Bramantyo si pria tampan yang tahu banyak tentang cara memikat wanita lebih sering menghabiskan waktunya dengan memperbaiki penampilannya. Satu jam sehabis bangun tidur, dia memulai aktivitasnya berolahraga. Lari keliling rumah atau sekedar push up sudah cukup membuat tubuhnya segar setiap hari. Apalagi setelahnya ia tak lupa menyantap makanan kaya karbohidrat dan protein, yang katanya sengaja dibuatkan oleh konsultan diet khusus untuk dia.
Tyo adalah pria tampan yang narsis. Setiap ia berdiri di depan cermin, ia selalu memuji dirinya sendiri. Terkadang sambil berkacak pinggang atau sekedar mengibaskan rambutnya sambil bergumam sendiri. "Tampan sekali anak pak Burhan ini."
Tak hanya itu. Pagi harinya juga dihabiskan dengan berdandan rapi dan mencocokkan pakaian yang akan ia pakai ke tempat kerja. Karena, ia paling anti jika terlihat kusam dan tidak bergaya.
"Kemeja yang ini sudah dipakai dua minggu lalu. Sudah luntur warnanya. Buat jalan ke coffee shop saja," gumamnya pelan.
Tidak hanya di rumah, di tempat ia bekerja pun Tyo selalu memastikan jika penampilannya harus tetap rapi. Satu lipatan di kemejanya, membuat pria tampan itu tak nyaman.
Pukul tujuh pagi tepat ia sudah sampai di ruangannya. Tak perlu memakan waktu banyak untuk melangkah ke ruangannya yang berada di lantai tujuh hotel bintang lima terkenal di Bandung itu. Cukup turun lima lantai, ia sudah berada di ruangan besar nan mewah.
"Selamat pagi, pak." salah satu staf kesayangannya bernama Winda membungkuk sopan. Menyapa Tyo yang baru saja datang dengan senyum terbaiknya.
"Selamat pagi. Ada case apa pagi ini?"
"Pagi ini tidak ada case khusus, pak."
Tyo memutar badannya berbalik ke arah asistennya. "Yakin?" Winda mengangguk. "Kalau saya korek ternyata ada, kamu saya kasih sanksi."
"Kok saya, pak?" Winda protes.
"Kan kamu yang menyembunyikan."
Winda mendengus pelan. Dibukanya lagi jadwal harian milik Tyo dan mencari apakah ada yang harus dilakukan oleh manajernya ini.
"Hari ini pak Tyo ada pertemuan dengan manajer departemen F&B."
"Pukul berapa?" tanya Tyo dengan nada malas.
"Pukul sepuluh di ruangan rapat lantai tiga."
"Atur semuanya. Jangan lupa, atur juga pertemuan dengan pemilik wedding organizer yang bekerjasama dengan hotel ini."
"Yang mana pak?"
Tyo mengerutkan dahinya. "Kok malah tanya yang mana?"
"Pemilik wedding organizer ada dua orang pak. Yang biasa—"
"Yang kemarin menangani wedding di ballroom."
Winda berpikir sejenak. Kemarin yang menangani acara di ballroom ada dua EO. Siapa yang dimaksud oleh Bramantyo?
"Maaf pak, kemarin ada dua acara di ballroom," tanya Winda takut-takut.
"Masa sih? Bukannya hanya satu?"
"Maksudnya pak Tyo?"
"Ya sudah keduanya saja." Tyo mengibaskan tangannya menyuruh stafnya untuk keluar. Winda menggedikkan bahunya karena memang tak mengerti apa maksud Tyo tadi.
"Ada lagi pak, yang ingin ditanyakan?"
Tyo menunjuk satu benda di ujung ruangan, bentuknya seperti patung kecil menyerupai kuda dengan posisi kaki di atas. Winda menoleh ke arah tunjukan tangan Tyo. "Itu kenapa hanya satu kudanya?"
"Dari dulu hanya satu saja, pak."
"Siapa yang dekor?" tanya Tyo penasaran. Winda menggaruk kepalanya. Ia baru satu tahun bekerja di hotel ini, tak tahu menahu perihal dekorasi seluruh ruangan termasuk ruangan manajer.
"Tidak tahu, pak. Saya kan—"
"Ya sudah, sana. Tolong ambil patung itu taruh di ruangan lain," perintah Tyo sambil terus menunjuk-nunjuk.
"Loh kenapa, pak?"
"Saya tidak bisa lihat barang yang jumlahnya ganjil."
Winda menggaruk lagi kepalanya. Diambilnya patung itu lalu dibawanya keluar ruangan. Selepas kepergian Winda, Tyo masih memikirkan kata-kata stafnya tadi. Winda mengatakan jika kemarin ada dua acara dan ada dua event organizer yang mereka sewa. Tyo pusing. Ia menepuk dahinya sendiri menyadari betapa bodoh dirinya yang lupa menanyakan nama wanita itu.
"Kenapa bisa lupa ya?"
Di luar sana, Winda yang baru saja keluar dari ruangan Tyo tertawa geli mengingat perbincangan singkat dengan atasannya itu. Dua orang yang melintas di depan ruangan berhenti dan bertanya padanya.
"Kenapa, Win?" tanya salah satunya. Winda merangkul pundak temannya sambil berjalan melewati ruangan atasannya.
"Bos yang baru agak aneh."
"Aneh?"
"Nanti aku ceritakan detailnya."
***
Sebelum bekerja sebagai manajer hotel, Bramantyo adalah pria tangguh yang bekerja dengan berbagai profesi yang ia bisa. Salah satu yang berkesan adalah sebagai pengendali hama. Selama tiga tahun ia bekerja, sudah ratusan nyawa ia habiskan dengan sekali tebas. Maksudnya, dengan sekali semprot menggunakan obat.
Ada satu cerita menarik seputar pekerjaannya sebagai pengendali hama dan itu terbawa hingga ia bekerja di hotel. Bramantyo yang instingnya tajam, menangkap lebih dari lima hama yang ada di dalam hotel terutama di ruangannya dalam waktu satu jam.
Saat itu, Bramantyo berdiri di depan loker pegawai yang sengaja ia datangi di pagi hari. Ia sengaja memakai pakaian ala pegawai biasa agar bisa memantau karyawannya. Baru saja ia duduk di kursi, suara berisik di ujung loker membuat matanya awas.
Satu karyawan datang dan duduk di sebelahnya. Dia tak menegur Tyo sama sekali. Lalu datang temannya yang lain dan mereka pun saling berbincang tak menghiraukan Tyo yang berada di sampingnya.
Suara berisik itu terdengar semakin berisik hingga salah satu karyawan yang tadi duduk berdiri sambil menjerit kencang.
"Woy, ada tikus." orang itu berjingkat menghindari pojok loker yang berisik sambil menunjuknya dengan tangan.
"Ih, geli woy."
Keduanya sama-sama berjingkat hingga banyak karyawan masuk ke dalam ruangan loker dan berkerumun di satu sudut sambil bergidik. Tyo yang masih tetap duduk di tempatnya melirik si pembuat keributan sambil terus mengamatinya. Setelah situasi mulai sedikit tenang, ia membuka tas kecil yang ia bawa dan mengambil sarung tangan serta obat pembasmi hama dalam bentuk spray.
Tyo berjalan pelan ke arah loker tadi lalu dengan tenangnya ia menyemprotkan obat tadi. Tak sampai lima menit, tikus yang berada di balik loker tiba-tiba saja keluar dengan tubuh limbungnya. Langsung saja Tyo ambil dengan tangan dan dimasukkan ke dalam plastik yang ia bawa.
"Nih, kalian buang." semua karyawan yang berdiri disana serentak menggelengkan kepalanya. "Kenapa?"
"Geli."
"Laki-laki sama tikus takut? Ckck..." Tyo berjalan pelan keluar loker lalu memanggil petugas kebersihan yang kebetulan lewat. Lalu ia kembali masuk ke dalam. Bisik-bisik pun terdengar di telinga Tyo.
"Kamu siapa?" tanya salah satunya. Tyo melirik si penanya. Terdiam sejenak lalu menunjuk balik. "Kamu nanti ke kantor saya di lantai tujuh," ujar Tyo.
"Lantai tujuh? Bukannya itu ruangan—"
Tyo tak menanggapi, ia segera keluar dari ruangan loker dan berjalan pelan menuju lift petinggi hotel. Karyawan yang tadi berkumpul mengikutinya dan sekilas melihat Tyo berbicara dengan salah satu supervisor hotel. Supervisor itu menyapa lalu membungkuk. Setelah pintu lift tertutup, sang supervisor berjalan ke arah karyawan yang berkumpul tadi.
"Kalian tidak sopan sama pimpinan ya?" tegur supervisor.
"Siapa?"
"Itu kan pak Tyo, manager utama yang baru. Kalian yang tadi ditunjuk pak Tyo nanti siang setelah jam makan langsung ke ruangannya."
Karyawan yang tadi ditunjuk langsung menepuk dahinya dan bergumam pelan," Mati aku."
***
Setelah makan siang, Bramantyo dan beberapa staf yang ia tunjuk masuk ke ruang rapat khusus di salah satu lantai di hotel terkenal itu. Bukan rapat yang terlalu penting, hanya rapat biasa sekaligus perkenalan dirinya sebagai manajer baru hotel.Bisik-bisik mulai terdengar sebelum Tyo masuk ke dalam ruangan. Mereka membicarakan tentang penampilan Tyo yang terlalu rapi dan klimis. Bukan tak suka, hanya saja itu terlalu aneh dilihat."Pak Tyo itu selalu pakai barang mewah. Sepertinya memang senang dengan barang mahal," ujar salah satu staf yang hadir. Beberapa yang mendengar mengangguk setuju."Untuk menaikkan prestisi dia," bisik di sebelahnya."Manajer yang sebelumnya tidak seperti dia.""Makanya hotel ini hampir bangkrut.""Apa hubungannya?""Ada. Nilai jual."Seseorang yang duduk t
Malam yang dingin. Seharusnya Tyo sudah bergelung selimut tebal di kamarnya sekarang. Hanya karena undangan minum rekan sejawat, ia terpaksa datang dengan wajah yang masam seperti habis bangun tidur. Satu persatu langkahnya ia seret menuju bar kecil di lantai sepuluh hotel bintang lima ini. Hingga sampailah ia di depan pintu bertuliskan VIP room.Tyo menghela napas panjang. Kesal karena malam ini ia pasti akan ditagih cerita basa-basi seputar pengelolaan hotel. Padahal, ia baru seminggu menginjakkan kaki di hotel ini tapi tuntutan mereka jauh lebih berat dari perkiraan Tyo.Satu orang melambai dari kejauhan. Seorang pria dengan jas warna hitam dan kemeja biru gelap. Tyo tersenyum canggung. Ia berjalan menghampiri orang itu lalu menepuk bahunya sekedar menyapa ringan."Tyo, datang juga kamu. Malam ini habiskan saja apa yang kamu mau." Abizar, pria yang tadi menegur Tyo. Pria tampan yang sudah mapan di us
Suara denting jam dinding menyapa indera pendengaran Tyo pagi ini. Pukul lima tepat, saatnya bangun dan bersiap-siap. Setelah berolahraga dan membersihkan diri, segera ia menghubungi petugas hotel untuk membawakan sarapan paginya yang berharga.Salad sayuran dan roti gandum dengan selai strawberry menjadi andalannya. Tak lupa telur rebus dengan cincangan tomat dan daun ketumbar dengan minyak zaitun. Aneh memang, tapi Tyo suka dengan rasanya.Sambil sibuk merapikan pakaian, Tyo sesekali melirik arlojinya. Semalam ia belum sempat meminta nomor telpon Diana. Kini, ia bingung bagaimana cara menghubungi wanita itu. Dua kali Tyo mengembuskan napas gelisahnya, dua kali pula ia melirik arloji dan pintu kamar."Aku harus ke kamarnya."Tyo pun menyambar ponsel dan dompet serta jasnya. Yang ada di kepalanya saat ini adalah lantai dan kamar berapa Diana menginap di hotel ini. Dapat! Tyo m
Setelah hari itu, Diana dan Tyo tak ada lagi komunikasi. Semuanya terasa asing. Diana tak menghubungi Tyo begitupun sebaliknya. Diana memutuskan kembali ke Jakarta sementara waktu dan Tyo pun kembali dengan aktivitasnya sebagai manajer hotel.Tak ada yang berbeda. Hanya Tyo saja yang merasa ada sesuatu yang kurang di dalam dadanya. Sesuatu yang membuatnya hampa dan kosong. Seperti ada yang pergi dan berlalu dari sana.Sesuatu itu pula yang membuatnya tak bisa makan dengan tenang. Bahkan dengan menu kesukaannya pun tak bisa dirinya menelan lebih banyak. Semua karena sesuatu yang kosong tadi."Pak Tyo, mau dipesankan makanan penutup?" tanya Winda membuyarkan lamunan Tyo. Sudah hampir setengah jam dirinya hanya terdiam mengaduk-aduk sup jamur kesukaannya. Kepalanya mendongak. Winda menatapnya dengan pandangan aneh."Puding saja."Winda mengangguk. Tanga
Suara ketukan pintu membangunkan dua insan yang sedang tertidur lelap di atas ranjang mewah kamar hotel. Diana terbangun lebih dulu. Matanya tertuju pada jam dinding yang menghadap ke arahnya. Matanya mengerjap perlahan.Perlahan ia turun dan berjalan gontai menuju pintu. Diliriknya Tyo masih tertidur lelap tanpa pakaian. Mungkin ini sudah kebiasaannya, pikir Diana."Selamat pagi. Kami dari—"Kedua orang yang berdiri di depan kamar Tyo terdiam seketika saat melihat sosok yang membukakan pintu bukanlah si pemilik kamar melainkan sosok Diana yang memang sudah cukup terkenal namanya di hotel ini.Diana terlihat santai dengan reaksi kedua orang tadi. Lalu bertanya pada salah satunya, "Kalian petugas room service?"Keduanya mengangguk pelan."Taruh saja makanannya di tempat biasa." Diana membuka lebar pintu kamar dan menyuruh ke
Tyo mengernyit jijik melihat pemandangan tak menyenangkan di depan matanya. Dinding putih kotor dapur hotel sangat merusak moodnya pagi ini. Asistennya yang sedari tadi berdiri di sebelahnya tak mampu berbuat banyak saat dengan mudahnya Tyo mengatakan dapur harus direnovasi ulang."Ini apa?""Wok, untuk masak pak.""Bersihkan. Saya tidak mau lihat barang di dapur berantakan dan terlihat tidak higienis," ujar Tyo yang diangguki oleh salah satu chef.Tyo tidak suka dengan barang-barang kotor dan berantakan. Untuk itu, semua barang yang ada di dalam ruangannya ia ganti. Apalagi yang tidak ditata rapi sesuai dengan urutannya. Tak pelak lagi akan jadi sasaran empuk berikutnya."Itu kenapa botol minuman ditata seperti itu?" tunjuk Tyo pada setumpuk botol minuman yang terpajang rapi di rak penyimpanan di dekat gudang.Salah satu k
"Meeting jam berapa?" Tyo mengawali pagi ini dengan pertanyaan penuh tantangan untuk asistennya. "Saya maunya kamu atur sesuai jadwal tanpa ada perubahan.""Hari ini jam sepuluh di ruangan biasa, pak.""Siapkan ruangan.""Baik, pak."Tyo memejamkan matanya sejenak. Pagi hari yang seharusnya ia lewati dengan suasana yang nyaman nyatanya banyak sekali masalah. Sudah dua hari dirinya dihantui mimpi buruk yang sama. Ia terbangun hampir setiap malam menjelang pagi. Tak heran wajahnya terlihat kusam dan rapuh saat ini.Suara deritan pintu membuat mata Tyo perlahan terbuka dan mengintip dari balik tangan yang menutup sebagian wajahnya. Diana datang di pagi hari mengunjunginya sebelum memulai pekerjaannya."Hai, selamat pagi sayang. Sudah siap untuk meeting?" sapa Diana. Tyo hanya mengangguk ringan sambil bergumam."Hmm..."
"Pak manajer ada di ruangannya?"Tiba-tiba saja seorang pria bertubuh tegap berdiri di depan meja resepsionis. Wajahnya terlihat misterius. Salah satu resepsionis yang bertugas terkesiap melihat penampilan pria itu hingga matanya membelalak tajam."Maaf, ada keperluan dengan pak manajer?" tanya si resepsionis. Pria tadi mengangguk. "Sudah buat janji?""Belum. Saya teman lamanya.""Bapak namanya siapa?""Abimanyu."Sang resepsionis langsung menghubungi sekretaris Tyo dan mengabarkan jika ada seseorang yang ingin bertemu dengannya. Menunggu beberapa menit akhirnya pria tadi diantar oleh staf lainnya menuju ruangan Bramantyo di lantai atas.Abimanyu masuk ke dalam ruangan dan duduk setelah Tyo mempersilakannya. Keduanya memilih diam setelah perkenalan. Tyo merasa tak perlu beramah tamah dengan pria b
"Kamu kenapa?" Suara Diana mengejutkan Bramantyo yang sedang sibuk memindahkan hiasan dinding di sudut ruangannya. Tak peduli dengan panggilan Diana, ia tetap meneruskan kegiatannya. "Serius sekali." ujar Diana lagi. Diana bergelayut manja di lengan Bramantyo hingga membuat kekasihnya itu risih. Dihempaskannya tangan Diana dan pandangannya kembali berfokus pada hiasan dinding itu. "Kamu tidak ada pekerjaan? Pagi hari sudah ke ruangan aku?" Bramantyo menoleh dengan lirikan ujung mata mengintimidasi Diana. "Ada. Hanya saja aku ingin mengunjungi kekasih hatiku pagi ini." Bramantyo memilih diam. Hiasan dinding yang sudah terpasang tadi dilihatnya lagi dari jarak jauh. Berkali-kali matanya memastikan arah dan sudut serta warna hiasan dinding itu. Setelah ia rasa cukup, ia pun berbalik dan mengembalikan perkakas pada tempatnya. "Aku akan buat peraturan mulai besok." Bramantyo menuliskan sesuatu di kertas kosong dan memberikannya pada Diana. "Silakan baca." Diana membaca selebaran it
<span;>Pusing yang menyekat kepala Bramantyo hampir membuatnya gila. Dua malam ia selalu terjaga dari mimpi yang sama. Ia sudah mencoba berbagai cara untuk menghilangkan rasa sakit itu, tapi tak bisa. Bramantyo putus asa. <span;>Malam ini setelah pulang dari apartemen milik kekasihnya, Bramantyo membaringkan tubuhnya menghalau rasa penatnya. Namun karena pusing itu kembali melanda, ia pun memutuskan untuk keluar dari dalam kamar dan pergi berjalan-jalan ke sekitar hotel. <span;>Satu tempat yang berhasil memikat matanya, ia membelalakkan matanya saat melihat sesuatu yang membuatnya bahagia. Ia pun berhenti dan berdiri tepat di depannya. <span;>"Buatkan saya satu pancake dengan taburan kismis dan sukade. Jangan lupa dengan es krim strawberry dan sausnya," pesan Bramantyo. <span;>Bramantyo amat menyukai makanan manis. Itu sebabnya, ia berdiri di depan booth pancake di lantai bawah hotel yang sedang mengadakan
Tentang dirinya tujuh tahun yang lalu, rasanya sangat sulit bisa menerimanya. Terlebih hari ini, Tyo terus terpuruk dalam kesedihan walau semuanya terbalut dalam hingar bingar kehidupan mewahnya.Tyo duduk beralaskan tikar kecil di samping makam kedua orangtuanya yang telah tiada tujuh tahun yang lalu. Hening di sekitarnya tak terasa sama sekali hingga akhirnya ia sadar dan memilih pergi dari tempat peristirahatan terakhir itu."Ibu ayah, Bram datang. Istirahat yang tenang. Bram sayang kalian."Di lain tempatDiana hampir bosan menunggu Tyo yang telah lebih dari satu jam menghilang entah kemana. Dua cangkir teh kesukaan Tyo pun telah mendingin sejak tadi. Ingin rasanya ia pergi dari ruangan itu, hanya saja kakinya sulit untuk digerakkan."Menunggu lama?" Tyo merangkul kekasihnya dari belakang. Diana mengangguk lalu tersenyum mendengarnya. "Aku ingin
"Pak manajer ada di ruangannya?"Tiba-tiba saja seorang pria bertubuh tegap berdiri di depan meja resepsionis. Wajahnya terlihat misterius. Salah satu resepsionis yang bertugas terkesiap melihat penampilan pria itu hingga matanya membelalak tajam."Maaf, ada keperluan dengan pak manajer?" tanya si resepsionis. Pria tadi mengangguk. "Sudah buat janji?""Belum. Saya teman lamanya.""Bapak namanya siapa?""Abimanyu."Sang resepsionis langsung menghubungi sekretaris Tyo dan mengabarkan jika ada seseorang yang ingin bertemu dengannya. Menunggu beberapa menit akhirnya pria tadi diantar oleh staf lainnya menuju ruangan Bramantyo di lantai atas.Abimanyu masuk ke dalam ruangan dan duduk setelah Tyo mempersilakannya. Keduanya memilih diam setelah perkenalan. Tyo merasa tak perlu beramah tamah dengan pria b
"Meeting jam berapa?" Tyo mengawali pagi ini dengan pertanyaan penuh tantangan untuk asistennya. "Saya maunya kamu atur sesuai jadwal tanpa ada perubahan.""Hari ini jam sepuluh di ruangan biasa, pak.""Siapkan ruangan.""Baik, pak."Tyo memejamkan matanya sejenak. Pagi hari yang seharusnya ia lewati dengan suasana yang nyaman nyatanya banyak sekali masalah. Sudah dua hari dirinya dihantui mimpi buruk yang sama. Ia terbangun hampir setiap malam menjelang pagi. Tak heran wajahnya terlihat kusam dan rapuh saat ini.Suara deritan pintu membuat mata Tyo perlahan terbuka dan mengintip dari balik tangan yang menutup sebagian wajahnya. Diana datang di pagi hari mengunjunginya sebelum memulai pekerjaannya."Hai, selamat pagi sayang. Sudah siap untuk meeting?" sapa Diana. Tyo hanya mengangguk ringan sambil bergumam."Hmm..."
Tyo mengernyit jijik melihat pemandangan tak menyenangkan di depan matanya. Dinding putih kotor dapur hotel sangat merusak moodnya pagi ini. Asistennya yang sedari tadi berdiri di sebelahnya tak mampu berbuat banyak saat dengan mudahnya Tyo mengatakan dapur harus direnovasi ulang."Ini apa?""Wok, untuk masak pak.""Bersihkan. Saya tidak mau lihat barang di dapur berantakan dan terlihat tidak higienis," ujar Tyo yang diangguki oleh salah satu chef.Tyo tidak suka dengan barang-barang kotor dan berantakan. Untuk itu, semua barang yang ada di dalam ruangannya ia ganti. Apalagi yang tidak ditata rapi sesuai dengan urutannya. Tak pelak lagi akan jadi sasaran empuk berikutnya."Itu kenapa botol minuman ditata seperti itu?" tunjuk Tyo pada setumpuk botol minuman yang terpajang rapi di rak penyimpanan di dekat gudang.Salah satu k
Suara ketukan pintu membangunkan dua insan yang sedang tertidur lelap di atas ranjang mewah kamar hotel. Diana terbangun lebih dulu. Matanya tertuju pada jam dinding yang menghadap ke arahnya. Matanya mengerjap perlahan.Perlahan ia turun dan berjalan gontai menuju pintu. Diliriknya Tyo masih tertidur lelap tanpa pakaian. Mungkin ini sudah kebiasaannya, pikir Diana."Selamat pagi. Kami dari—"Kedua orang yang berdiri di depan kamar Tyo terdiam seketika saat melihat sosok yang membukakan pintu bukanlah si pemilik kamar melainkan sosok Diana yang memang sudah cukup terkenal namanya di hotel ini.Diana terlihat santai dengan reaksi kedua orang tadi. Lalu bertanya pada salah satunya, "Kalian petugas room service?"Keduanya mengangguk pelan."Taruh saja makanannya di tempat biasa." Diana membuka lebar pintu kamar dan menyuruh ke
Setelah hari itu, Diana dan Tyo tak ada lagi komunikasi. Semuanya terasa asing. Diana tak menghubungi Tyo begitupun sebaliknya. Diana memutuskan kembali ke Jakarta sementara waktu dan Tyo pun kembali dengan aktivitasnya sebagai manajer hotel.Tak ada yang berbeda. Hanya Tyo saja yang merasa ada sesuatu yang kurang di dalam dadanya. Sesuatu yang membuatnya hampa dan kosong. Seperti ada yang pergi dan berlalu dari sana.Sesuatu itu pula yang membuatnya tak bisa makan dengan tenang. Bahkan dengan menu kesukaannya pun tak bisa dirinya menelan lebih banyak. Semua karena sesuatu yang kosong tadi."Pak Tyo, mau dipesankan makanan penutup?" tanya Winda membuyarkan lamunan Tyo. Sudah hampir setengah jam dirinya hanya terdiam mengaduk-aduk sup jamur kesukaannya. Kepalanya mendongak. Winda menatapnya dengan pandangan aneh."Puding saja."Winda mengangguk. Tanga
Suara denting jam dinding menyapa indera pendengaran Tyo pagi ini. Pukul lima tepat, saatnya bangun dan bersiap-siap. Setelah berolahraga dan membersihkan diri, segera ia menghubungi petugas hotel untuk membawakan sarapan paginya yang berharga.Salad sayuran dan roti gandum dengan selai strawberry menjadi andalannya. Tak lupa telur rebus dengan cincangan tomat dan daun ketumbar dengan minyak zaitun. Aneh memang, tapi Tyo suka dengan rasanya.Sambil sibuk merapikan pakaian, Tyo sesekali melirik arlojinya. Semalam ia belum sempat meminta nomor telpon Diana. Kini, ia bingung bagaimana cara menghubungi wanita itu. Dua kali Tyo mengembuskan napas gelisahnya, dua kali pula ia melirik arloji dan pintu kamar."Aku harus ke kamarnya."Tyo pun menyambar ponsel dan dompet serta jasnya. Yang ada di kepalanya saat ini adalah lantai dan kamar berapa Diana menginap di hotel ini. Dapat! Tyo m