Rasanya tak pantas seorang dokter spesialis diletakkan di desa terpencil yang letaknya bahkan ada di balik lembah dan perbukitan. Sungguh tak pernah kudengar dalam sejarah. Tapi itulah yang kualami kini.Ditugaskan sebagai penanggung jawab pada puskesmas pembantu yang baru dibangun di Kampung Sodong adalah hal mustahil yang kini kualami.Untuk sampai ke desa yang mayoritas penduduknya adalah lansia ini, aku terpaksa menaiki sepeda motor sebab jalanan yang ditempuh untuk sampai ke desa tersebut terbilang cukup ekstrem.Meski jalan sudah dicor semen, terapi pinggirannya masih ditumbuhi lumut. Hal ini membuat jalan menjadi licin. Sebuah hal yang harus kubayar mahal karena kesalahanku pada Syaina.Mendekati permukiman penduduk, jalan menjadi tanah berbatu. Luar biasanya tiba-tiba hujan turun, jalan menjadi sangat licin. Aku bahkan sampai harus berpegang kuat pada tukang ojek yang mengantar sampai di kampung itu.Setelah melalui perjalanan dua jam dari puskesmas Banyumas, akhirnya aku samp
Aku menarik napas panjang, ada yang terasa menusuk di dalam dada melihat Syaina kini mulai membuka hati untuk lelaki lain. Padahal kami sah bercerai belum tiga bulan.Dengan lesu kubalikkan tubuh lalu kembali menaiki mobil. Kendaraan roda empat yang kunaiki pun melaju di atas jalanan, membawa pulang ke kampung yang serasa masih menjadi mimpi.Sampai di rumah, tidak banyak yang kulakukan selain menghabiskan waktu di dengan berbaring. Hingga kepala desa mengajakku ikut bersamanya, berkebun. Awalnya aku menolak dan berpikir akan lebih tenang di kamar beristirahat. Tapi semua berubah ketika bayang Syaina terus mengusik hati. Kuiyakan ajakan Pak Maman dan ternyata berkebun memang membuat tubuh lebih bersemangat. Usaha membakar lemak serta membuang energi kotor."Bapak dapat hasil berapa dari berkebun begini, Pak?" tanyaku penasaran. Di kebun yang dia kelola ada tanaman jagung dan kacang hijau. "Ini hanya selingan saja Pak Dok. Biasa begini ini cuma sekali dalam setahun sesaat setelah sel
"Maaf untuk kesalahan yang mana?"Kutanggapi permintaan maafnya dengan nada jengkel. Dahulu saat masih bersama, dia jarang sekali meminta maaf. Karena yang kutahu, dia tak pernah berbuat salah. Tapi setelah satu kesalahannya terbongkar, semua kesalahan yang lain ikut terbongkar. Dan permintaan maaf yang dia ajukan terasa seperti bualan angin semata.Minta maaf, lalu akan melakukan kesalahan lain. Apakah saat ini setelah berpisah pun seperti itu?"Maaf karena tak berterus terang soal penempatan tempat kerja."Aku menghela napas panjang. Masih suka berdusta, apa karena saat ini dia sudah punya wanita lain di kota ini yang ingin dirahasiakan padaku dan Aa?"Mas nggak perlu minta maaf padaku, karena mau ditempatkan dimanapun untuk aku emang udah nggak ada masalah lagi. Hanya saja masalahnya ada di Aa. Dia itu selalu nanyain kamu, Mas. Dia selalu menunggu kedatangan Papa yang sangat ia banggakan, tapi pada kenyataannya bahkan janji pun bisa kamu batalkan," jawabku tanpa menatapnya. "Mas m
"Hei, apa-apaan ini?"Aku kaget sekaligus mencoba melepaskan sepasang jemari wanita yang melingkar erat dileherku. Bukannya lepas, jemari itu semakin kuat menggenggam hingga tubuhnya nyaris menempel ke belakang tubuhku."Siapa kamu? Tolong lepaskan. Ini di depan umum!"Kali ini aku membentak hingga dua tangannya pun terlepas. Aku kini berbalik untuk memastikan siapa wanita yang tanpa malu memeluk seorang lelaki di depan umum."Fena?"Tanpa berkata dia tersenyum dan kembali hendak ingin memeluk. Tapi aku dengan cepat menahan gerakannya."Apa yang kamu lakukan Fen, kenapa memelukku tanpa permisi?""Maaf Mas, habis aku kangen banget sama kamu. Dari tadi aku terus memantau, kamu itu semakin macho apalagi sambil merokok begini.""Ah, kamu ini melanggar aturan. Mana boleh langsung meluk begitu, kalau istri aku lihat gimana?""Ya tinggal jelasin aja. Ini hanya pelukan biasa, pelukan seorang teman. Apa dia akan cemburu juga?"Mimpi apa aku dulu bisa terlibat dengan wanita ini. Jika mengingat-
Tak dapat berkata, aku hanya bisa tersenyum."Jadi yang benarnya yang mana ne, Mas?"Kuhela napas panjang."Apa aja benar, dikondisikan aja."Aku menjawab dengan pembawaan tenang dan santai. Wanita di hadapanku sampai menggeleng-gelengkan kepala."Udah ya, saya mau masuk ruangan dulu.""Em, iya Mas, tar kalau aku ketemu Syaina, aku mau kasih tahu dia kalau kamu dinas di sini."Lagi-lagi aku tak bisa berkata, hanya langkah yang terus terangkat hingga sampai di ruang baru di tempat baru pula. Mengabaikan siapa yang kutemui tadi, jemari justru tergerak untuk menyusun dan menata meja kerja sesuai keinginan, hingga tak lama seorang perawat masuk ke ruangan."Permisi Dok, mau nganter status pasien.""Oya, silahkan taruh di atas meja.""Baik Dok, permisi.""Iya, terima kasih ya. Oya lima belas menit lagi kita mulai.""Baik, Dok."Jam demi jam terlalui, pasien dengan berbagai jenis keluhan datang dan pergi. Ada yang sudah sering rawat jalan dan sangat terhenyak karena tak menemukan dokter yan
Dia tampak sangat terkejut dengan kehadiranku. Bahkan menyuruh masuk saja tidak."Kamu tidak ingin menyuruhku masuk, Mas?" tanyaku membuat keterkejutannya sirna."Hah, mungkin ada baiknya kita keluar saja," sanggahnya seraya bangkit dari kursi dan berjalan mendekatiku, mungkin berniat mau membuka pintu. Namun, aku yang berdiri di depannya langsung mencoba memeluk.Untuk sepersekian detik dia terdiam, kucoba memeluk lebih erat."Tolong lepaskan aku."Deg.Ucapannya bagai panah yang menusuk hati ini begitu dalam. Sakit ketika kita masih berharap bersama tapi dianya justru menolak.Apa gunanya kuserahkan semua cinta dan hidup, jika pada akhirnya dicampakkan seperti ini."Aku tak menuntut apapun, Mas. Tidak juga untuk kau sah kan kembali hubungan ini. Aku hanya minta tetaplah bersamaku, sebab aku mencintaimu. Sangat mencintaimu."Dua tangannya berusaha melepas jemariku, sungguh di detik ini aku pasrah. Tak dapat kutahan air mata yang luruh begitu saja. Menjadi yang terabaikan ternyata ras
Pov Syaina"Aku ketemu mantan suamimu Sya di rumah sakit."Wajahku seketika tertuju pada Mbak Fera, sepupuku yang kerja di rumah sakit pemerintah di kota ini."Oh ya?"Aku mencoba menanggapi dengan santai. "Dia nggak tahu kalau aku sepupumu. Ya ... mana tahu juga dia, 'kan aku nggak pernah ketemu sama dia ya selama sepuluh tahun kalian menikah.""Mbak sih sombong banget, selalu aja ada acara atau kesibukan. Nikah juga nggak datang, pas akunya mudik juga Mbaknya malah keluar kota. Entah lah mau ngomong apa.""Iya iya, sorry. Emang udah begitu scedulenya, bukan dibuat-buat.""Iya deh, aku maklumi. Terus gimana pada akhirnya Mas Rian bisa tahu kalau Mbak sepupuku?""Ya Mbak lah yang kasih tahu. Tadinya dia cuma ingat kalau Mbak pernah satu angkatan pas di Fakultas Kedokteran Umum dulu. Yaudah sekalian aja Mbak kasih clue tentang kita.""Pasti seru ya Mbak ketemu teman lama?""Biasa aja sih sebenarnya.""Dulu waktu kuliah Mas Rian gimana sih orangnya Mbak?""Ya gitu, sok cool. Emang sih
Orang baik punya masa lalu dan orang yang buruk punya masa depan. Jangan pernah berhenti berubah untuk menjadi pribadi yang lebih baik karena Allah menyukai orang yang salah namun mau bertaubat.***Mataku memanas melihat Syaina tampak sangat mesra dengan si Hakim itu. Apa sih lebihnya, duda juga. Aku tidak akan membiarkan lelaki itu mendapatkan cinta dari seorang wanita yang tak lain adalah ibu dari anak-anakku. "Mas Rian?"Suara Fera membuat tatapanku teralihkan."Ayo Mas aku temani ambil makanan."Sebenarnya aku tidak lapar tapi entah kenapa tak ikhlas saja jika pada akhirnya Syaina hanya makan berdua dengan Hakim. Sebab itu kuambil saja walau hanya sedikit.Setelah selesai, justru sudah tidak lagi melihat Syaina dan Hakim. Kemana mereka?"Syaina kemana?" tanyaku pada Fera."Mungkin mereka di ruang tengah Mas."Akhirnya kami pun beranjak ke ruang itu. Benar saja, Syaina dan Hakim sudah duduk berbaur bersama staf rumah sakit yang lain. Mungkin di kota ini tidak banyak yang tahu jik