Kini sudah satu minggu Misella dan Fahmi pisah ranjang. Dengan terpaksa Fahmi tidur di sofa. Lelaki itu masih berpikir positif, mungkin saja istrinya sedang ingin tidak diganggu olehnya.Permintaan maaf berkali-kali dari Fahmi tidak pernah Misella respon. Fahmi bingung harus berbuat apa. Dia tidak tahan di diamkan oleh Misella selama di kamar. Fahmi memutuskan untuk menginap dua hari di rumah sahabatnya untuk menjernihkan pikiran. Ya, dia membutuhkan teman untuk mendengar keluh kesahnya.Fahmi curhat pada sahabatnya itu dengan panjang lebar. Sahabatnya mendengarkan curhatan dengan serius sampai raut wajah awalnya kasihan berubah menjadi raut wajah penuh kekecewaan.“Aku kecewa denganmu, Fahmi. Aku kira kamu akan berubah, tapi kamu sama saja seperti dulu. Kamu brengs*k. Benar-benar brengsek!” respon sahabat Fahmi dengan penuh kekecewaan dari sorot mata.“Benar!” Fahmi membenarkan kalimat sahabatnya. “Aku memang bodoh!”“Aku tidak ingin ikut campur urusan keluargamu. Sekarang pulanglah k
"Tidak, Pa. Fahmi berselingkuh dengan wanita lain yang tak aku kenal."Tangan Robert mengepal kuat."Aish ...!" Tiffany meringis sebal dan memijit pelipisnya yang terasa pusing memikirkan masalah keluarga putri keduanya. "Sudah Mama peringatkan! Jangan menikahi lelaki yang pernah berselingkuh! Selingkuh itu penyakit!" sentaknya sedikit meninggikan suara.Misella menangkup wajahnya dengan telapak tangan. Ya ... dia sangat menyesal. Pernikahan ini menjadi momok menakutkan baginya. Dulu, Misella memohon meminta restu pada kedua orang tuanya yang tidak setuju menikah dengan Fahmi. Sekarang, Misella sadar."Jadi, apa keputusanmu?" tanya Robert dengan serius dan jauh lebih tenang.Bibir Misella merapat. Diam seribu bahasa.Keputusan? Misella belum memikirkan keputusan untuk ke depan nanti. Ah ... Keputusan Itu sangat sulit baginya."Aku tidak tahu, Pa," balas Misella dengan jujur."Pikirkanlah dari sekarang! Papa sang
Alia merasa bosan dengan kehidupannya. Dia mengundurkan diri berhenti menjadi perawat di rumah sakit setelah menikah karena Abian menjadikan Alia ratu, menyuruh tidak perlu capek-capek bekerja.Alia pergi ke mall diantar supir pribadinya menggunakan mobil bagus yang dibelikan oleh sang suami untuknya.Di mall berjalan keliling untuk belanja. Untung saja supir pribadi menemani Alia, jadi Alia tidak perlu kerepotan membawa paper bag berisi barang-barang branded mahal.Setelah puas belanja, Alia mengunjungi salon kecantikan yang ada di mall tersebut. Saatnya memanjakan diri, perawatan dari ujung kepala hingga kaki. Pertama Alia ingin hair treatment. Alia paling suka kepala dipijat lembut, kemudian dilanjut spa pedicure dan spa manicure hingga selesai."Duduk di sebelah sini, Kak."Alia menurut, dia ingin nail art agar kuku terlihat cantik. Alia memberi tahu nail art yang dia inginkan.Ting!Bunyi ponsel Alia yang terge
“Kenapa sayang?” Abian mendekat dan berdiri tepat di belakang Alia.Abian baru saja pulang terheran melihat Alia berdiri melamun di depan kaca besar ruang tamu dengan view keindahan malam kota Jakarta. Ah, Abian berpikir, pasti Alia tidak sadar dengan kepulangannya. Lelaki itu tersenyum nakal, mempunyai ide usil, mengagetkan Alia agar lamunan buyar.Grep. Abian memeluk Alia dari belakang.Pelukan secara tiba-tiba itu seperti sengatan listrik, membuat Alia tersentak kaget dari lamunan. Alia langsung membalikkan badan dan gerakan tangan secara refleks mendorong dada bidang dengan kuat.“Siapa kamu?! Beraninya memelukku!” bentak Alia tanpa mengangkat kepala, Alia malah gagal fokus dengan sepatu di depannya. “Ini kan sepatu keluaran terbaru dan limited edition. Harganya cukup mahal,” batin Alia.“Ini aku sayang. Kamu kenapa?” tanya Abian bingung dengan Alia.Barulah Alia mengangkat kepala.Seketika Alia sadar lelaki yang memeluknya ad
Abian beranjak dari duduk, mengambil paper bag mungil dengan warna lilac dihiasi pita kecil yang dia letakan di dekat vas bunga tulip kuning. Tadi saat di Mall, Abian tidak hanya membeli sepatu mahal untuknya, melainkan juga membeli sesuatu untuk Alia.“Surprise! For you!” Abian menyodorkan paper bag itu.Alia tidak bisa menahan senyuman lebarnya. Dengan senang hati menerima pemberian Abian. Tidak menyangka Abian telah menyiapkan hadiah untuknya. Alia menjerit histeris. Terharu. Mata Alia berkaca-kaca. Sungguh tidak menyangka apa yang dia lihat setelah membuka paper bag itu, ada kotak kecil dan isinya adalah perhiasan yang sudah lama Alia dinginkan.“Akhhh! Akhirnya ....” pekiknya.Alia sangat bahagia mendapatkan luxury diamond ring dari merk terkenal dan harga jauh lebih mahal dari sepatu baru Abian. Alia langsung berdiri sambil memegang kotak cincin itu, berjinjit sambil memeluk Abian dengan senyuman amat lebar.Abian membalas
Abian beranjak dari duduk, mengambil paper bag mungil dengan warna lilac dihiasi pita kecil yang dia letakan di dekat vas bunga tulip kuning. Tadi saat di Mall, Abian tidak hanya membeli sepatu mahal untuknya, melainkan juga membeli sesuatu untuk Alia.“Surprise! For you!” Abian menyodorkan paper bag itu.Alia tidak bisa menahan senyuman lebarnya. Dengan senang hati menerima pemberian Abian. Tidak menyangka Abian telah menyiapkan hadiah untuknya. Alia menjerit histeris. Terharu. Mata Alia berkaca-kaca. Sungguh tidak menyangka apa yang dia lihat setelah membuka paper bag itu, ada kotak kecil dan isinya adalah perhiasan yang sudah lama Alia dinginkan.“Akhhh! Akhirnya ....” pekiknya.Alia sangat bahagia mendapatkan luxury diamond ring dari merk terkenal dan harga jauh lebih mahal dari sepatu baru Abian. Alia langsung berdiri sambil memegang kotak cincin itu, berjinjit sambil memeluk Abian dengan senyuman amat lebar.Abian membalas pelukan Alia dengan erat. “Are you happy, sweetheart?”
Fahmi kaget sambil memegang pipinya yang kesakitan. Lelaki itu juga menahan rasa takutnya, sebab raut wajah Papa mertuanya begitu penuh amarah."Ada apa ini, Pa?" Fahmi bertanya mengapa Robert Begitu marah padanya dengan suara bergetar. “A-apa salahku?”Tak berhenti disitu Robert menampar lagi untuk kedua kalinya, karena mendengar Fahmi memanggilnya sebutan Papa."Jangan sekali-kali memanggil Papa. Saya bukan Papamu! Tidak sudi Saya, kamu memanggil saya Papa. Brengsek!" bentak Robert tanpa menahan lagi.Fahmi tak memiliki kesempatan untuk protes atau bertanya lagi. Pipinya sangat kesakitan akibat dua tamparan keras itu. Robert benar-benar mengerahkan semua tenaganya untuk menampar Fahmi."Dulu saya sangat mempercayai kamu Fahmi, bahkan saya juga memberikan restu untuk menikahi putri saya. Apalagi saya juga mempercayakan sebuah perusahaan untuk kamu. Tetapi apa sekarang? Kamu tidak becus bekerja dan malah membuat perusahaan itu bangkrut. K
Robert tersenyum sinis. "KELUAR DARI SINI DAN HIDUPLAH MENJADI GELANDANG!” usianya tak kalah keras dengan suara Fahmi.Mata Fahmi memerah, menahan tangis. Berusaha menguatkan diri agar butiran kristal tidak berhasil lolos dari kelopak mata.“BAWA DIA KELUAR!” ucap Robert pada bodyguard agar menyeret Fahmi secara paksa. Bibirnya juga membentuk senyum miring mengejek.***Setelah terusir dengan memalukan, Fahmi pergi ke hotel untuk tempatnya bermalam hari ini. Ia memilih hotel terbaik, karena ia tak biasa dengan tempat dengan fasilitas rendah. Selera Fahmi tak mungkin langsung terjun bebas setelah diusir dari keluarga kaya."Permisi, masih ada kamar VIP kosong di hotel ini?" tanya Fahmi pada Resepsionis."Baik Tuan, sebentar akan saya cek dulu," jawab Resepsionis sambil mengecek kamar pada komputernya.Tak berapa lama, "Masih ada kamar tuan, untuk satu orang.""Oke, saya pesan kamar itu," ujar Fahmi sambil menyerahkan kartu debitnya."Baik, saya terima," ujar sang Resepsionis sambil men
Para tamu bertanya-tanya termasuk Misella ikut terheran. Sontak Abian dan Alia menutup mulut tak percaya. Dikejutkan dengan kehadiran kedua orang tua Abian yang tiba-tiba datang bergabung di acara tersebut. Tak disangka-sangka mendapat surprise dari keluarga Abian. Ayah Mario, Ibu Caroline, Kak Amber dan juga Xylia si gadis kecil bule dengan rambut pirangnya."Sepertinya mereka dari keluarga terpandang," batin Misella menebak.Amber melambaikan tangan pada Abian dengan semangat sekali dan senyum lebarnya. Keluarga Abian pun semakin mendekat. Hati Alia terenyuh dengan kedatangan mereka. Alia pikir, keluarga Abian sangat mustahil untuk menginjak kaki di Jakarta. Sebab mereka lebih menyukai berada di Bali ketimbang di Jakarta, seperti pertama kali Abian memperkenalkan Alia pada keluarganya di Bali. "Siapa mereka?" ucap Papa Alia kebingungan."Mereka Keluarga saya, Pa. Ibu, ayah, dan kakakku dari Amerika," jawab Abian cepat. "Saya kira tidak akan datang."Tiffany melongo, begitu juga den
Sembilan bulan kemudian .... Setelah kejadian mengerikan di Belleza, rencana Robert berhasil total dan kematian Fahmi tidak membuat orang menaruh kecurigaan. Itulah gelapnya tinggal di hunian modern itu. Siapapun yang mempunyai uang, dia akan berkuasa. Pada dasarnya uang segalanya, termasuk uang membuat orang lain tutup mulut.Di hunian elit, Belleza unit 002 milik keluarga Robert.Keluarga Robert hidup jauh lebih bahagia daripada tahun kemarin. Kini Kayla sudah bisa berbicara walaupun belum amat jelas. Tingkah lucu dan nada bicara cadel Kayla sangat menghibur mereka. Apalagi Kayla cukup tanggap, pasti tumbuh besar menjadi anak pintar. "Kayla sayang ...!" Tiffany berteriak, melambaikan tangannya dengan senyum lebarnya. Saking kangennya dengan cucunya. "Nenek datang!"Kayla baru turun dari tangga dituntun oleh Misella. Misella langsung berkata, "Hayo, siapa yang datang itu, Kay?" nunjuknya ke arah pintu.Awalnya Kayla sempat bingung, tapi langsung sadar. Tubuh mungil itu berlari untuk
Deg."APA KATAMU?!" Robert sangat terkejut. Berdiri dengan sorot mata tidak percaya. "Putriku tidak mungkin melakukan itu!"Bella terkaget-kaget. Tiffany yang baru sadar dari pingsan, syok kembali. Membekap mulutnya tidak menyangka. "T-tidak! Putriku bukan anak pembunuh!" Geleng-geleng kepala. "Pasti ada kesalahpahaman. Iya, kan?!""Maaf ... Saya melihat dengan kepala saya sendiri! Bahwa Putri Anda yang mendorong Fahmi!" tegas pengawal itu meyakinkan. "Harus ke atas sekarang kalau tidak percaya."Mereka langsung berlari-lari naik tangga menuju kamar Kayla. Mulut mereka terbuka lebar saat melihat jendela kaca telah hancur. Mata masing-masing menangkap punggung Misella, berdiri di antara serpihan kaca berserakan di lantai. Tidak ada yang memperdulikan betapa cantiknya warna kembang api di menyala-nyala.Robert membalikkan badan Misella. "Apa yang sebenarnya terjadi?!" tanya Robert butuh penjelasan. "Kenapa begitu berantakan di sini?!" tambah Robert.Kesadaran Misella kembali saat kedat
"T-tapi Tuan ...." "Tidak ada tapi tapi!" Robert masih punya secuil rasa kasihan setelah melihat Fahmi begitu mengenaskan. "Beri waktu dua menit dan awasi dia jangan sampai menyentuh sedikitpun cucu saya! Kalau cucu saya sedang tidur, jangan sampai lelaki itu membangunkan!""Baik Tuan." Body guard menurut, mereka pun menghampiri Fahmi. "Hei! Ayo jalan!" perintahnya karena Fahmi hanya diam tak bergerak. "Cepat jalan! Sebelum Tuan Robert berubah pikiran!"Fahmi pun berjalan pincang naik ke arah tangga dikawal ketat. Meninggalkan Robert di bawah bersama putri pertama. Bella dengan penuh amarah menghampiri Robert yang melamun dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam kantong celana."Papa!" teriak Bella. "Papa yang benar saja membiarkan lelaki bajingan itu menemui Kayla?! Di atas juga ada Sella!" Marah Bella, geleng-geleng kepala kenapa Papanya berbuat demikian.Robert menatap putri pertamanya. "Sudah. Kamu jangan marah begitu," tanggap Robert
Robert kembali ke apartemen karena baru selesai menyelesaikan beberapa pekerjaan mendadak di hari tersebut. Awalnya Robert ingin menikmati waktu malam tahun baru bersama sang istrinya, alhasil gagal. Saat pulang lelaki tua geram setelah mendapatkan pesan dari putrinya. "Dia datang sendirian?" tanya Robert pada dua body guard itu.Salah satu body guard menjawab, "Sepertinya sendiri, Tuan. Saya mendapat notif panggilan banyak sekali dari putri dan istri Anda.""Kenapa dia ada di sini?" Napas Robert terdengar berat. Sangat heran sekali. "Apa tidak punya harga diri?" sinisnya mengingat wajah Fahmi yang begitu memuakkan."Mungkin dia lapar," tebak body guard setengah bercanda."Dia lapar pada hari ini?" Satu alis Robert naik."Kan Tuan yang membuatnya miskin tak punya apa-apa. Jadi, dia berusaha mendatangi keluarga Tuan agar mendapat belas kasih," jelas body guard itu."Ah, iya. Kalau begitu kita harus cepat!"Dua b
Jantung Misella terasa dihantam batu. Selama ini tidak pernah mengizinkan Fahmi melihat wajah putrinya. Batinnya pedih mendengar permintaan Fahmi, Misella merasa menjadi Ibu yang jahat. Sorot mata Fahmi hampir membuat pertahanan Misella goyah, rasa kasihan segera ditepis jauh-jauh.“Dia hanya mantan suami yang tidak tahu diri!” batinnya memperingatkan."Jangan mimpi. Jangankan Sella sebagai ibu! Aku saja tak akan membiarkanmu bertemu Kayla," sinis Bella. "Pergilah dari sini!" Bella menarik paksa tangan Misella, cepat-cepat memencet sandi pintu.Misella menoleh ke belakang, terperangah Fahmi semakin mendekat. Hah?! secepat itu? "Kak! Ayo cepat!" Menarik-narik dress Bella dengan panik."Sabar dong, Sel. Tangan Kakak jadi tremor ini," balasnya bersamaan bunyi pintu apartemen terbuka.Keduanya bergerak cepat masuk ke dalam saat pintu akan tertutup sempurna, tangan Fahmi menerobos pintu tak peduli akan terjepit. Misella dan Bella langsung mendorong sekuat tenaga agar pintu tertutup."Hanya
Lima jam yang lalu.Misella dan Bella saling berdebat kecil mengenai undangan party dari Yuna. Bella merobek-robek kertas undangan pink pastel cantik itu dengan kesal. "Untuk apa kau datang?! Bukannya lebih baik kamu mengabaikan wanita penyebalkan itu!" omel Bella, pipinya merah menyala. Tak habis pikir jalan pikiran adiknya itu. Diperlakukan buruk, dipermalukan masih saja mau bergabung dengan orang bermuka tebal. Misella berdiri memasang muka tanpa dosa di depan Bella. "Aku hanya ingin datang. Apa salahnya, sih, Kak?""Salah! Memang salah." Bella menarik napas dalam-dalam. Sadar, hanya masalah kecil sampai berdebat dan emosi begini. "Sudah, abaikan saja," lanjutnya menahan diri—merebahkan tubuhnya di sofa."Aku mau datang! Titik." Misella keukuh. "Aku belum pernah datang ke party tahun baru."Bella memutar bola matanya. Astaga. Adiknya sudah dewasa tapi masih keras kepala. Tidak pernah menurut perkataanya. "Ya sudah. Aku temenin! Jangan sendirian. Bisa jadi kamu akan dipermalukan de
Sudah setengah jam Alia pingsan, kini mulai sadar. Matanya mulai terbuka, pandangan pertama yang dilihat adalah lampu cantik di atas langit-langit dinding yang menggantung. "Akhirmya kamu juga sadar, sayang." Abian menghela napas lega. Setia menunggu Alia bangun, tak melepas genggaman tangan.Alia melihat Abian duduk di sampingnya. "A-apa yang terjadi padaku? Di mana kita?" tanyanya bingung, sadar sedang bukan di kamar miliknya, kamar itu asing.Pelayan datang membawa segelas air putih, diberikan pada Abian. "Minum dulu," perintah Abian.Alia bangun dari posisi baringnya. Meminum beberapa teguk air putih dibantu Abian memegang gelasnya."Kamu pingsan, sayang. Kita masih di apartemen Yuna," ucap Abian memberi tahu. Alia sadar seketika. Matanya membesar, ingat kejadian menakutkan. Memegang kepalanya yang terasa pusing. Dia langsung turun dari ranjang tanpa berpikir panjang, tubuhnya oleng—untunglah pelayan siap siaga me
Bunyi kaca pecah mengangetkan dan tiba-tiba ada teriakan dari atas membuat empat orang di balkon itu menengadah kepala ke atas. Betapa terkejutnya melihat ada seseorang di atas sana—di dorong hingga tubuhnya hilang kendali, jatuh bersamaan serpihan kaca tebal telah melukai setiap kulitnya. Tangan itu berusaha menggapai di udara, namun malangnya tak bisa berpegang benda apapun.Pasrah dalam hitungan detik tubuh itu jatuh melewati samping kiri balkon hingga menghantam sky light lobby apartemen yang terbuat dari kaca. Sky light berbentuk persegi panjang terpecah, hancur seketika. Saat menghantam lantai seketika sel sel dalam tubuh meledak. Pembuluh darah pecah sehingga tak ada sirkulasi oksigen ke seluruh tubuh membuat organ vital dan otak berhenti berfungsi. Tengkorak hancur beberapa bagian dan darah terciprat ke mana-mana.Orang-orang sedang berada lobby terkejut mendengar bunyi amat keras lalu diperlihatkan tubuh tergeletak tak bernyawa. Tak hanya itu penghuni Bel