Suara denting jam dinding menyapa indera pendengaran Tyo pagi ini. Pukul lima tepat, saatnya bangun dan bersiap-siap. Setelah berolahraga dan membersihkan diri, segera ia menghubungi petugas hotel untuk membawakan sarapan paginya yang berharga.
Salad sayuran dan roti gandum dengan selai strawberry menjadi andalannya. Tak lupa telur rebus dengan cincangan tomat dan daun ketumbar dengan minyak zaitun. Aneh memang, tapi Tyo suka dengan rasanya.
Sambil sibuk merapikan pakaian, Tyo sesekali melirik arlojinya. Semalam ia belum sempat meminta nomor telpon Diana. Kini, ia bingung bagaimana cara menghubungi wanita itu. Dua kali Tyo mengembuskan napas gelisahnya, dua kali pula ia melirik arloji dan pintu kamar.
"Aku harus ke kamarnya."
Tyo pun menyambar ponsel dan dompet serta jasnya. Yang ada di kepalanya saat ini adalah lantai dan kamar berapa Diana menginap di hotel ini. Dapat! Tyo menghubungi resepsionis dan kini ia berdiri tepat di depan kamar milik Diana.
Dada Tyo berdegup kencang. Tangannya mengepal dan matanya terpejam. Tiga kali ketukan ia berdoa dalam hati agar Diana segera membuka pintunya sebelum setengah nyawanya melebur.
"Tyo?" suara Diana membuyarkan lamunan Tyo hingga matanya terbuka lebar. Aroma sabun mandi menguar masuk ke dalam rongga hidungnya. Sebuah senyuman tipis menghiasi bibir Diana dan dibalas dengan senyuman yang sama oleh Tyo.
"Selamat pagi, Diana."
"Selamat pagi. Aku baru saja selesai mandi. Kamu tunggu di dalam saja." Diana mempersilakan Tyo masuk ke dalam kamarnya. Rasa takut dan degupan jantung yang cepat membuat kaki Tyo lemas. Ini baru pertama kalinya ia duduk di kamar seorang wanita.
"Kamu sudah sarapan?" tanya Tyo. Diana menggeleng. "Mau aku pesankan?"
"Tidak usah. Aku mau makan di pinggir jalan saja."
Mata Tyo membulat. Kepalanya tiba-tiba langsung berputar seperti naik bianglala. Senyum palsu ia pasang sebagai tameng agar Diana tak bertanya. Namun, sikapnya yang aneh itu malah membuat Diana memicingkan matanya dari jauh saat melihatnya.
"Kamu kenapa?" tanya Diana menghampiri Tyo yang sedang duduk diam di sofa panjang. Tyo menggelengkan kepalanya. "Pucat sekali. Kalau sakit, lebih baik kita—"
"Jangan!!" Tyo tiba-tiba berteriak. Diana mundur satu langkah ke belakang dengan kerutan di dahinya. "Kita berangkat sesuai rencana. Ehm, tapi kamu makan di bawah saja jangan di pinggir jalan."
"Memang kenapa makan di pinggir jalan? Bukannya kamu biasa?" Diana menebaknya dalam pikiran. Tyo pasti tidak mau diajak makan di pinggir jalan. Diana ingin tahu alasannya.
"Ehm, ya cari yang lebih higienis tempatnya. Di hotel kan lebih bagus. Kalau kamu tidak suka menu sarapannya, diganti saja."
Sesungguhnya di kepala Diana masih terbersit rasa ingin tahu yang besarnya setinggi gunung. Namun demi menghargai keinginan Tyo, ia terpaksa mengiyakan ajakannya untuk makan di hotel. Bukankah lebih nyaman sembari mereka mengakrabkan diri?
"Baiklah. Tunggu sebentar."
Diana merapikan tas make up dan pakaian kotornya dan memasukkannya ke dalam tas besar yang selalu ia bawa. Tak lupa dompet dan juga ponsel. Melirik sejenak ke arah Tyo yang sudah mulai nyaman, hatinya pun ikut tenang.
"Diana, untuk yang semalam—" Tyo menghentikan langkahnya. Diana yang berjalan di sampingnya juga ikut berhenti.
"I know. Lupakan saja. Namanya juga anak muda," ujar Diana.
"Tapi aku tidak bisa melupakannya. That is my first kiss."
Diana mematung mendengar kata-kata Tyo barusan. Apa katanya? Ciuman pertama?
Diana mengernyitkan dahinya. Ia berusaha mengingat satu mitos yang pernah diucapkan ibunya semasa masih muda dulu. Ini perihal ciuman pertama.
"Itu juga yang pertama buat aku." Diana membeo. Kini, Tyo yang mematung. Mereka sama-sama melepas sesuatu yang sakral dalam langkah awal percintaan antara dua manusia.
"Aku—"
"Santai saja, Tyo." Diana melanjutkan langkahnya. Tyo mengikuti dari belakang. "Aku tidak masalah."
"Tapi bagi aku masalah."
Diana menaikkan kedua alisnya lalu bertanya, "Masalah apa?"
"Kamu tahu tentang mitos itu tidak?" Diana menggeleng, pura-pura tidak tahu. "Mitos tentang ciuman pertama."
Wajah Diana memerah. Tatapannya ia buang ke arah lain menghindari Tyo. Kata ciuman membuatnya malu, sungguh malu.
"Tidak tahu," ketus Diana.
"Ciuman pertama dengan orang yang menyimpan ciuman pertamanya, mereka akan berjodoh."
"K-kita...."
Mereka sama terdiam. Diana memainkan jarinya sambil menatap lantai marmer hotel sedangkan Tyo diam-diam melirik. Matanya menatap lurus tangannya yang rasanya ingin sekali menggenggam tangan Diana tapi entah mengapa ia takut.
"Maaf kalau...."
Bunyi dentingan lift membuyarkan semua yang terlintas di kepala Tyo. Ia mengurungkan niatnya. Pikirnya, bukan saatnya ia mengatakan isi kepalanya sekarang.
Sepertinya taman hiburan bukan tempat yang tepat untuk seorang Bramantyo. Baru masuk saja wajahnya sudah terlihat pucat. Apalagi ia mencoba wahana. Diana yang berada tepat di sampingnya jadi bingung. Ingin rasanya tertawa tapi kasihan.
"Tyo, kamu kenapa?" tanya Diana setengah berbisik pada Tyo yang masih diam mematung. Tyo menggelengkan kepalanya. "Kalau kamu tidak mau main wahana, kita duduk di cafe sana saja."
Diana menggamit lengan Tyo dan mengajaknya ke sebuah cafe yang letaknya sedikit jauh dari wahana. Wajah Tyo kembali segar, tak nampak pucat lagi. "Kamu takut wahana itu ya?" tunjuk Diana pada satu permainan yang mirip bianglala.
Tyo mengangguk pelan. Malu sebenarnya. "Sedikit. Aku trauma."
"Kenapa kamu tidak katakan tadi? Aku minta maaf. Bagaimana kalau sehabis ini kita ke tempat lain?"
Tyo menggeleng. Ia merasa tak enak dengan Diana yang sudah susah payah mengajaknya keluar untuk berjalan-jalan. Dasarnya saja dia yang rapuh, takut merepotkan orang lain.
"Nanti ada karnaval kan? Kita lihat karnaval saja."
Bibir Diana merengut. Ia melirik arlojinya lalu menatap Tyo. "Masih lama. Kita jalan-jalan saja."
"Kalau kamu mau main wahana, silakan saja. Aku tunggu di kursi sebelah sana."
"No. Lebih baik kita keluar."
"Tidak sayang tiketnya?"
"Tidak. Biasa saja."
Berjalan-jalan seharian dengan orang yang baru dikenal beberapa hari tentunya membuat Tyo dan Diana canggung. Terlebih, ada satu peristiwa yang membuat mereka jadi berjarak sedikit menjauh. Satu peristiwa yang menandakan kedewasaan mereka walau terbilang tabu.
Saat Diana melirik, Tyo ikut melirik. Begitu saja seterusnya hingga akhirnya mereka berdua tak sengaja bertatapan. Diana mengulum senyum tipis, Tyo pun sama. Satu lirikan lagi akhirnya membuat mereka tak kuasa melepas senyuman menjadi tawa.
"Kamu kok lirik aku? Ehm, suka ya?" goda Diana dengan satu cubitan di lengan Tyo. Tak ada jawaban, wajah Tyo langsung merah seperti udang rebus.
"Apa sih? Kamu tuh yang suka."
"Memang."
Celetukan Diana rupanya membuat Tyo menoleh dan mematung sejenak. Es krim yang ada di tangannya meleleh melewati sela jarinya. Sisa es krim ia buang. Setelah membersihkannya, ia kembali menemui Diana yang masih berada di tempatnya.
"K-kamu tidak serius kan?"
"Kenapa?"
Tyo menunduk sambil membersihkan jarinya dengan cairan pembersih tangan. Berkali-kali ia menuangkan cairan itu hingga wanginya menyengat hidung Diana.
"Karena—"
"Eh, sebentar. Teman aku telpon." Diana memutus kalimat yang akan diucapkan Tyo. Bukan karena panggilan tapi karena ia tak mau mendengar alasan pria itu menolaknya sekali lagi.
Setelah hari itu, Diana dan Tyo tak ada lagi komunikasi. Semuanya terasa asing. Diana tak menghubungi Tyo begitupun sebaliknya. Diana memutuskan kembali ke Jakarta sementara waktu dan Tyo pun kembali dengan aktivitasnya sebagai manajer hotel.Tak ada yang berbeda. Hanya Tyo saja yang merasa ada sesuatu yang kurang di dalam dadanya. Sesuatu yang membuatnya hampa dan kosong. Seperti ada yang pergi dan berlalu dari sana.Sesuatu itu pula yang membuatnya tak bisa makan dengan tenang. Bahkan dengan menu kesukaannya pun tak bisa dirinya menelan lebih banyak. Semua karena sesuatu yang kosong tadi."Pak Tyo, mau dipesankan makanan penutup?" tanya Winda membuyarkan lamunan Tyo. Sudah hampir setengah jam dirinya hanya terdiam mengaduk-aduk sup jamur kesukaannya. Kepalanya mendongak. Winda menatapnya dengan pandangan aneh."Puding saja."Winda mengangguk. Tanga
Suara ketukan pintu membangunkan dua insan yang sedang tertidur lelap di atas ranjang mewah kamar hotel. Diana terbangun lebih dulu. Matanya tertuju pada jam dinding yang menghadap ke arahnya. Matanya mengerjap perlahan.Perlahan ia turun dan berjalan gontai menuju pintu. Diliriknya Tyo masih tertidur lelap tanpa pakaian. Mungkin ini sudah kebiasaannya, pikir Diana."Selamat pagi. Kami dari—"Kedua orang yang berdiri di depan kamar Tyo terdiam seketika saat melihat sosok yang membukakan pintu bukanlah si pemilik kamar melainkan sosok Diana yang memang sudah cukup terkenal namanya di hotel ini.Diana terlihat santai dengan reaksi kedua orang tadi. Lalu bertanya pada salah satunya, "Kalian petugas room service?"Keduanya mengangguk pelan."Taruh saja makanannya di tempat biasa." Diana membuka lebar pintu kamar dan menyuruh ke
Tyo mengernyit jijik melihat pemandangan tak menyenangkan di depan matanya. Dinding putih kotor dapur hotel sangat merusak moodnya pagi ini. Asistennya yang sedari tadi berdiri di sebelahnya tak mampu berbuat banyak saat dengan mudahnya Tyo mengatakan dapur harus direnovasi ulang."Ini apa?""Wok, untuk masak pak.""Bersihkan. Saya tidak mau lihat barang di dapur berantakan dan terlihat tidak higienis," ujar Tyo yang diangguki oleh salah satu chef.Tyo tidak suka dengan barang-barang kotor dan berantakan. Untuk itu, semua barang yang ada di dalam ruangannya ia ganti. Apalagi yang tidak ditata rapi sesuai dengan urutannya. Tak pelak lagi akan jadi sasaran empuk berikutnya."Itu kenapa botol minuman ditata seperti itu?" tunjuk Tyo pada setumpuk botol minuman yang terpajang rapi di rak penyimpanan di dekat gudang.Salah satu k
"Meeting jam berapa?" Tyo mengawali pagi ini dengan pertanyaan penuh tantangan untuk asistennya. "Saya maunya kamu atur sesuai jadwal tanpa ada perubahan.""Hari ini jam sepuluh di ruangan biasa, pak.""Siapkan ruangan.""Baik, pak."Tyo memejamkan matanya sejenak. Pagi hari yang seharusnya ia lewati dengan suasana yang nyaman nyatanya banyak sekali masalah. Sudah dua hari dirinya dihantui mimpi buruk yang sama. Ia terbangun hampir setiap malam menjelang pagi. Tak heran wajahnya terlihat kusam dan rapuh saat ini.Suara deritan pintu membuat mata Tyo perlahan terbuka dan mengintip dari balik tangan yang menutup sebagian wajahnya. Diana datang di pagi hari mengunjunginya sebelum memulai pekerjaannya."Hai, selamat pagi sayang. Sudah siap untuk meeting?" sapa Diana. Tyo hanya mengangguk ringan sambil bergumam."Hmm..."
"Pak manajer ada di ruangannya?"Tiba-tiba saja seorang pria bertubuh tegap berdiri di depan meja resepsionis. Wajahnya terlihat misterius. Salah satu resepsionis yang bertugas terkesiap melihat penampilan pria itu hingga matanya membelalak tajam."Maaf, ada keperluan dengan pak manajer?" tanya si resepsionis. Pria tadi mengangguk. "Sudah buat janji?""Belum. Saya teman lamanya.""Bapak namanya siapa?""Abimanyu."Sang resepsionis langsung menghubungi sekretaris Tyo dan mengabarkan jika ada seseorang yang ingin bertemu dengannya. Menunggu beberapa menit akhirnya pria tadi diantar oleh staf lainnya menuju ruangan Bramantyo di lantai atas.Abimanyu masuk ke dalam ruangan dan duduk setelah Tyo mempersilakannya. Keduanya memilih diam setelah perkenalan. Tyo merasa tak perlu beramah tamah dengan pria b
Tentang dirinya tujuh tahun yang lalu, rasanya sangat sulit bisa menerimanya. Terlebih hari ini, Tyo terus terpuruk dalam kesedihan walau semuanya terbalut dalam hingar bingar kehidupan mewahnya.Tyo duduk beralaskan tikar kecil di samping makam kedua orangtuanya yang telah tiada tujuh tahun yang lalu. Hening di sekitarnya tak terasa sama sekali hingga akhirnya ia sadar dan memilih pergi dari tempat peristirahatan terakhir itu."Ibu ayah, Bram datang. Istirahat yang tenang. Bram sayang kalian."Di lain tempatDiana hampir bosan menunggu Tyo yang telah lebih dari satu jam menghilang entah kemana. Dua cangkir teh kesukaan Tyo pun telah mendingin sejak tadi. Ingin rasanya ia pergi dari ruangan itu, hanya saja kakinya sulit untuk digerakkan."Menunggu lama?" Tyo merangkul kekasihnya dari belakang. Diana mengangguk lalu tersenyum mendengarnya. "Aku ingin
<span;>Pusing yang menyekat kepala Bramantyo hampir membuatnya gila. Dua malam ia selalu terjaga dari mimpi yang sama. Ia sudah mencoba berbagai cara untuk menghilangkan rasa sakit itu, tapi tak bisa. Bramantyo putus asa. <span;>Malam ini setelah pulang dari apartemen milik kekasihnya, Bramantyo membaringkan tubuhnya menghalau rasa penatnya. Namun karena pusing itu kembali melanda, ia pun memutuskan untuk keluar dari dalam kamar dan pergi berjalan-jalan ke sekitar hotel. <span;>Satu tempat yang berhasil memikat matanya, ia membelalakkan matanya saat melihat sesuatu yang membuatnya bahagia. Ia pun berhenti dan berdiri tepat di depannya. <span;>"Buatkan saya satu pancake dengan taburan kismis dan sukade. Jangan lupa dengan es krim strawberry dan sausnya," pesan Bramantyo. <span;>Bramantyo amat menyukai makanan manis. Itu sebabnya, ia berdiri di depan booth pancake di lantai bawah hotel yang sedang mengadakan
"Kamu kenapa?" Suara Diana mengejutkan Bramantyo yang sedang sibuk memindahkan hiasan dinding di sudut ruangannya. Tak peduli dengan panggilan Diana, ia tetap meneruskan kegiatannya. "Serius sekali." ujar Diana lagi. Diana bergelayut manja di lengan Bramantyo hingga membuat kekasihnya itu risih. Dihempaskannya tangan Diana dan pandangannya kembali berfokus pada hiasan dinding itu. "Kamu tidak ada pekerjaan? Pagi hari sudah ke ruangan aku?" Bramantyo menoleh dengan lirikan ujung mata mengintimidasi Diana. "Ada. Hanya saja aku ingin mengunjungi kekasih hatiku pagi ini." Bramantyo memilih diam. Hiasan dinding yang sudah terpasang tadi dilihatnya lagi dari jarak jauh. Berkali-kali matanya memastikan arah dan sudut serta warna hiasan dinding itu. Setelah ia rasa cukup, ia pun berbalik dan mengembalikan perkakas pada tempatnya. "Aku akan buat peraturan mulai besok." Bramantyo menuliskan sesuatu di kertas kosong dan memberikannya pada Diana. "Silakan baca." Diana membaca selebaran it
"Kamu kenapa?" Suara Diana mengejutkan Bramantyo yang sedang sibuk memindahkan hiasan dinding di sudut ruangannya. Tak peduli dengan panggilan Diana, ia tetap meneruskan kegiatannya. "Serius sekali." ujar Diana lagi. Diana bergelayut manja di lengan Bramantyo hingga membuat kekasihnya itu risih. Dihempaskannya tangan Diana dan pandangannya kembali berfokus pada hiasan dinding itu. "Kamu tidak ada pekerjaan? Pagi hari sudah ke ruangan aku?" Bramantyo menoleh dengan lirikan ujung mata mengintimidasi Diana. "Ada. Hanya saja aku ingin mengunjungi kekasih hatiku pagi ini." Bramantyo memilih diam. Hiasan dinding yang sudah terpasang tadi dilihatnya lagi dari jarak jauh. Berkali-kali matanya memastikan arah dan sudut serta warna hiasan dinding itu. Setelah ia rasa cukup, ia pun berbalik dan mengembalikan perkakas pada tempatnya. "Aku akan buat peraturan mulai besok." Bramantyo menuliskan sesuatu di kertas kosong dan memberikannya pada Diana. "Silakan baca." Diana membaca selebaran it
<span;>Pusing yang menyekat kepala Bramantyo hampir membuatnya gila. Dua malam ia selalu terjaga dari mimpi yang sama. Ia sudah mencoba berbagai cara untuk menghilangkan rasa sakit itu, tapi tak bisa. Bramantyo putus asa. <span;>Malam ini setelah pulang dari apartemen milik kekasihnya, Bramantyo membaringkan tubuhnya menghalau rasa penatnya. Namun karena pusing itu kembali melanda, ia pun memutuskan untuk keluar dari dalam kamar dan pergi berjalan-jalan ke sekitar hotel. <span;>Satu tempat yang berhasil memikat matanya, ia membelalakkan matanya saat melihat sesuatu yang membuatnya bahagia. Ia pun berhenti dan berdiri tepat di depannya. <span;>"Buatkan saya satu pancake dengan taburan kismis dan sukade. Jangan lupa dengan es krim strawberry dan sausnya," pesan Bramantyo. <span;>Bramantyo amat menyukai makanan manis. Itu sebabnya, ia berdiri di depan booth pancake di lantai bawah hotel yang sedang mengadakan
Tentang dirinya tujuh tahun yang lalu, rasanya sangat sulit bisa menerimanya. Terlebih hari ini, Tyo terus terpuruk dalam kesedihan walau semuanya terbalut dalam hingar bingar kehidupan mewahnya.Tyo duduk beralaskan tikar kecil di samping makam kedua orangtuanya yang telah tiada tujuh tahun yang lalu. Hening di sekitarnya tak terasa sama sekali hingga akhirnya ia sadar dan memilih pergi dari tempat peristirahatan terakhir itu."Ibu ayah, Bram datang. Istirahat yang tenang. Bram sayang kalian."Di lain tempatDiana hampir bosan menunggu Tyo yang telah lebih dari satu jam menghilang entah kemana. Dua cangkir teh kesukaan Tyo pun telah mendingin sejak tadi. Ingin rasanya ia pergi dari ruangan itu, hanya saja kakinya sulit untuk digerakkan."Menunggu lama?" Tyo merangkul kekasihnya dari belakang. Diana mengangguk lalu tersenyum mendengarnya. "Aku ingin
"Pak manajer ada di ruangannya?"Tiba-tiba saja seorang pria bertubuh tegap berdiri di depan meja resepsionis. Wajahnya terlihat misterius. Salah satu resepsionis yang bertugas terkesiap melihat penampilan pria itu hingga matanya membelalak tajam."Maaf, ada keperluan dengan pak manajer?" tanya si resepsionis. Pria tadi mengangguk. "Sudah buat janji?""Belum. Saya teman lamanya.""Bapak namanya siapa?""Abimanyu."Sang resepsionis langsung menghubungi sekretaris Tyo dan mengabarkan jika ada seseorang yang ingin bertemu dengannya. Menunggu beberapa menit akhirnya pria tadi diantar oleh staf lainnya menuju ruangan Bramantyo di lantai atas.Abimanyu masuk ke dalam ruangan dan duduk setelah Tyo mempersilakannya. Keduanya memilih diam setelah perkenalan. Tyo merasa tak perlu beramah tamah dengan pria b
"Meeting jam berapa?" Tyo mengawali pagi ini dengan pertanyaan penuh tantangan untuk asistennya. "Saya maunya kamu atur sesuai jadwal tanpa ada perubahan.""Hari ini jam sepuluh di ruangan biasa, pak.""Siapkan ruangan.""Baik, pak."Tyo memejamkan matanya sejenak. Pagi hari yang seharusnya ia lewati dengan suasana yang nyaman nyatanya banyak sekali masalah. Sudah dua hari dirinya dihantui mimpi buruk yang sama. Ia terbangun hampir setiap malam menjelang pagi. Tak heran wajahnya terlihat kusam dan rapuh saat ini.Suara deritan pintu membuat mata Tyo perlahan terbuka dan mengintip dari balik tangan yang menutup sebagian wajahnya. Diana datang di pagi hari mengunjunginya sebelum memulai pekerjaannya."Hai, selamat pagi sayang. Sudah siap untuk meeting?" sapa Diana. Tyo hanya mengangguk ringan sambil bergumam."Hmm..."
Tyo mengernyit jijik melihat pemandangan tak menyenangkan di depan matanya. Dinding putih kotor dapur hotel sangat merusak moodnya pagi ini. Asistennya yang sedari tadi berdiri di sebelahnya tak mampu berbuat banyak saat dengan mudahnya Tyo mengatakan dapur harus direnovasi ulang."Ini apa?""Wok, untuk masak pak.""Bersihkan. Saya tidak mau lihat barang di dapur berantakan dan terlihat tidak higienis," ujar Tyo yang diangguki oleh salah satu chef.Tyo tidak suka dengan barang-barang kotor dan berantakan. Untuk itu, semua barang yang ada di dalam ruangannya ia ganti. Apalagi yang tidak ditata rapi sesuai dengan urutannya. Tak pelak lagi akan jadi sasaran empuk berikutnya."Itu kenapa botol minuman ditata seperti itu?" tunjuk Tyo pada setumpuk botol minuman yang terpajang rapi di rak penyimpanan di dekat gudang.Salah satu k
Suara ketukan pintu membangunkan dua insan yang sedang tertidur lelap di atas ranjang mewah kamar hotel. Diana terbangun lebih dulu. Matanya tertuju pada jam dinding yang menghadap ke arahnya. Matanya mengerjap perlahan.Perlahan ia turun dan berjalan gontai menuju pintu. Diliriknya Tyo masih tertidur lelap tanpa pakaian. Mungkin ini sudah kebiasaannya, pikir Diana."Selamat pagi. Kami dari—"Kedua orang yang berdiri di depan kamar Tyo terdiam seketika saat melihat sosok yang membukakan pintu bukanlah si pemilik kamar melainkan sosok Diana yang memang sudah cukup terkenal namanya di hotel ini.Diana terlihat santai dengan reaksi kedua orang tadi. Lalu bertanya pada salah satunya, "Kalian petugas room service?"Keduanya mengangguk pelan."Taruh saja makanannya di tempat biasa." Diana membuka lebar pintu kamar dan menyuruh ke
Setelah hari itu, Diana dan Tyo tak ada lagi komunikasi. Semuanya terasa asing. Diana tak menghubungi Tyo begitupun sebaliknya. Diana memutuskan kembali ke Jakarta sementara waktu dan Tyo pun kembali dengan aktivitasnya sebagai manajer hotel.Tak ada yang berbeda. Hanya Tyo saja yang merasa ada sesuatu yang kurang di dalam dadanya. Sesuatu yang membuatnya hampa dan kosong. Seperti ada yang pergi dan berlalu dari sana.Sesuatu itu pula yang membuatnya tak bisa makan dengan tenang. Bahkan dengan menu kesukaannya pun tak bisa dirinya menelan lebih banyak. Semua karena sesuatu yang kosong tadi."Pak Tyo, mau dipesankan makanan penutup?" tanya Winda membuyarkan lamunan Tyo. Sudah hampir setengah jam dirinya hanya terdiam mengaduk-aduk sup jamur kesukaannya. Kepalanya mendongak. Winda menatapnya dengan pandangan aneh."Puding saja."Winda mengangguk. Tanga
Suara denting jam dinding menyapa indera pendengaran Tyo pagi ini. Pukul lima tepat, saatnya bangun dan bersiap-siap. Setelah berolahraga dan membersihkan diri, segera ia menghubungi petugas hotel untuk membawakan sarapan paginya yang berharga.Salad sayuran dan roti gandum dengan selai strawberry menjadi andalannya. Tak lupa telur rebus dengan cincangan tomat dan daun ketumbar dengan minyak zaitun. Aneh memang, tapi Tyo suka dengan rasanya.Sambil sibuk merapikan pakaian, Tyo sesekali melirik arlojinya. Semalam ia belum sempat meminta nomor telpon Diana. Kini, ia bingung bagaimana cara menghubungi wanita itu. Dua kali Tyo mengembuskan napas gelisahnya, dua kali pula ia melirik arloji dan pintu kamar."Aku harus ke kamarnya."Tyo pun menyambar ponsel dan dompet serta jasnya. Yang ada di kepalanya saat ini adalah lantai dan kamar berapa Diana menginap di hotel ini. Dapat! Tyo m