Malam ini Thalia Davira sangat cantik. Mengenakan little black dress to dinner with Abian Ghiffari. Kali ini Alia memakai lipstick merah tebal, rambut panjangnya dibuat bergelombang, dan bau parfum yang manis tercium di hidung Abian tak hilang-hilang."Wangi sekali," komentar Abian saat di dalam mobil, sedang menuju ke salah satu restoran."Aku memakai parfum darimu. Ternyata aromanya manis sekali. Aku suka."Abian tahu sifat Alia yang selalu menghargai barang pemberian orang lain. Apapun hadiah yang Abian berikan padanya, pasti Alia menyukai."Apa yang membuatmu malam ini kamu lebih cantik, Al?" Abian terus tersenyum melihat kecantikan Alia yang tidak biasanya. "Apa karena lipstick merahmu?"Cantik? Alia rasa malam ini berdandan tidak berlebihan. Alia menyalakan ponselnya, melihat wajahnya sendiri dari kamera ponselnya. "Ah, tidak juga. Ini biasa saja. Bukannya aku selalu berdandan seperti ini?""No." Abian menggeleng. "You're
Alia menuangkan wine ke gelas Abian sambil berkata lirih, "Kau lihat? Semua pelayan melihat ke arah kita. Itu membuatku risih." Alia tidak nyaman."Abaikan saja. Pelayan wanita pasti iri dengan kecantikanmu," tutur Abian santai meminum wine yang tadi Alia tuangkan ke gelasnya hingga habis.Alia menompangkan dagunya dengan tangan, matanya bergerak melirik ke kanan kiri. "Aku pikir mereka ingin berada di posisiku. Maksudku, mereka menginginkan menjadi istri lelaki kaya dan tampan sepertimu," balas Alia menurut pendapatnya. "Ya, kan, sayang?"Abian hanya mengangguk saja."Aku ingin ke toilet sebentar."Alia pun mengangkat tangan kanan dan memanggil salah satu pelayan untuk bertanya di mana letak toilet. Sang pelayan menjelaskan letak toilet tapi Alia tidak paham, jadi pelayan dengan inisiatif untuk mengantarkan Alia.Lima menit kemudian, Abian bosan menunggu Alia yang tak kunjung kembali dari toilet. Abian akhirnya menyusul Alia ke
"Tenang aja, semua pasti berjalan lancar. Aku yakin orang tuaku menyukai kamu," Abian menenangkan Alia.Alia mengangguk paham, dia percaya apa kata Abian.Perjalanan itu mereka lewati dengan keheningan. Abian fokus ke jalanan, sedangkan Alia sedang sibuk dengan pikirannya. Dia mempersiapkan bagaimana kalimat dan sikap yang akan dia tunjukkan kepada keluarga Abian.Hingga mobil mereka tiba di pelataran sebuah villa yang diketahui milik keluarga Abian. Tapi Abian tidak memberi tahu itu villa milik keluarganya. Walaupun Alia tahu bagaimana keluarga Abian yang sangat berada. Hati kecilnya sedikit merasa rendah diri. Apalagi Alia hanyalah orang biasa."Ayo turun," Abian mengajak Alia setelah membukakan pintu untuk wanita itu.Mereka berjalan bersama, menuju ke pintu depan. Villa itu memiliki taman yang cukup luas, sebelum sampai ke pintu masuk. Abian tak lupa menggenggam tangan Alia yang dingin, antara karena cemas atau memang udara malam.
Abian dan Ayahnya memiliki wajah yang mirip. Meski Ayah Abian sudah cukup berumur, beliau masih nampak begitu tampan dan berwibawa. Apalagi dengan bahu yang masih tegap, mungkin beliau masih bisa di panggil dengan sebuatan Hot Papa. Banyak wanita muda yang rela menjadi wanita simpanan, tapi Maria tetap setia pada Caroline. Semoga saja sifat Abian persis seperti Mario. Lelaki setia dan tulus menemani sang istri hingga akhir hayatnya. Dan yang paling Abian tunggu, sosok terakhir yang dia sapa. Siapa lagi kalau bukan Kakaknya, Amber Hailey. Wajah kakaknya sekrang jadi terlihat lebih dewasa, mungkin karena dia sudah melewati beberapa fase hidup yaitu pernikahan, memiliki anak, dan masih kelihatan cantik dengan body goals karena hobi gym. "Long time no see, Sis," sapa Abian dengan senyuman lebarnya dan hendak memeluk Kakaknya itu. Amber menurunkan Xylia dari gendongannya. Membalas pelukan hangat untuk melepaskan kerinduan pada sang adiknya.
Setelah Alia memperkenalkan diri, Abian memandu mereka untuk berkumpul di ruang keluarga. Kedua orang tuanya duduk berdampingan, Amber di samping Ibunya, lalu Abian dan yang paling ujung ada Alia. Orang tua Abian nampak tenang, sementara Amber sibuk bermain dengan Xylia. Putrinya itu memang sedang masa aktifnya. Jadi wanita itu harus meladeni permintaan sang putri agar tidak rewel. Jika hening begini, suasana di ruangan itu mencengkam. Apalagi kedua orang tua Abian juga tak membuka percakapan terlebih dahulu. Sehingga Alia juga hanya bisa diam dan terseyum. Sesekali ia juga melihat tingkah lucu Xylia saat bermain. "Jadi gimana kabar Ayah sama Ibu selama di Amerika? Ada hal yang menyenangkan untuk di ceritakan ke Abian?" Akhirnya Abian membuka suara, dia basa-basi sebelum membicarakan tujuan utamanya. "Amerika sangat menyenangkan, sayangnya tidak ada kamu di sana," jawab Caroline. Abian sedikit tertawa, "Kan aku di sini juga bekerja,
"Jadi dia wanita yang membuatmu tidak ingin kembali ke Amerika?” Pertanyaan dri Mario to the point. Wajah Abian mengeras, ia tak tahu itu merupakan respon baik atau buruk. Abian menjawab jujur, "Iya ayah, dia memang salah satu alasan Abian tidak ingin ke Amerika. Karena Abian sudah terlanjur jatuh cinta dengan Alia, dan aku tidak mau melepasnya." "Pekerjaan kamu apa Alia?" tanya Caroline, mengabaikan perkataan Abian. Wanita itu menatap Alia cukup tajam, namun tak setajam tokoh antagonis. Alia menjawab, "Saya dulu merupakan seorang perawat, untuk sekarang saya tidak bekerja." Caroline mulai mengejek Alia, "Huh, hanya seorang perawat? Kamu serius menikahi wanita ini Abian? Tidak ada wanita yang lebih terhormat lagi?" "Ibu, kenapa bicara seperti itu. Alia adalah wanita yang Abian pilih, yang Abian cintai. Bisakan Ibu menghormati pilihanku?" balas Abian protes. Dia tak habis pikir jika sang Ibu bisa bicara sekasar itu. "Ibu t
Abian menatap secara dekat wajah Alia. Paras cantiknya mampu membuatnya tergila-gila untuk memilikinya. Sekarang? Alia menjadi miliknya sepenuhnya. Begitu tulus mencintai Alia, mencintai Alia setengah mati.Abian tidak peduli dengan masa lalu Alia. Sama sekali tidak peduli! Jadi, Abian tidak terima dengan perkataan kedua orang tuanya dua jam lalu. Mau seburuk apapun masa lalu seorang, bukan menjadi penghalang baginya. Toh, Alia tidak seburuk itu.Abian rasa Alia sudah tidur pulas. Dengan hati-hati, Abian menarik tangannya yang tadinya sebagai bantalan kepala Alia, menarik pelan agar Alia tidak terbangun.Tangan Abian terasa pegal, mati rasa dan berujung kesemutan. Itulah yang dirasakan oleh para suami ketika tangan digunakan sebagai bantal kepala sang istri. Mati-matian menahan pegal.Abian menyalakan ponsel sebagai penerang sebab lampu kamar sudah dimatikan.“Jam sebelas lewat lima belas menit,” batin Abian membaca arah jarum jam.Abian keluar dari kamar, menuruni tangga saat mendeng
“Kamu bisa bercerai dengannya lalu menikah dengan putri dari rekan bisnis Ayah. Jauh lebih cantik, smart, independen!” sentak Mario.Abian melongo. Mulutnya terbuka lebar.Sinting!Gila!Sungguh gila apa yang dikatakan ayahnya. Di luar dugaan dan nalar sebagai seorang ayah. Begitu mudah menyuruhnya untuk bercerai lalu menikah dengan gadis pilihan Mario.Kepala Abian menggeleng kuat. “F*CK! ARE YOU KIDDING ME? CERAI? TIDAK AKAN! SAYA TIDAK AKAN PERNAH BERCERAI DENGANNYA!” tolaknya menekan semua kalimat dan suara meninggi. “DIA WANITA PILIHANKU. SAYA TIDAK PEDULI DENGAN GADIS PILIHAN AYAH!”Mata Ibu Abian mendelik pada Abian. “KURANG AJAR! JAGA SIKAPMU KALAU BERBICARA DENGAN AYAH!” Suara Caroline tidak kalah tinggi. “MAU NGELAWAN KAMU!”Abian mengalah. Amber datang, duduk di samping Abian—mengelus kedua pundak Abian. Wanita itu sedari tadi sembunyi-sembunyi menguping pembicaraan. “Sudah, ya. Kamu tenangin diri. Jangan dila