“M-mas Fahmi?” Misella berdiri dengan gugup menyebut nama Fahmi. Betapa kagetnya tiba-tiba ada Fahmi di cafe. “Kok, kamu ada di sini?” tanyanya lagi.Alia sama sekali tidak terkejut. Santai. Karena memang Alia lah yang memberi tahu di mana dia berada. Alia juga memberi tahu, Misella mengajak untuk bertemu.Napas Fahmi memburu. Lelaki itu telah berlari dari tempat parkir cafe ini dan mencari-cari nomor meja Alia. Fahmi takut, Misella akan berbuat yang tidak-tidak dan takut Alia akan mengambil langkah tanpa menunggu persetujuan darinya.Fahmi memandang Alia dan Misella bergantian.“Apa yang kalian lakukan di sini, huh?!” tanya Fahmi setelah berhasil mengatur napas. Ada kemarahan dari Fahmi. “Bertemu secara diam-diam?!”Bukannya menjawab pertanyaan Misella melainkan bertanya balik.“Biasa. Membahas soal wanita,” jawab Alia cepat, tenang dan santai.Misella langsung menatap tajam ke Alia. Firasat mengatakan bahwa Alia mulut ember—memberi tahu pada Fahmi. Sikap Misella beberapa menit yang la
“Di mana kamu akan bertemu dengan pengacara?”Di dalam mobil Fahmi fokus melihat ke jalanan, mencari restoran yang di maksud oleh pengacara. Katanya tidak jauh dari cafe Pelangi.“Tidak jauh dari sini.”“Bahaya banget! Kamu lagi nyetir,” celutuk Misella. “Coba sini! Biar aku yang mencari. Nama Restoran apa?” Fahmi memberikan ponsel pada Misella untuk membaca pesan dari pengacara.“Oh, ini. Lurus dikit, Mas. Nanti belok ke kiri. Sebentar lagi sampai,” kata Misella. Dia tahu di mana restoran yang dimaksud oleh Fahmi. “Kok kamu tidak pernah menghapus pesan kita?” tanyanya setelah melihat chat rooms tidak pernah sekalipun dihapus.“Untuk apa dihapus? Alia tidak akan membuka ponselku yang baru,” enteng Fahmi. “Alia tidak tahu sandi ponsel. Tenang saja.”“Jangan meremehkan Alia, Mas,” ucap Misella. “Banyak bukti di ponsel ini, lho. Harus lebih berhati-hati. Jangan sampai ponsel ini jatuh ke tangan Alia!”Bibir Fahmi mengatup. Selama ini terlalu meremehkan Alia. “Aku menyembunyikan ponsel
Fahmi melepaskan handuk yang melingkar di pinggangnya. Kini tanpa sehelai benang. Roti sobek di perutnya terpampang jelas. Tubuhnya kekar, tegap, dan perawakan tinggi membuat Fahmi menjadi lelaki sempurna di mata wanita. Lelaki itu menaruh di tempat yang sudah disediakan untuk menaruh handuk. Dua langkah maju, menghadap ke dinding keramik kamar mandi. Ada pantulan dirinya di dinding keramik.Tangan kanan memutar keran shower. Kepala terangkat ke atas memperhatikan lubang kecil shower yang mulai mengalirkan air—dia memejamkan mata, dan membirkan wajahnya basah terkena air. Fahmi rasa dirinya sedang berada dalam kondisi stres dan terlalu banyak masalah yang dipikirkan. Ditambah jarang sekali berlibur karena sibuk bekerja setiap hari. Fahmi memikirkan apa yang terjadi akhir-akhir ini. Rumit. Semakin membingungkan. Semakin banyak masalah datang silih berganti. Padahal bagi Fahmi, masalah yang menimpa dirinya bukanlah masalah besar. Alia saja yang terlalu membesar-besarkan.Fahmi juga
Alia melihat foto mesra Misella dengan Fahmi tanpa mengenakan busana dibalik selimut tebal. Sedang berciuman. Alia juga melihat vidio Fahmi dan Alia sedang berhubungan intim.Alia membekap mulut. Matanya melebar kaget.Benar! Dugaan sang pengacara ternyata benar. Alia pikir Fahmi tidak akan pernah mengabadikan momen bermain ranjang bersama Misella dibuat vidio maupun foto.Tanpa menunggu, Alia langsung mengirimkan foto dan video tersebut ke nomornya. Menggigit kukunya, gelisah, takut ketahuan oleh Fahmi, dan berharap Fahmi lebih lama di kamar mandi. Alia sudah tidak sabar pesannya terkirim cepat ke nomor ponselnya.“Cepatlah!” desis Alia sesekali menoleh ke arah pintu kamar mandi. Foto sudah terkirim. Tinggal vidio lama sekali, ukuran lumayan besar sehingga memakan waktu beberapa menit. Sambil menunggu terkirim semua. Alia melihat chat rooms. Ada nama Misella paling atas. Sepertinya chat itu terlihat tidak pernah Fahmi hapus, Alia membaca dengan cepat isi percakapan di chat tersebut
Sudah setengah jam, Alia duduk di kursi—di depan danau—di bawah pepohonan. Duduk sendirian, menikmati udara dingin di pagi hari. Alia termenung. Menatap lurus ke danau. Matanya memerah. Sudah direncanakan. Makan malam bersama keluarga Misella nanti malam, sengaja akan mengajak Fahmi. Alia mempunyai niat untuk membeberkan apa yang telah dilakukan Misella dengan suaminya selama ini. Keluarga Misella pasti belum tahu soal itu. Ya. Alia tidak sabar dengan reaksi orang tua Misella. Apa akan terkejut? Atau tercengang?Ah, pasti akan merasa malu mengetahui putrinya merebut suami orang lain.Lima menit kemudian Marsha datang, duduk di sebelah Alia—untuk menemaninya.“Apa kamu punya rencana?” tanya Alia saat sadar dengan kedatangan Marsha.“Tidak. Aku datang untuk menagih janji.” Marsha menjawab tanpa menatap mata lawan bicara. Pandangan keduanya sama-sama lurus ke depan. Melihat air danau tampak tenang. Lalu Alia membuka tasnya, memberikan amplop coklat pada Marsha. “Sesuai janji, aku mem
“Sudah lama kita tidak bertemu.”Alia duduk di ruang VIP, dia menemui pengacaranya sebelum ke rumah sakit. “Aku agak sibuk dengan pekerjaanku. Apa kamu sudah membuatkan dokumen transaksi keuangan suamiku?” tanya Alia the points. Dokumen itu untuk ditunjukkan pada Fahmi dan diserahkan ke pengadilan sebagai bukti.Arzan menyerahkan dokumen transaksi yang sudah di jadikan satu. “Ini transaksi direkening suamimu tiga bulan yang lalu hingga sekarang. Suamimu telah mengeluarkan banyak uang. Apa dia memberitahumu?”Alia menerima dokumen itu dan membaca. Semua lengkap. “Tidak. Suamiku terlalu sering mengirimkan uang ke selingkuhan, bahkan membelikan mobil menggunakan uang tabungan masa depan.”Arzan mengangguk. “Jangan sampai suamimu tahu bahwa kamu telah memeriksa status keuangan.”“Dia sudah tahu,” balas Alia santai sambil membaca dokumen tersebut. “Lalu vidio dan foto adalah bukti terkuat bukan?”“Ya. Benar. Kamu pasti menang.”Alia tersenyum. “Apa aku bisa menggugat cerai dari Fahmi dan m
Mendengar kabar duka, calon Mama mertua meninggal—Misella ternganga membuka mulut lebar. Menurutnya, calon Mama mertua adalah sosok yang baik—menerima Misella bahkan mendukungnya untuk berada di sisi Fahmi.Tetapi kenapa harus meninggalkannya duluan?Misella bangkit berdiri, bersiap-siap untuk pergi ke rumah Fahmi. Berniat menghibur Fahmi agar tidak merasa sedih dan kehilangan. Tak peduli dengan kondisi tubuhnya yang lemah, beberapa kali perut terasa mual.Misella menganggap hal itu wajar, sekedar masuk angin. Dengan pakaian serba hitam, kacamata hitam, sepatu hitam, dan topi hitam—Misella melajukan mobil menuju rumah duka. Sesampai di sana, Misella memakirkan mobilnya lalu turun bertanya pada orang yang melayat.“Apakah sudah di bawa ke tempat pemakaman?”“Ya. Baru saja. Dokter Fahmi dan istrinya juga ikut serta mengantarkan almarhumah ibu Dokter Fahmi ke tempat peristirahatan terakhir.”Misella mengangguk mengerti. Langkahnya cepat kembali masuk ke mobil. Tanpa menunggu Misella on
Langit berubah menjadi gelap.Tak terasa sudah dua jam yang lalu proses pemakaman. Orang-orang berdatangan melayat satu persatu pulang hingga kondisi rumah semakin sepi, menyisakan beberapa orang saja.Alia masuk ke dalam kamar yang sempat ditempati Tiffany beberapa hari saja, tidak sampai satu minggu. Menghembuskan napas melihat keadaan Fahmi, sedang duduk di tepi ranjang dengan membungkukkan badan, pakaiannya berantakan, lecek, dan kusut. Tidak hanya itu. Rambutnya juga tak beraturan.Fahmi tak berdaya seakan separuh nyawanya hilang.Alia mendekati Fahmi, membawakan kemeja hitam, dan berdiri di depannya. “Aku tahu kamu sedang berduka. Tapi bisakah kamu terlihat tidak begitu menyedihkan di hadapan para tamu yang melayat?” pinta Alia. “Kamu menyedihkan sekali.”Fahmi menunduk dalam-dalam. Dia hampir menangis lagi, namun ditahan.“Jangan lemah!” Alia ingin membentak Fahmi supaya sadar dari keterpakuan atas kehilangan seseorang. “Apa tak malu terlihat begitu menyedihkan di mata orang la