AKU LELAH
TITIK LELAH
PART 2
"Aku besok mau pulang!" ijinku kepada Mas Bima. Aku lihat keningnya melipat.
"Pulang? Kerjaanku banyak. Nggak bisa di tinggal! Nggak usah aneh-aneh!" balasnya. Kemudian memainkan game di gawainya lagi.
"Aku pulang sendiri saja sama Azkia, jadi nggak usah di antar!" ucapku. Aku lihat tangannya yang mengutak-atik game berhenti sejenak. Kemudian menatapku sinis. Benar-benar sudah tak aku temukan cinta pada lelaki bergelar suami ini.
"Ngapain pulang? Abah sama Emak mau minta duit? Nggak ada!" sungutnya sambil mengegas kata nggak ada.
Kuteguk ludah ini. Seperti itulah keluargaku di mata dia. Dikesampingkan dan mungkin ia anggap benalu. Tapi, kalau dari pihak dia, ada nggak ada uang, jika ada yang kesusahan dan membutuhkan uang, berbagai cara ia wajib menolong, yang mana ujung-ujungnya akan susah sendiri. Sangat kontras jika dari pihakku yang membutuhkan pertolongan.
"Emak nggak enak badan. Katanya kangen sama Azkia. Tenang saja orang tuaku nggak akan minta uang! Mereka hanya kangen dengan cucunya!" balasku asal dengan napas berat. Yang penting bisa pulang, tanpa lelaki jahara ini.
"Syukurlah! Memang harusnya tahu diri, jadi nggak ngerepotin mantu!" ketusnya. Kutarik napas ini. Melepaskannya perlahan. Sungguh terasa sesak mendengar ucapan seperti itu, terlontar dari lelaki halalku. Tak pernah aku bayangkan sebelumnya, jika akan mendapatkan suami tak punya hati seperti ini.
"Iya, Emak sama Abah tahu kok, kalau anaknya ini nggak kerja, hanya numpang hidup dengan suami! Jadi tenang saja! Aku pun juga kangen dengan mereka," sindirku.
"Ya memang faktanya begitu! Kok nggak terima!" balasnya ketus.
Sudahlah, aku memilih diam. Karena kalau aku ladeni akan panjang dan melebar plus meluber sampai kemana-mana.
"Jadi aku sama Azkia besok boleh pulangkan?" pastiku.
"Hemmm ... tapi langsung balik! Nggak usah nginep. Siapa yang akan bersih-bersih dan masak, kalau kamu nginep di sana! Ingat harus hemat. Kamu juga besok jangan bagi-bagi uang di sana! Cari uang itu susah! Sampai mau pecah kepalaku mikiri cari uang!" pesannya. Semakin membuat dada ini sesak.
"Iya," jawabku singkat.
"Yaudah sana tidur! Aku mau main game. Ganggu aja!" bentaknya. Kuhela napas panjang. Tanpa menjawab lagi, aku segera menuju ke kamar.
"Eh, bentar!" ucapnya lagi. Membuatku menghentikan langkah kaki dan menoleh ke arahnya.
"Apa?" tanyaku.
"Bawa sini uang yang aku berikan tadi. Delapan ratus ribu. Kamu bawa dua ratus ribu saja. Nggak yakin aku, kamu nggak bagi-bagi uang di sana! Secara mereka itu ingin kamu pulang, berharap saat pulang kamu memberikan amplop pada mereka!" ucapnya semakin mengiris hati. Cukup membuatku menganga.
Kuremas baju dada ini. Ya Allah ... Mas Bima yang aku kenal dulu, sekarang seolah aku tak bisa mengenalinya lagi. Entah kemana rasa pedulinya itu padaku.
"Bentar aku ambilakan di kamar!" balasku lirih, yanga mana area mata seketika terasa memanas. Tak mau memperuncing masalan. Biarlah.
"Hemmm ... aku tunggu! Cepetan!" balasnya dengan nada yang tak layak di sebut imam rumah tangga.
"Ratih, aku janji aku akan membahagiakanmu! Menikahlah denganku! Aku janji akan setia padamu! Aku tak akan membuatmu menderita! Aku janji! Kamu bisa pegang janjiku ini!"
Itulah janjinya saat memintaku, untuk menjadi istrinya. Masih sangat terekam dengan jelas di ingatan. Mungkinkah ia sudah lupa dengan janjinya itu?
Ya, aku rasa dia telah lupa akan janji manisnya itu. Janji manis, semanis madu, yang kini berubah menjadi racun. Yang mana racun itu, akan siap membunuhku kapan saja.
Ya, semakin ke sini, aku memang semakin merasa tak nyaman dengannya. Merasa setiap hari, hanya tekanan batin yang aku rasa. Yang berujung di temani dan bersahabat dengan air mata.
Kudekati anakku, buah cinta pernikahanku. Kukecup lembut keningnya. Gadis kecilku yang kini telah tertidur pulas. Ia harus sukses. Dia harus lebih dariku. Harus!
Segera aku ambil uang delapan ratus ribu. Biarlah, aku kasihkan saja uang itu. Dari pada aku tak di perbolehkan pulang.
Kuseka dengan cepat air mata yang bergulir. Sungguh menyakitkan. Aku semakin merasa diinjak-injak.
Setelah air mata aku pastikan aman, aku segera keluar dari kamar, memberikan uang delapan ratus ribu itu kepada Mas Bima.
"Nanti uang ini akan aku kasihkan ke kamu lagi. Aku cuma nggak mau, kamu bagi-bagi uang, atau beli oleh-oleh yang berlebihan! Kecuali orang tuamu yang suka merepotkan mantu itu bagi-bagi warisan, tak sayang kalau uang ini di belikan oleh-oleh!" ucapnya. Semakin menyulut emosiku.
"Cukup! Kapan orang tauku merepotkanmu, Mas? Kapan mereka meminta uangmu? Kapan? Yang ada ibumu, yang telah mengambil hakku! Uang yang kamu berikan kepada ibumu itu ada hakku dan Azkia, adakah kamu ijin denganku sebelumnya?" sungutku akhirnya. Mas Bima yang dari cuek dan terus fokus ke gamenya, akhirnya meletakkan gawainya dengan kasar di meja.
"Apa maksudmu ngomong kayak gitu? Aku ini laki-laki! Dan ibuku janda! Dan kamu tahu itu! Siapa lagi kalau bukan aku? Harusnya kamu itu mikir. Jangan asal ngomong!" sungutnya.
"Asal ngomong kamu bilang? Nggak kebalik? Hah?Aku selalu nurut denganmu. Uang yang biasanya kamu kasih 2,5 juta sebulan, kini kamu pangkas menjadi satu juta, adakah aku protes? Aku mau pulang, uang kamu minta delapan ratus ribu, adakah tadi aku protes? Kamu boleh menghinaku! Tapi, jangan kau hina orang tuaku! Mereka tak pernah merepotkanmu! Bahkan saat Abah sakit, meminjam uangmu tak kamu kasih, beliau diam. Kamu tahu nggak bagaimana perasaanku? Malu dan hancur!" ucap lantang.
Dengan air mata yang terus berderai, kusampaikan semua uneg-uneg hati. Sorot matanya semakin terlihat murka.
"Pandai sekali kamu ngomong! Kalau mau pulang ya pulang aja! Nggak usah ngajak tengkar! Suka banget ngajak tengkar!" sungutnya, seolah tak merasa bersalah. Seolah aku yang memicu pertengkaran ini.
"Iya, aku besok pagi akan pulang! Dan tak akan kembali lagi ke sini!" balasku akhirnya.
"Halah ... nggak mungkin kamu nggak akan balik lagi ke sini! Ortumu itu pasti keberatan kamu pulang sama Azkia. Untuk makan aja mereka susah, apalagi ditambah kehadiran kamu! Bisa-bisa kejual rumah reotnya itu!" sungutnya. "Eh, tapikan kamu memang bisanya merepotkan orang!"
ucapan Mas Bima, semakin menguatkanku untuk pulang dan tak akan sudi menginjakan kaki lagi ke rumah ini. Kutekan dada ini, mengontrol emosi yang siap meledak.
"Kita lihat saja! Haram bagimu menjemputku dan Azkia!" ucapku.
"Ha ha ha ... ngapain juga capek-capek jemput. Ujung-ujung pasti juga pulang ke sini! Sudahlah! Aku mau main game lagi! Bikin tensi naik aja! Pulang nggak pulang, terserah!" sungutnya.
Kuatur napas yang bergemuruh hebat ini. Ya Allah ... hati laki-laki ini, terbuat dari apa sebenarnya?
Ok Mas Bima! Malam ini, malam terakhir aku tidur di rumahmu ini. Karena kali ini, aku tak main-main dengan ucapanku.
Kita lihat saja! Siapa yang akan menyesal dan berakhir menangis darah karena mengemis maaf.
****************
AKU LELAHTITIK LELAHPART 3“Astagfirullah ....” lirih Abah setelah aku ceritakan semua masalahku dengan Mas Bima. Dengan uraian air mata, bibir ini meluapkan kata-kata emosi dalam hati.Lega. Ya, batu besar yang mengganjal di dalam sini, seolah keluar dan memberikan ruang untuk bernapas lagi.“Kenapa kamu nggak cerita dari dulu, Tih? Kenapa baru cerita sekarang?” tanya Emak. “Ratih malu, Mak,” jawabku. Emak terlihat menghela napas. Malu? Ya, itu memang yang aku rasakan. Malu jika harus menceritakan pahitnya biduk rumah tanggaku. Dan Mas Bima tahu kelemahanku ini. Jadi, ia seolah memanfaatkan. “Kami ini orang tua kandung kamu. Kenapa malu?” tanya Emak, yang seolah tak lega dengan jawabanku tadi. “Karena Mas Bima adalah lelaki yang mati-matian Ratih pertahankan, Mak. Jadi ratih selalu menutupi kejelekannya, Mak. Tapi, kini Ratih sudah tak kuat. Terlalu sakit dan pedas ucapan yang ia lontarkan setiap hari,” jelasku.“Astagfirullah ....” ucap Emak seraya mengelus lenganku.“Kamu itu
Bab 4"Mbak, aku ini ada salah apa, sih, sama kamu?" sungutku, perempuan berbadan semox itu terlihat masih mengutak atik gawainya. Aku tak ingin ia menelpon Mas Bima. Bisa hancur semuanya. Memang lah ipar satu ini suka sekali cari gara-gara denganku."Nggak ada salah, sih ... karena aku kan kakak ipar yang baik, jadi selalu memaafkanmu, walau kamu tak meminta maaf, padahal kamu selalu membuat kesalahan, karena ketemu kamu saja itu sudah salah," ucapnya santai tapi membuat hati dan otak ini terasa mendidih.Kutarik napas ini kuat-kuat, kulepaskan perlahan. Mengatur emosi yang sudan naik ke ubun-ubun. Terasa ingin aku jambak-jambak rambut smootingnya itu. Dan ingin aku maki ia kasar-kasar."Emmm, nomor Bima masih yang ujungnya 78 nggak, ya?" tanyanya semakin membuat panasnya hati ini terasa ingin meledak."Mbak, kalau aku ke sini, tanpa bersama Mas Bima, apa urusannya denganmu? Kalau Mas Bima nggak ikut kesini, itu artinya dia lagi sibuk! Banyak kerjaan!" ucapku asal, masih terus mengon
AKU LELAHTITIK LELAHPART 5“Abah kecewa dengan kalian!” ucap Abah dengan nada suara yang memang terdengar sangat kecewa. Semua menunduk. Abah memang jarang marah, tapi sekali marah mengerikan. Membuat lawan seolah tak kuasa menatapnya. “Maafkan saya, Bah!” ucap Mas Budi. Aku melirik ke arah Abah. Bibirnya terlihat menyungging tipis.“Maaf? Apa kesalahanmu meminta maaf?” tanya Abah. Entah apa maksud Abah. Ruangan ini terasa mencekam.Aku melirik ke arah Mas Budi, ia nampak nyengir dan seolah bingung. Sepuluh jemarinya terlihat saling menautkan.“Kenapa diam? Yang namanya meminta maaf, jelas memiliki kesalahan. Apa kesalahanmu? Apa permintaan maafmu itu hanya cari muka?” tanya Abah, dengan nada suara yang sangat terdengar berwibawa di telingaku.Aku melirik lagi ke arah Mas Budi, ia nampak semakin nyegir. “Bah, anaknya minta maaf, kok, di persulit,” ucap Mbak Luna. Hemm ... sebagai status menantu, menurutku dia cukup berani. Aku melirik ke Abah lagi. Senyum tipisnya menyungging lag
Part 6Mas Bima sudah duduk tak jauh dari Abah. Pun aku juga ikut duduk. Penasaran juga, apa yang ingin Abah sampaikan kepada Mas Bima.Mas Bima terlihat menundukan pandang. Seperti itulah lelaki ini. Bermuka dua kalau aku bilang. Karena dia selalu terlihat manis jika di depan semua orang, terutama orang tuaku. Tapi terlihat menyebelkan jika di hadapanku sendiri.Abah terlihat menatap tajam ke arah Mas Bima. Tatapan tajam Abah itu, terlihat cukup membuat Mas Bima gerogi. Terbukti ia terlihat tak nyaman duduknya Berkali-kali membenahi posisi.Sebenarnya aku juga merasa tak nyaman. Karena aku sendiri faham betul watak lelaki bergelar suamiku ini. Bisa saja dia berbalik kata, seolah aku yang salah. Hemm ... tapi aku percaya sama Abah. Karena Abah bukan tipikal orang yang gampang percaya. Bukan orang yang menelan mentah-mentah apa yang beliau dengar.Aku lihat Emak keluar dari dapur. Kemudian mengarah kepada kami. Matanya terlihat menyipit. Kemudian memutuskan untuk melangkah mendekat. Du
PART 7"Astagfirullah ... kok pada ribut! Itu Azkia jatuh!" ucap Bulek Tarmi. Seketika aku menoleh ke asal suara."Hah? Azkia jatuh?" teriaku mengulang kata itu. Menghentikanku memukuli Mas Bima. Aku segera melangkah keluar. Ingin melihat kondisi Azkia. Tak kupedulikan semuanya."Hu hu hu, Mama!" tangis Azkia."Astagfirullah!" ucapku. Lutut Azkia terlihat berdarah. Segera aku menggendongnya masuk ke dalam rumah. Ternyata Abah, Emak dan Mas Bima mengikuti dan semua ikut masuk ke dalam rumah lagi."Emak punya bertadin, bentar, Emak ambilkan!" ucap Emak. Aku segera berlalu menuju ke dapur. Mengambilkan air dan kain. Untuk membersihkan darahnya."Sakit, Ma ...." isak Azkia."Sabar, ya, Nak! Tahan, ya! Nggak begitu sakit kok," ucapku menguatkan anak perempuan. Seraya membersihkan luka baru itu."Nggak becus kamu ngurus anak!" sungut Mas Bima. Segera aku menoleh ke arahnya."Kalau aku nggak becus, apalagi kamu!" balasku. Mas Bima terlihat sedikit terkejut. Mungkin ia pikir aku berani melawa
Part 8Tak terasa sudah tujuh hari aku di rumah Abah. Luka di lutut Azkia juga sudah mengering. Selama tujuh hari ini, tak ada mendengar kabar dari Mas Bima. Entah ia masih hidup atau tidak, aku juga tak tahu. Masalah leasing motor itu pun aku juga tak tahu.Selama tujuh hari ini juga, aku mencari pekerjaan. Susah juga ternyata, tapi aku tetap semangat. Karena aku yakin, aku pasti bisa mendapatkan pekerjaan yang layak.Pagi ini aku membantu Emak memasak. Abah sudah ke kebun. Beliau sedang menanam timun dan masih perawatan."Hari ini mau kemana?" tanya Emak, sambil mengupas bawang merah."Cari pekerjaan, Mak!" jawabku. Emak terlihat menghela napas panjang."Cari kerjaan susah, Tih. Mending buka usaha sendiri aja!" saran Emak."Usaha apa Emak? Lagian nggak ada modal!" balasku."Usaha apa yang kamu bisa. Tapi, memang semua tak lepas dari dana," sahut Emak. Aku mengangguk pelan."Iya, Mak. Makanya Ratih cari kerjaan dulu. Cari modallah istilahnya," balasku."Emak hanya bisa bantu doa, Ndu
Part 9"Maaf, apa anda melihat orang ini?" tanya lelaki berbadan tegap, seraya menyodorkan selembar foto. Foto perempuan yang menabrakku tadi."Emm, nggak!" jawabku tetap berusaha terlihat santai. Agar ia tak curiga."Maaf mengganggu. Kalau melihat orang ini, tolong segera hubungi nomor ini, karena akan mendapatkan imbalan!" ucap lelaki itu, seraya menyodorkan kartu nama. Segera aku menerimanya."Imbalannya apa?" tanyaku polos."Uang." jawabnya."Berapa?"" Yang jelas banyak!" jawabnya."Owhh ... baiklah!" balasku. Lelaki berbadan tegap itu kemudian berlalu, aku lihat ia terus bertanya-tanya dan melakukan hal yang sama kepada semua orang yang ia lihat. Hemm ... siapa sebenarnya perempuan tadi?"Terimakasih," ucap perempuan itu mendekatiku. Tadi ia bersembunyi di antara bangunan kosong. Aku mengedarkan pandang."Semua orang mencarimu, karena ada imbalan yang besar jika berhasil menemukanmu!" ucapku. Perempuan lusuh itu terlihat mengangguk.Aku segera melepas cardigan yang aku pakai. Me
PART 10"Kamu itu kesurupan apa gimana? Datang-datang main tampar adikmu!" sungut Emak. Mas Budi dan Bu Putri yang masih saling beradu pandang akhirnya saling melepas pandangan. Bu Putri berlalu menuju ke kamarku begitu saja. Tanpa pamit. Entahlah, ada hubungan apa mereka.Mas Budi kembali menatapku. Dengan memegangi pipiku yang masih terasa panas, kubalas tatapan itu. Rasanya sakit hati sekali."Luna nangis-nangis pulang dari sini! Karena ucapan Ratih!" jelas Mas Budi."Emang kapan Luna ke sini?" tanya Emak."Tadi pagi," jawab Mas Budi."Benar Ratih? Mbakmu ke sini tadi pagi?" tanya Emak dan aku mengangguk."Emang kamu ngomong apa?" tanya Emak."Mbak Luna duluan, Mak, yang nyindir-nyindir! Kayak biasanya gitulah," jawabku."Halaah ... alasan! Pinter banget ngomong. Mau aku gampar lagi mulutmu itu? Biar bisa sopan dengan kakak iparmu!" sungut Mas Budi. Ya Allah ... segitunya dia membela istrinya."Ya, silahkan kalau mau nampar! Silahkan! Ni ... ayok tampar lagi!" balasku seraya menyod
"Aku sudah tahu semuanya Gibran. Karena ....""Karena kamu mendengarkan, apa yang aku katakan dengan Tante Ratih. Kamu juga ada di restoran itu kan? Aku lihat kamu." Sengaja aku memotong ucapan Azkia. Azkia terlihat menggigit bibir bawahnya."Jadi kamu tahu aku ada di sana?" tanya Azkia balik. Mungkin dia hanya memastikan saja. "Iya, aku melihat kamu, mungkin hanya aku yang melihat kamu, mamamu tidak melihat kamu." Azkia terlihat menarik napasnya sejenak. "Karena aku sangat penasaran, apa yang sebenarnya kalian tutupi dari aku, hingga kalian sangat susah sekali menceritakan, apa yang sebenarnya terjadi. Dan tadi malam, Mama juga sudah menceritakan semuanya padaku. Aku percaya dengan mamaku, karena firasat seorang ibu untuk anaknya, itu tidak pernah meleset." Aku menganggukkan kepala ini, paham apa yang dikatakan oleh Azkia. "Maafkan aku Azkia. Aku tidak ada niat ingin menyakiti kamu, ataupun menyakiti Alina. Tapi di hati ini, memang hanya ada kamu. Hanya nama kamu yang ada di dalam
"Apa benar yang dikatakan oleh Alina seperti itu?" Tentu saja aku menganga setelah mendengarkan semuanya. Ternyata Alina sudah menyampaikan semuanya kepada Tante Ratih. Aku pikir dia tidak seberani itu, ternyata aku salah menilai Alina. Aku dan Tante Ratih memang sudah makan. Setelah itu tanpa basa-basi, Tante Ratih menceritakan pertemuannya dengan Alina. Tentu saja cukup membuatku syok, karena aku ternyata telah didahului start oleh Alina. Segera aku raih minuman yang telah dipesankan oleh Tante Ratih, yang tinggal separuh ini. Tentu saja aku bingung mau menjawab apa. Mungkin ekspresiku sudah terlihat sangat gelagapan.Apalagi tatapan mata Tante Ratih sangat tajam padaku, cukup membuat nyali ini menciut sebenarnya. "Jangan bohong sama Tante, Gibran. Tante sangat paham kamu, karena Tante kenal kamu dari kecil. Jadi kamu tidak bisa bohong dengan Tante. Karena Tante tahu kamu itu bohong atau jujur." Tante Ratih berkata lagi, seolah menginginkan aku untuk sebuah kejujuran. Segera aku
Tok! Tok! Tok!Tiba-tiba aku mendengar, suara kamarku sedang diketuk seseorang. Akhirnya aku segera beranjak dan membuka pintu kamar ini. "Tante? Ada apa?" Ternyata tante Ratih yang mengetuk pintu kamar ini. Beliau terlihat mengembangkan senyum yang sangat bersahaja."Ada yang ingin Tante katakan sama kamu. Bisa meminta waktunya sebentar?" jawab dan tanya balik Tante Ratih. Dengan ragu aku anggukkan kepala ini. "Tentu saja boleh, Tante." Tante Ratih terlihat mengulas senyum. Senyum khas seorang ibu. "Kalau gitu, mumpung Azkia masih tidur, karena Tante tadi sudah mengeceknya, kamu segera bersiap. Habis itu, kita ketemuan langsung digarasi mobil. Tante ingin bicara sama kamu, di luar rumah ini. Karena tante nggak mau, Azkia mendengarnya." Tante Ratih berkata dengan sangat tegas. Tentu saja aku tidak bisa menolaknya bukan?"Emang Tante mau ngomong masalah apa?" tanyaku tentu saja aku penasaran. Karena kali ini, beliau hanya ingin bicara empat mata denganku, tanpa adanya Azkia. Sebenar
Bisa jadi, kalau aku tahu sesungguhnya, aku akan marah dengan mereka dan mungkin bisa membuatku untuk tidak mau diajak Gibran pulang ke Malaysia. Ya, aku lebih baik berpikir positif saja. Agar kewarasan ini tetap terjaga."Aku ke kamar dulu, ya. Rasanya aku udah ngantuk pengen istirahat." Sengaja aku pamit dengan Gibran, untuk pergi ke kamarku sendiri. Gibran terlihat menganggukkan kepalanya. "Iya aku juga mau ke kamarku. Aku mau nelpon mama, mau ngabarin kalau kamu beneran mau diajak ke Malaysia." Aku mengulas senyum lagi. Kemudian aku anggukkan lagi kepala ini. Setelah itu kami saling diam dan kemudian saling beranjak untuk menuju ke kamar masing-masing. Aku tak langsung menuju ke kamar, tapi aku ingin mencari Mama terlebih dahulu. Tapi setelah aku telusuri seluruh isi rumah ini, tak ku jumpai mamaku. Kira-kira Mama pergi ke mana, ya? Kok tumben Mama nggak ada ngomong atau bagaimana gitu sama aku. Ya udahlah, dari pada aku capek mencari mama, jadi aku memutuskan untuk menuju ke
"Azkia kamu baik-baik saja?" tanya Gibran padaku. Cukup membuatku mengerutkan kening dengan pertanyaan seperti itu. "Apakah di matamu aku terlihat tidak baik-baik saja?" Aku sengaja bertanya balik. Karena aku memang ingin menjalankan saran dari mama, agar aku terlihat baik-baik saja. Apa mungkin ekspresiku tidak meyakinkan, hingga dia bertanya seperti itu?"Kamu terlihat memaksa untuk baik-baik saja, itu yang aku lihat dari kamu Azkia." Aku tetap memancarkan senyum, saat mendengar jawaban itu dari Gibran. Tetap berusaha untuk tenang agar dia tetap merasa kalau aku memang baik-baik saja. "Itu hanya perasaanmu saja. Aku baik-baik saja. Aku tidak kenapa-napa." Sengaja aku menanggapi seperti itu. Gibran terlihat sedang mengatur napasnya."Terasa ada yang berbeda. Apakah kamu sudah tidak nyaman aku berada di sini?" Aku menggelengkan kepala pelan. Hingga bola mata kami saling beradu pandang. Jujur saja, jika bola mata kami saling beradu pandang seperti ini, aku merasakan kenyamanan. Ya,
"Sebenarnya aku sama Azkia tidak ada masalah apa-apa Tante. Yang menjadi masalah adalah Gibran. Tapi aku memang tidak tahu kalau Azkia jangan Gibran itu ada hubungan dari kecil. Karena memang mereka tidak pernah bercerita apapun kepada Alina." Seperti itu dulu, untuk aku mengawali cerita ini. Tante Ratih terlihat mengerutkan keningnya. Mungkin Tante Ratih masih bingung, dengan apa yang aku katakan. "Jadi kamu sama Gibran sudah saling mengenal? Bukannya Gibran ada di Malaysia, sedangkan kamu ada di sini? Yang menjadi pertanyaan Tante, kok, bisa saling mengenal kalian? Kenal lewat mana? Apa sebelumnya Gibran pernah datang ke Indonesia untuk menemui kamu atau bagaimana?" Ternyata dari ucapan awalku itu, sudah menjadi banyak pertanyaan di benak Tante Ratih. Tapi aku cukup memaklumi, jika Tante Ratih banyak pertanyaan seperti itu. Karena memang sungguh sulit dipahami. Kutelan terlebih dahulu ludah ini. Rasanya tenggorokan ini tercekat. Terus aku atur hati ini, agar tetap aku bisa mengua
"Sudah selesai kan kita makannya. Jadi apa yang ingin kamu sampaikan sama Tante?" tanya Tante Ratih kepadaku.Kami memang sengaja diam terlebih dahulu. Lebih tepatnya, Tante Ratih memintaku untuk makan dulu. Katanya, beliau juga sedang lapar. Makanya lebih baik makan dulu, baru menceritakan semuanya. Mungkin Tante Ratih tahu, kalau bercerita terlebih dahulu, nafsu makan akan hilang. Jadi lebih baik, makan dulu baru bercerita. Ini bisa jadi pelajaran buat aku, bagaimana caranya nanti, jika aku komunikasi dengan anakku kelak. Tidak seperti mamaku yang nggak pernah memikirkan aku, aku ini udah makan atau belum. Yang ia tahu, kalau aku punya masalah, harus cerita tapi tak bisa mengambil hatiku. Mengambil hatiku untuk aku mau bercerita dengan sendirinya. Yang ada, aku terpaksa bercerita, karena kalau tidak cerita, Mama akan terus bertanya dan bertanya, hingga aku mau bercerita. Semacam tekanan. Lebih tepatnya memang aku tertekan. "Sebelumnya, Alina ucapkan maaf dan terima kasih dulu Tan
"Tante Aku sudah di rumah makan yang aku sebutkan tadi." Ucapku lewat sambungan telepon, aku yang menelpon Tante Ratih, karena aku memang sudah sampai dan Tante Ratih belum. "Iya Alina, Tante lagi di jalan, bentar lagi juga sampai kok, kamu tunggu saja ya, sebentar." Seperti itulah tanggapan dari Tante Ratih. Suaranya cukup lembut sekali, itu yang aku suka dari Tante Ratih. Mudah-mudahan kelak, jika aku menjadi orang tua, aku bisa seperti Tante Ratih, yang sangat bisa mengerti keadaan anaknya. Bisa menjadi teman dan ibu untuk anaknya. Jadi, anak tidak merasa kesepian dan tidak sungkan juga, untuk menceritakan apa pun yang sedang terjadi pada dirinya. Kalau anak mungkin biasanya akan mendambakan ibu kandungnya sendiri, untuk menjadi sosoknya kelak, tapi mungkin berbeda denganku. Aku justru mendambakan ibunya orang lain, yang aku idolakan atau akan aku jadikan panutan nantinya."Ya Tante aku cuma ngabarin aja kok. Tante hati-hati ya di jalan." Seperti itulah tanggapanku. "Iya Alina,
"Sudah enakan perutnya?" tanya Azkia setelah aku sampai di ruang TV. Segera aku anggukkan kepala ini. Sebelum aku masuk ke ruang tv, aku melihat Azkia dan Gibran sedang bercanda. Tanpa adanya aku, mereka terlihat sangat baik-baik saja. Bahkan ada rasa iri juga menyelimuti hati ini. Tapi aku juga harus sadar diri, kalau aku memang bukan siapa-siapa. Gibran dari kecil memang teman Azkia. Kalau denganku, mungkin hanya suatu kebetulan saja. Aku segera duduk tak jauh dari Azkia. Tak mungkin juga aku duduk di dekat Gibran. Aku datang mereka terdiam. Rasanya aku semakin tak enak hati. "Ini tadi aku buatkan es. Kayaknya cuacanya sangat mendukung sekali jika minum es. Sambil ngobrol-ngobrol ringan gitu." Azkia terlihat sangat happy. Itu yang bisa aku rasakan saat ini. Biasanya kalau Azkia happy seperti ini, aku lebih happy lagi. Tapi kenapa tidak untukku kali ini? Kali ini aku merasa ada batasan. Ya, kali ini aku merasa benar-benar ada batasan antara Aku dan Azkia. Aku melihat Gibran seda