Mas Rian tampak terhenyak, akupun yang mendengar ucapan papa sangat tak menyangka jika papa sampai mengusir Mas Rian dari rumah ini.Lelaki yang masih berstatus suamiku itu menatap diri ini, mungkin dia berharap agar aku mencegah kebrutalan papa. Tapi sayangnya aku justru memilih kembali masuk ke kamar."Tunggu apa lagi?" "Saya bisa menjelaskan semuanya, Pa."Aku masih mendengar pembelaan yang diajukan Mas Rian, bahkan sengaja tidak menutup rapat pintu kamar agar bisa mendengar percakapan mereka selanjutnya."Sudah Nak Rian, sebaiknya untuk saat ini Nak Rian pergi ke tempat lain. Biarkan situasi di rumah ini menjadi dingin baru nanti bicarakan lagi apa yang mau dijelaskan," ucap mama lembut.Mas Rian pun akhirnya patuh dan angkat kaki dari rumah ini. Selepas kepergian suamiku itu, diri ini terduduk di atas lantai, tak bisa kucegah air mata kembali berderai di kedua pipi. Bayang pengakuan Mas Rian kembali terlintas di benak."Aku nggak kenal lagi siapa kamu Mas? Aku benar-benar nggak
Flash backSuasana rumah tampak sepi, perlahan aku menuruni mobil lalu berjalan memasuki kediaman Friska. Karena punya satu kunci cadangan, jadi tanpa menekan bel tubuh ini sudah bisa berada di dalam rumah.Aku melanjutkan perjalanan sampai di depan kamar, lalu membuka pintu. Friska yang mendapati keberadaanku seketika menangis kencang."Tolong aku Mas, aku mengalami perdarahan."Tak pelak dengan seketika aku berhamburan ke atas ranjang dan mengecek kebenaran ucapannya. Betapa terhenyaknya diri ini setelah memastikan dan benar mendapati Friska mengalami perdarahan."Kenapa sampai begini, kenapa tak mencari bantuan?" tanyaku berapi-api melihat dia seperti hanya pasrah menerima takdir. Padahal seyogyanya sebagai seorang dokter, dia sudah familiar dengan penanganan awal pada keadaan seperti ini tapi kenapa justru sebaliknya."Aku tak kuat berjalan."Kupejamkan mata sejenak."Sejak kapan kamu mengalami hal ini?""Baru beberapa menit yang lalu Mas, semenjak tadi malam cuma merasa nggak ena
Setelah berbicara dengan Mas Rian kemarin, akhirnya niatku untuk mengajukan gugatan cerai semakin mantap. Padahal sebelumnya, beberapa kali mama terus bertanya kepastian tentang hal ini. Dan aku masih terus saja berwacana tanpa melakukan tindakan. Tapi hari ini hal itu benar-benar kupenuhi.Setelah selesai mengajukan gugatan cerai di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, kusempatkan diri untuk singgah ke rumah yang dahulu menjadi istana terindah yang dibangun oleh Mas Rian untukku dan anak-anak.Dalam gugatan cerai aku hanya memasukkan perihal hak asuh anak tanpa menggugat harta gono gini maupun nafkah untuk ketiga anak kami. Sebab saat berbicara kemarin dengan Mas Rian, dia memang sudah memberikan rumah kepadaku. Sebab itu agar rumah ini tetap kokoh, aku menyewa jasa bersih-bersih yang setiap harinya datang untuk membersihkan halaman serta bagian dalam rumah.Jika melihat rumah ini, jujur ada rasa sedih yang menganga di dalam dada. Betapa banyak kenangan yang aku dan Mas Rian bangun di s
Rasanya tak pantas seorang dokter spesialis diletakkan di desa terpencil yang letaknya bahkan ada di balik lembah dan perbukitan. Sungguh tak pernah kudengar dalam sejarah. Tapi itulah yang kualami kini.Ditugaskan sebagai penanggung jawab pada puskesmas pembantu yang baru dibangun di Kampung Sodong adalah hal mustahil yang kini kualami.Untuk sampai ke desa yang mayoritas penduduknya adalah lansia ini, aku terpaksa menaiki sepeda motor sebab jalanan yang ditempuh untuk sampai ke desa tersebut terbilang cukup ekstrem.Meski jalan sudah dicor semen, terapi pinggirannya masih ditumbuhi lumut. Hal ini membuat jalan menjadi licin. Sebuah hal yang harus kubayar mahal karena kesalahanku pada Syaina.Mendekati permukiman penduduk, jalan menjadi tanah berbatu. Luar biasanya tiba-tiba hujan turun, jalan menjadi sangat licin. Aku bahkan sampai harus berpegang kuat pada tukang ojek yang mengantar sampai di kampung itu.Setelah melalui perjalanan dua jam dari puskesmas Banyumas, akhirnya aku samp
Aku menarik napas panjang, ada yang terasa menusuk di dalam dada melihat Syaina kini mulai membuka hati untuk lelaki lain. Padahal kami sah bercerai belum tiga bulan.Dengan lesu kubalikkan tubuh lalu kembali menaiki mobil. Kendaraan roda empat yang kunaiki pun melaju di atas jalanan, membawa pulang ke kampung yang serasa masih menjadi mimpi.Sampai di rumah, tidak banyak yang kulakukan selain menghabiskan waktu di dengan berbaring. Hingga kepala desa mengajakku ikut bersamanya, berkebun. Awalnya aku menolak dan berpikir akan lebih tenang di kamar beristirahat. Tapi semua berubah ketika bayang Syaina terus mengusik hati. Kuiyakan ajakan Pak Maman dan ternyata berkebun memang membuat tubuh lebih bersemangat. Usaha membakar lemak serta membuang energi kotor."Bapak dapat hasil berapa dari berkebun begini, Pak?" tanyaku penasaran. Di kebun yang dia kelola ada tanaman jagung dan kacang hijau. "Ini hanya selingan saja Pak Dok. Biasa begini ini cuma sekali dalam setahun sesaat setelah sel
"Maaf untuk kesalahan yang mana?"Kutanggapi permintaan maafnya dengan nada jengkel. Dahulu saat masih bersama, dia jarang sekali meminta maaf. Karena yang kutahu, dia tak pernah berbuat salah. Tapi setelah satu kesalahannya terbongkar, semua kesalahan yang lain ikut terbongkar. Dan permintaan maaf yang dia ajukan terasa seperti bualan angin semata.Minta maaf, lalu akan melakukan kesalahan lain. Apakah saat ini setelah berpisah pun seperti itu?"Maaf karena tak berterus terang soal penempatan tempat kerja."Aku menghela napas panjang. Masih suka berdusta, apa karena saat ini dia sudah punya wanita lain di kota ini yang ingin dirahasiakan padaku dan Aa?"Mas nggak perlu minta maaf padaku, karena mau ditempatkan dimanapun untuk aku emang udah nggak ada masalah lagi. Hanya saja masalahnya ada di Aa. Dia itu selalu nanyain kamu, Mas. Dia selalu menunggu kedatangan Papa yang sangat ia banggakan, tapi pada kenyataannya bahkan janji pun bisa kamu batalkan," jawabku tanpa menatapnya. "Mas m
"Hei, apa-apaan ini?"Aku kaget sekaligus mencoba melepaskan sepasang jemari wanita yang melingkar erat dileherku. Bukannya lepas, jemari itu semakin kuat menggenggam hingga tubuhnya nyaris menempel ke belakang tubuhku."Siapa kamu? Tolong lepaskan. Ini di depan umum!"Kali ini aku membentak hingga dua tangannya pun terlepas. Aku kini berbalik untuk memastikan siapa wanita yang tanpa malu memeluk seorang lelaki di depan umum."Fena?"Tanpa berkata dia tersenyum dan kembali hendak ingin memeluk. Tapi aku dengan cepat menahan gerakannya."Apa yang kamu lakukan Fen, kenapa memelukku tanpa permisi?""Maaf Mas, habis aku kangen banget sama kamu. Dari tadi aku terus memantau, kamu itu semakin macho apalagi sambil merokok begini.""Ah, kamu ini melanggar aturan. Mana boleh langsung meluk begitu, kalau istri aku lihat gimana?""Ya tinggal jelasin aja. Ini hanya pelukan biasa, pelukan seorang teman. Apa dia akan cemburu juga?"Mimpi apa aku dulu bisa terlibat dengan wanita ini. Jika mengingat-
Tak dapat berkata, aku hanya bisa tersenyum."Jadi yang benarnya yang mana ne, Mas?"Kuhela napas panjang."Apa aja benar, dikondisikan aja."Aku menjawab dengan pembawaan tenang dan santai. Wanita di hadapanku sampai menggeleng-gelengkan kepala."Udah ya, saya mau masuk ruangan dulu.""Em, iya Mas, tar kalau aku ketemu Syaina, aku mau kasih tahu dia kalau kamu dinas di sini."Lagi-lagi aku tak bisa berkata, hanya langkah yang terus terangkat hingga sampai di ruang baru di tempat baru pula. Mengabaikan siapa yang kutemui tadi, jemari justru tergerak untuk menyusun dan menata meja kerja sesuai keinginan, hingga tak lama seorang perawat masuk ke ruangan."Permisi Dok, mau nganter status pasien.""Oya, silahkan taruh di atas meja.""Baik Dok, permisi.""Iya, terima kasih ya. Oya lima belas menit lagi kita mulai.""Baik, Dok."Jam demi jam terlalui, pasien dengan berbagai jenis keluhan datang dan pergi. Ada yang sudah sering rawat jalan dan sangat terhenyak karena tak menemukan dokter yan