku dengan sedikit cemberut, seraya memijat-mijat betis kaki yang terasa mulai kebas.Ammar pun berdecak sebentar, sebelum kemudian berjongkok dihadapanku dan menyingkap sedikit Rok gaun bagian bawah.Setelahnya, Ammar pun mendesah panjang, sebelum kemudian membuka sepatu heels yang sedang aku kenakan."Aku kan udah bilang, jangan paksain kalau memang tidak biasa, jadinya lecet, nih," omelnya kemudian, sambil membantuku mengurut kakiku yang terasa ngilu."Sshhh ...." tanpa sadar, aku mendesis kesakitan karenanya. Membuat Ammar langsung menoleh ke arahku, dengan wajah masam sekali."Jangan coba-coba pakai benda ini lagi," geramnya seraya menjauhkan sepatuku dengan kasar ke sembarang tempat."Tapi, Mas. Itu satu paket sama gaunnya. Cantik juga bentukannya. Saya suka." Aku pun menyuarakan pro
*Happy Reading*Aku malu! Sumpah! Demi apa coba aku harus berhadapan langsung sama Si Tante kayak gini? Ammar nih emang resek banget! Tinggal jelasin aja padahal, apa susahnya? Malah nyuruh aku ngadepin Si Tante kek gini! Mau dia apa, coba? Mau lihat aku sama pacarnya ini jambak-jambakan?Lah? Mana bisa? Aku kan pake hijab. Si Tante pasti susah jambaknya. Sementara itu, rambut si Tante juga kelihatannya mahal. Jadi mana tega aku jambaknya.Terus ini aku harus kek mana sekarang?Masa malah main liat-liatan, sih? Nanti kalau baper, gimana?"Jadi, kamu cemburu sama saya, Nur?" tanya Si Tante akhirnya, setelah mengulas senyum manis sebelumnya."Eh, itu ... uhm ... bukan gitu juga, Tan. Tapi ... anu ... aduh, gimana ya jelasinnya?" sahutku asal, bingung harus menjawab bagaimana?"Gak papa, Tante ngerti, kok. Tapi, kamu gak usah takut ya, Nur. Tante bukan pacarnya Ammar, kok. Soalnya dia udah bucin akut sama kamu."Eh?
*Happy Reading*"Terima ... terima ... terima ...."Setelah Ammar menyelesaikan kata-kata lamaran, yang menurutnya tidak Romantis. Riuh dan tepuk seruan itu pun terdengar menghiasi ruangan tersebut. Membuat aku mengerjap pelan, sebelum kemudian memindai suasana sekitar yang ternyata lumayan ramai.Meski masih dalam keadaan remang, tapi aku sudah mulai bisa melihat beberapa orang hadir di sana, dengan beberapa orang yang sudah membidik aku dan Ammar. Salah satunya adalah Nurhayati, yang aku yakini pasti sedang membuat IG live.Ah, sialan. Jadi aku sedang dikerjain ceritanya. Kenapa aku gak ngeh, ya? Bodoh banget, ya?"Terima ... terima ... terima ...." Sorakan itu masih menghiasi, membuat aku kembali menatap Ammar yang masih berlutut satu kaki dihadapanku. Tentu saja dengan senyum yang belum luntur sedikit pun.Namun sayangnya, alih-alih menjawab ya, dengan haru yang biasa ditunjukan dalam sebuah sinetron. Aku lebih memilih menyuarakan pertan
*Happy Reading*"Sel, itu--""Ck, menyebalkan sekali," geram Sella tiba-tiba, sebelum menarik tanganku dan mengajak berlari. "Yuk, Kak!"Eh? Aku mau diajak kemana nih?Sebenarnya, aku belum bisa mencerna situasi ini dengan baik, tapi aku juga tidak bisa menolak ajakan Sella yang menarik tanganku tiba-tiba, dan mengajakku berlari begitu saja.Aku bahkan tidak tahu ke mana Sella akan membawaku. Meski masih di area Rumah sakit tempat Bapak dirawat, tetap saja aku tak hafal seluk beluk tempat ini.Penting ikuti aja Sella. Karena, bukannya dia sendiri yang bilang kalau sedang mendapat tugas menjagaku dari Fans Fanatik Ammar.Nah, aku rasa Sella saat ini sedang melaksanakan tugasnya itu. Karena wanita tadi memang terlihat sangat ingin membunuhku.Ngerih juga membayangkannya. Makanya aku nurut aja kemana Sella membawaku. Karena aku yakin, Sella tidak akan mungkin mencelakaiku."Ayo, kak. Cepat!" titah Sella disela pelarian kami
*Happy Reading*Setelah 2x24 jam tidak sadarkan diri, akibat pengaruh obat pasca operasi. Akhirnya Bapak pun siuman, dan membuka matanya.Alhamdulilah ....Kami semua pun kembali mengucap kalimat syukur penuh suka cita, sebelum kemudian Mak Kanjeng tiba-tiba melayangkan tamparan kerasnya pada Bapak, selepas Dokter pergi setelah mematikan Bapak sudah baik-baik saja.Beneran dah Emakku ini, kejamnya gak kaleng-kaleng. Orang baru siuman, masih sakit, masih lemah, bukannya disayang dan dapat perhatian khusus. Malah dapat tamparan telak.Tega bener!Bukan hanya itu, setelah menampar Emak pun dengan menggebu mengomeli Bapak, perihal permintaan konyolnya sebelum dibawa ke Rumah sakit.Apalagi? Tentu saja permintaan Bapak agar aku menikah saat itu juga, karena takut tidak bisa bangun lagi nanti."Makanya lo jan ngadi-ngadi. Lo tuh bukan Tuhan! Seenaknya aja sok tahu sama umur sendiri. Gara-gara lo! Gue gagal bikin pernikahan yang
*Happy Reading*Akhirnya, karena bingung mau jawab apa. Aku pun meminta waktu pada Mommy, untuk menunggu sampai Bapak pulih dulu.Toh, bagaimanapun Bapak adalah waliku. Jadi aku berharap dia juga bisa hadir nanti di resepsi pernikahanku dan Ammar.Bahkan kalau bisa, statusnya sudah kembali menjadi ayahku. Dengan kata lain sudah rujuk dengan Emak.Namun PR-nya adalah, kira-kira Emak mau tidak ya, menerima Bapak lagi?Memang, aku yakin dalam lubuk hati Emak, beliau pasti masih mencintai Bapak. Tetapi tidak bisa dipungkiri, luka yang sudah Bapak torehkan di sana juga banyak, bahkan tak terhitung lagi jumlahnya.Di mana-mana perkara memaafkan itu mudah, tapi untuk melupakan. Itu sulit, kawan! Dan belum tentu Emak bisa melupakan semua luka yang sudah Bapak berikan itu.Istimewanya, rasa sakit hati Emak bahkan sudah sampai tahap kecewa. Karenanya, kini aku hanya
*Happy Reading*"Jadi ... kamu adiknya Mas Ammar?" todongku akhirnya, setelah punya kesempatan bicara dengan si Mbak Barbie, atau yang ternyata punya nama Rusella.Tenang saja, aku sudah kenalan kok tadi sama Mommy-nya Ammar yang cantik itu. Sudah salim, sungkeman, cipika-cipiki, bahkan pelukan kek teletubies tadi bertiga dengan Mak Kanjeng juga.Nah, sekarang waktunya aku eksekusi nih bocah nakal, yang kemarenan ngerjain aku, dengan pura-pura ngelabrak.Apaan? Kukira dia beneran salah satu cem-ceman Ammar. Bikin aku insecure aja sama galau gara-gara punya saingat cem dia. Ternyata eh ternyata, mereka satu pabrik, gaes! Kan ngeselin, ya?Rusella, atau biasa dipanggil Sella, adalah salah satu adiknya Ammar, juga kembarannya Rusell. Selain mereka masih ada si Bungsu Anindya, yang saat ini masih duduk di bangku SMA.Iya! Mereka kembar sepasang. Cakep, deh! Nanti kalau aku sama Ammar punya anak, bakalan kembar juga gak, ya? Kalau kembar pasti ge