Setelah makan siang, Bramantyo dan beberapa staf yang ia tunjuk masuk ke ruang rapat khusus di salah satu lantai di hotel terkenal itu. Bukan rapat yang terlalu penting, hanya rapat biasa sekaligus perkenalan dirinya sebagai manajer baru hotel.
Bisik-bisik mulai terdengar sebelum Tyo masuk ke dalam ruangan. Mereka membicarakan tentang penampilan Tyo yang terlalu rapi dan klimis. Bukan tak suka, hanya saja itu terlalu aneh dilihat.
"Pak Tyo itu selalu pakai barang mewah. Sepertinya memang senang dengan barang mahal," ujar salah satu staf yang hadir. Beberapa yang mendengar mengangguk setuju.
"Untuk menaikkan prestisi dia," bisik di sebelahnya.
"Manajer yang sebelumnya tidak seperti dia."
"Makanya hotel ini hampir bangkrut."
"Apa hubungannya?"
"Ada. Nilai jual."
Seseorang yang duduk tak jauh dari staf yang berbisik tadi menyunggingkan senyumnya. Ia menoleh lalu menggelengkan kepalanya perlahan. Ia penasaran akan tampang manajer hotel yang baru yang mereka bicarakan tadi.
Tak lama kemudian dari luar ruangan masuklah seseorang yang sudah dinantikan sedari tadi. Seorang yang dibicarakan dan dipuji oleh para staf hotel. Seorang pria tinggi nan tampan dengan penampilan rapi dan klimis yang membuat mata para wanita terpesona. Termasuk seseorang yang tadi mengulas senyumnya.
"Selamat siang semuanya. Perkenalkan nama saya Bramantyo alias Tyo. Manajer utama hotel Rosell yang baru," sapa Tyo dengan suara tegasnya.
Para peserta rapat berdiri dan bertepuk tangan menyambut Tyo yang masih berdiri di depan sana. Ia pun duduk dan para peserta juga duduk. Mata Tyo menangkap satu sosok yang beberapa hari lalu menyita hatinya. Jatuh cinta pada pandangan pertama membuatnya seperti orang kurang ingatan.
Rapat pun dimulai. Staf suruhan Tyo yang membukanya dengan memperkenalkan para petinggi masih-masing departemen. Tyo memperhatikan dengan seksama dan menghapalnya di dalam kepala. Ada yang pernah ia temui dan ada juga yang baru saja bertemu di pertemuan ini.
Sosok yang membuatnya jatuh cinta akhirnya ikut memperkenalkan dirinya. Ia berdiri dengan mata berpendar ke seluruh ruangan lalu fokus menatap Tyo. Ia pun mulai bersuara. "Halo, selamat siang. Untuk manajer baru perkenalkan nama saya Diana, pemilik the British organizer. Salah satu vendor yang bekerjasama dengan hotel Rosell sejak dua tahun yang lalu."
"Salam kenal Bu Diana. Kebetulan di pusat saya memegang departemen marketing dan F&B. Saya tahu banyak seluk beluk vendor, semoga kita bisa bekerjasama," sapa Tyo ramah dan tegas.
Diana pun duduk kembali. Aura dominan Tyo jelas terasa di dalam ruangan. Sedikit tegang tapi terlihat santai saat Tyo sedikit mengeluarkan kelakarnya.
Diana kagum akan sikap dan pembawaan Tyo yang percaya diri. Pantas saja ia terlihat disegani oleh para stafnya. "Ada yang ingin ditanyakan? Silakan, dari perwakilan masing-masing departemen."
Tyo membuka sesi pertanyaan. Salah satu staf bagian perencanaan event mengacungkan tangannya. Tyo mengangguk. "Pak, untuk event yang akan datang apakah sama dengan tahun baru. Maksud saya, apakah ada perubahan?"
Tyo merespon dengan senyuman. "Kita bicarakan nanti dan siapkan saja apa event yang biasa kalian buat setiap tahunnya. Biar saya bantu evaluasi."
"Baik, pak."
"Oh ya, satu informasi untuk kalian semua. Karena jabatan saya setara dengan direktur, mulai sekarang semua yang berhubungan dengan hotel harus sepengetahuan saya. Pak direktur memberi saya mandat untuk mengatur semuanya."
Terdengarlah bisik-bisik para staf yang tampak tak terima. Diana yang duduk diantara staf yang berbisik itu hanya mendengarkan tanpa ada maksud untuk menyelanya. Satu hal yang ia dengar dari bisik-bisik itu adalah ketidaksukaan mereka akan jabatan rangkap sang manajer.
Bramantyo memperhatikan mereka yang berbisik-bisik dari kejauhan. Tangannya menulis sesuatu sembari mendengarkan apa yang dibicarakan oleh asistennya. Bibir Bramantyo mengulas senyum manis saat pandangannya tertuju pada sosok cantik yang mengalihkan dunianya sejak kemarin.
Rapat pun selesai. Bramantyo berdiri dan pergi begitu saja setelah berpamitan sejenak pada para peserta rapat. Senyum yang tadi ia ulas, seketika menghilang. Suasana hatinya mulai berubah seiring pembicaraan staf mengenai dirinya.
Di ruangannya, Bramantyo hanya berdiam diri menatap ruangannya. Sesekali ia mengusak wajahnya hingga kusut. Rambutnya yang semula rapi terlihat berantakan.
"Seburuk itukah aku?" gumamnya menghadap dinding. "Lebih baik aku kembali ke kamar."
Bramantyo pun berdiri berniat keluar dari ruangan menuju kamarnya di lantai atas. Namun, belum sempat ia membukanya suara ketukan terdengar.
"Ya, masuk," teriak Tyo.
"Pak, ada yang ingin bertemu." Winda muncul dari balik pintu. Bramantyo mengerutkan dahinya.
"Siapa?"
"Bu Diana."
"Suruh masuk, buatkan teh hangat." Winda mengangguk dan mempersilakan Diana untuk masuk ke ruangannya. Tyo yang masih duduk di singgasananya menyapa ramah dan menjabat tangannya. "Apa kabar? Silakan duduk."
"Tidak usah basa-basi, Tyo."
Bramantyo mengerutkan dahinya lagi. "Maksudnya?"
"Kamu Tyo yang dulu kerja di perusahaan pembasmi hama, kan? Sendtoheaven benar?"
Bramantyo membelalakkan matanya. Tidak banyak yang tahu jika dirinya adalah mantan pegawai di perusahan pembasmi hama. Diana, yang baru saja bertemu mengapa sudah mengetahuinya?
"Ha ha. Bisa saja." Tyo tertawa hambar. Lalu tawanya menghilang berganti dengan wajah yang khawatir dan tegang. "Tahu dari mana?"
"Pak Sofyan yang punya perusahaan kan ayah aku. Kamu lupa kalau pernah goda anak SMA di gedung—"
"Ha ha ha. I-itu kamu?" sela Tyo.
"Bukan. Itu adik aku tapi ada aku disana."
Keduanya pun tertawa. Wajah Tyo kemerahan menahan malu. Satu aibnya terbongkar oleh anak pemilik perusahaan tempatnya dahulu bekerja dan anehnya ia tak ingat sama sekali wajahnya.
Tawa canggung Tyo membuat Diana menggelengkan kepalanya. Seiring dengan masuknya Winda yang membawakan teh hangat untuk Diana. Setelah Winda keluar, Tyo kembali tertawa tapi tak lama kembali diam. Ia tak mampu mengekspresikan lagi bagaimana wajah malunya bertemu dengan Diana dengan aib masa lalunya.
"Maaf. Saat itu—"
"Aku tahu. Kamu juga tak berniat buruk kok. Boleh kita berteman?" Diana berdiri dan menjulurkan tangannya mengajak Tyo berkenalan lagi. "Aku Diana Rahmania. Salam kenal."
"Aku Tyo, Bramantyo. Salam kenal juga."
Perbincangan mereka pun berlanjut. Diana terlihat sangat antusias saat Tyo bercerita mengenai masa lalunya yang pernah bekerja di perusahaan milik ayahnya. Berkali-kali ia tersenyum dengan tawa pelan yang ia tahan. Bramantyo adalah sosok pria lucu yang tersimpan di balik wajah datarnya.
"Ya seperti itulah akhirnya kenapa aku bisa terjerumus masuk ke dalam lingkup jasa perhotelan. Aneh bukan?"
"Kamu orang yang ulet. Bangga sama kamu," puji Diana. Wajah Tyo kembali memerah seperti tomat matang. Hidungnya kembang kempis karena malu. Diana semakin ingin menggodanya saja. "Kapan kita bisa ngobrol berdua? Secara pribadi tentunya."
"Kamu tidak masalah jalan berdua sama aku?"
"Kenapa? Memangnya ada masalah?"
Tyo terdiam. Ingin sekali dirinya jalan berdua dengan Diana yang sudah ia juluki pujaan hati. Namun sayangnya, ia berubah pikiran setelah Diana yang menawarkannya lebih dulu.
"Aku takut kamu—" Tyo terdiam lagi menjeda kalimatnya. "Ah sudahlah," lanjut Tyo.
"Kenapa? Kamu—"
Suara ketukan pintu menginterupsi perbincangan mereka. Tyo menghela napas lega. Setidaknya ia tak akan ditodong jawaban lagi oleh Diana. Tyo berjalan membuka pintu ruangan.
"Pak Tyo, hari ini ditunggu di section bar pukul tujuh malam. Maaf, saya menyampaikannya terburu-buru karena mau izin pulang."
"Izin kemana?"
"Anak saya sakit, pak."
"Winda, jangan pergi dulu. Tunggu sebentar."
Tyo meminta Winda untuk menunggunya di depan pintu. Ia berjalan ke meja kerjanya dan mengambil dompet kecil lalu kembali menemui Winda. Lima lembar uang merah ia lipat dan ia taruh di tangan Winda lalu menyuruhnya mengepalkan tangan. Winda membukanya perlahan. Matanya berkaca-kaca melihat tumpukan uang yang baru saja diberikan oleh Tyo padanya.
"Pak, ini..."
"Buat tambahan. Semoga lekas sembuh anaknya."
Dari kejauhan Diana memandang kagum pada sikap Tyo. Walau terlihat aneh, dia tak pernah memandang remeh pada orang di sekitarnya.
"Kamu banyak berubah, Tyo," ucap Diana dalam hati.
Malam yang dingin. Seharusnya Tyo sudah bergelung selimut tebal di kamarnya sekarang. Hanya karena undangan minum rekan sejawat, ia terpaksa datang dengan wajah yang masam seperti habis bangun tidur. Satu persatu langkahnya ia seret menuju bar kecil di lantai sepuluh hotel bintang lima ini. Hingga sampailah ia di depan pintu bertuliskan VIP room.Tyo menghela napas panjang. Kesal karena malam ini ia pasti akan ditagih cerita basa-basi seputar pengelolaan hotel. Padahal, ia baru seminggu menginjakkan kaki di hotel ini tapi tuntutan mereka jauh lebih berat dari perkiraan Tyo.Satu orang melambai dari kejauhan. Seorang pria dengan jas warna hitam dan kemeja biru gelap. Tyo tersenyum canggung. Ia berjalan menghampiri orang itu lalu menepuk bahunya sekedar menyapa ringan."Tyo, datang juga kamu. Malam ini habiskan saja apa yang kamu mau." Abizar, pria yang tadi menegur Tyo. Pria tampan yang sudah mapan di us
Suara denting jam dinding menyapa indera pendengaran Tyo pagi ini. Pukul lima tepat, saatnya bangun dan bersiap-siap. Setelah berolahraga dan membersihkan diri, segera ia menghubungi petugas hotel untuk membawakan sarapan paginya yang berharga.Salad sayuran dan roti gandum dengan selai strawberry menjadi andalannya. Tak lupa telur rebus dengan cincangan tomat dan daun ketumbar dengan minyak zaitun. Aneh memang, tapi Tyo suka dengan rasanya.Sambil sibuk merapikan pakaian, Tyo sesekali melirik arlojinya. Semalam ia belum sempat meminta nomor telpon Diana. Kini, ia bingung bagaimana cara menghubungi wanita itu. Dua kali Tyo mengembuskan napas gelisahnya, dua kali pula ia melirik arloji dan pintu kamar."Aku harus ke kamarnya."Tyo pun menyambar ponsel dan dompet serta jasnya. Yang ada di kepalanya saat ini adalah lantai dan kamar berapa Diana menginap di hotel ini. Dapat! Tyo m
Setelah hari itu, Diana dan Tyo tak ada lagi komunikasi. Semuanya terasa asing. Diana tak menghubungi Tyo begitupun sebaliknya. Diana memutuskan kembali ke Jakarta sementara waktu dan Tyo pun kembali dengan aktivitasnya sebagai manajer hotel.Tak ada yang berbeda. Hanya Tyo saja yang merasa ada sesuatu yang kurang di dalam dadanya. Sesuatu yang membuatnya hampa dan kosong. Seperti ada yang pergi dan berlalu dari sana.Sesuatu itu pula yang membuatnya tak bisa makan dengan tenang. Bahkan dengan menu kesukaannya pun tak bisa dirinya menelan lebih banyak. Semua karena sesuatu yang kosong tadi."Pak Tyo, mau dipesankan makanan penutup?" tanya Winda membuyarkan lamunan Tyo. Sudah hampir setengah jam dirinya hanya terdiam mengaduk-aduk sup jamur kesukaannya. Kepalanya mendongak. Winda menatapnya dengan pandangan aneh."Puding saja."Winda mengangguk. Tanga
Suara ketukan pintu membangunkan dua insan yang sedang tertidur lelap di atas ranjang mewah kamar hotel. Diana terbangun lebih dulu. Matanya tertuju pada jam dinding yang menghadap ke arahnya. Matanya mengerjap perlahan.Perlahan ia turun dan berjalan gontai menuju pintu. Diliriknya Tyo masih tertidur lelap tanpa pakaian. Mungkin ini sudah kebiasaannya, pikir Diana."Selamat pagi. Kami dari—"Kedua orang yang berdiri di depan kamar Tyo terdiam seketika saat melihat sosok yang membukakan pintu bukanlah si pemilik kamar melainkan sosok Diana yang memang sudah cukup terkenal namanya di hotel ini.Diana terlihat santai dengan reaksi kedua orang tadi. Lalu bertanya pada salah satunya, "Kalian petugas room service?"Keduanya mengangguk pelan."Taruh saja makanannya di tempat biasa." Diana membuka lebar pintu kamar dan menyuruh ke
Tyo mengernyit jijik melihat pemandangan tak menyenangkan di depan matanya. Dinding putih kotor dapur hotel sangat merusak moodnya pagi ini. Asistennya yang sedari tadi berdiri di sebelahnya tak mampu berbuat banyak saat dengan mudahnya Tyo mengatakan dapur harus direnovasi ulang."Ini apa?""Wok, untuk masak pak.""Bersihkan. Saya tidak mau lihat barang di dapur berantakan dan terlihat tidak higienis," ujar Tyo yang diangguki oleh salah satu chef.Tyo tidak suka dengan barang-barang kotor dan berantakan. Untuk itu, semua barang yang ada di dalam ruangannya ia ganti. Apalagi yang tidak ditata rapi sesuai dengan urutannya. Tak pelak lagi akan jadi sasaran empuk berikutnya."Itu kenapa botol minuman ditata seperti itu?" tunjuk Tyo pada setumpuk botol minuman yang terpajang rapi di rak penyimpanan di dekat gudang.Salah satu k
"Meeting jam berapa?" Tyo mengawali pagi ini dengan pertanyaan penuh tantangan untuk asistennya. "Saya maunya kamu atur sesuai jadwal tanpa ada perubahan.""Hari ini jam sepuluh di ruangan biasa, pak.""Siapkan ruangan.""Baik, pak."Tyo memejamkan matanya sejenak. Pagi hari yang seharusnya ia lewati dengan suasana yang nyaman nyatanya banyak sekali masalah. Sudah dua hari dirinya dihantui mimpi buruk yang sama. Ia terbangun hampir setiap malam menjelang pagi. Tak heran wajahnya terlihat kusam dan rapuh saat ini.Suara deritan pintu membuat mata Tyo perlahan terbuka dan mengintip dari balik tangan yang menutup sebagian wajahnya. Diana datang di pagi hari mengunjunginya sebelum memulai pekerjaannya."Hai, selamat pagi sayang. Sudah siap untuk meeting?" sapa Diana. Tyo hanya mengangguk ringan sambil bergumam."Hmm..."
"Pak manajer ada di ruangannya?"Tiba-tiba saja seorang pria bertubuh tegap berdiri di depan meja resepsionis. Wajahnya terlihat misterius. Salah satu resepsionis yang bertugas terkesiap melihat penampilan pria itu hingga matanya membelalak tajam."Maaf, ada keperluan dengan pak manajer?" tanya si resepsionis. Pria tadi mengangguk. "Sudah buat janji?""Belum. Saya teman lamanya.""Bapak namanya siapa?""Abimanyu."Sang resepsionis langsung menghubungi sekretaris Tyo dan mengabarkan jika ada seseorang yang ingin bertemu dengannya. Menunggu beberapa menit akhirnya pria tadi diantar oleh staf lainnya menuju ruangan Bramantyo di lantai atas.Abimanyu masuk ke dalam ruangan dan duduk setelah Tyo mempersilakannya. Keduanya memilih diam setelah perkenalan. Tyo merasa tak perlu beramah tamah dengan pria b
Tentang dirinya tujuh tahun yang lalu, rasanya sangat sulit bisa menerimanya. Terlebih hari ini, Tyo terus terpuruk dalam kesedihan walau semuanya terbalut dalam hingar bingar kehidupan mewahnya.Tyo duduk beralaskan tikar kecil di samping makam kedua orangtuanya yang telah tiada tujuh tahun yang lalu. Hening di sekitarnya tak terasa sama sekali hingga akhirnya ia sadar dan memilih pergi dari tempat peristirahatan terakhir itu."Ibu ayah, Bram datang. Istirahat yang tenang. Bram sayang kalian."Di lain tempatDiana hampir bosan menunggu Tyo yang telah lebih dari satu jam menghilang entah kemana. Dua cangkir teh kesukaan Tyo pun telah mendingin sejak tadi. Ingin rasanya ia pergi dari ruangan itu, hanya saja kakinya sulit untuk digerakkan."Menunggu lama?" Tyo merangkul kekasihnya dari belakang. Diana mengangguk lalu tersenyum mendengarnya. "Aku ingin
"Kamu kenapa?" Suara Diana mengejutkan Bramantyo yang sedang sibuk memindahkan hiasan dinding di sudut ruangannya. Tak peduli dengan panggilan Diana, ia tetap meneruskan kegiatannya. "Serius sekali." ujar Diana lagi. Diana bergelayut manja di lengan Bramantyo hingga membuat kekasihnya itu risih. Dihempaskannya tangan Diana dan pandangannya kembali berfokus pada hiasan dinding itu. "Kamu tidak ada pekerjaan? Pagi hari sudah ke ruangan aku?" Bramantyo menoleh dengan lirikan ujung mata mengintimidasi Diana. "Ada. Hanya saja aku ingin mengunjungi kekasih hatiku pagi ini." Bramantyo memilih diam. Hiasan dinding yang sudah terpasang tadi dilihatnya lagi dari jarak jauh. Berkali-kali matanya memastikan arah dan sudut serta warna hiasan dinding itu. Setelah ia rasa cukup, ia pun berbalik dan mengembalikan perkakas pada tempatnya. "Aku akan buat peraturan mulai besok." Bramantyo menuliskan sesuatu di kertas kosong dan memberikannya pada Diana. "Silakan baca." Diana membaca selebaran it
<span;>Pusing yang menyekat kepala Bramantyo hampir membuatnya gila. Dua malam ia selalu terjaga dari mimpi yang sama. Ia sudah mencoba berbagai cara untuk menghilangkan rasa sakit itu, tapi tak bisa. Bramantyo putus asa. <span;>Malam ini setelah pulang dari apartemen milik kekasihnya, Bramantyo membaringkan tubuhnya menghalau rasa penatnya. Namun karena pusing itu kembali melanda, ia pun memutuskan untuk keluar dari dalam kamar dan pergi berjalan-jalan ke sekitar hotel. <span;>Satu tempat yang berhasil memikat matanya, ia membelalakkan matanya saat melihat sesuatu yang membuatnya bahagia. Ia pun berhenti dan berdiri tepat di depannya. <span;>"Buatkan saya satu pancake dengan taburan kismis dan sukade. Jangan lupa dengan es krim strawberry dan sausnya," pesan Bramantyo. <span;>Bramantyo amat menyukai makanan manis. Itu sebabnya, ia berdiri di depan booth pancake di lantai bawah hotel yang sedang mengadakan
Tentang dirinya tujuh tahun yang lalu, rasanya sangat sulit bisa menerimanya. Terlebih hari ini, Tyo terus terpuruk dalam kesedihan walau semuanya terbalut dalam hingar bingar kehidupan mewahnya.Tyo duduk beralaskan tikar kecil di samping makam kedua orangtuanya yang telah tiada tujuh tahun yang lalu. Hening di sekitarnya tak terasa sama sekali hingga akhirnya ia sadar dan memilih pergi dari tempat peristirahatan terakhir itu."Ibu ayah, Bram datang. Istirahat yang tenang. Bram sayang kalian."Di lain tempatDiana hampir bosan menunggu Tyo yang telah lebih dari satu jam menghilang entah kemana. Dua cangkir teh kesukaan Tyo pun telah mendingin sejak tadi. Ingin rasanya ia pergi dari ruangan itu, hanya saja kakinya sulit untuk digerakkan."Menunggu lama?" Tyo merangkul kekasihnya dari belakang. Diana mengangguk lalu tersenyum mendengarnya. "Aku ingin
"Pak manajer ada di ruangannya?"Tiba-tiba saja seorang pria bertubuh tegap berdiri di depan meja resepsionis. Wajahnya terlihat misterius. Salah satu resepsionis yang bertugas terkesiap melihat penampilan pria itu hingga matanya membelalak tajam."Maaf, ada keperluan dengan pak manajer?" tanya si resepsionis. Pria tadi mengangguk. "Sudah buat janji?""Belum. Saya teman lamanya.""Bapak namanya siapa?""Abimanyu."Sang resepsionis langsung menghubungi sekretaris Tyo dan mengabarkan jika ada seseorang yang ingin bertemu dengannya. Menunggu beberapa menit akhirnya pria tadi diantar oleh staf lainnya menuju ruangan Bramantyo di lantai atas.Abimanyu masuk ke dalam ruangan dan duduk setelah Tyo mempersilakannya. Keduanya memilih diam setelah perkenalan. Tyo merasa tak perlu beramah tamah dengan pria b
"Meeting jam berapa?" Tyo mengawali pagi ini dengan pertanyaan penuh tantangan untuk asistennya. "Saya maunya kamu atur sesuai jadwal tanpa ada perubahan.""Hari ini jam sepuluh di ruangan biasa, pak.""Siapkan ruangan.""Baik, pak."Tyo memejamkan matanya sejenak. Pagi hari yang seharusnya ia lewati dengan suasana yang nyaman nyatanya banyak sekali masalah. Sudah dua hari dirinya dihantui mimpi buruk yang sama. Ia terbangun hampir setiap malam menjelang pagi. Tak heran wajahnya terlihat kusam dan rapuh saat ini.Suara deritan pintu membuat mata Tyo perlahan terbuka dan mengintip dari balik tangan yang menutup sebagian wajahnya. Diana datang di pagi hari mengunjunginya sebelum memulai pekerjaannya."Hai, selamat pagi sayang. Sudah siap untuk meeting?" sapa Diana. Tyo hanya mengangguk ringan sambil bergumam."Hmm..."
Tyo mengernyit jijik melihat pemandangan tak menyenangkan di depan matanya. Dinding putih kotor dapur hotel sangat merusak moodnya pagi ini. Asistennya yang sedari tadi berdiri di sebelahnya tak mampu berbuat banyak saat dengan mudahnya Tyo mengatakan dapur harus direnovasi ulang."Ini apa?""Wok, untuk masak pak.""Bersihkan. Saya tidak mau lihat barang di dapur berantakan dan terlihat tidak higienis," ujar Tyo yang diangguki oleh salah satu chef.Tyo tidak suka dengan barang-barang kotor dan berantakan. Untuk itu, semua barang yang ada di dalam ruangannya ia ganti. Apalagi yang tidak ditata rapi sesuai dengan urutannya. Tak pelak lagi akan jadi sasaran empuk berikutnya."Itu kenapa botol minuman ditata seperti itu?" tunjuk Tyo pada setumpuk botol minuman yang terpajang rapi di rak penyimpanan di dekat gudang.Salah satu k
Suara ketukan pintu membangunkan dua insan yang sedang tertidur lelap di atas ranjang mewah kamar hotel. Diana terbangun lebih dulu. Matanya tertuju pada jam dinding yang menghadap ke arahnya. Matanya mengerjap perlahan.Perlahan ia turun dan berjalan gontai menuju pintu. Diliriknya Tyo masih tertidur lelap tanpa pakaian. Mungkin ini sudah kebiasaannya, pikir Diana."Selamat pagi. Kami dari—"Kedua orang yang berdiri di depan kamar Tyo terdiam seketika saat melihat sosok yang membukakan pintu bukanlah si pemilik kamar melainkan sosok Diana yang memang sudah cukup terkenal namanya di hotel ini.Diana terlihat santai dengan reaksi kedua orang tadi. Lalu bertanya pada salah satunya, "Kalian petugas room service?"Keduanya mengangguk pelan."Taruh saja makanannya di tempat biasa." Diana membuka lebar pintu kamar dan menyuruh ke
Setelah hari itu, Diana dan Tyo tak ada lagi komunikasi. Semuanya terasa asing. Diana tak menghubungi Tyo begitupun sebaliknya. Diana memutuskan kembali ke Jakarta sementara waktu dan Tyo pun kembali dengan aktivitasnya sebagai manajer hotel.Tak ada yang berbeda. Hanya Tyo saja yang merasa ada sesuatu yang kurang di dalam dadanya. Sesuatu yang membuatnya hampa dan kosong. Seperti ada yang pergi dan berlalu dari sana.Sesuatu itu pula yang membuatnya tak bisa makan dengan tenang. Bahkan dengan menu kesukaannya pun tak bisa dirinya menelan lebih banyak. Semua karena sesuatu yang kosong tadi."Pak Tyo, mau dipesankan makanan penutup?" tanya Winda membuyarkan lamunan Tyo. Sudah hampir setengah jam dirinya hanya terdiam mengaduk-aduk sup jamur kesukaannya. Kepalanya mendongak. Winda menatapnya dengan pandangan aneh."Puding saja."Winda mengangguk. Tanga
Suara denting jam dinding menyapa indera pendengaran Tyo pagi ini. Pukul lima tepat, saatnya bangun dan bersiap-siap. Setelah berolahraga dan membersihkan diri, segera ia menghubungi petugas hotel untuk membawakan sarapan paginya yang berharga.Salad sayuran dan roti gandum dengan selai strawberry menjadi andalannya. Tak lupa telur rebus dengan cincangan tomat dan daun ketumbar dengan minyak zaitun. Aneh memang, tapi Tyo suka dengan rasanya.Sambil sibuk merapikan pakaian, Tyo sesekali melirik arlojinya. Semalam ia belum sempat meminta nomor telpon Diana. Kini, ia bingung bagaimana cara menghubungi wanita itu. Dua kali Tyo mengembuskan napas gelisahnya, dua kali pula ia melirik arloji dan pintu kamar."Aku harus ke kamarnya."Tyo pun menyambar ponsel dan dompet serta jasnya. Yang ada di kepalanya saat ini adalah lantai dan kamar berapa Diana menginap di hotel ini. Dapat! Tyo m