Beranda / Rumah Tangga / Kami Tanpa Kamu / 10. Selama Ini Dia Ke mana

Share

10. Selama Ini Dia Ke mana

Penulis: Ka Umay
last update Terakhir Diperbarui: 2022-12-23 07:02:26

Jarum jam terus berdetak, sekarang sudah pukul setengah delapan malam. Cheril sudah tidak kuat makan lagi. Buah anggur itu disingkirkan, tinggal separuh.

"Elil kenyang, Yah."

"Kalau kenyang ya sudah, jangan dimakan lagi. Tunggu setengah jam habis itu mandi."

TV dinyalakan, di putar channel Donal bebek. Cheril menonton TV dengan antusias, duduk si sofa yang empuk dengan lampu menyala terang. Sementara itu Rizal pergi ke ruang kerja, mengecek email dari Yuno hasil dari rapat di Singapura. Harus segera diproses.

Dari pintu yang tidak ditutup, Cheril berdiri. Tidak berani meminta meski sudah hampir jam sembilan malam. Dia mengantuk, ingin tidur. Tapi badannya lengket dan belum mandi.

"Yah...." Anak itu memanggil dengan lirih.

Rizal menoleh ke jam dinding, tidak sadar sudah malam. Terbiasa hidup sendiri dia lupa bahwa sekarang ada Cheril yang harus diurus.

"Ya ampun, lupa."

Berkas yang berserakan di meja ditinggal, dia beranjak menghampiri bocah yang matanya sudah mengantuk tersebut.

"Ayo mandi," ucapnya. Menyuruh Cheril mengikuti.

Kaki kecil itu berjalan di belakang, berlari kecil mengimbangi langkah ayahnya yang panjang. Menuju kamar, Rizal menaruh tas ransel Cheril di sana.

Bocah itu kagum melihat kamar yang luas dan kasur empuk, kasur yang tingginya sedadanya. Ia menggaruk kepala, gatal dan lengket.

"Sini," panggil Rizal. Menarik tangan Cheril untuk berdiri di depannya. Ingin mencopot ikat ramput yang sudah berantakan.

"Akit, Yah." Keluh Cheril ketika Rizal mencoba menarik karet gelang dari rambut Cheril.

"Ibumu ini gimana, masak ngucir pake karet gelang."

Pandangan mata Rizal masih fokus ke ikatan rambut yang semakin menggumpal, sulit dilepaskan. Satu persatu helain rambut berusaha dilepaskan dengan hati-hati supaya Cheril tidak kesakitan.

"Bu nggak da uang buat beli, Yah."

"Masak cuma beli ikat rambut aja nggak ada uang?"

Karet gelang sudah terlepas, rambut Cheril terurai. Sedikit bergelombang akibat bekas kuciran. Balita itu menggelengkan kepalanya.

"Nggak da uang."

"Om Alik kerja apa sampai kalian nggak ada uang."

"Om Alik da uang Ibu nggak da uang nenek da uang."

Rizal berkerut kening, kurang paham maksud perkataan Cheril. Dia meraih tas ransel milik Cheril, dibuka tas itu di tas kasur.

Ada kertas di sana, buru-buru Rizal baca.

Assalamualaikum. Kak Afrizal.

Aku Hana.

Aku minta tolong terima Cheril sampai lebaran, dia sangat merindukan ayahnya. Beri makanan yang enak dan pakaian yang layak selama kalian bersama. Itu sudah cukup membuat dia bahagia dan mengenang ayahnya sebagai orang yang baik.

Aku tahu kakak sudah sukses dan mungkin kehadiran Cheril akan mengganggu. Aku tidak bisa memaksa. Kalau kakak tidak mau memenuhi permintaanku, tolong hubungi nomor suamiku atau antarkan Cheril ke Lampung. Alamat dan nomor telepon aku tulis di bagian belakang surat.

Wassalamu'alaikum.

Surat itu dibalik, ada nomor telepon dengan nama Malik dan alamat rumah di Telukbetung, Bandar Lampung. Padahal Hana tidak jauh dari UNILA. Tapi kenapa pencariannya tidak membuahkan hasil sama sekali? Apakah selama menikah Hana tidak pernah keluar rumah?

Saat dia mencari memang dua tahun yang lalu, katanya Hana tidak berada di Bandar Lampung dan pulang ke rumah paman bibinya. Rizal tak tahu sama sekali rumah paman bibi Hana. Tidak disangka wanita itu kembali lagi Bandar Lampung.

Rizal memotret alamat yang diberikan untuk dikirim ke Dimas, kepala kepolisian yang merupakan teman dekatnya. Minta diselidiki perihal Hana dan Malik. Tak lupa juga asal usul Cheril.

"Yah, mandi."

"Oh, iya."

Rizal meletakkan surat dari Hana dan ponselnya, berganti mengambil pakaian di dalam ransel. Semuanya pakaian buruk yang lebih cocok untuk lap atau dibuang. Benar ini pakaian Cheril?

"Kenapa bajumu lusuh semua seperti ini?"

Pakaian itu dikeluarkan semuanya, tidak ada satupun yang menurutnya pantas dipakai Cheril. Jatuh ke lantai dan bocah itu punguti.

"Ini baju Elil bekas Cila. Jangan dibuang, nanti Elil nggak punya baju." Baju yang tadi dipunguti bocah itu kembalikan ke dalam tas.

"Jadi ini baju bekas?" tanyanya.

Bocah itu mengangguk sembari membenarkan anak rambut yang menutupi matanya.

"Nanti Om belikan baju baru yang bagus. Pokoknya pakaian ini buang saja semua."

Rizal menelpon anak buahnya, minta dibelikan baju anak kisaran umur 4 tahun yang nyaman. Tiga stel dan harus diantar sekarang juga.

Sekarang masih pukul sembilan malam, kemungkinan masih ada toko yang buka. Besok hari jumat dan di kantor ada rapat, belum bisa ke mall membelikan baju untuk Cheril. Kemungkinan bisa di hari Sabtu, jadi untuk sementara memakai baju yang dipilihkan anak buahnya.

"Sekarang ayo mandi," ucap Rizal menggandeng tangan Cheril ke kamar mandi.

Rasanya canggung memandikan anak perempuan, jadi Rizal hanya menunjukkan alat-alat mandi. Rupaya Cheril tidak bisa memakai shower. Alhasil Rizal menaruh air hangat di bathtub. Memintanya cepat mandi. Dia akan menunggu di luar.

Rizal menyuruh Cheril memakai pakaian sendiri, meninggalkan anak itu di dalam kamar setelah mandi. Menyuruh tidur tanpa ditemani.

"Yah, Elil takut tidul cendili."

"Nggak ada apa-apa di sini, lampunya ngga dimatiin. Aku belum mandi, besok pagi harus kerja. Kamu cepet tidur dan jangan rewel."

Rizal meninggalkan Cheril di dalam kamar sendirian, wajah bocah itu memelas ingin ditemani. Namun Rizal tetap menutup pintunya tanpa memberikan belas kasih.

Baginya memberikan makan dan pakaian sudah lebih dari cukup, seperti permintaan Hana. Dia belum bisa menganggap Cheril anaknya. Bagaimana bisa dia memiliki anak jika tidak ingat pembuatannya?

Pagi buta suara air kran di tempat cuci piring terdengar, dengan mata berat Rizal ke dapur. Melihat Cheril membasahi kain lap dengan air.

Sembari mengucek matanya Rizal bertanya, "kamu sedang apa? Kok jam segini udah bangun?"

"Elil belsih-belsih lumah."

"Buat apa? Siapa yang nyuruh? Hoam...." Rizal masih mengumpulkan nyawanya.

"Kalau nggak belsih-belsih lumah nanti Elil nggak boleh maem."

"Eh?" Rizal terkejut. "Siapa yang bilang kayak gitu? Apa ibumu nyuruh kamu kerja?"

Rizal jongkok, menyeimbangkan tubuh dengan Cheril. Bocah itu menggeleng.

"Kata nenek, kalo Elil ma Ibu nggak belesin lumah. Nggak boleh maem."

Rizal menelengkan kepalanya, kurang paham perkataan Cheril. Tapi melihat anak ini seperti kurang makan, mungkin saja memang dia dan ibunya hidup susah.

Sekarang masih pukul lima pagi, azan subuh baru terdengar beberapa menit lalu. Rizal mengambil kain lap Cheril dan mengangkat bocah itu menuju kamarnya.

"Nggak usah bersih-bersih, kamu bakal aku tetap kasih makan. Sekarang tidur lagi sana, nanti jam tujuh aku bangunin."

Rizal memasukkan Cheril ke kamar dan menurunkan tepat di ranjang. Dia menguap lagi sembari berbelik. Harus solat subuh dan mungkin masih bisa tidur satu jam lagi.

Hari jumat seperti biasa, Bi Sarah datang untuk membersihkan apartemen, terkejut dengan kehadiran Cheril. Dengan susah payah Rizal menjelaskan siapa Cheril dan kenapa ada di sini.

"Hari ini tolong titip anak ini ya, Bi. Saya harus lembur di kantor."

Rizal mengambil roti bakar yang disiapkan Bi Sarah, langsung digigit sembari berjalan memakai jas.

"Jam berapa Tuan pulang?"

"Mungkin jam dua belas malam, jangan tungguin. Urus aja anak itu dengan baik nanti kukasih gaji dua kali lipat."

Ketika memakai sepatu, Cheril berlari ke Rizal. Menarik jasnya, tidak mau ditinggal. Sudah jauh-jauh ke Jakarta ingin menghabiskan waktu bersama ayahnya. Bukan orang lain.

Mata bocah itu berkaca-kaca. "Ayah jangan pelgi."

"Aku harus kerja, kamu di rumah aja sama Bi Sarah. Besok kita ke mall beliin kamu pakaian. Oke?"

"Ayah nggak akan tinggalin Elil, 'kan?"

"Nggaklah. Kan kamu di rumahku, gimana aku bisa pergi? Udah jangan rewel dan main aja sama Bi Sarah."

Rizal pergi sembari melepas tangan Cheril dari jasnya. Meninggalkan bocah yang menatap nanar kepergian ayahnya. Cheril masih berharap Rizal mau berbalik dan menghabiskan waktu bersama.

"Nggak papa, Non. Tadi kan Tuan bilang kalau besok kalian akan ke mall. Jalan-jalan bareng, pasti seru." Bi Sarah menunduk, memegang bahu balita itu dan menghapus air matanya yang mengalir di sudut.

"Elil main sama Ayah?"

"Iya, besok kalian bakal main bareng. Jadi jangan sedih dan biarin Ayah Non Cheril kerja. Cari uang buat main besok. Sekarang ayo sarapan," ucap Bi Sarah.

Bocah itu mengangguk dengan semangat. Berharap hari esok segera datang.

bersambung

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Sekar Taufik
cheril anak yang kuat dan mandiri ....
goodnovel comment avatar
Betty Yuspriatna
...semoga ayah cheril mau menerima anaknya
goodnovel comment avatar
Mbak Lina
sabar cheril.... ayah kerja dulu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Kami Tanpa Kamu    11. Anak Kecil

    Rapat berjalan normal, tidak ada yang aneh. Rizal mencatat hal penting selama rapat. Proyek pembangunan apartemen di daerah Bekasi, Yuno jelaskan dengan rinci. Lalu melimpahkan tugas ke beberapa orang mumpuni yang bisa menjalankan dengan baik. Hari itu semua berjalan lancar, mereka istirahat untuk shalat jumat. Berkali-kali Rizal melihat ke ponselnya. Penyelidikan tentang Hana dan Cheril belum juga ada hasil. Katanya, Dimas sedang berusaha. Minimal hari senin besok datanya akan lengkap. Setelah shalat jumat, Rizal berjalan beriringan dengan Yuno menuju kantor. Di belakang dan depan ada beberapa pengawal, penjagaan Presdir WterSun Group sangatlah ketat. "Kudenger ibumu minta dijenguk?" tanya Yuno, dia mengancingkan kemejanya. Langit cerah dengan awan putih, udara panas menyengat mereka rasakan ketika sedang berjalan. Menambah volume keringat membasahi kemeja."Aku tidak akan datang. Membiayai rumah sakit dan menjamin hidupnya itu sudah cukup."Seorang ibu yang meninggalkannya ketik

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-23
  • Kami Tanpa Kamu    12. Tidak Bersalah

    Pekerjaan menumpuk dan harus lembur, ada rasa tidak nyaman di hati Rizal. Pikiran yang terus berkecamuk di benak. Hana dan Cheril. Rasa cemburunya hingga membuat hati nurani memudar. Andai Hana datang tanpa status memiliki suami, mungkin ia akan menerima Hana sekalipun wanita itu sudah memiliki dua anak. Tidak peduli siapa ayah dari anak-anak Hana. Pukul satu malam Rizal pulang ke rumah, membuka kamar Cheril. Terlihat bocah kecil itu tidur dengan ditemani Bi Sarah yang menginap. Perlahan Rizal menutup pintu kembali, kepalanya bersender di sana. Memejamkan mata, mengingat bahwa dia tidak memiliki orang tua sejak kecil. Tidak tahu arti dari keluarga. Tiba-tiba ada anak kecil yang terus memanggilnya ayah, bagaimana dia tidak terkejut? Wajar jika berpikir bahwa semua ini hanya tipuan. Lebih menyakitkan lagi yang menipu adalah Hana, wanita yang dia cintai.Pagi harinya dia berangkat ke kantor lagi, wajah Cheril tampak sedih. Dia tahu bocah itu sangat ingin diperhatikan olehnya. "Elil

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-23
  • Kami Tanpa Kamu    13. Kata Marsha

    "Kami akan membeli sepatu," ucap Rizal. Mengelus punggung Cheril yang memeluknya. Bocah itu terang-terangan tidak menyukai Marsha. "Aku temenin, yuk. Aku tahu banyak soal fashion." Marsha tersenyum. Rizal mengangguk dan berjalan menuju toko, kali ini mereka bertiga memilih sepatu. Wajah Cheril cerah kembali setelah mendapat sepatu baru berwarna merah muda yang cantik. Dipilihkan langsung oleh Rizal.Bocah itu senang bukan karena sepatunya, melainkan wajah tersenyum Rizal ketika memakaikan sepatu baru. Hal yang sering dia lihat ketika ayahnya Zila menjemput. Mamakaikan sepatu lalu menggendong, sekarang dia juga merasakan hal yang sama. "Elil suka, Yah." Senyumannya lebar. Berhambur memeluk Rizal. Dia menyukai momen ini, keinginannya tercapai. "Sekarang kan sudah ada sepatu, kamu jalan sendiri jangan minta gendong." Rizal melapaskan pelukan Cheril. Membuat wajah bocah itu sedih kembali."Ayah nggak suka gendong Elil?" tanyanya."Bukan gitu, tapi capek dari tadi gendong terus. Janga

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-23
  • Kami Tanpa Kamu    14. Salah

    Cheril bingung dengan sikap ayahnya yang tiba-tiba berubah, belanjaan sudah didapatkan. Mereka berkeliling mencari hal lain. Ada bando cantik berwarna merah muda. Memakai ikat rambut dan bandok bagus adalah keinginannya, dia mendongak ke atas. Rizal tampak sibuk memakaikan ponsel sembari berjalan. "Yah, ngin itu." Cheril menarik ujung baju Rizal. Mencoba mendapatkan perhatian Rizal. "Apa?" Arah telunjuk Cheril menunjuk toko pernak-pernik, ada bando cantik dan segala ikat rambut di sana. Mirip punya Zila yang selalu dipamerkan padanya. Akan sangat menyenangkan jika Cheril bisa memilikinya juga. "Nanti aja beli itu, sekarang temui teman Om dulu."Bukan ayah tapi Om, Rizal menarik tangan Cheril menjauh dari toko itu, segera menghampiri Yuno dan Husna yang sudah menunggu. Mereka naik eskalator, menuju lantai 7. Sekali lagi Cheril melihat bando yang tidak jadi dibeli, dia menurut mengikuti Rizal membawanya naik. Tak apa, katanya nanti beli itu. Dia percaya ayahnya tidak akan berbohon

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-23
  • Kami Tanpa Kamu    15. Kamar

    Aku merindukan Cheril, tangan kecilnya selalu menghapus air mataku. Padahal baru beberapa hari berpisah, kerinduan sudah menumpuk seperti ini. Sedang apa anak itu? Apakah bahagia bersama ayahnya? Lipatan baju bocah itu aku taruh di lemari, pakaian lusuh bekas Zila. Apakah Kak Afrizal memberikan baju baru untuk Cheril? Aku sangat penasaran kabar mereka. "Kalau udah lipetin baju cepat beresin dapur, ibu sudah selesai makan." Perintah Mas Malik. Aku segera menutup pintu lemari, berjalan cepat mendekat ke Mas Malik. Pria itu sedang membersihkan gigi dengan lidi. Tadi aku membuat opor ayam. "Mas dapat SMS dari Cheril nggak?" "Untuk apa anak itu SMS?""Aku ngasih nomor Mas kalau seumpama ayahnya Cheril tidak menerima anak itu dan minta dijemput." "Jadi kamu nunggu SMS dari mantan?" "Nggaklah, Mas. Lagian yang pegang Hp kan Mas. Bukan aku." Sikap cemburunya tidak berdasar. Walaupun itu tanda bahwa dia mencintaiku, tapi terkadang membuat sebal. Seakan mencari kesalahan supaya bisa mar

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-24
  • Kami Tanpa Kamu    16. Buku Nikah

    Cengkraman tangannya masih sangat kuat, tidak berbelas kasih sedikitpun kepada istrinya yang sedang hamil. Aku merintih kesakitan, mataku berkaca-kaca. Kadang aku bertanya dalam hati, meskipun tidak ada cinta apakah ada kasih darinya untukku? Maksudku, selain pada bayi kita. Bohong jika aku berkata tidak butuh cinta darinya. Semua istri ingin dicintai suaminya. Mendapatkan kasih sayang yang pantas bukan sikap cuek dan kasar setiap hari. Semua istri pasti menginginkan hal itu."Iya, aku pindah." Cengkraman tanganku dilepaskan, napas Mas Malik memburu. Menahan emosi. Bersyukur dia tidak menampar seperti biasanya. Sejak kehamilan masuk ke usia tujuh bulan, aku merasa dia lebih berhati-hati dalam memperlakukan diriku. Untuk anak kita, bukan istrinya. Ibu mertua tersenyum sinis sebelum berbalik, mereka pergi. Tak habis pikir kenapa aku mau tetap berharap bahwa hubungan keluarga ini akan membaik. Belum lahir saja anakku sudah mendapatkan perlakuan tak adil. Malam harinya aku membereskan

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-24
  • Kami Tanpa Kamu    17. Kalimat Ibu

    Di halaman rumah keluarga Bagaskara banyak pengawal berjaga, tidak menyapa Rizal yang duduk di tangga teras ditemani angin malam. Matanya melihat ke langit. Awan hitam di antara bulan yang hampir hilang. Sebentar lagi memasuki bulan suci ramadhan. Sejak dibawa oleh Husna dan Yuno, tangisan Cheril tetap tidak berhenti. Dia merengek minta dipulangkan ke ibunya. Terlihat jelas bahwa bocah itu kecewa pada Rizal, tidak mengharapkan bersama lagi seperti sebelumnya. Husna mengusir Rizal keluar supaya Cheril mau berhenti menangis. Masih ditenangkan dan Rizal menunggu di luar rumah selama berjam-jam. Tidak berani masuk meskipun ingin membawa Cheril pulang ke apartemen. "Bang," panggil Yuno. Pria yang sudah dia anggap adik itu mendekat, duduk di sampingnya. Ikut merasakan angin malam. "Gimana Cheril?" "Dia udah tidur bareng Husna. Biarin malam ini dia nginep di sini." Rizal mengembuskan napas berat, kepalanya menunduk. Melihat lantai di antara dua kakinya. Dia sangat menyesal. "Suer, ak

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-24
  • Kami Tanpa Kamu    18. Bando

    Ingatan tentang Om Malik yang selalu marah dan ketus ketika dia tidak membereskan rumah. Mungkin Ayah juga seperti itu. Dia ingat ketika minta bando ke Ayah, seperti perkataan ibu dan Om Anton. Tidak boleh merepotkan ayah, nanti ayah tidak menerima dia.Mereka baru bertemu, seharusnya ia tidak minta apapun, bisa bersama Ayah selama sebulan kedepan saja seharusnya dia sudah bersyukur. Jadi, sebenarnya sikap ketus ayahnya kemarin karena dia merepotkan? Pasti karena dia minta bando. Cheril merasa bersalah. Dia harus maaf kepada ayahnya dan tidak akan mengulangi lagi. Apakah jika seperti itu ayahnya akan menerima dia?"Elil mau Ayah." Meskipun kemarin meronta ingin pulang ke ibu, tapi rasa rindunya ke ayah masih begitu besar. Sebenarnya belum ingin berpisah. Apalagi jika pulang tidak tahu kapan lagi bisa bertemu ayah. Dia berjanji akan lebih rajin bersih-bersih dan tidak akan merepotkan. Juga tidak akan minta bando yang mirip punya Zila. Supaya ayah mau menerimanya.Kalau sampai Ayah me

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-24

Bab terbaru

  • Kami Tanpa Kamu    105. Tamat

    Wajah pria di hadapanku banyak berubah, tak ada sorot arogan seperti dulu. Tatapan merendahkan pun menghilang ntah ke mana. Aku ingat pakaian yang dia kenakan hari ini, dipakai untuk menikahiku 9 tahun yang lalu. Warnanya sudah sedikit memudar. "Tolong jangan libatkan Ramaniya, aku akan menerima segala kemarahanmu," ujar Mas Malik. Aku melihat betapa Mas Malik menyayangi Ramaniya, dari dulu memang ia peduli dengan anaknya. Selalu semangat setiap USG. Mas Malik membenciku, tapi tidak dengan Ramaniya. Dia memperlakukan Ramaniya selayaknya anak yang sangat berharga. "Aku akan membawa Ramaniya ke lantai atas, di sana ada Husna." Kak Afrizal mengangkat Ramaniya ke dalam gendongan, membawa anak itu menjauh dari kami. Aku tak menyangka sedikitpun Kak Afrizal mengkhianatiku seperti ini. Padahal berulang kali aku bilang tidak akan memberitahu Ramaniya tentang Mas Malik. Ternyata di belakang, Kak Afrizal malah berkomplot dengan Mas Malik, tatapanku tajam melihat Kak Afrizal naik tangga. "J

  • Kami Tanpa Kamu    104. Kenyataan Ramaniya

    Mata Ramaniya melihat tangga, menunggu Rizal yang tak kunjung kembali. Matanya beralih ke pesanan Rizal yang sudah mulai dingin."Ayahku ke mana ya, kok lama banget?" tanya Ramaniya, terlihat gelisah karena ayahnya tak kunjung kembali. "Mungkin dia lagi ngomongin kerjaan, nanti juga balik." "Ayah nggak pernah ninggalin Niya lama kayak gini." Anak itu terlihat khawatir.Dari kecil Rizal memperlakukan Ramaniya dengan baik, tentu menerima orang baru sebagai ayah adalah hal yang sulit. Dulu, Cheril juga sangat ingin diperlakukan baik olehnya. Tapi tak pernah sekalipun ia berbaik hati menerima Cheril. Saat Cheril bertemu ayah kandungnya, ia langsung lengket karena sebelumnya tidak pernah mendapat kasih sayang seorang ayah. Jauh berbeda dengan Ramaniya yang sejak kecil dilimpahi kasih sayang seorang ayah yang luar biasa seperti Rizal. "Mas Malik?" Mendengar panggilan itu Malik langsung menoleh, ada Hana yang menatapnya terkejut. Sementara Hana tak menyangka bertemu Malik di sini, ia h

  • Kami Tanpa Kamu    103. Bando Nia

    Mereka berjalan beriringan menuju restoran Husna yang terletak tak jauh dari sana, ingin rasanya digandeng oleh Ramaniya sama seperti Rizal. Tapi apa daya, sekarang yang Ramaniya tahu Rizal ayahnya, bukan dia. Malik menjadi sangat serakah saat bertemu Ramaniya, padahal dia tahu bahwa ia tidak boleh minta lebih. Rizal mengizinkannya bertemu Ramaniya saja, seharusnya dia sudah bersyukur. Sesampainya di sana, mereka segera memesan. Ramaniya terlihat santai tanpa curiga apapun, tertawa bersama Rizal ketika mengingat adiknya suka ayam goreng dan berniat membawakan untuk oleh-oleh. "Dek Harzan juga suka yang ada kriuknya," kata Ramaniya. "Siapa Harzan?" tanya Malik. Rizal segera menjawab, "anak ketigaku. Adiknya Cheril dan Ramaniya." Ah, ternyata Rizal dan Hana sudah punya anak lagi. Dari cara Rizal memperkenalkan, sepertinya tidak membedakan antara Ramaniya dan kedua anak kandungnya. Namun tetap saja, dia ingin Ramaniya diakui anak olehnya. Menyebut Ramaniya sebagai putrinya adalah

  • Kami Tanpa Kamu    102. Bertemu Nia

    Hari kamis Malik pergi ke kantor damkar, bertemu teman lama. Ia menggunakan koneksi dan predikat jasa untuk kembali ke tim. "Usiaku memang nggak semuda dulu, tapi aku masih sangat kuat, wali kota saja mengakui kemampuanku. Jadi tolong pertimbangan aku kembali ke tim." Kepala kantor yang dulu satu tim dengannya itu terlihat berpikir. Melihat dari kaki sampai kepala Malik, badan Malik tinggi besar, cocok jadi pemadam kebakaran, hanya saja usianya yang jadi masalah. "Kami memang membutuhkan orang, biar kami diskusikan dulu." "Aku tunggu kabar baiknya," kata Malik bersemangat."Iya, sudah lama nggak ketemu kita ngobrol di dalam."Malik mengangguk, dia berjalan melewati mobil pemadam kebakaran, dulu dia sangat bersemangat ketika menyelamatkan orang, dia peduli dengan orang lain dan sangat ramah. Ntah apa yang membuatnya menjadi jahat, mungkin karena keinginannya punya anak tidak terwujud, lalu Ratih sering marah-marah, ibu terus menuntut uang belanja lebih dan beberapa faktor lainnya.

  • Kami Tanpa Kamu    101. Rumah Malik

    Rumah yang dulu diisi dengan keceriaan sudah lama ditinggalkan, rumput ilalang memenuhi halaman, atapnya sudah banyak yang bocor, catnya dimakan usia, gerbangnya berkarat. Malik melangkahkan kaki ke teras, sangat kotor. Dulu dia memakai sepatu di sini, Cheril akan berlari mendekat. Anak itu menggelayut ingin digendong, tapi ia malah mendorongnya menjauh sembari mengucapkan kalimat kasar. Delapan tahun, waktu yang sangat lama untuknya, tapi bagi Hana dan Cheril mungkin baru kemarin, luka yang ia torehkan pada keduanya tidak mudah dihapus oleh waktu. "Seharusnya dulu aku memperlakukan kalian dengan baik," gumam Malik. Dia melangkah masuk, membuka pintu. Tikus berkeliaran disertai kecoa. Pasti butuh waktu lama untuk memperbaiki semua ini. Belum lagi rumah Tara dan Ihsan yang juga menjadi tanggung jawabnya. Setelah menemui Ramaniya, Malik berniat membawa ibu dan Zila, keluarganya kembali ke Bandar Lampung. Tapi sebelum itu ia harus memiliki pekerjaan dan membereskan rumah ini dulu. T

  • Kami Tanpa Kamu    100. Nazir

    Setelah menikah dengan Kak Afrizal, kehidupanku berubah drastis, aku menjadi ibu sosialita, berkumpul dengan istri teman kantornya Kak Afrizal, arisan bersama wali murid teman sekolahnya Cheril dan aku juga kuliah online hingga memiliki pengetahuan yang sama seperti mereka. Aku tidak pernah lagi kesusahan uang dan dipermalukan seperti saat di Lampung, aku juga tidak pernah berhubungan dengan keluarga Bibi lagi. Hingga, sekarang ada Nazir di depanku, sepupu ku, anaknya Bibi yang bekerja di Jakarta dan aku abaikan selama beberapa tahun ini. "Kalau punya suami kaya, seharusnya kamu bisa bantu aku naik pangkat. Bukannya menikmati semua kemewahan sendirian, kamu sangat tidak tahu tidak tahu terima kasih." Nazir menyeringai, aku memutar bola mata jengah. Memangnya satpam bisa naik pangkat menjadi apa? Polisi? Heran. Terlebih dia juga tidak bekerja di WterSun Group. Lebih heran lagi dia bisa menemukan keberadaanku, ternyata dia pindah bekerja tak jauh dari restoran milik Husna. Aku tida

  • Kami Tanpa Kamu    99. Suami Istri Setia

    Hari pembebasan tiba, setelah delapan tahun akhirnya ia bisa menghirup udara bebas. Malik langsung menuju ke lapas tempat Ratih ditahan. Rasa rindu pada istrinya itu tak terbendung lagi. Cinta pertama, cinta sejati, mereka berdua berjanji sehidup semati. Benar kata orang, jodoh itu cerminan. Saat Malik jahat, Ratih pun sama jahatnya. Sekarang Malik tobat, Ratih juga sudah tobat. "Maaf aku baru bisa menemuimu," ucap Malik. Mereka berpelukan erat, Ratih menangis meraung tak menyangka bisa bertemu Malik lebih cepat dari perkiraan. "Aku sangat merindukanmu," ucap Ratih. Wanita itu terlihat sangat senang melihat wajah orang yang sangat dirindukan, sejak mereka masuk penjara, tidak ada kerabat yang mengunjungi. Semua membenci mereka. Karena Mereka juga Ihsan dan Tara terseret kasus ini, membuat Zila tidak memiliki orang tua dalam waktu yang lama. Anak itu sekarang ikut ibunya Malik pulang kampung. "Aku juga, sangat merindukanmu."Pelukan dilepaskan, Malik menghapus air mata di wajah R

  • Kami Tanpa Kamu    98. Malik Keluar Penjara

    Langit di atas lapas mendung, padahal Malik harus segera menjemur pakaian. Hari ini yang memakai jasanya lebih banyak dari biasanya. 50 pakaian yang artinya 50 ribu. Angka yang sulit dia dapatkan dalam sehari. Selain untuk membeli mainan untuk Ramaniya, Malik juga mengirim uang untuk Ratih. Istrinya itu pasti kesulitan di penjara. Beberapa kali Ratih mengeluh tentang sulitnya di penjara, Malik hanya bisa menyemangati. Mereka saling mencintai dan tak terpisahkan sejak dulu, andai tidak terobsesi mendapatkan anak, pasti sekarang hidup mereka baik-baik saja. Setiap hari Malik menyesali perbuatannya dan berjanji akan memulai hidup baru dengan Ratih setelah keluar lapas. "Masih hujan, nanti aja jemurnya." Salah satu teman lapas lewat, menepuk pundak Malik. Badannya tinggi, penuh tato. Dialah premannya raja preman, masuk lapas dan langsung menjadi boss. Tidak ada yang berani membantah. "Kalau nggak kering nanti bau." Malik mencari akal lain, di sini tidak ada pengering. Dia harus membu

  • Kami Tanpa Kamu    97. Kami Tanpa Kamu

    Seminggu telah berlalu dan Rizal mengambil anak-anaknya. Bersama Hana memberikan oleh-oleh dari Rusia. Tidak banyak, tapi cukup membuat Yuno lega telah berhenti mengurus tiga bocilnya Rizal. "Aku nggak pingin ke luar negeri lagi, dingin banget. Nggak enak," komentar Hana. Dia tidak betah di udara yang dingin, selalu mengeluh ingin pulang. "Hahaha Bang Rizal aneh, honeymoon kok pas musim dingin." Celetuk Yuno. Menggelengkan kepala. "Sengaja, biar di kamar terus." Jawaban Rizal membuat Hana melotot, lalu memukul lengan suaminya. Tidak menyangka bahwa itu sengaja, selama di Rusia mereka hanya keluar vila tiga kali. Padahal fasilitas keluarga Bagaskara di Rusia bisa dimanfaatkan untuk bersenang-senang. Kalau hanya untuk berduaan di kamar, kenapa harus jauh-jauh ke Rusia? Hana sangat kesal. Perjalanan ke sana membuat badannya sakit semua. Di pesawat selama berjam-jam, ia tidak betah dan sempat mabuk di kelas bisnis. "Lain kali ogah aku ke sana lagi, capek." "Kalau ke tempat lain mau?

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status