Beranda / Pernikahan / Kami Bisa Tanpamu Mas / Bab 1 | Ke mana Mas Jazirah

Share

Kami Bisa Tanpamu Mas
Kami Bisa Tanpamu Mas
Penulis: Didi Mawadah

Bab 1 | Ke mana Mas Jazirah

Penulis: Didi Mawadah
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Aku masih merenung, bingung hendak memasak apa hari ini untuk kedua anak-anakku. Dua pekan sudah mas Jazirah tidak pulang ke rumah, tempat kerjanya yang cukup jauh dari kontrakan kami, membuatnya memutuskan untuk pulang setiap satu pekan sekali. Tapi mengapa sudah dua pekan dia tidak juga pulang? Jangankan bahan makanan, bahkan beraspun sudah tidak ada di dalam tempayan.

Aku hanya seorang ibu rumah tangga yang sibuk mengurus kedua putraku, si sulung, Langit Biru berusia lima tahun, dan adiknya, Bumi Bhayangkara baru saja menginjak usia tiga tahun sebulan yang lalu. Suamiku, mas Jazirah bekerja sebagai penjaga toko sembako, di pasar induk yang terletak di kota, sedang kami mengontrak rumah petakan di desa.

Tidak banyak pendapatan yang mas Jazirah dapatkan dengan bekerja di sana, tapi setidaknya cukup untuk memenuhi kebutuhan kami berempat dan untuk membayar kontrakan. Biasanya gaji mas Jazirah akan dibayarkan setiap pekan, jadi mas Jazirah pulang kekontrakan selain untuk melepas rindu kepadaku dan anak-anak, juga untuk memberikan sebagian uang gajinya untuk biaya hidup kami sehari-hari.

Biasanya mas Jazirah akan memberikan uang sebesar Rp. 350.000,- kepadaku, itu adalah jumlah keseluruhan untuk semua biaya hidup kami selama sepekan, termasuk cicilan untuk membayar uang sewa kontrakan sebesar Rp. 150.000,- per pekan, dan token listrik sebesar Rp. 20.000,-. Ya, karena di kontrakan kami hanya ada tiga lampu, satu buah kipas angin dan mesin air jadi paling mahal kami harus membeli token listrik dua pulu ribu saja setiap pekannya.

Sisanya sebesar Rp. 180.000,- aku belikan kebutuhan sehari-hari seperti beras, minyak goreng, gas tiga kiloan dan beberapa bungkus mie instan. Sementara untuk bahan lauk, aku biasanya akan berbelanja setiap hari, karena di kontrakan ku tidak ada kulkas, jadi tidak bisa menyimpan bahan makanan yang cepat busuk.

“Bu, Langit lapar, apa sudah ada makanan?” tanya anakku Langit dengan suara pelan.

“Nanti ya, Nak! Ibu coba ke warung bude Rum dulu, ya. Semoga bude Rum mau memberikan utangan kepada ibu. Kamu di rumah saja, jaga adikmu!” jawabku, lekas meninggalkan anak-anakku menuju warung kelontong yang menjual aneka sayur dan bahan pokok.

“Maaf Bude, apa saya boleh ngutang beras sama telor? Mas Jazirah belum pulang kerja, nanti kalau dia pulang saya bayar,” ucapku takut-takut, karena ini sudah ketiga kalinya aku ngutang di warungnya pekan ini.

“Ngutang aja kerjamu, Gi! Kemarin saja kamu belum bayar, ini kok ya sudah mau ngutangan lagi, di mana otak mu itu? Kamu fikir aku gak perlu modal untuk muter daganganku? Sudah sana pergi, saya gak bisa ngasi utangan ke kamu!” maki bude Rum, membuat pupus sudah harapan ku satu-satunya.

Kemana lagi aku harus mencari pinjaman? Kasian Langit dan Bumi pasti kelaparan, karena dari semalam kami hanya mengganjal perut dengan sepotong singkong. Andai aku bisa menghubungimu, Mas. Kamu di mana? Anak-anak kelaparan.

Setelah dari warung bude Rum, kuputuskan tidak langsung pulang ke rumah, aku mencoba mencari keberuntungan dengan menawarkan tenagaku untuk mencuci dan menggosok ke ruma-rumah warga. Satu persatu pintu rumah aku ketuk untuk menawarkan jasaku, tapi sudah hampir satu jam aku berjalan, tidak ada satupun yang mau memberiku pekerjaan.

Entah kemana lagi aku harus mencari pekerjaan, rasanya kaki ku sudah cukup letih, tapi bagaimanpun aku harus mendapatkan uang untuk makan anak-anakku. Kembali aku langkahkan kaki menuju ke desa sebelah, berharap di sini aku mendapatkan seseorang yang mau menggunakan jasaku.

Matahari sudah cukup tinggi, tapi tidak menggoyahkan langkahku untuk terus mencari pekerjaan, sampai pada rumah terakhir di desa ini yang aku datangi, ku ketuk pintu rumah berwarna biru muda tersebut, tidak lupa aku ucapkan salam agar orang di dalam mengetahui keberadaanku. Tidak lama pintupun terbuka, timbul seorang wanita paruh baya yang melongokan kepalanya.

“Iya, Nak, ada perlu apa, ya?” sapa nya ramah.

“Maaf, Bu. Mungkin jika ibu berkenan, saya sedang mencari pekerjaan sebagai kuli cuci dan gosok baju, apa ibu mau menerima saya untuk bekerja di sini? Saya sedang butuh sekali uang untuk membeli makan untuk anak-anak saya di rumah, Bu.”

“Sebenarnya ibu tidak ada cucian kotor, Nak. Tapi kalau kamu mau, kamu bisa bantu ibu bersih-bersih rumah ini dan memasak makan siang, karena sebentar lagi anak-anak ibu akan datang dan ibu belum sempat memasak,” jawab wanita baya tersebut, membuatku seperti menemukan mata air di padang sahara yang gersang.

“Alhamdulillah, terima kasih. Saya mau, Bu. Saya bisa memasak dengan baik dan membereskan rumah ibu sampai bersih dan rapi,” cicitku dengan semangat.

“Syukurlah kalau begitu, nama saya Ibu Rosmalia, namamu siapa, Nak?”

“Saya Gianira, Bu. Saya punya dua anak di rumah, Langit dan Bumi namanya.”

“Nama yang bagus, Langit, Bumi dan Gianira? Peri laut, kan?” tanyanya memastikan.

“Benar, Bu.”

“Yaudah, yuk masuk, kamu bisa langsung memasak di dapur, setelah itu baru beres-beres rumah, ya!” perintahnya seraya membimbingku masuk ke dalam rumahnya.

Sekilas aku terpana melihat isi rumah ini, meski tampak sederana di luar, tapi isi rumah ini cukup mewah untuk ukuran rumah di desa seperti di sini. Di ruang tamu ada sofa panjang berwarna biru muda yang kontras dengan warna dinding rumah, dibawahnya juga di sediakan karpet berbulu rafsur, yang terlihat sangat tebal dan lembut. Ada juga telivisi berlayar datar yang ukurannya cukup besar, selain itu di pojok-pojok ruangan berdiri kokoh guci-guci yang terlihat mahal.

Terdapat pula lukisan dan foto-foto keluarga yang ku taksir adalah keluarga ibu Rosmalia, masuk ke ruang tengah, ada sebuah meja makan besar yang di kelilingi kursi berjumlah delapan buah, sepertinya bu Rosmalia memiliki keluarga yang besar, terbukti dari jumlah kursi makannya.

Saat sampai di dapurnya, aku cukup terkejut dengan pemandangan yang kulihat. Sebuah dapur modern beserta panci dan wajannya yang tertata apik di kabinet-kabinet penyimpanan, selain itu berdiri apik sebuah lemari es yang memiliki dua pintu yang bisa digeser, dan sebuah oven berukuran besar, yang diletakkan di salah satu kabinet yang sepertinya memang di desain mengikuti ukuran oven.

Dipojok dapur ada wastafel untuk mencuci piring dan sayuran, aku terpana, sungguh berbanding terbalik sekali dengan dapur di kontrakanku, yang hanya ada meja kayu yang di buatkan mas Jazirah ketika kami pindah ke kontrakan itu, diatasnya diletakkan kompor gas bekas pemberian mertuaku yang catnya bahkan sudah terkelupas.

“Gianira, ini coba kamu cuci dulu ikan gurame dan ayam nya, ya! Tolong kamu buatkan gurame asam manis dan sop ayam bisa, ya? Nanti ibu kasih tau bumbunya, anak-anak dan cucu ibu suka sekali makan gurame dan sop ayam,” kata Bu Ros menghapuskan lamunanku.

“Baik, Bu, saya cuci dulu sebentar, ya.”

Aku mencuci tiga ekor ikan gurame yang ukurannya lebih besar dari telapak tanganku, ku taksir beratnya mencapai satu kilogram untuk seekor ikan gurame ini, setelah mencuci ikan dan ayam, aku lanjutkan dengan membuat bumbu untuk membuat sayur sop dan gurame asam manis, sebelum melanjutkan memasak lauk, aku terlebih dahulu mencuci beras dan memasaknya di megicom.

Selain gurame asam manis, bu Rosmalia juga memintaku membuatkan urap sayur , tahu dan tempe goreng, lengkap pula dengan sambal terasinya. Sementara itu, aku melihat bu Ros tengah mengaduk aduk cairan berwarna coklat di atas panci, setelah ku tanya, itu adalah pudding cokelat kesukaan cucunya.

Setelah semua masakan siap, aku langsung mengambil sapu dan lap pel untuk membersihkan seluruh rumah ini, sebenarnya rumah ini sudah bersih, tapi bu Rosmalia bilang, anaknya sangat teliti sekali dengan kebersihan, dan akan marah kalau ada sedikit saja ruangan yang kotor. Selain menyapu dan mengepel, aku juga harus mengelap semua jendela rumah ini, mengusap-usap guci dengan kemoceng, dan menyedot debu di karpet menggunakan vacuum cleaner.

Tidak terasa semua kerjaan sudah selesai, aku terkaget ketika jam sudah menunjukan hampir pukul dua siang, aku teringat anak-anakku yang belum makan di rumah kontrakan. Akhirnya dengan tergesa akupun pamit kepada bu Rosmalia, berharap beliau segera memberikan upahku, sehingga aku bisa membeli makanan untuk Langit dan Bumi di perjalanan pulang.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
nurdianis
sabar gianira
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Kami Bisa Tanpamu Mas   Bab 2 | Pekerjaan Baru

    “Permisi, Bu. Maaf pekerjaan sudah selesai, saya mau pamit sekarang boleh ya, Bu?” tanyaku ketika menemui beliau sedang berada di depan televisi.“Oh iya boleh, Gi. Kamu tunggu dulu sebentar di sini, ya.” Bu Rosmalia beranjak dari duduknya hendak menuju ke arah dapur.Aku menunggu dengan cemas, memikirkan anak-anakku yang pasti sudah sangat kelaparan di rumah. Tidak lama kemudian, Bu Rosmalia datang dengan membawa kantong kresek berwarna putih di tangannya.“Ini, kamu bawa makanan untuk Langit dan Bumi! pasti mereka sudah lapar. Kalau yang ini, upah kamu karena sudah bantu-bantu Ibu hari ini,” kata Bu Rosmalia seraya menyerahkan kantong kresek putih di tangannya dan sebuah amplop kepadaku.“Terima kasih, Bu, karena Ibu sudah berkenan menolong saya dengan memberikan pekerjaan kepada saya, anak-anak saya pasti senang, karena saya membawakan banyak makanan enak untuk mereka di rumah,” sahutku penuh haru. Ah baik sekali orang tua ini.“Sama-sama, Gi. Kamu juga sudah membantu saya hari ini

  • Kami Bisa Tanpamu Mas   Bab 3 | Ada Apa Dengan Langit?

    Aku segera menata semua makanan tersebut ke dalam piring dan mangkok plastik yang sudah kuambil. Kemudian membawanya ke ruang depan dan meletakkannya di depan Langit dan Bumi, seperti dugaanku, kedua anakku langsung terperanjat, pandangan mereka membulat melihat banyaknya makanan yang kusajikan.“Ibu, ini makanan buat kita?” tanya Langit dengan pandangan berkaca-kaca.“Benar, sayang. Yuk Langit sama Bumi makan, ya.” Aku menyerahkan masing-masing piring berisi nasi dan potongan ikan kepada mereka.“Asiiikk, Bumi lapel banget, Bu. Tadi Bumi mau makan loti tapi bude Lum malahin kita ya, Kak? Tutur Bumi dengan suara cadelnya, membuat hatiku kembali perih mengingat hal menyakitkan tadi.“Lain kali kalau Ibu suruh Langit sama Bumi di rumah aja kalian harus nurut, ya! Ibu minta maaf tadi perginya kelamaan. Ibu tadi pergi ke desa sebelah untuk kerja, Alhamdulillah ada yang mau pakai jasa Ibu buat beres-beres rumah dan memasak. Nah, makanan ini dikasih sama orang yang memberi Ibu pekerjaan.”“

  • Kami Bisa Tanpamu Mas   Bab 4 | Anak Miskin

    Kusiapkan makan malam untuk Bumi dan juga untukku, karena tadi akupun belum sempat makan karena sibuk beres-beres rumah. Bumi makan dengan lahap, walaupun tadi sore sudah makan, tapi pengaruh tidak makan dari pagi sampai siang membuat dia cepat lapar lagi sepertinya. Setelah selesai makan, aku mengajak Bumi untuk sholat isya bersama, kulihat Langit sebentar, hendak mengajaknya sholat bersama juga, tapi sepertinya dia sudah tertidur, kuusap lembut kepala Langit dan membisikan doa agar dia menjadi anak yang sholeh, sabar dan patuh kepada kedua orang tua, kemudian kutiupkan ubun-ubun kepalanya, hal itu rutin kulakukan kepada kedua putraku ketika mereka sedang tertidur.Setelah menunaikan sholat isya bersama Bumi, aku membimbingnya untuk segera naik ke atas kasur yang tanpa dialasi dipan. Kuajak dia berdoa sebelum tidur dan membacakan sedikit dongeng sebagai pengantar tidurnya. Bumi dan Langit sama-sama suka jika aku mendongeng untuk mereka sebelum tidur. Biasanya aku akan menceritakan

  • Kami Bisa Tanpamu Mas   Bab 5 | Cap Keluarga Miskin

    Ku peluk erat tubuh sulungku itu, kasian sekali dia, hanya karena keterbasan ekonomi yang kami sandang, membuatnya harus menerima perlakuan buruk dari orang lain. Hati ibu mana yang tidak sakit melihat anaknya disakiti orang lain yang bakan tidak ikut andil dalam memberikan nafkah.“Langit enggak mau lagi mengaji di masjid, Bu. Langit takut diejek teman-teman karena Langit dan Adek Bumi anak miskin. Malu sekali, Bu.” Allah … hancur hati ini mendengarnya, bahaya bullying memang sangat berbahaya, karena korbannya akan merasa sangat tersakiti dan menjadi rendah diri, merasa dikucilkan serta tak memiliki ruang di tempat umum. Perilaku bullying bahkan sudah masuk ke dalam pelanggaran HAM, baik bullying secara verbal maupun non verbal seperti cyber bullying atau penghinaan melalui media sosial.“Langit, dengar ibu ya, Nak! Allah tidak pernah membeda-bedakan hambanya hanya karena dia orang kaya atau orang miskin. Allah hanya melihat hambanya dari keimanan dan ketaqwaannya saja. Walau orang

  • Kami Bisa Tanpamu Mas   Bab 6 | Terkenang Masa Lalu

    Aku dan anak-anak segera masuk ke dalam rumah, canggung karena bingung apa yang harus kulakukan, kemana bu Rosmalia pergi? Apa beliau lupa jika menyuruhku untuk datang hari ini. Aku masih berdiri di ruang tamu ketika tidak tau apa yang harus ku lakukan. Hingga akhirnya pria tadi menyadari keberadaanku yang belum beranjak dari posisi dia duduk.“Kamu ngapain berdiri di situ, hah?” tanyanya ketus, membuatku yang tengah kebingungan terlonjak kaget.=====================================================Aku sedang menyapu lantai dapur, ketika bu Rosmalia datang sambil meletakkan kantong plastik merah bawaannya ke atas meja dapur. Wanita yang masih terlihat cantik di usianya yang sudah mendekati kepala enam itu tersenyum kepadaku.“Maaf ya, Gi, ibu tadi dari warung sebentar. Kamu sudah dari tadi?” tanyanya kepadaku.“Baru saja kok, Bu. Tadi ada sedikit masalah di jalan, jadi agak telat sampai sini. Maaf ya, Bu,” tuturku merasa tidak enak.“Masalah apa, Gi? Anak-anakmu jadi ikut ke sini, kan

  • Kami Bisa Tanpamu Mas   Bab 7 | Awal Mula Mas Berubah

    Kami sampai ke rumah dan mas Jazi langsung dipersilahkan masuk untuk menemui bapak mertua, sedangkan aku dan anak-anak? Disuruh masuk pun kami tidak. Aku dan anak-anak memutuskan untuk menunggu mas Jazi di teras rumah.Sungguh perih, setidaknya biarkan anak-anakku masuk. Mereka kepanasan menunggu di teras. Langit mereka minta makan, karena memang tadi kami belum sempat sarapan di rumah, tapi bagaimana mungkin, bahkan pintu rumah pun tertutup rapat. Akhirnya aku mengajak langit dan Bumi pulang dulu ke kontrakan untuk makan.=====================================================Sesampainya di kontrakan aku segera menyiapkan makanan untuk Langit dan Bumi, anak-anak makan dengan lahap sekali, selain kelaparan, mereka juga kehausan, menunggu cukup lama di teras rumah dari pagi hingga siang hari tentu membuat mereka kelelahan. Akhirnya setela selesai makan kedua anakku tertidur, sementara aku membereskan bekas makan mereka.Hari sudah beranjak malam, tapi belum ada tanda-tanda mas Jazi pula

  • Kami Bisa Tanpamu Mas   Bab 8 | Ada Apa Dengan Bu Rosmalia?

    Aku menata semua masakan yang telah matang di atas meja makan, tidak lupa aku menata piring dan gelas untuk ku isi air putih juga. Setelah semua sudah siap, aku menghampiri bu Rosmalia untuk memberitahukan jika makanan suda terhidang. Tapi langkahku terhenti ketika tanpa sengaja, telingaku menangkap suara tangisan dari dalam kamar mas Riza. Siapa yang menangis? Apa mas Riza?.=====================================================Aku baru saja akan beranjak dari depan kamar mas Riza ketika tiba-tiba saja pintu kamar tersebut terbuka, menampilkan sosok pria yang tadi pagi terlihat sangat ketus, tapi siang ini terlihat cukup rapuh, ada air mata tersemat di ujung matanya, menandakan suara yang tadi kudengar adalah benar tangisannya.“Ngapaain kamu di depan kamar saya?” tanya mas Riza, ketika tatapan kami bersirobok. Kesan rapuh seketika hilang, berganti wajah ketus di sana.“Hmm anu Mas, ta – tadi saya tidak sengaja sedang lewat depan kamar Mas Riza, terus mendengar suara ta….” Belum sem

  • Kami Bisa Tanpamu Mas   Bab 9 | Kedatangan Mas Jazirah

    Mas Riza langsung berlari menuju mobilnya, tidak lama ia kembali dengan kota perkakas, dibukannya kotak itu dan menemukan sebatang palu berukuran besar. Segera saja Mas Riza memukul-mukul engsel dengan palu, berhasil, engselnya rusak, tapi belum terbuka. Kembali Mas Riza mengetukkan palunya, kali ini berhasil, Mas Riza mencopot engselnya dan mencongkel, akhirnya pintu kamar Bu Rosmalia terbuka. Kami segera masuk, alangkah terkejutnya dengan apa yang kami lihat di dalam kamar.=====================================================Kami semua terkejut melihat posisi Bu Rosmalia yang tersungkur tak sadarkan diri di lantai, Mbak Rima teriak histeris, Tiara tidak mau kalah dengan tantenya tersebut, dia menangis sekencang yang dia bisa sambil terus memanggil neneknya. Sementara Mas Riza, dia terlihat sangat shock, sehingga hanya bergeming di posisinya berdiri.Aku yang menyadari jika keadaan Bu Ros tidak baik-baik saja, segera menghampirinya dan membawanya ke pangkuanku. Hal pertama yang aku

Bab terbaru

  • Kami Bisa Tanpamu Mas   Bab 106 | Terbongkar

    Mataku membulat sempurna kala melihat pesan yang lagi-lagi dikirimkan Niryala ke ponselku. Kali ini bukan hanya pesan singkat, tetapi juga sebuah foto yang memperlihatkan bagian atas dadanya dengan sebuah teks sebagai keterangannya.[Apakah ini mirip dengan miliknya Nirmala? Atau lebih besar?]============ Aku menahan nafas demi melihat foto yang Niryala kirimkan. Bagaimana bisa dia mengirimkan foto berisi aurat tubuhnya kepada orang lain yang bukan suaminya? Baru saja ingin mengapusnya, Niryala kembali mengirimiku pesan lagi. Kali ini berisi pesan suara yang membuat jiwa kelaki-lakianku bergejolak.‘Aku akan kirim bagian yang lainnya jika kamu mau,’ tuturnya dengan nada manja dan mendesah.Aku segera menutup ponselku, beranjak dari kasur dan membuka pintu kamar mandi. Beruntung pintunya tidak terkunci sehingga aku bisa langsung masuk tanpa mengetuknya. Kuhampiri Gianira yang sedang membasuh tubuhnya dengan sabun beraroma flower. Membuka seluruh pakaian yang kugunakan, segera kude

  • Kami Bisa Tanpamu Mas   Bab 105 | Ancaman Dhanis

    Hingga kami selesai makan siang mas Riza masih belum juga kembali. Ke mana sebenarnya dia pergi? Tidak biasanya dia mengacuhkan ku, apalagi kami sedang ada masalah seperti ini. Kubantu Rima membereskan meja makan, kemudian menemani anak-anak membaca buku cerita yang bawa dari rumah. Aku tersenyum senang karena melihat Bumi yang semakin lancar membacanya. Untuk anak seusianya, pintar membaca dan suka membaca adalah anugerah tersendiri.Sebentar lagi dia akan masuk sekolah TK itulah mengapa Bumi semakin hari semakin giat belajarnya. Kehadiran kedua kakaknya juga sangat membantu Bumi dalam belajar, sehingga anak itu tidak harus belajar bersamaku saja.Sesekali aku menoleh pada ponsel yang kuletakan di atas nakas, berharap ada telpon ataupun sekedar chat singkat dari mas Riza yang hingga kini keberadaannya tidak kuketahui. Namun, nihil, tidak ada satupun pesannya singgah di ponselku.Jantungku mendadak berdegup cepat kala mendengar suara pintu depan dibuka. Berharap sekali jika mas Riza

  • Kami Bisa Tanpamu Mas   Bab 104 | Mulai Nyaman

    Yuk boleh banget yuk kalau mau cubitin ginjalnya Riza yuk! Mumpung sudah buka puasa ✌️🤪=======[Aku sungguh merasa lega sekarang, akhirnya bertemu denganmu dan bisa mengatakan wasiat Nirmala kepadamu.Kamu tenang saja, rindumu kepada Nirmala akan terlampiaskan. Kami ini kembar identik, hampir seluruh bentuk tubuh kami sangat mirip, jadi, mungkin kau akan ‘menemukan’ Nirmala saat mengekplore diriku setelah pernikahan kita nanti, bye]==============Aku mengucap istighfar sebagai upaya untuk menetralkan isi kepalaku. Isi chat Niryala sungguh di luar batas logika. Bagaimana dia bisa menuliskan isi chat semacam itu terhadap pria yang baru saja ditemuinya?Namun, aku tidak dapat berbohong, jjka jiwa kelaki-lakianku bergejolak tatkala membacanya. Aku membayangkan kembali saat-saat aku memadu kasih bersama Nirmala, dirinya yang romantis dan seringkali meminta lebih dulu membuatku merasa dilayani dengan baik dan sempurna.Berbeda sekali dengan Gianira yang harus kupancing terlebih dahulu ba

  • Kami Bisa Tanpamu Mas   Bab 103 | Kemarahan Ibu

    Tahan emosii yaa...! Bulan puasa! 😆======“Gia baik-baik aja kok, Bu. Gia hanya butuh waktu untuk sendiri, Gia titip anak-anak sebentar ya, Bu!” ucapku pelan, kemudian masuk kembali ke dalam kamar dan menguncinya.Kufikir Mas Riza akan menyusulku, tapi hingga tiga puluh menit lebih dirinya tidak kunjung tiba di rumah. Kemana dia? Apa masih bersama wanita tadi? Siapa sebenarnya wanita itu? Mengapa ibu juga seperti tidak mengenalnya?================== Kuputuskan untuk pergi meninggalkan Niryala, berlama-lama dengannya hanya akan menambah pusing kepalaku. Selain itu aku perlu menjelaskan permasalahan ini kepada ibu dan Gianira. Mereka berhak tau mengenai amanah yang Nirmala katakan kepada Niryala, kembarannya.Memasuki Villa, aku dibuat heran dengan kondisi ruang tamu yang sepi, ke mana mereka semua? Apa sedang berkumpul di kamar? Segera aku mengecek ke kamar anak-anak, benar, mereka sedang berkumpul di sana, tetapi tidak kutemukan Gianira diantara mereka.Ibu dan Rima menatapku deng

  • Kami Bisa Tanpamu Mas   Bab 102 | Terluka

    Yok yok yang emosi yok lanjutin emosinya.. Ini sudah mendekati akhir Yaa cinta-cintanya akuuu ✌️🤪================ “Mas, sekarang aku sudah tidak memiliki kekasih ataupun suami, aku ingin melaksanakan pesannya Nirmala untuk menikahi suaminya. Apa kamu bersedia menikah denganku, Mas?” Membulat sempurna mataku tatkala mendengar Niryala mengatakan hal tergila yang pernah kudengar seumur hidupku. Apa dia sedang menawarkan diri untuk menjadi istriku? Tapi, aku sudah memiliki istri yang baru, Gianira. Bagaimana dengannya jika aku menikah dengan Niryala?============ Aku terdiam, masih mencerna semua pernyataan Niryala. Tidak menyangka setela tujuh tahun kepergiannya Nirmala kembali dengan pesan yang membuat dadaku sesak. Mengapa dia tidak pernah mengatakan jika memiliki seorang saudara kembar? Mengapa dia menyembunyikan rasa sakit di tubuhnya? Lalu mengapa dirinya bisa berpesan seperti itu kepada Niryala?Sepuluh menit sudah kami berdua saling terdiam, tidak ada sedikitpun perkataan yan

  • Kami Bisa Tanpamu Mas   Bab 101 | Niryala

    “Permisi, ini Mas Riza, kan?” tawaku dan Rima terhenti saat seorang wanita datang menemui kami.Bagai melihat hantu di siang bolong, aku begitu terperangah demi melihat siapa wanita yang berdiri di hadapanku dan Rima saat ini. Ini tidak mungkin, tidak mungkin terjadi.“N-nir … ma-la?” ucapku pelan karena terkejutnya.=============== Berulang kali kucoba menggosok mataku, barangkali ada kotoran mata yang menghalangi pandanganku sehingga melantur. Tapi mengapa hasilnya tetap sama? Wanita yang sejak tadi kufikirkan kini berdiri menjulang di hadapanku. Nirmala, dia benar Nirmala, istriku. Astaga, bagaimana bisa?“Nirmala? K-kamu, Nirmala?” tanyaku terbata, beranjak dari posisiku agar bisa berdiri sejajar dengannya. Ya Tuhan, benar, wajah itu, wajah yang teramat kurindukan, wajah yang bertahun-tahun membuat tidurku tidak tenang, wajah yang membuat hari-hariku murung karena kehilangan senyumnya. Ini benar-benar Nirmalaku, astaga aku tidak sedang melindur dan bermimpi, dia Nirmala.Tanp

  • Kami Bisa Tanpamu Mas   Bab 100 | Nirmala

    “Bagun, yuk! Sholat subuh dulu!” ucapku lagi masih mengusap-usap kepala mereka satu persatu.“Ibu, tadi malam ibu menangis, ya? Langit dengar suara tangisan ibu di kamar mandi, pas ibu sholat juga ibu menangis, ibu kenapa?” Degh, bagaimana bisa Langit mendengar suara tangisku? Padahal saat di kamar mandi aku sudah menyalakan keran air untuk menyamarkan suaraku.============= Aku masih diam tidak tau harus memberika jawaban apa untuk pertanyaan anakku Langit. Kufikir tidak ada yang mendengarku menangis tadi, karena sebisa mungkin kutahan tangisku agar tidak mengeluarkan suara yang jelas. Namun, ternyata Langitku mendengarnya, dia tau kalau aku menangis, tapi, mengapa dia tidak mendatangiku? “Ibu, ibu kok diam?” tanyanya lagi, mungkin masih penasaran karena aku tidak menjawab pertanyaanku.“Ibu tidak apa-apa, Sayang. Ibu tadi menangis bahagia karena kalian datang ke sini nyusulin ibu sama ayah,” sahutku sama seperti jawaban yang kuberikan pada ibu tadi. Lagipula ini tidak sepenuhnya d

  • Kami Bisa Tanpamu Mas   Bab 99 | Cemburu

    Mendengar penjelasan Harsa rasanya sangat kecil kemungkinan Jazirah untuk dapat menerobos masuk ke dalam rumahku dan membuat keonaran. Semoga saja segala antisipasi yang sudah Harsa lakukan bisa mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Pantas saja sejak tadi aku tidak dapat memejamkan mata, rupa ada kabar yang tidak mengenakan yang kudengar dari Harsa malam ini.=============== Setelah berdiskusi seputar rencana selanjutnya, aku memutuskan untuk melanjutkan tujuan awalku ke dapur untuk mengambil air minum. Rasa haus bercampur rasa khawatir akan hal yang akan dilakukan Jazirah terhadap keluargaku seketika hilang saat kuteguk segelas air putih dingin yang kuambil dari kulkas.Setidaknya aku masih bisa cukup tenang karena penjagaan dari Harsa dan teman-temannya. Walaupun aku belum mengetahui apa motif yang membuat Jazirah kembali mengganggu hidup kami. Kufikir ucapan telak yang Gianira arahkan untuknya saat itu mampu membuatnya malu untuk mengganggu hidup kami, tapi nyatanya sifat Jazi

  • Kami Bisa Tanpamu Mas   Bab 98 | Rekaman CCTV

    “Apa, lho Dhan, kamu datang-datang sudah membuat harapan palsu untuk anak-anak, kalau benar produksi langsung berhasil, kalau bibitnya gagal dulu gimana? Bisa kecewa cucu-cucu ibu, Dhan, Dhan,” ucap Ibu yang sontak membuatku dan Mas Riza membulatkan mata bersamaan.“Ha … ha … ha, kena kau, Za, Za! Sana ngebibit yang benar makanya biar enggak gagal!” tawa Mas Dhanis menguar, membuat yang lain pun ikut tertawa.=========== Pembahasan yang sudah tidak sehat ini membuatku menarik paksa Dhanis untuk keluar dari Villa menuju kolam renang, tidak bisa kubayangkan jika pembahasan ini terus menerus dilakukan di depan ketiga anak-anakku, bisa rusak otak mereka semua, sebagai ayah tentu aku tidak menginginkan hal tersebut.Aku ingin anakku tumbuh menjadi anak baik, sopan dan bertutur kata yang baik, cerdas bisa di asah, tapi masalah adab dan sopan santun itu harus ditanamkan sejak dini, jangan sampai rusak fitrah mereka karena teracuni obrolan kotor orang dewasa di sekitarnya.Aku memang belum

DMCA.com Protection Status