Usai kepergian Gianira bersama anak-anaknya, Faiz tersungkur di tanah, beristighfar berkali-kali, dirinya sadar jika suda melakukan hal yang salah, namun hatinya mendorongnya untuk melakukan hal yang setan bisikan secepatnya.“Ternyata ini alasanmu selalu menolak perintah abah untuk menikah, Faiz Akbar Thilal?” tanya sebuah suara dari arah belakang tubuhnya.“A-abah?” tubuh Faiz menegang, mengetahui jika ternyata abahnya menjadi salah satu jamaah sholat maghrib di masjid barusan.=====================================================Faiz mengikuti langkah abahnya untuk segera pulang ke rumah, di ruang tamu yang berukuran cukup luas itu Faiz tengah menunggu nasibnya, pertemuan keluarga di adakan secara mendadak oleh abahnya.Selain abah dan uminya, ada juga Mantri Firman dan istrinya, kemudian turut hadir pula kakak dan adik perempuannya. Semua dikumpulkan untuk membahas mengenai masalah Faiz yang melamar seorang janda yang bahkan masa iddahnya belum tuntas.Suasana begitu hening, udar
Faiz bersujud, memohon ampun dan kasih sayang pemilik cinta, berharap inginnya dikabulkan untuk bersanding dengan seorang Gianira, hatinya sudah sangat menginginkan wanita itu untuk menjadi pendamping hidupnya, menjadi pasangan yang berbagi suka maupun duka, menjadi ayah bagi kedua anak-anak Gianira, Faiz ingin, teramat sangat ingin.Dirinya masih sibuk beristighfar, sesekali diselingi doa yang mendayu, dengan suara lirih dia mengadukan semua perasaannya kepada yang maha mengetahui isi hati, begitu khusu’ hingga dia tidak menyadari, jika sejak tadi abahnya termenung melihatnya dari balik pintu kamarnya.“Maafin abah, Faiz, semua abah lakukan untuk kebaikanmu,” lirih abah, kemudian meninggalkan kamar Faiz.=====================================================Pov GianiraAku berusaha tidak mengambil serius lamaran yang diucapkan ustad Faiz tadi, lagipula, bagaimana bisa seorang wanita yang masih terikat dengan masa iddah bisa memikirkan untuk segera menjalin hubungan dengan orang lain.
Setelah semua pembicaraan selesai, kedua orangtua ustad Faiz akhirnya ijin pamit untuk pulang ke rumah mereka. Aku mengantar mereka hingga ke depan pintu dan menghilang di ujung jalan. Saat masuk ke dalam rumah tubuhku luruh ke lantai, meratapi nasib yang selalu dianggap remeh orang lain hanya karena status sosial. Bukan sakit karena harus menolak ustad Faiz, tapi sakit karena dianggap tidak pantas diadapan orang lain.=====================================================Cukup lama aku meratapi nasib yang mungkin banyak orang lain tidak meninginkannya terjadi dihidup mereka, menjadi yatim piatu sejak kecil bahkan tanpa tau siapa kedua orangtua ku, sekalipun aku tidak pernah melihat wajah mereka, aku dititipkan ke panti asuhan hingga lulus sekolah menekah atas dan kemudian bekerja, saat menikah aku tidak mendapat restu dari orangtua suamiku, kemudian hidup penuh keterbatasan, suami selingkuh, mendapat penghinaan dari banyak orang, dan kini, kembali aku dihadapkan pada pelengkap nasib
“Eciiieee … Kompak bener ini jawabnya, ehem ehem,” Mbak Rima masih saja meledek, membuat anak-anak ikutan tertawa.“Sudahlah, nih kamu obati sendiri lukanya, saya mau makan laper!!” Ucap Mas Riza ketus, seraya melemparkan krim gel obat bakar, dan beranjak menuju dapur.“Ha … ha … ha, ada yang salting nih yee!!” teriak Mbak Rima masih terus tertawa, membuatku jadi tidak enak hati dengan Mas Riza.=====================================================Setelah dirasa sudah membaik aku menyusul Mbak Rima yang sudah lebih dulu ke dapur untuk melanjutkan menyiapkan sarapan pagi. Saat aku tiba di dapur tanpa sengaja pandanganku dan Mas Riza bertemu, dia lebih dulu memutus pandangan kami, mungkin masih kesal karena kopinya tumpah tadi.Aku membantu Mbak Rima memarut keju balok dan menaruhnya di atas bubur jagung buatanku tadi, setelah siap langsung ku hidangkan di atas meja makan, semua sudah berkumpul di sana kecuali Langit dan Bumi, mereka sudah sarapan tadi di rumah, jadi ku minta mereka me
Saat baru saja keluar dari desa, tiba-tiba mobil yang dikendarai Mas Riza berhenti mendadak, membuat tubuh kami semua lumayan terpental ke depan, beruntung tidak sampai celaka yang parah.Begitu memastikan jika keadaan kami baik-baik saja, Mas Riza memutuskan untuk keluar dari mobil dan melihat apa yang terjadi. Aku ikut membuka kaca jendela, dari arahku duduk dapat kulihat jika terjadi keributan di depan sana, dan alangkah terkejutnya saat samar-samar aku melihat jika penyebab keributan itu adalah kedua orang yang sangat ku kenal, bagaimana bisa? Ada apa sebenarnya dengan mereka?”=====================================================Aku melihat Mas Jazirah melayangkan bogem mentah ke wajah dan tubuh ustad Faiz bertubi-tubi, membuat guru ngaji anak-anakku itu kepayahan, banyak orang-orang mengerubungi mereka untuk melerai, namun seperti orang kesetanan Mas Jazirah terus saja memukul ustad Faiz yang bahkan tidak bisa melawan karena kondisinya yang sudah memprihatinkan.Aku melihat Mas
“Kata dokter kondisi ustad Faiz cukup serius, menurut diagnosa dokter, pemukulan yang dialami ustad menyebabkan livernya pecah hingga harus menjalani operasi besar, selain itu hidungnya patah, ya mungkin nanti agak bengkok, huft!” tutur Mas Riza menjelaskan kondisi ustad Faiz, membuatku beristigfar berkali-kali saking ngerinya.“Saya sudah hubungi keluarganya, mungkin sebentar lagi akan datang,” sambungnya lagi.Belum sempat aku membalas ucapan Mas Riza, dari arah belakang kami terdengar suara langkah dan teriakan. Membuatku, MaS Riza dan anak-anak spontan mengarahkan pandangan ke sumber suara.“Sudah saya bilang jangan dekat-dekat dengan anak saya! Tidak paham juga kamu??” aku kaget saat sebuah tamparan mendarat ke pipiku. Tes. Air mataku keluar tanpa dikomandoi.=====================================================“Ibuuu….” Teriak Langit dan Bumi bersamaan, berambur menghampiriku.“Abah! Astaghfirullah!!” suara Umi Aisyah melengking seraya menarik tubuh suaminya.“Jangan main keker
“Gi, nanti di rumah tidak usah cerita kalau bapaknya Faiz mukul kamu ke ibu, ya! Khawatir nanti ibu kepikiran. Anak-anak juga sudah saya briefing untuk menjaga rahasia ini, semoga saja mereka tidak keceplosan,” tuturnya disela-sela perjalanan kami.“Baik, Mas,” sahutku cepat. Setelah itu tidak ada percakapan apapun lagi.Tiba di depan rumah, kami dikejutkan dengan kehadiran Mas Jazirah yang berteriak-teriak di depan rumah, membuat orang-orang berkumpul di depan rumah bu Rosmalia. Mas Riza segera turun dari mobil dan terlihat berdebat dengan Mas Jazirah.Mau apalagi orang tidak tau malu itu?=====================================================Aku memutuskan mengajak anak-anak untuk turun dari mobil, kemudian menyuruh mereka langsung masuk ke dalam rumah dan menutup pintu, sementara aku menghapiri Mas Jazirah yang masih berdebat dengan Mas Riza, membuat kerumunan orang semakin ramai menyaksikannya.“Nah ini, kalian lihat sendirikan? Si duda ini jalan sama istri saya, dasar pebinor! Be
“Tapi, Kyai, ada berita buruk yang harus saya sampaikan ….” Ucap Maidani ragu-ragu.“Apa itu, Dan?”“Tadi saat saya di kantor polisi untuk membuat laporan penangkapan Jazirah, polisi tersebut mengatakan, jika tadi ada seorang wanita bernama Gianira dan pengacaranya, melaporkan Kyai atas kasus kekerasan,” tutur Maidani pelan.=====================================================Seperti sudah mengetahui hal tersebut, kyai Rahmad mencoba bersikap tenang, dia harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Berbeda dengan sang istri, umi Aisyah, walaupun dia sudah mengetahui jika suaminya melakukan kesalahan dengan bertindak gegabah memukul wanita yang dicintai anaknya, tetap saja hatinya tidak menerima jika suaminya harus ditangkap polisi.Tangis umi Aisyah pecah, dirinya berhambur memeluk tubuh suaminya yang terlihat berulang kali menarik nafas, dengan lengannya, kyai Rahmad membelai lembut punggung umi Aisyah, memberikan ketenangan bahwa dirinya baik-baik saja. Dia tidak ingin istrinya geli
Mataku membulat sempurna kala melihat pesan yang lagi-lagi dikirimkan Niryala ke ponselku. Kali ini bukan hanya pesan singkat, tetapi juga sebuah foto yang memperlihatkan bagian atas dadanya dengan sebuah teks sebagai keterangannya.[Apakah ini mirip dengan miliknya Nirmala? Atau lebih besar?]============ Aku menahan nafas demi melihat foto yang Niryala kirimkan. Bagaimana bisa dia mengirimkan foto berisi aurat tubuhnya kepada orang lain yang bukan suaminya? Baru saja ingin mengapusnya, Niryala kembali mengirimiku pesan lagi. Kali ini berisi pesan suara yang membuat jiwa kelaki-lakianku bergejolak.‘Aku akan kirim bagian yang lainnya jika kamu mau,’ tuturnya dengan nada manja dan mendesah.Aku segera menutup ponselku, beranjak dari kasur dan membuka pintu kamar mandi. Beruntung pintunya tidak terkunci sehingga aku bisa langsung masuk tanpa mengetuknya. Kuhampiri Gianira yang sedang membasuh tubuhnya dengan sabun beraroma flower. Membuka seluruh pakaian yang kugunakan, segera kude
Hingga kami selesai makan siang mas Riza masih belum juga kembali. Ke mana sebenarnya dia pergi? Tidak biasanya dia mengacuhkan ku, apalagi kami sedang ada masalah seperti ini. Kubantu Rima membereskan meja makan, kemudian menemani anak-anak membaca buku cerita yang bawa dari rumah. Aku tersenyum senang karena melihat Bumi yang semakin lancar membacanya. Untuk anak seusianya, pintar membaca dan suka membaca adalah anugerah tersendiri.Sebentar lagi dia akan masuk sekolah TK itulah mengapa Bumi semakin hari semakin giat belajarnya. Kehadiran kedua kakaknya juga sangat membantu Bumi dalam belajar, sehingga anak itu tidak harus belajar bersamaku saja.Sesekali aku menoleh pada ponsel yang kuletakan di atas nakas, berharap ada telpon ataupun sekedar chat singkat dari mas Riza yang hingga kini keberadaannya tidak kuketahui. Namun, nihil, tidak ada satupun pesannya singgah di ponselku.Jantungku mendadak berdegup cepat kala mendengar suara pintu depan dibuka. Berharap sekali jika mas Riza
Yuk boleh banget yuk kalau mau cubitin ginjalnya Riza yuk! Mumpung sudah buka puasa ✌️🤪=======[Aku sungguh merasa lega sekarang, akhirnya bertemu denganmu dan bisa mengatakan wasiat Nirmala kepadamu.Kamu tenang saja, rindumu kepada Nirmala akan terlampiaskan. Kami ini kembar identik, hampir seluruh bentuk tubuh kami sangat mirip, jadi, mungkin kau akan ‘menemukan’ Nirmala saat mengekplore diriku setelah pernikahan kita nanti, bye]==============Aku mengucap istighfar sebagai upaya untuk menetralkan isi kepalaku. Isi chat Niryala sungguh di luar batas logika. Bagaimana dia bisa menuliskan isi chat semacam itu terhadap pria yang baru saja ditemuinya?Namun, aku tidak dapat berbohong, jjka jiwa kelaki-lakianku bergejolak tatkala membacanya. Aku membayangkan kembali saat-saat aku memadu kasih bersama Nirmala, dirinya yang romantis dan seringkali meminta lebih dulu membuatku merasa dilayani dengan baik dan sempurna.Berbeda sekali dengan Gianira yang harus kupancing terlebih dahulu ba
Tahan emosii yaa...! Bulan puasa! 😆======“Gia baik-baik aja kok, Bu. Gia hanya butuh waktu untuk sendiri, Gia titip anak-anak sebentar ya, Bu!” ucapku pelan, kemudian masuk kembali ke dalam kamar dan menguncinya.Kufikir Mas Riza akan menyusulku, tapi hingga tiga puluh menit lebih dirinya tidak kunjung tiba di rumah. Kemana dia? Apa masih bersama wanita tadi? Siapa sebenarnya wanita itu? Mengapa ibu juga seperti tidak mengenalnya?================== Kuputuskan untuk pergi meninggalkan Niryala, berlama-lama dengannya hanya akan menambah pusing kepalaku. Selain itu aku perlu menjelaskan permasalahan ini kepada ibu dan Gianira. Mereka berhak tau mengenai amanah yang Nirmala katakan kepada Niryala, kembarannya.Memasuki Villa, aku dibuat heran dengan kondisi ruang tamu yang sepi, ke mana mereka semua? Apa sedang berkumpul di kamar? Segera aku mengecek ke kamar anak-anak, benar, mereka sedang berkumpul di sana, tetapi tidak kutemukan Gianira diantara mereka.Ibu dan Rima menatapku deng
Yok yok yang emosi yok lanjutin emosinya.. Ini sudah mendekati akhir Yaa cinta-cintanya akuuu ✌️🤪================ “Mas, sekarang aku sudah tidak memiliki kekasih ataupun suami, aku ingin melaksanakan pesannya Nirmala untuk menikahi suaminya. Apa kamu bersedia menikah denganku, Mas?” Membulat sempurna mataku tatkala mendengar Niryala mengatakan hal tergila yang pernah kudengar seumur hidupku. Apa dia sedang menawarkan diri untuk menjadi istriku? Tapi, aku sudah memiliki istri yang baru, Gianira. Bagaimana dengannya jika aku menikah dengan Niryala?============ Aku terdiam, masih mencerna semua pernyataan Niryala. Tidak menyangka setela tujuh tahun kepergiannya Nirmala kembali dengan pesan yang membuat dadaku sesak. Mengapa dia tidak pernah mengatakan jika memiliki seorang saudara kembar? Mengapa dia menyembunyikan rasa sakit di tubuhnya? Lalu mengapa dirinya bisa berpesan seperti itu kepada Niryala?Sepuluh menit sudah kami berdua saling terdiam, tidak ada sedikitpun perkataan yan
“Permisi, ini Mas Riza, kan?” tawaku dan Rima terhenti saat seorang wanita datang menemui kami.Bagai melihat hantu di siang bolong, aku begitu terperangah demi melihat siapa wanita yang berdiri di hadapanku dan Rima saat ini. Ini tidak mungkin, tidak mungkin terjadi.“N-nir … ma-la?” ucapku pelan karena terkejutnya.=============== Berulang kali kucoba menggosok mataku, barangkali ada kotoran mata yang menghalangi pandanganku sehingga melantur. Tapi mengapa hasilnya tetap sama? Wanita yang sejak tadi kufikirkan kini berdiri menjulang di hadapanku. Nirmala, dia benar Nirmala, istriku. Astaga, bagaimana bisa?“Nirmala? K-kamu, Nirmala?” tanyaku terbata, beranjak dari posisiku agar bisa berdiri sejajar dengannya. Ya Tuhan, benar, wajah itu, wajah yang teramat kurindukan, wajah yang bertahun-tahun membuat tidurku tidak tenang, wajah yang membuat hari-hariku murung karena kehilangan senyumnya. Ini benar-benar Nirmalaku, astaga aku tidak sedang melindur dan bermimpi, dia Nirmala.Tanp
“Bagun, yuk! Sholat subuh dulu!” ucapku lagi masih mengusap-usap kepala mereka satu persatu.“Ibu, tadi malam ibu menangis, ya? Langit dengar suara tangisan ibu di kamar mandi, pas ibu sholat juga ibu menangis, ibu kenapa?” Degh, bagaimana bisa Langit mendengar suara tangisku? Padahal saat di kamar mandi aku sudah menyalakan keran air untuk menyamarkan suaraku.============= Aku masih diam tidak tau harus memberika jawaban apa untuk pertanyaan anakku Langit. Kufikir tidak ada yang mendengarku menangis tadi, karena sebisa mungkin kutahan tangisku agar tidak mengeluarkan suara yang jelas. Namun, ternyata Langitku mendengarnya, dia tau kalau aku menangis, tapi, mengapa dia tidak mendatangiku? “Ibu, ibu kok diam?” tanyanya lagi, mungkin masih penasaran karena aku tidak menjawab pertanyaanku.“Ibu tidak apa-apa, Sayang. Ibu tadi menangis bahagia karena kalian datang ke sini nyusulin ibu sama ayah,” sahutku sama seperti jawaban yang kuberikan pada ibu tadi. Lagipula ini tidak sepenuhnya d
Mendengar penjelasan Harsa rasanya sangat kecil kemungkinan Jazirah untuk dapat menerobos masuk ke dalam rumahku dan membuat keonaran. Semoga saja segala antisipasi yang sudah Harsa lakukan bisa mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Pantas saja sejak tadi aku tidak dapat memejamkan mata, rupa ada kabar yang tidak mengenakan yang kudengar dari Harsa malam ini.=============== Setelah berdiskusi seputar rencana selanjutnya, aku memutuskan untuk melanjutkan tujuan awalku ke dapur untuk mengambil air minum. Rasa haus bercampur rasa khawatir akan hal yang akan dilakukan Jazirah terhadap keluargaku seketika hilang saat kuteguk segelas air putih dingin yang kuambil dari kulkas.Setidaknya aku masih bisa cukup tenang karena penjagaan dari Harsa dan teman-temannya. Walaupun aku belum mengetahui apa motif yang membuat Jazirah kembali mengganggu hidup kami. Kufikir ucapan telak yang Gianira arahkan untuknya saat itu mampu membuatnya malu untuk mengganggu hidup kami, tapi nyatanya sifat Jazi
“Apa, lho Dhan, kamu datang-datang sudah membuat harapan palsu untuk anak-anak, kalau benar produksi langsung berhasil, kalau bibitnya gagal dulu gimana? Bisa kecewa cucu-cucu ibu, Dhan, Dhan,” ucap Ibu yang sontak membuatku dan Mas Riza membulatkan mata bersamaan.“Ha … ha … ha, kena kau, Za, Za! Sana ngebibit yang benar makanya biar enggak gagal!” tawa Mas Dhanis menguar, membuat yang lain pun ikut tertawa.=========== Pembahasan yang sudah tidak sehat ini membuatku menarik paksa Dhanis untuk keluar dari Villa menuju kolam renang, tidak bisa kubayangkan jika pembahasan ini terus menerus dilakukan di depan ketiga anak-anakku, bisa rusak otak mereka semua, sebagai ayah tentu aku tidak menginginkan hal tersebut.Aku ingin anakku tumbuh menjadi anak baik, sopan dan bertutur kata yang baik, cerdas bisa di asah, tapi masalah adab dan sopan santun itu harus ditanamkan sejak dini, jangan sampai rusak fitrah mereka karena teracuni obrolan kotor orang dewasa di sekitarnya.Aku memang belum