Share

8. Harapan

Author: Ka Umay
last update Last Updated: 2022-12-22 15:58:42

Kapal sudah di depan mata, tanpa Cheril di sisiku rasanya sangat hening dan kosong. Padahal, dulu aku tidak menginginkan anak itu ada di dunia. Menyalahkan Tuhan, kenapa aku malah diberi anak yang tidak diinginkan?

Akibat hamil dan tidak ingin menggugurkan kandungan, aku keluar dari kampus. Sepenuhnya bekerja untuk tabungan melahirkan. Paman dan bibi marah habis-habisan, menamparku dengan keras. Mengataiku pelacur dan anak tidak berguna.

Aku menanggung semuanya tanpa menyebutkan nama Kak Afrizal sedikitpun. Percuma, kalau tahu diperkosa pun tidak ada guna. Malah menjadi aib bayiku.

"Kamu istirahat saja di dalam, biar Abang yang bayarin."

Bang Anton orang yang pengertian, tahu aku sangat lelah dengan kehamilan besar. Menyuruh istirahat di dalam dengan nyaman. Ada karpet dengan bantal di sana meski berbayar.

"Nggak papa, Bang. Aku di luar saja."

Padahal hanya 15 ribu, sebenarnya uangku masih utuh 20 ribu. Niatnya untuk membelikan Bang Anton rokok. Aku sudah menumpang tanpa membelikan bensin atau makan sedikitpun. Setidaknya rokok satu bungkus ingin kuberi.

"Sudahlah, nggak papa. Sekalian Abang istirahat juga. Ayo."

Bang Anton mendorongku supaya naik tangga, tanpa bisa menolak aku menurut. Masuk ke ruangan setelah Bang Anton membayar, terlihat banyak orang yang sudah tidur.

Aku diberikan bantal yang disewa seharga 5 ribu. Tidak bisa tidur dengan nyenyak karena kondisi kehamilan yang semakin besar. Miring salah telentang juga salah.

Mungkin karena terganggu aku ganti posisi terus, Bang Anton memberikan bantalnya. Diletakkan di perutku yang miring supaya lebih nyaman.

"Nggak usah, Bang."

"Nggak papa. Mirna juga sulit tidur waktu hamil besar."

Dia berbaring lagi setelah melepaskan jaket, membuntal dan diletakkan di kepala. Tidur dengan bantal dari jaket.

Masih ada orang baik di dunia ini, aku memakai bantal yang diberikan dan memang rasanya jauh lebih nyaman. Kapal terus melaju ke arah Bakauheni.

Paman dan bibi tidak menerima Cheril, kehamilan yang membuat mereka malu. Sepupuku juga sama saja. Mereka menghina dan menyuruh supaya aku diusir. Tanpa diminta pun aku pergi, meninggalkan mereka kembali ke kosan.

"Ada aku, kamu tidak perlu khawatir."

Satu-satunya orang yang ada di pihakku hanya Diandra, tanpa imbalan apapun bersedia menemani di setiap masa sulit. Sahabat yang sudah membuatku merasa masih ada hal baik di kehidupanku ini, yakni bertemu sahabat seperti Diandra.

Menginjak usia kehamilan ke delapan, aku masih bisa bekerja. Di restoran sebagai tukang cuci piring. Malamnya bekerja sebagai buruh cuci warga sekitar kosan. Mengumpulkan uang supaya bisa tenang tanpa takut kelaparan saat melahirkan, juga biaya persalinan yang terbilang besar.

Mendekati bulan ke 9, Diandra terus berada di sisiku. Menjagaku dengan baik sampai merasa bahwa dunia ini tidak seburuk itu.

"Ini aku beliin susu ibu hamil."

"Kamu ini kan udah kubilang nggak perlu. Tapi selalu aja beliin. Kamu sendiri kan juga butuh uang."

Aku tidak sanggup membeli susu, sayang uangnya juga. Harus irit selama hamil supaya uang tabungan cukup untuk biaya persalinan. Diandra tahu betul apa yang ada di pikiranku. Dia berisiatif sendiri membelikan susu tanpa mau dicegah.

"Buat ponakan tercinta apa sih yang nggak." Diandra mengelus perutku.

Hanya dia, sahabat yang sangat aku sayangi. Orang yang menerima aku apa adanya.

Malam ketika hujan lebat, aku merasa akan melahirkan. Membangunkan Diandra yang memang siap siaga. Bersusah payah membawaku ke bidan di tengah hujan.

Rasa sakit yang tidak akan pernah aku lupakan, menyusahkan Diandra yang meminjam becak untuk membawaku di tengah hujan.

Memang hanya berjarak 10 menit dari kosan, becak milik tetangga pun Diandra ambil. Mendorongku hingga sampai ke bidan dengan tubuh kecilnya yang basah kuyup.

Di antara rasa sakit yang tiada tara, aku masih berharap Kak Afrizal datang. Menemaniku melahirkan bayinya.

"Aku keluar dulu, bajuku basah kuyup nggak boleh di sini. Kamu yang kuat ya?"

"Makasih, Din." Aku menjawab sembari mengangguk.

Ingatanku terus berputar pada kenangan ayah dari bayi yang akan lahir ini, kalimatnya yang halus dan penuh perhatian seakan tidak akan pernah meninggalkan diriku sendirian. Sekarang dia meninggal diriku yang kesakitan melahirkan anaknya. Berjuang antara hidup dan mati.

"Tarik napas dan coba dorong bayinya." Bu Bidan memberi aba-aba.

Keringat yang bercucuran di pelipis, tubuhku sangat kelelahan sekuat tenaga mencoba mengeluarkan bayi ini dari perut. Rasa sakit sampai membuat kepalaku nyeri.

Air mataku menetes, tidak ada waktu untuk bersedih.

"Kepalanya sudah terlihat, ayo dorong lagi."

Bayi yang tidak kuingkan lahir ke dunia. Ikut serta dalam luka. Tanpa memiliki seorang ayah yang mengazani. Aku sebagai ibu tunggal akan merawatnya. Bayi perempuan yang sehat, anak kak Afrizal. Kuberi nama Cheril Lisyana. Anak yang sekarang sudah bertemu dengan ayahnya.

Tanpa sadar waktu sudah hampir pagi, kapal akan menepi di labuhan. Aku keluar meninggalkan ruangan. Hanya tidur setengah jam.

Waktu sudah menunjukkan waktu subuh, aku mencari mushola dan shalat di sana. Setelah itu baru keluar dan menunggu matahari muncul.

Lautan biru mulai terlihat di antara matahari yang baru saja terbit. Bersinar terang sampai menimbulkan silau. Aku mengusap perutku yang buncit. Berbeda dengan Cheril, anak ini memiliki ayah yang akan menemaniku melahirkan. Mengazani dan menyayanginya.

"Hana, ayo masuk mobil."

Bang Anton keluar dari kamar mandi, wajahnya basah dengan air menetes.

"Iya, Bang."

Perjalanan dilanjutkan menuju Bandar Lampung. Kembali ke rumah pengap dengan suami dan ibu mertua. Sebenarnya Mas Malik punya ayah, tapi sekarang sedang di Malaysia untuk mengurus sesuatu. Aku sendiri hanya beberapa kali bertemu beliau selama menikah.

Sesampainya di rumah sudah disambut wajah masam ibu mertua. Menyindir habis-habisan.

"Enak ya habis jalan-jalan ketemu mantan."

"Setelah mengantar Cheril ketemu ayahnya, Hana langsung pulang, Bu."

"Halah alasan aja."

Lagi pula, percuma dijelaskan. Biarkan saja beliau bicara apa. Rumah ini terasa hening tidak ada Cheril.

Semoga Cheril sekarang bahagia bersama ayahnya. Aku membersihkan dapur sembari terus memikirkan Cheril.

"Besok kamu bersiap, kita akan membelikan perlengkapan bayi."

Mas Malik baru pulang kerja. Meletakkan rompinya di meja makan. Melewatiku untuk mencuci tangan.

Aku tersenyum, akhirnya kebahagiaanku akan datang. Benar bahwa Mas Malik tetap menyayangi anak ini di balik sikapnya yang selalu judes.

Sepertinya ramadhan tahun ini akan menjadi hal baik untukku dan Cheril. Aku tersenyum ke samping, melihat wajah suamiku yang mulai perhatian.

"Iya, Mas. Besok pagi kita belanja perlengkapan bayi bareng."

Mas Malik tidak mempedulikan ucapku, dia terus menggosok tangannya yang kotor menggunakan sabun.

bersambung

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Mbak Lina
Hana wanita kuat.......
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Kami Tanpa Kamu    9. Impian Kecil

    Wajah balita itu tampak berbinar melihat makanan yang Rizal hidangkan. Duduk di kursi meja makan dengan kaki yang terus bergerak. Senyuman merekah setiap Rizal membuka bungkusan dan menaruh di piring. Sendok dan garpu sudah berada di tangan Cheril, cuci tangan pun juga sudah. Perutnya yang lapar semakin berselera karena mencium aroma enak dari daging. Sesekali Cheril melirik ayahnya, orang yang sangat dia rindukan. Ia jadi ingat rasa iri setiap melihat Zila digendong ayahnya. "Kamu itu aib keluarga, dasar anak haram." Ucap Ayah Zila saat menggendong Zila menuju motor. Sampai sekarang Cheril tidak tahu apa arti kata anak haram. Semua anggota keluarga Malik menjuluki dirinya anak haram dan pembawa sial. "Cila, anak halam itu apa? Nenek, om Alik, ibumu cama ayahmu ilang Elil anak halam." Cheril bertanya sembari mengelap meja, sebisanya asal tidak berdebu kata ibu. Sementara Zila mainan boneka Barbie sembari duduk di sofa. "Anak halam itu nggak punya ayah, nggak pelnah digendong Ay

    Last Updated : 2022-12-22
  • Kami Tanpa Kamu    10. Selama Ini Dia Ke mana

    Jarum jam terus berdetak, sekarang sudah pukul setengah delapan malam. Cheril sudah tidak kuat makan lagi. Buah anggur itu disingkirkan, tinggal separuh. "Elil kenyang, Yah.""Kalau kenyang ya sudah, jangan dimakan lagi. Tunggu setengah jam habis itu mandi." TV dinyalakan, di putar channel Donal bebek. Cheril menonton TV dengan antusias, duduk si sofa yang empuk dengan lampu menyala terang. Sementara itu Rizal pergi ke ruang kerja, mengecek email dari Yuno hasil dari rapat di Singapura. Harus segera diproses. Dari pintu yang tidak ditutup, Cheril berdiri. Tidak berani meminta meski sudah hampir jam sembilan malam. Dia mengantuk, ingin tidur. Tapi badannya lengket dan belum mandi."Yah...." Anak itu memanggil dengan lirih.Rizal menoleh ke jam dinding, tidak sadar sudah malam. Terbiasa hidup sendiri dia lupa bahwa sekarang ada Cheril yang harus diurus. "Ya ampun, lupa." Berkas yang berserakan di meja ditinggal, dia beranjak menghampiri bocah yang matanya sudah mengantuk tersebut.

    Last Updated : 2022-12-23
  • Kami Tanpa Kamu    11. Anak Kecil

    Rapat berjalan normal, tidak ada yang aneh. Rizal mencatat hal penting selama rapat. Proyek pembangunan apartemen di daerah Bekasi, Yuno jelaskan dengan rinci. Lalu melimpahkan tugas ke beberapa orang mumpuni yang bisa menjalankan dengan baik. Hari itu semua berjalan lancar, mereka istirahat untuk shalat jumat. Berkali-kali Rizal melihat ke ponselnya. Penyelidikan tentang Hana dan Cheril belum juga ada hasil. Katanya, Dimas sedang berusaha. Minimal hari senin besok datanya akan lengkap. Setelah shalat jumat, Rizal berjalan beriringan dengan Yuno menuju kantor. Di belakang dan depan ada beberapa pengawal, penjagaan Presdir WterSun Group sangatlah ketat. "Kudenger ibumu minta dijenguk?" tanya Yuno, dia mengancingkan kemejanya. Langit cerah dengan awan putih, udara panas menyengat mereka rasakan ketika sedang berjalan. Menambah volume keringat membasahi kemeja."Aku tidak akan datang. Membiayai rumah sakit dan menjamin hidupnya itu sudah cukup."Seorang ibu yang meninggalkannya ketik

    Last Updated : 2022-12-23
  • Kami Tanpa Kamu    12. Tidak Bersalah

    Pekerjaan menumpuk dan harus lembur, ada rasa tidak nyaman di hati Rizal. Pikiran yang terus berkecamuk di benak. Hana dan Cheril. Rasa cemburunya hingga membuat hati nurani memudar. Andai Hana datang tanpa status memiliki suami, mungkin ia akan menerima Hana sekalipun wanita itu sudah memiliki dua anak. Tidak peduli siapa ayah dari anak-anak Hana. Pukul satu malam Rizal pulang ke rumah, membuka kamar Cheril. Terlihat bocah kecil itu tidur dengan ditemani Bi Sarah yang menginap. Perlahan Rizal menutup pintu kembali, kepalanya bersender di sana. Memejamkan mata, mengingat bahwa dia tidak memiliki orang tua sejak kecil. Tidak tahu arti dari keluarga. Tiba-tiba ada anak kecil yang terus memanggilnya ayah, bagaimana dia tidak terkejut? Wajar jika berpikir bahwa semua ini hanya tipuan. Lebih menyakitkan lagi yang menipu adalah Hana, wanita yang dia cintai.Pagi harinya dia berangkat ke kantor lagi, wajah Cheril tampak sedih. Dia tahu bocah itu sangat ingin diperhatikan olehnya. "Elil

    Last Updated : 2022-12-23
  • Kami Tanpa Kamu    13. Kata Marsha

    "Kami akan membeli sepatu," ucap Rizal. Mengelus punggung Cheril yang memeluknya. Bocah itu terang-terangan tidak menyukai Marsha. "Aku temenin, yuk. Aku tahu banyak soal fashion." Marsha tersenyum. Rizal mengangguk dan berjalan menuju toko, kali ini mereka bertiga memilih sepatu. Wajah Cheril cerah kembali setelah mendapat sepatu baru berwarna merah muda yang cantik. Dipilihkan langsung oleh Rizal.Bocah itu senang bukan karena sepatunya, melainkan wajah tersenyum Rizal ketika memakaikan sepatu baru. Hal yang sering dia lihat ketika ayahnya Zila menjemput. Mamakaikan sepatu lalu menggendong, sekarang dia juga merasakan hal yang sama. "Elil suka, Yah." Senyumannya lebar. Berhambur memeluk Rizal. Dia menyukai momen ini, keinginannya tercapai. "Sekarang kan sudah ada sepatu, kamu jalan sendiri jangan minta gendong." Rizal melapaskan pelukan Cheril. Membuat wajah bocah itu sedih kembali."Ayah nggak suka gendong Elil?" tanyanya."Bukan gitu, tapi capek dari tadi gendong terus. Janga

    Last Updated : 2022-12-23
  • Kami Tanpa Kamu    14. Salah

    Cheril bingung dengan sikap ayahnya yang tiba-tiba berubah, belanjaan sudah didapatkan. Mereka berkeliling mencari hal lain. Ada bando cantik berwarna merah muda. Memakai ikat rambut dan bandok bagus adalah keinginannya, dia mendongak ke atas. Rizal tampak sibuk memakaikan ponsel sembari berjalan. "Yah, ngin itu." Cheril menarik ujung baju Rizal. Mencoba mendapatkan perhatian Rizal. "Apa?" Arah telunjuk Cheril menunjuk toko pernak-pernik, ada bando cantik dan segala ikat rambut di sana. Mirip punya Zila yang selalu dipamerkan padanya. Akan sangat menyenangkan jika Cheril bisa memilikinya juga. "Nanti aja beli itu, sekarang temui teman Om dulu."Bukan ayah tapi Om, Rizal menarik tangan Cheril menjauh dari toko itu, segera menghampiri Yuno dan Husna yang sudah menunggu. Mereka naik eskalator, menuju lantai 7. Sekali lagi Cheril melihat bando yang tidak jadi dibeli, dia menurut mengikuti Rizal membawanya naik. Tak apa, katanya nanti beli itu. Dia percaya ayahnya tidak akan berbohon

    Last Updated : 2022-12-23
  • Kami Tanpa Kamu    15. Kamar

    Aku merindukan Cheril, tangan kecilnya selalu menghapus air mataku. Padahal baru beberapa hari berpisah, kerinduan sudah menumpuk seperti ini. Sedang apa anak itu? Apakah bahagia bersama ayahnya? Lipatan baju bocah itu aku taruh di lemari, pakaian lusuh bekas Zila. Apakah Kak Afrizal memberikan baju baru untuk Cheril? Aku sangat penasaran kabar mereka. "Kalau udah lipetin baju cepat beresin dapur, ibu sudah selesai makan." Perintah Mas Malik. Aku segera menutup pintu lemari, berjalan cepat mendekat ke Mas Malik. Pria itu sedang membersihkan gigi dengan lidi. Tadi aku membuat opor ayam. "Mas dapat SMS dari Cheril nggak?" "Untuk apa anak itu SMS?""Aku ngasih nomor Mas kalau seumpama ayahnya Cheril tidak menerima anak itu dan minta dijemput." "Jadi kamu nunggu SMS dari mantan?" "Nggaklah, Mas. Lagian yang pegang Hp kan Mas. Bukan aku." Sikap cemburunya tidak berdasar. Walaupun itu tanda bahwa dia mencintaiku, tapi terkadang membuat sebal. Seakan mencari kesalahan supaya bisa mar

    Last Updated : 2022-12-24
  • Kami Tanpa Kamu    16. Buku Nikah

    Cengkraman tangannya masih sangat kuat, tidak berbelas kasih sedikitpun kepada istrinya yang sedang hamil. Aku merintih kesakitan, mataku berkaca-kaca. Kadang aku bertanya dalam hati, meskipun tidak ada cinta apakah ada kasih darinya untukku? Maksudku, selain pada bayi kita. Bohong jika aku berkata tidak butuh cinta darinya. Semua istri ingin dicintai suaminya. Mendapatkan kasih sayang yang pantas bukan sikap cuek dan kasar setiap hari. Semua istri pasti menginginkan hal itu."Iya, aku pindah." Cengkraman tanganku dilepaskan, napas Mas Malik memburu. Menahan emosi. Bersyukur dia tidak menampar seperti biasanya. Sejak kehamilan masuk ke usia tujuh bulan, aku merasa dia lebih berhati-hati dalam memperlakukan diriku. Untuk anak kita, bukan istrinya. Ibu mertua tersenyum sinis sebelum berbalik, mereka pergi. Tak habis pikir kenapa aku mau tetap berharap bahwa hubungan keluarga ini akan membaik. Belum lahir saja anakku sudah mendapatkan perlakuan tak adil. Malam harinya aku membereskan

    Last Updated : 2022-12-24

Latest chapter

  • Kami Tanpa Kamu    105. Tamat

    Wajah pria di hadapanku banyak berubah, tak ada sorot arogan seperti dulu. Tatapan merendahkan pun menghilang ntah ke mana. Aku ingat pakaian yang dia kenakan hari ini, dipakai untuk menikahiku 9 tahun yang lalu. Warnanya sudah sedikit memudar. "Tolong jangan libatkan Ramaniya, aku akan menerima segala kemarahanmu," ujar Mas Malik. Aku melihat betapa Mas Malik menyayangi Ramaniya, dari dulu memang ia peduli dengan anaknya. Selalu semangat setiap USG. Mas Malik membenciku, tapi tidak dengan Ramaniya. Dia memperlakukan Ramaniya selayaknya anak yang sangat berharga. "Aku akan membawa Ramaniya ke lantai atas, di sana ada Husna." Kak Afrizal mengangkat Ramaniya ke dalam gendongan, membawa anak itu menjauh dari kami. Aku tak menyangka sedikitpun Kak Afrizal mengkhianatiku seperti ini. Padahal berulang kali aku bilang tidak akan memberitahu Ramaniya tentang Mas Malik. Ternyata di belakang, Kak Afrizal malah berkomplot dengan Mas Malik, tatapanku tajam melihat Kak Afrizal naik tangga. "J

  • Kami Tanpa Kamu    104. Kenyataan Ramaniya

    Mata Ramaniya melihat tangga, menunggu Rizal yang tak kunjung kembali. Matanya beralih ke pesanan Rizal yang sudah mulai dingin."Ayahku ke mana ya, kok lama banget?" tanya Ramaniya, terlihat gelisah karena ayahnya tak kunjung kembali. "Mungkin dia lagi ngomongin kerjaan, nanti juga balik." "Ayah nggak pernah ninggalin Niya lama kayak gini." Anak itu terlihat khawatir.Dari kecil Rizal memperlakukan Ramaniya dengan baik, tentu menerima orang baru sebagai ayah adalah hal yang sulit. Dulu, Cheril juga sangat ingin diperlakukan baik olehnya. Tapi tak pernah sekalipun ia berbaik hati menerima Cheril. Saat Cheril bertemu ayah kandungnya, ia langsung lengket karena sebelumnya tidak pernah mendapat kasih sayang seorang ayah. Jauh berbeda dengan Ramaniya yang sejak kecil dilimpahi kasih sayang seorang ayah yang luar biasa seperti Rizal. "Mas Malik?" Mendengar panggilan itu Malik langsung menoleh, ada Hana yang menatapnya terkejut. Sementara Hana tak menyangka bertemu Malik di sini, ia h

  • Kami Tanpa Kamu    103. Bando Nia

    Mereka berjalan beriringan menuju restoran Husna yang terletak tak jauh dari sana, ingin rasanya digandeng oleh Ramaniya sama seperti Rizal. Tapi apa daya, sekarang yang Ramaniya tahu Rizal ayahnya, bukan dia. Malik menjadi sangat serakah saat bertemu Ramaniya, padahal dia tahu bahwa ia tidak boleh minta lebih. Rizal mengizinkannya bertemu Ramaniya saja, seharusnya dia sudah bersyukur. Sesampainya di sana, mereka segera memesan. Ramaniya terlihat santai tanpa curiga apapun, tertawa bersama Rizal ketika mengingat adiknya suka ayam goreng dan berniat membawakan untuk oleh-oleh. "Dek Harzan juga suka yang ada kriuknya," kata Ramaniya. "Siapa Harzan?" tanya Malik. Rizal segera menjawab, "anak ketigaku. Adiknya Cheril dan Ramaniya." Ah, ternyata Rizal dan Hana sudah punya anak lagi. Dari cara Rizal memperkenalkan, sepertinya tidak membedakan antara Ramaniya dan kedua anak kandungnya. Namun tetap saja, dia ingin Ramaniya diakui anak olehnya. Menyebut Ramaniya sebagai putrinya adalah

  • Kami Tanpa Kamu    102. Bertemu Nia

    Hari kamis Malik pergi ke kantor damkar, bertemu teman lama. Ia menggunakan koneksi dan predikat jasa untuk kembali ke tim. "Usiaku memang nggak semuda dulu, tapi aku masih sangat kuat, wali kota saja mengakui kemampuanku. Jadi tolong pertimbangan aku kembali ke tim." Kepala kantor yang dulu satu tim dengannya itu terlihat berpikir. Melihat dari kaki sampai kepala Malik, badan Malik tinggi besar, cocok jadi pemadam kebakaran, hanya saja usianya yang jadi masalah. "Kami memang membutuhkan orang, biar kami diskusikan dulu." "Aku tunggu kabar baiknya," kata Malik bersemangat."Iya, sudah lama nggak ketemu kita ngobrol di dalam."Malik mengangguk, dia berjalan melewati mobil pemadam kebakaran, dulu dia sangat bersemangat ketika menyelamatkan orang, dia peduli dengan orang lain dan sangat ramah. Ntah apa yang membuatnya menjadi jahat, mungkin karena keinginannya punya anak tidak terwujud, lalu Ratih sering marah-marah, ibu terus menuntut uang belanja lebih dan beberapa faktor lainnya.

  • Kami Tanpa Kamu    101. Rumah Malik

    Rumah yang dulu diisi dengan keceriaan sudah lama ditinggalkan, rumput ilalang memenuhi halaman, atapnya sudah banyak yang bocor, catnya dimakan usia, gerbangnya berkarat. Malik melangkahkan kaki ke teras, sangat kotor. Dulu dia memakai sepatu di sini, Cheril akan berlari mendekat. Anak itu menggelayut ingin digendong, tapi ia malah mendorongnya menjauh sembari mengucapkan kalimat kasar. Delapan tahun, waktu yang sangat lama untuknya, tapi bagi Hana dan Cheril mungkin baru kemarin, luka yang ia torehkan pada keduanya tidak mudah dihapus oleh waktu. "Seharusnya dulu aku memperlakukan kalian dengan baik," gumam Malik. Dia melangkah masuk, membuka pintu. Tikus berkeliaran disertai kecoa. Pasti butuh waktu lama untuk memperbaiki semua ini. Belum lagi rumah Tara dan Ihsan yang juga menjadi tanggung jawabnya. Setelah menemui Ramaniya, Malik berniat membawa ibu dan Zila, keluarganya kembali ke Bandar Lampung. Tapi sebelum itu ia harus memiliki pekerjaan dan membereskan rumah ini dulu. T

  • Kami Tanpa Kamu    100. Nazir

    Setelah menikah dengan Kak Afrizal, kehidupanku berubah drastis, aku menjadi ibu sosialita, berkumpul dengan istri teman kantornya Kak Afrizal, arisan bersama wali murid teman sekolahnya Cheril dan aku juga kuliah online hingga memiliki pengetahuan yang sama seperti mereka. Aku tidak pernah lagi kesusahan uang dan dipermalukan seperti saat di Lampung, aku juga tidak pernah berhubungan dengan keluarga Bibi lagi. Hingga, sekarang ada Nazir di depanku, sepupu ku, anaknya Bibi yang bekerja di Jakarta dan aku abaikan selama beberapa tahun ini. "Kalau punya suami kaya, seharusnya kamu bisa bantu aku naik pangkat. Bukannya menikmati semua kemewahan sendirian, kamu sangat tidak tahu tidak tahu terima kasih." Nazir menyeringai, aku memutar bola mata jengah. Memangnya satpam bisa naik pangkat menjadi apa? Polisi? Heran. Terlebih dia juga tidak bekerja di WterSun Group. Lebih heran lagi dia bisa menemukan keberadaanku, ternyata dia pindah bekerja tak jauh dari restoran milik Husna. Aku tida

  • Kami Tanpa Kamu    99. Suami Istri Setia

    Hari pembebasan tiba, setelah delapan tahun akhirnya ia bisa menghirup udara bebas. Malik langsung menuju ke lapas tempat Ratih ditahan. Rasa rindu pada istrinya itu tak terbendung lagi. Cinta pertama, cinta sejati, mereka berdua berjanji sehidup semati. Benar kata orang, jodoh itu cerminan. Saat Malik jahat, Ratih pun sama jahatnya. Sekarang Malik tobat, Ratih juga sudah tobat. "Maaf aku baru bisa menemuimu," ucap Malik. Mereka berpelukan erat, Ratih menangis meraung tak menyangka bisa bertemu Malik lebih cepat dari perkiraan. "Aku sangat merindukanmu," ucap Ratih. Wanita itu terlihat sangat senang melihat wajah orang yang sangat dirindukan, sejak mereka masuk penjara, tidak ada kerabat yang mengunjungi. Semua membenci mereka. Karena Mereka juga Ihsan dan Tara terseret kasus ini, membuat Zila tidak memiliki orang tua dalam waktu yang lama. Anak itu sekarang ikut ibunya Malik pulang kampung. "Aku juga, sangat merindukanmu."Pelukan dilepaskan, Malik menghapus air mata di wajah R

  • Kami Tanpa Kamu    98. Malik Keluar Penjara

    Langit di atas lapas mendung, padahal Malik harus segera menjemur pakaian. Hari ini yang memakai jasanya lebih banyak dari biasanya. 50 pakaian yang artinya 50 ribu. Angka yang sulit dia dapatkan dalam sehari. Selain untuk membeli mainan untuk Ramaniya, Malik juga mengirim uang untuk Ratih. Istrinya itu pasti kesulitan di penjara. Beberapa kali Ratih mengeluh tentang sulitnya di penjara, Malik hanya bisa menyemangati. Mereka saling mencintai dan tak terpisahkan sejak dulu, andai tidak terobsesi mendapatkan anak, pasti sekarang hidup mereka baik-baik saja. Setiap hari Malik menyesali perbuatannya dan berjanji akan memulai hidup baru dengan Ratih setelah keluar lapas. "Masih hujan, nanti aja jemurnya." Salah satu teman lapas lewat, menepuk pundak Malik. Badannya tinggi, penuh tato. Dialah premannya raja preman, masuk lapas dan langsung menjadi boss. Tidak ada yang berani membantah. "Kalau nggak kering nanti bau." Malik mencari akal lain, di sini tidak ada pengering. Dia harus membu

  • Kami Tanpa Kamu    97. Kami Tanpa Kamu

    Seminggu telah berlalu dan Rizal mengambil anak-anaknya. Bersama Hana memberikan oleh-oleh dari Rusia. Tidak banyak, tapi cukup membuat Yuno lega telah berhenti mengurus tiga bocilnya Rizal. "Aku nggak pingin ke luar negeri lagi, dingin banget. Nggak enak," komentar Hana. Dia tidak betah di udara yang dingin, selalu mengeluh ingin pulang. "Hahaha Bang Rizal aneh, honeymoon kok pas musim dingin." Celetuk Yuno. Menggelengkan kepala. "Sengaja, biar di kamar terus." Jawaban Rizal membuat Hana melotot, lalu memukul lengan suaminya. Tidak menyangka bahwa itu sengaja, selama di Rusia mereka hanya keluar vila tiga kali. Padahal fasilitas keluarga Bagaskara di Rusia bisa dimanfaatkan untuk bersenang-senang. Kalau hanya untuk berduaan di kamar, kenapa harus jauh-jauh ke Rusia? Hana sangat kesal. Perjalanan ke sana membuat badannya sakit semua. Di pesawat selama berjam-jam, ia tidak betah dan sempat mabuk di kelas bisnis. "Lain kali ogah aku ke sana lagi, capek." "Kalau ke tempat lain mau?

DMCA.com Protection Status