Mendengar kabar duka, calon Mama mertua meninggal—Misella ternganga membuka mulut lebar. Menurutnya, calon Mama mertua adalah sosok yang baik—menerima Misella bahkan mendukungnya untuk berada di sisi Fahmi.Tetapi kenapa harus meninggalkannya duluan?Misella bangkit berdiri, bersiap-siap untuk pergi ke rumah Fahmi. Berniat menghibur Fahmi agar tidak merasa sedih dan kehilangan. Tak peduli dengan kondisi tubuhnya yang lemah, beberapa kali perut terasa mual.Misella menganggap hal itu wajar, sekedar masuk angin. Dengan pakaian serba hitam, kacamata hitam, sepatu hitam, dan topi hitam—Misella melajukan mobil menuju rumah duka. Sesampai di sana, Misella memakirkan mobilnya lalu turun bertanya pada orang yang melayat.“Apakah sudah di bawa ke tempat pemakaman?”“Ya. Baru saja. Dokter Fahmi dan istrinya juga ikut serta mengantarkan almarhumah ibu Dokter Fahmi ke tempat peristirahatan terakhir.”Misella mengangguk mengerti. Langkahnya cepat kembali masuk ke mobil. Tanpa menunggu Misella on
Langit berubah menjadi gelap.Tak terasa sudah dua jam yang lalu proses pemakaman. Orang-orang berdatangan melayat satu persatu pulang hingga kondisi rumah semakin sepi, menyisakan beberapa orang saja.Alia masuk ke dalam kamar yang sempat ditempati Tiffany beberapa hari saja, tidak sampai satu minggu. Menghembuskan napas melihat keadaan Fahmi, sedang duduk di tepi ranjang dengan membungkukkan badan, pakaiannya berantakan, lecek, dan kusut. Tidak hanya itu. Rambutnya juga tak beraturan.Fahmi tak berdaya seakan separuh nyawanya hilang.Alia mendekati Fahmi, membawakan kemeja hitam, dan berdiri di depannya. “Aku tahu kamu sedang berduka. Tapi bisakah kamu terlihat tidak begitu menyedihkan di hadapan para tamu yang melayat?” pinta Alia. “Kamu menyedihkan sekali.”Fahmi menunduk dalam-dalam. Dia hampir menangis lagi, namun ditahan.“Jangan lemah!” Alia ingin membentak Fahmi supaya sadar dari keterpakuan atas kehilangan seseorang. “Apa tak malu terlihat begitu menyedihkan di mata orang la
“Astaga! Dokter Sella? Sudah lama tidak bertemu.”Misella tersenyum ramah. “Ah, aku baru saja datang.”“Kebetulan sekali kita bertemu di sini.” Dokter Yura kaget melihat Misella. Dia tak menyangka akan bertemu Misella setelah mengambil cuti cukup lama. “Kenapa kamu mengambil cuti cukup lama, hm?”Yura adalah rekan kerja Misella di rumah sakit Havanna.“A-aku sedang sakit. Jadi, mungkin akan lebih lama beristirahat,” jawab Misella.“Kamu sakit?” Ekspresi Yura terkejut. “Sakit apa? Sudah di bawa ke dokter? Sudah di periksa? Sudah minum obat?”Misella menjadi canggung, sekaligus tidak nyaman mendengar banyak pertanyaan dari Yura. “Hanya tidak enak badan,” jawab Misella lagi. Dia sempat menatap manik hitam Fahmi, Misella membaca raut Fahmi—terlihat mengkhawatirkan dirinya setelah tahu Misella sedang sakit.Dalam hati Misella mencelutuk, kesal setengah mati. Merasa terganggu dengan Yura, padahal ingin berbicara dengan Fahmi. Tiba-tiba Yura menarik tangan Misella, menjauhi Alia dan Fahmi.
Mata Alia begitu memanas dan berkaca-kaca setelah melihat Misella tergesa menaiki tangga menuju kamarnya. Di depan pintu kamar, pikiran negatif mulai bermunculan di dalam kepala.Apa yang akan mereka lakukan di dalam sana?Haruskah Alia mendobrak pintu?Alia membekap mulut dengan tangannya, matanya melebar dan membulat. Tangan satunya menekan dadanya menggunakan tangan satunya, terasa begitu sesak. Hancur sehancurnya mendengar obrolan mereka di dalam kamar. Entah mengapa tubuhnya berdiri kaku. Diam tidak bisa bergerak. Seharusnya Alia menggedor pintu dengan keras kalau dikunci dari dalam. Memaksa kedua orang itu agar keluar dari dalam kamar. Bila perlu berteriak keras agar semua orang di rumah itu tahu! Bahwa suaminya sedang bersama wanita lain di kamar.Telinga Alia didekatkan ke pintu, berusaha mendengarkan dengan baik. Tidak membutuhkan waktu lebih dua menit, Alia mendengar suara orang ciuman bibir dan dilanjutkan dengan suara desahan kenikmatan dari kedua orang itu.“Aaahhrgg ...
“Aku sudah tahu. Dia berakting bersedih dibalik kematian Ibunya sendiri karena tahu mendapatkan 500 jt untuk asuransi kematian Ibunya.”Setelah mengetahui Fahmi mendapatkan asuransi dari Tiffany. Alia syok. Demi Tuhan! Alia terkejut bukan main. 500 jt untuk asuransi kematian Tiffany? Itu sangat besar dan banyak.“Kenapa dia tidak bercerita padaku,” gumam Alia menggigit bibir dengan kecewa.Alia berjalan dengan lunglai, langkah semakin melambat usai sekembalinya dari taman dan sedang pulang menuju rumah. Sepanjang jalan Alia menunduk dan melamun. Sesekali memijit kening, merasa pusing memikirkan hal itu. Tubuhnya tak berdaya, untuk berjalan saat terasa berat. Napasnya mulai sesak. Untuk bernapas saja menyakitkan! Alia langsung menghentikan langkahnya, memegangi dadanya. Matanya tadi mengabur karena mulai memanas, kini berubah menjadi tatapan penuh dendam dan kebencian.Dalam hitungan ketiga, menarik napas panjang dan dihembuskan untuk menenangkan dirinya lalu kembali melangkah.***Fa
“Kamu sudah sembuh?” Tiffany bertanya pada Misella dan dibalas dengan anggukan kepala. “Kemana saja tadi malam? Saat kita pulang melayat, kamu tidak ada di kamar?”“Aku bertemu dengan pacarku,” jawab Misella.Senyuman Tiffany mengembang, sementara Robert menutup laptopnya setelah mendengar Misella sudah punya pacar—langsung melamparkan pandangan ke Misella.“Lelaki seperti apa dia dan status pekerjaan? Pendidikan terakhir?”Misella tak menjawab.“Kenpa tidak menjawab?” tanya Robert lagi dengan alis terangkat dua-duanya.“Papa jangan ganggu dia!” Robert tidak mengerti mengapa putrinya melarang bertemu dan menyuruh agar tidak menjauhi pacarnya. “Mengapa?“Jangan kamu tanyakan seperti itu di awal pertama saat putrimu mempunyai pacar.” Tiffany melarang Robert. “Itu tidak sopan!”Robert tak setuju dengan kata-kata Tiffany. “Itu penting, Ma. Papa ingin Misella mendapatkan suami berpendidikan tinggi karena bisa menggantikan Papa di perusahaan.”Mereka sedang berkumpul di ruang keluarga. “B
Lima hari kemudian setelah kematian Ibu Fahmi. Tidak ada perubahan, keadaan masih sama. Bahkan sikap Alia tidak berubah pada Fahmi. Fahmi pun melakukan kesalahan berulangkali dan Alia mengabaikannya.Alia menelfon Fahmi. Ingin mengajak makan malam.“Seseorang mengundangku untuk makan malam,” ucap Alia setelah panggilan terhubung ke Fahmi. Dia sedang bekerja. “Nanti malam bisakah kamu menemaniku?”“Makan malam dengan siapa?” Pertanyaan Fahmi disebrang sana. “Dengan seseorang. Nanti kamu juga tahu,” jawab Alia cepat.Tampaknya Fahmi berpikir panjang.Fahmi berdehem. “Aku tidak tahu bisa atau tidak. Karena takutnya ada jadwal operasi mendadak, La.”Pembohong. Dasar pembohong! Alia tahu Fahmi beralasan ada operasi mendadak, padahal tidak ada. Pasti akan bertemu dengan Misella nanti malam.“Ayolah ... Aku ingin ditemani olehmu.” Alia berpura-pura merengek. “Kita tidak pernah makan malam bersama di luar lho, Mas. Apa kamu tidak ada waktu untuk itu? Ini adalah permintaanku. Lagipula aku jar
“Orang tua Misella mengundang kita untuk makan malam. Bukankah itu hebat?”Fahmi menggeleng pelan. Sorot mata seakan mengatakan pada Alia, “Apa ini Alia? Apa yang kamu rencanakan?” Tangannya masih mengepal kuat-kuat.Alia melihat kepalan tangannya dan paham dengan tatapan Fahmi. So, pasti Fahmi akan bertanya seperti itu, bisa jadi menurut penjelasan.“Duduklah ...” perintah Alia.Alia menarik tangan Fahmi untuk segera duduk di sampingnya, karena sedari tadi Fahmi bergerak lambat dan melengo dengan wajah nampak pucat.Fahmi tidak bisa berbuat apapun. Hanya menurut mengikuti perintah Alia.Alia tersenyum manis pada Fahmi, lalu menatap ke depan lagi. “Terima kasih telah mengundang kita untuk makan malam di tempat mewah ini,” kata Alia dengan sopan dan ramah. “Aku dengan suamiku sangat menghargai waktu kalian untuk bertemu dengan kita.”Tiffany dan Robert saling memandang satu sama lain. Merasa ada yang aneh di diri Alia, begitu juga Fahmi. Tiffany membaca raut wajah Fahmi seperti menyemb