Lima hari kemudian setelah kematian Ibu Fahmi. Tidak ada perubahan, keadaan masih sama. Bahkan sikap Alia tidak berubah pada Fahmi. Fahmi pun melakukan kesalahan berulangkali dan Alia mengabaikannya.Alia menelfon Fahmi. Ingin mengajak makan malam.“Seseorang mengundangku untuk makan malam,” ucap Alia setelah panggilan terhubung ke Fahmi. Dia sedang bekerja. “Nanti malam bisakah kamu menemaniku?”“Makan malam dengan siapa?” Pertanyaan Fahmi disebrang sana. “Dengan seseorang. Nanti kamu juga tahu,” jawab Alia cepat.Tampaknya Fahmi berpikir panjang.Fahmi berdehem. “Aku tidak tahu bisa atau tidak. Karena takutnya ada jadwal operasi mendadak, La.”Pembohong. Dasar pembohong! Alia tahu Fahmi beralasan ada operasi mendadak, padahal tidak ada. Pasti akan bertemu dengan Misella nanti malam.“Ayolah ... Aku ingin ditemani olehmu.” Alia berpura-pura merengek. “Kita tidak pernah makan malam bersama di luar lho, Mas. Apa kamu tidak ada waktu untuk itu? Ini adalah permintaanku. Lagipula aku jar
“Orang tua Misella mengundang kita untuk makan malam. Bukankah itu hebat?”Fahmi menggeleng pelan. Sorot mata seakan mengatakan pada Alia, “Apa ini Alia? Apa yang kamu rencanakan?” Tangannya masih mengepal kuat-kuat.Alia melihat kepalan tangannya dan paham dengan tatapan Fahmi. So, pasti Fahmi akan bertanya seperti itu, bisa jadi menurut penjelasan.“Duduklah ...” perintah Alia.Alia menarik tangan Fahmi untuk segera duduk di sampingnya, karena sedari tadi Fahmi bergerak lambat dan melengo dengan wajah nampak pucat.Fahmi tidak bisa berbuat apapun. Hanya menurut mengikuti perintah Alia.Alia tersenyum manis pada Fahmi, lalu menatap ke depan lagi. “Terima kasih telah mengundang kita untuk makan malam di tempat mewah ini,” kata Alia dengan sopan dan ramah. “Aku dengan suamiku sangat menghargai waktu kalian untuk bertemu dengan kita.”Tiffany dan Robert saling memandang satu sama lain. Merasa ada yang aneh di diri Alia, begitu juga Fahmi. Tiffany membaca raut wajah Fahmi seperti menyemb
Abian datang ke rumah Alia. Memakirkan mobil di halaman yang begitu luas. Menunggu di dalam mobil sebab rumah Alia kosong, bahkan lampunya mati. Lima menit menunggu, Abian melihat cahaya terang masuk ke pekarangan rumah, itu cahaya mobil Alia. Di dalam Abian memperhatikan Alia dan Fahmi sedang turun dari mobil. Oh rupanya, mereka baru pulang dari suatu tempat bersama. Fahmi menutup pintu mobil dengan sangat keras sambil mengomel. Sementara Alia tidak begitu menghiraukan omelan Fahmi.“Apa yang terjadi? Sepertinya mereka baru saja bertengkar,” gumam Abian.Abian tidak begitu mendengar jelas yang apa yang mereka berdua katakan.Alia melangkah masuk ke rumah, Fahmi mengejar langkah Alia dan terus mengomel. Telinga Alia berdenging dan tidak tahan mendengarkan Fahmi.“Kamu sudah keterlaluan, Al! Ayo! Jelaskan apakah kejadian tadi bagian dari rencanamu?! Kamu sangat tidak sopan! Aku tak habis pikir dengan isi otakmu!”Alia menghentika
Fahmi tergesa-gesa masuk ke dalam apartemen setelah Misella menghubungi agar datang secepatnya. Misella kabur dari rumah, pergi ke apartemen. Lelaki itu tak sabar bertemu dengan Misella.“Sella,” panggil Fahmi.Misella berlari kecil mendengar pintu apartemen terbuka, dia mengenakan dress selutut hitam dan memperlihatkan belahan dada yang menggoda.Mereka berpelukan dengan erat. Pelukan yang mampu membuat mereka jauh lebih tenang.“Are you okay?” tanya Fahmi.Setelah kejadian satu jam lalu, suasana hati keduanya sangat kacau. Misella mendapatkan tamparan keras dari Robert, sedangkan Fahmi bertengkar kembali dengan Alia. “Dua menit!” Misella meminta waktu dua menit untuk berpelukan tanpa dilepaskan. Matanya memejam, air mata berhasil lolos dari kelopak mata. Dia menangis dalam diam tanpa diketahui Fahmi. Percayalah, menangis tanpa suara jauh lebih sakit.Apa yang akan terjadi berikutnya? Apa yang akan dilakukan kedua orang itu? Misella dan Fahmi belum memikirkan rencana untuk ke depan
Misella memohon pada Alia untuk bertemu sebentar, dia mengundang Alia untuk ke apartemen yang dibelikan oleh Fahmi. Awalnya, Alia menolak karena ada janji bertemu dengan pengacara atau kuasa hukumnya. Karena paksaan dari Misella, Alia mengiyakan.Di dalam apartemen.Misella membuatkan teh hangat untuk Alia. Dia duduk di depan Alia, tak berani menatap mata Alia. Batinnya diselimuti rasa bersalah pada Alia dan ketakutan terbesar dalam dirinya adalah mendapatkan karma.“Maaf telah meminta waktumu untuk datang kemari.” Suara Misella pelan dan memberanikan diri menatap Alia. Astaga. Dari sorot mata Alia membuat Misella senam jantung. “Tak apa santai.” Wajah Alia datar dan dingin. Tidak ada simpatik melihat luka memar di pipi Misella. “Ada yang perlu dibicarakan? Katakan saja dengan santai.”Ah, mendengar suara Alia membuat Misella menelan ludah dan menahan napas beberapa detik. “Pertama-tama, terima kasih telah datang ke sini,” ucap Misella gugup. “Yang kedua, aku ingin meminta maaf kepad
Marsha masuk ke ind*maret untuk membeli makanan instan. Dia berjinjit saat hendak mengambil mie instan lalu pandangan ke arah lain. Dia mengerutkan kening saat matanya menangkap sosok wanita yang dikenal tak jauh darinya. Dia adalah Misella—berdiri membelakangi Marsha dan tepat di depan rak.Marsha dengan berani menghampiri dan berpura-pura akan mengambil sesuatu di sampingnya. Dia berniat untuk menyapanya. Matanya melirik benda yang di pegang Misella. Misella sedang melamun memegangi, memandang benda tipis itu. Mata Marsha melolot kaget setelah memperhatikan apa yang Misella pegang. Itu testpack! Alat untuk mengecek hamil atau tidak.Misella sadar sedang diperhatikan orang lain, menoleh ke samping. “Kenapa?” tanyanya sebelum sadar kalau wanita itu Marsha—sahabatnya. Beberapa detik barulah menyadari, dia langsung memasang ekspresi tidak ramah.Pandangan mata Marsha turun ke tangannya, diikuti oleh Misella. Dengan cepat Misella menaruh testpack ke tempat semula dan bergegas keluar d
Setelah bertemu dengan pengacaranya Fahmi. Alia pulang. Menghentikan langkah saat getaran ponsel pesan masuk. Membuka tasnya untuk mengambil ponselnya. Alia membaca pesan dari Marsha.'Misella hamil. Aku bertemu dengan dia sedang membeli testpack.' HAH? HAMIL?“ARE YOU KIDDING ME?!” Kepala Alia menggeleng beberapa kali.Mata Alia memanas. Tubuhnya langsung lemas, tak berdaya terduduk di lantai. tak menyangka Fahmi akan membuat Misella hamil saat masih menjadi istri sahnya. Status belum cerai! Belum ketok palu di pengadilan!HELL?! Apa saat berhubungan badan tidak menggunakan pengaman? Bagaimana mungkin bisa kecolongan!Tangan Alia mengepal kuat-kuat. Menggertakkan gigi. Suaminya sangat bejat! Teramat sakit mengetahui kenyataan itu.“PERSETAN!” maki Alia dalam hati.***“Mas, aku hamil.”“H-HAH?! APA?!”Fahmi dibuat membelalak. Kedatangannya disambut oleh perkataan Misella, mengatakan dirinya hamil. Reaksi Fahmi sangat terkejut.Misella melemparkan testpack kepada Fahmi, supaya lela
Alia menyilangkan kedua tangan di bawah dada saat mendengar bunyi langkah kaki—sudah diduga—Fahmi pulang setelah beberapa hari menginap di apartemen Misella. Dia mengigit bibir bawah yang bergetar—masih tidak menyangka belum ketok palu di persidangan, kini ditampar oleh kenyataan Fahmi menghamili Misella.“Aku pulang.” Alia segera menoleh mendapati suaminya berdiri tak jauh darinya. Menatap nanar dari ujung kaki hingga ujung kepala. “Kamu benar-benar ingin hidup dengan Misella? Apa orang tuanya setuju?” cecarnya.Kedatangan Fahmi disambut oleh pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Lelaki itu tidak tahu apakah orang tua Misella akan menyutujui atau tidak. Fahmi mendekati Alia secara perlahan. Dengan bibir terbuka kecil, namun tidak mengatakan apapun.PLAK! Alia menampar pipi kiri Fahmi dengan sangat keras hingga memalingkan wajah ke samping.Fahmi kaget. Kenapa Alia tiba-tiba menamparnya?Memegang pipi bekas tamparan, rasanya nyeri dan sakit. “A-apa yang kamu lakukan?” Bertanya tanpa