"Iya, kamu pikirkan dulu. Apa pun keputusan kalian Emak dukung. Pokoknya jangan sampai rumah tangga jadi nggak nyaman gara-gara ini, hanya itu saja pesan Emak," ucap Emak. Aku menganggukkan kepala ini pelan. Menata hati agar tetap bisa mengontrol diri."Iya, Mak," balasku seraya manggut-manggut. Emak terlihat juga ikut manggut-manggut. Lagi, aku atur napas ini sejenak. Kemudian memejamkan mata. Berharap hatiku bisa sedikit tenang. Tapi tetap saja berguncang nggak jelas. Entahlah, memang susah aku menjelaskan perasaan ini. "Kamu sudah sarapan?" tanya Emak. Aku mengulas senyum. Lebih tepatnya agak memaksa senyum, karena hati dan pikiran memang lagi berkemelut hebat. Lagi tak nyaman, tapi tetap aku berharap nyaman. Memaksa untuk nyaman. "Sudah, Mak. Emak sendiri sudah sarapan belum?" jawab dan tanyaku balik. Emak terlihat juga membalas senyum. Senyum yang cukup membuat hati sedikit tenang. Untung masih ada Emak, kalau Emak menyusul Abah kelak, entah apa yang terjadi denganku. "Sudah
Bab 82Tukang Kebun"Kamu nggak ngerokok?" tanya Ali. Mungkin dia tak enak merokok sendiri. Kemudian dia menyodorkan rokoknya. Karena dia menyodorkan, akhirnya aku mengambil rokok itu. Menarik satu batang, kemudian segera aku meraih korek di sebelahnya. Menyalakan rokok yang sudah aku tempelkan di bibirku. "Sebenarnya, kamu mau memberikan pekerjaan aku apa?" tanyaku akhirnya. Jujur saja aku sangat penasaran dengan pekerjaan apa yang akan dia tawarkan. Dari tadi diam saja. Kalau memang tak jadi diberikan pekerjaan karena aku mantan nara pidana, aku terima. Yang penting sudah lega. Setelah tanya seperti itu, aku mainkan rokok ini. Setelah makan, merokok, sungguh memang nikmat sekali. Sudah lama memang tak seperti ini. Dia terlihat masih mengisap rokoknya, kemudian dia menghembuskan asap rokok itu di udara. Terlihat sangat menikmati hidupnya. "Tukang kebun di rumahku. Itu pun jika kamu mau, aku tak memaksa," jawabnya. Cukup membuatku menganga. Hah? Tukang kebun? Habis kerja di per
"Ok," hanya itu yang bisa aku katakan. Dia terlihat mengulas senyum dan aku memaksakan bibir untuk membalas senyuman itu. Walau dengan hati yang sangat gondok. Hati ini sangat ngedumel nggak karu-karuan. Ali kemudian berlalu. Dia sudah membayar makanan dan minuman ini. Aku sengaja belum beranjak. Karena masih memikirkan tawaran kerjaaan sebagai tukang kebun itu. Astaga ... sungguh miris sekali nasibku. Dari karyawan perusahaan Mahendra, sekarang menjadi tukang kebun di rumah teman sendiri. Di rumah Ali. Kugigit bibir bawah ini dan terus menenangkan diri sendiri. Mau tidak ya? Tapi kalau tak mau, aku harus kerja apa lagi? Sekarang memang sangat susah mencari pekerjaan. Kalau aku sampai jadi tukang kebun, apakah masih ada perempuan yang mau menikah denganku nanti? Atau Azkia tak malu mengakuiku sebagai bapaknya? Ah, kurasa Azkia malu. Karena dia terbiasa melihat pekerjaan bagus ayah sambungnya. Kutarik kuat-kuat napas ini. Kemudian menghembuskan pelan. Sungguh aku bingung sekali. Ke
Bab 84Ternyata"Ma, sibuk?" tanya Gibran. Aku segera menoleh ke asal suara. Terlihat Gibran berdiri tegap di ambang pintu kamar. Seketika aku mengulas senyum. "Nggak, Sayang! Sini masuk!" pintaku. Gibran terlihat menganggukan kepalanya pelan. Kemudian dia mulai masuk sesuai dengan perintahku. Ya, aku memang sudah sedang berada di kamar sekarang. Berselancar sejenak di dunia maya. Habis teleponan juga dengan Bang Thomas. Walau sebentar telponan dengan suami, sudah lebih dari cukup. Lagian Bang Thomas tak terlalu betah berlama-lama di panggilan telpon. Dia memang seperti itu, dari jaman belum menikah dulu."Iya, Ma," balasnya, kemudian dia melangkah masuk ke dalam kamar. Tak lupa dia menutup kembali pintu kamarku. Melihat Gibran melangkah, aku perhatikan wajahnya terlihat sedikit tegang. Mungkin ada sesuatu yang mau dia sampai atau tanyakan. "Kamu sudah makan?" tanyaku kepada anak semata wayangku ini. Gibran manggut-manggut. Aku melipat kening tipis. Kemudian menata hati dan pikira
Bab 85Saran dari LastriMasalah yang terjadi dalam hidup, memang tak bisa di pikirkan sendirian. Tetap membutuhkan orang lain, untuk saling berbagi pendapat dan saling sharing. Tentunya orang yang sangat bisa di percaya. Bukan sembarangan orang.Jika salah memilih teman curhat, bukan jalan keluar yang kita dapat, tapi sebaliknya, masalah akan semakin runyam. Itu yang aku alami saat ini. Saat ini pikiran dan hati sama-sama kalut. Nggak tahu kenapa kelicikan Mas Bima itu seolah aku bisa rasakan. Walau aku sendiri belum tahu, rencana apa yang Mas Bima pikirkan sekarang. Karena dia terlihat lugu dan polos. Mungkin orang lain bisa terberdaya, tapi tidak denganku.Tapi aku sangat yakin jika dia belum berubah. Dia masih jahat dan licik. Itu yang aku nilai dari mantan suamiku sekarang. Aku tahu dia sudah tak sebergaya dulu, tapi aku sangat yakin, walau nampaknya dia tulus tapi di dalam sini belum yakin kalau dia itu benar-benar bisa tulus. Entahlah! Susah aku menjelaskan. *****************
Lastri selama ini juga sudah menganggap Azkia anak kandungnya. Walau hanya keponakan tapi dia sangat care dengan Azkia. Bukan dia saja tapi suaminya juga sama. Sama-sama Sayang dengan keponakannya ini. "Masukan Azkia di asrama, Mbak. Jadi tidak satu rumah dengan Bu Putri. Bukannya tak percaya dengan Bu Putri, tapi kita menjaga kebaikan hubungan kita selama ini, jangan sampai gara-gara masalah ini semuanya jadi kurang baik, apalagi Bu Putri kan juga punya anak laki-laki, jadi menurutku kok kurang pas gitu," jelas Lastri. Kutelan ludah ini sejenak. Mengatur terus diri ini. Setelah Lastri menjelaskan seperti itu, hati ini berkemelut hebat. Sangat hebat. Aku menoleh ke Lastri kemudian menoleh ke Emak secara bergantian. Ingin tahu reaksi ke duanya. Mereka terlihat sama-sama tulus. Ya, aku percaya seribu persen kalau mereka memang sangat tulus dengan aku dan anak-anakku. "Iya, Emak setuju dengan saran dari Lastri. Jadi tidak satu rumah dengan Bu Putri. Tak masalah Azkia di sekolahkan di
Bab 87Reaksi Maftuh"Kalau seperti saran Lastri, Mas setuju. Jadi kita tak melepas begitu saja. Maksudnya tak jadi tanggung jawab Bu Putri, tetap tanggung jawab kita," ucap Mas Maftuh. Aku mengangguk mendengarnya. Ya, aku telah menceritakan tentang saran dari Lastri dan juga Emak. Aku hanya manggut-manggut sejenak. Paham maksud tujuan mereka."Iya, Mas. Aku tapi nggak enak sama Bu Putri, karena beliau sudah senang banget saat aku ngomong kalau Azkia aku titipkan ke beliau. Bu Putri nampaknya sangat senang sekali," jelasku. Ya, saat ini itu yang aku rasakan. Sudah terlanjur ngomong sama Bu Putri. Nggak tahu nanti akan bagaimana reaksinya, jika aku ceritakan masalah ini. Mas Maftuh terlihat menghela napas panjang. Kemudian dia mengusap pelan wajahnya sendiri. Kami sekarang ada di dalam kamar. Sudah selesai makan malam juga. Anak-anak pada belajar di kamarnya masing-masing. "Lebih baik nggak enak sekarang, tapi hati kita sama-sama lega, dari pada nggak enak di belakang," ucap Mas Maf
"Teh ku habis, bisa minta tolong buatin lagi? Mau tidur juga belum ngantuk," jawab mas Maftuh. Seketika bibir ini mengembang. Masya Allah ... cuma minta tolong buatkan teh saja, rasanya kok sweet sekali. Hi hi hi. "Ok, aku buatkan dulu, ya! Tunggu sebentar," balasku dengan penuh semangat. Sungguh sangat ikhlas sekali. Kalau Mas Bima dulu, sudah terasa babu aku dibuatnya. Kalau ini, Alhamdulillah ... dia membuatku nyaman, jadi kalaupun dia meminta tolong, hati ini sangat ikhlas melakukannya. "Iya, terimakasih!" balas Mas Maftuh, sungguh suaranya sangat bikin hati adem sekali. Hanya aku tanggapi dengan senyuman saja. Kemudian aku segera beranjak dan segera melangkah menuju ke dapur. Untuk membuatkan teh hangat untuk suami tercinta.*************************************"Mas aku telpon Bu Putri sekarang aja, ya?" ucapku, meminta saran kepada suami. Karena aku pun juga belum ngantuk. Pun Mas Maftuh. Aku lihat dia juga belum mengantuk. Mas Maftuh melirik ke arah jam dinding. Pun aku men
"Aku sudah tahu semuanya Gibran. Karena ....""Karena kamu mendengarkan, apa yang aku katakan dengan Tante Ratih. Kamu juga ada di restoran itu kan? Aku lihat kamu." Sengaja aku memotong ucapan Azkia. Azkia terlihat menggigit bibir bawahnya."Jadi kamu tahu aku ada di sana?" tanya Azkia balik. Mungkin dia hanya memastikan saja. "Iya, aku melihat kamu, mungkin hanya aku yang melihat kamu, mamamu tidak melihat kamu." Azkia terlihat menarik napasnya sejenak. "Karena aku sangat penasaran, apa yang sebenarnya kalian tutupi dari aku, hingga kalian sangat susah sekali menceritakan, apa yang sebenarnya terjadi. Dan tadi malam, Mama juga sudah menceritakan semuanya padaku. Aku percaya dengan mamaku, karena firasat seorang ibu untuk anaknya, itu tidak pernah meleset." Aku menganggukkan kepala ini, paham apa yang dikatakan oleh Azkia. "Maafkan aku Azkia. Aku tidak ada niat ingin menyakiti kamu, ataupun menyakiti Alina. Tapi di hati ini, memang hanya ada kamu. Hanya nama kamu yang ada di dalam
"Apa benar yang dikatakan oleh Alina seperti itu?" Tentu saja aku menganga setelah mendengarkan semuanya. Ternyata Alina sudah menyampaikan semuanya kepada Tante Ratih. Aku pikir dia tidak seberani itu, ternyata aku salah menilai Alina. Aku dan Tante Ratih memang sudah makan. Setelah itu tanpa basa-basi, Tante Ratih menceritakan pertemuannya dengan Alina. Tentu saja cukup membuatku syok, karena aku ternyata telah didahului start oleh Alina. Segera aku raih minuman yang telah dipesankan oleh Tante Ratih, yang tinggal separuh ini. Tentu saja aku bingung mau menjawab apa. Mungkin ekspresiku sudah terlihat sangat gelagapan.Apalagi tatapan mata Tante Ratih sangat tajam padaku, cukup membuat nyali ini menciut sebenarnya. "Jangan bohong sama Tante, Gibran. Tante sangat paham kamu, karena Tante kenal kamu dari kecil. Jadi kamu tidak bisa bohong dengan Tante. Karena Tante tahu kamu itu bohong atau jujur." Tante Ratih berkata lagi, seolah menginginkan aku untuk sebuah kejujuran. Segera aku
Tok! Tok! Tok!Tiba-tiba aku mendengar, suara kamarku sedang diketuk seseorang. Akhirnya aku segera beranjak dan membuka pintu kamar ini. "Tante? Ada apa?" Ternyata tante Ratih yang mengetuk pintu kamar ini. Beliau terlihat mengembangkan senyum yang sangat bersahaja."Ada yang ingin Tante katakan sama kamu. Bisa meminta waktunya sebentar?" jawab dan tanya balik Tante Ratih. Dengan ragu aku anggukkan kepala ini. "Tentu saja boleh, Tante." Tante Ratih terlihat mengulas senyum. Senyum khas seorang ibu. "Kalau gitu, mumpung Azkia masih tidur, karena Tante tadi sudah mengeceknya, kamu segera bersiap. Habis itu, kita ketemuan langsung digarasi mobil. Tante ingin bicara sama kamu, di luar rumah ini. Karena tante nggak mau, Azkia mendengarnya." Tante Ratih berkata dengan sangat tegas. Tentu saja aku tidak bisa menolaknya bukan?"Emang Tante mau ngomong masalah apa?" tanyaku tentu saja aku penasaran. Karena kali ini, beliau hanya ingin bicara empat mata denganku, tanpa adanya Azkia. Sebenar
Bisa jadi, kalau aku tahu sesungguhnya, aku akan marah dengan mereka dan mungkin bisa membuatku untuk tidak mau diajak Gibran pulang ke Malaysia. Ya, aku lebih baik berpikir positif saja. Agar kewarasan ini tetap terjaga."Aku ke kamar dulu, ya. Rasanya aku udah ngantuk pengen istirahat." Sengaja aku pamit dengan Gibran, untuk pergi ke kamarku sendiri. Gibran terlihat menganggukkan kepalanya. "Iya aku juga mau ke kamarku. Aku mau nelpon mama, mau ngabarin kalau kamu beneran mau diajak ke Malaysia." Aku mengulas senyum lagi. Kemudian aku anggukkan lagi kepala ini. Setelah itu kami saling diam dan kemudian saling beranjak untuk menuju ke kamar masing-masing. Aku tak langsung menuju ke kamar, tapi aku ingin mencari Mama terlebih dahulu. Tapi setelah aku telusuri seluruh isi rumah ini, tak ku jumpai mamaku. Kira-kira Mama pergi ke mana, ya? Kok tumben Mama nggak ada ngomong atau bagaimana gitu sama aku. Ya udahlah, dari pada aku capek mencari mama, jadi aku memutuskan untuk menuju ke
"Azkia kamu baik-baik saja?" tanya Gibran padaku. Cukup membuatku mengerutkan kening dengan pertanyaan seperti itu. "Apakah di matamu aku terlihat tidak baik-baik saja?" Aku sengaja bertanya balik. Karena aku memang ingin menjalankan saran dari mama, agar aku terlihat baik-baik saja. Apa mungkin ekspresiku tidak meyakinkan, hingga dia bertanya seperti itu?"Kamu terlihat memaksa untuk baik-baik saja, itu yang aku lihat dari kamu Azkia." Aku tetap memancarkan senyum, saat mendengar jawaban itu dari Gibran. Tetap berusaha untuk tenang agar dia tetap merasa kalau aku memang baik-baik saja. "Itu hanya perasaanmu saja. Aku baik-baik saja. Aku tidak kenapa-napa." Sengaja aku menanggapi seperti itu. Gibran terlihat sedang mengatur napasnya."Terasa ada yang berbeda. Apakah kamu sudah tidak nyaman aku berada di sini?" Aku menggelengkan kepala pelan. Hingga bola mata kami saling beradu pandang. Jujur saja, jika bola mata kami saling beradu pandang seperti ini, aku merasakan kenyamanan. Ya,
"Sebenarnya aku sama Azkia tidak ada masalah apa-apa Tante. Yang menjadi masalah adalah Gibran. Tapi aku memang tidak tahu kalau Azkia jangan Gibran itu ada hubungan dari kecil. Karena memang mereka tidak pernah bercerita apapun kepada Alina." Seperti itu dulu, untuk aku mengawali cerita ini. Tante Ratih terlihat mengerutkan keningnya. Mungkin Tante Ratih masih bingung, dengan apa yang aku katakan. "Jadi kamu sama Gibran sudah saling mengenal? Bukannya Gibran ada di Malaysia, sedangkan kamu ada di sini? Yang menjadi pertanyaan Tante, kok, bisa saling mengenal kalian? Kenal lewat mana? Apa sebelumnya Gibran pernah datang ke Indonesia untuk menemui kamu atau bagaimana?" Ternyata dari ucapan awalku itu, sudah menjadi banyak pertanyaan di benak Tante Ratih. Tapi aku cukup memaklumi, jika Tante Ratih banyak pertanyaan seperti itu. Karena memang sungguh sulit dipahami. Kutelan terlebih dahulu ludah ini. Rasanya tenggorokan ini tercekat. Terus aku atur hati ini, agar tetap aku bisa mengua
"Sudah selesai kan kita makannya. Jadi apa yang ingin kamu sampaikan sama Tante?" tanya Tante Ratih kepadaku.Kami memang sengaja diam terlebih dahulu. Lebih tepatnya, Tante Ratih memintaku untuk makan dulu. Katanya, beliau juga sedang lapar. Makanya lebih baik makan dulu, baru menceritakan semuanya. Mungkin Tante Ratih tahu, kalau bercerita terlebih dahulu, nafsu makan akan hilang. Jadi lebih baik, makan dulu baru bercerita. Ini bisa jadi pelajaran buat aku, bagaimana caranya nanti, jika aku komunikasi dengan anakku kelak. Tidak seperti mamaku yang nggak pernah memikirkan aku, aku ini udah makan atau belum. Yang ia tahu, kalau aku punya masalah, harus cerita tapi tak bisa mengambil hatiku. Mengambil hatiku untuk aku mau bercerita dengan sendirinya. Yang ada, aku terpaksa bercerita, karena kalau tidak cerita, Mama akan terus bertanya dan bertanya, hingga aku mau bercerita. Semacam tekanan. Lebih tepatnya memang aku tertekan. "Sebelumnya, Alina ucapkan maaf dan terima kasih dulu Tan
"Tante Aku sudah di rumah makan yang aku sebutkan tadi." Ucapku lewat sambungan telepon, aku yang menelpon Tante Ratih, karena aku memang sudah sampai dan Tante Ratih belum. "Iya Alina, Tante lagi di jalan, bentar lagi juga sampai kok, kamu tunggu saja ya, sebentar." Seperti itulah tanggapan dari Tante Ratih. Suaranya cukup lembut sekali, itu yang aku suka dari Tante Ratih. Mudah-mudahan kelak, jika aku menjadi orang tua, aku bisa seperti Tante Ratih, yang sangat bisa mengerti keadaan anaknya. Bisa menjadi teman dan ibu untuk anaknya. Jadi, anak tidak merasa kesepian dan tidak sungkan juga, untuk menceritakan apa pun yang sedang terjadi pada dirinya. Kalau anak mungkin biasanya akan mendambakan ibu kandungnya sendiri, untuk menjadi sosoknya kelak, tapi mungkin berbeda denganku. Aku justru mendambakan ibunya orang lain, yang aku idolakan atau akan aku jadikan panutan nantinya."Ya Tante aku cuma ngabarin aja kok. Tante hati-hati ya di jalan." Seperti itulah tanggapanku. "Iya Alina,
"Sudah enakan perutnya?" tanya Azkia setelah aku sampai di ruang TV. Segera aku anggukkan kepala ini. Sebelum aku masuk ke ruang tv, aku melihat Azkia dan Gibran sedang bercanda. Tanpa adanya aku, mereka terlihat sangat baik-baik saja. Bahkan ada rasa iri juga menyelimuti hati ini. Tapi aku juga harus sadar diri, kalau aku memang bukan siapa-siapa. Gibran dari kecil memang teman Azkia. Kalau denganku, mungkin hanya suatu kebetulan saja. Aku segera duduk tak jauh dari Azkia. Tak mungkin juga aku duduk di dekat Gibran. Aku datang mereka terdiam. Rasanya aku semakin tak enak hati. "Ini tadi aku buatkan es. Kayaknya cuacanya sangat mendukung sekali jika minum es. Sambil ngobrol-ngobrol ringan gitu." Azkia terlihat sangat happy. Itu yang bisa aku rasakan saat ini. Biasanya kalau Azkia happy seperti ini, aku lebih happy lagi. Tapi kenapa tidak untukku kali ini? Kali ini aku merasa ada batasan. Ya, kali ini aku merasa benar-benar ada batasan antara Aku dan Azkia. Aku melihat Gibran seda