Share

Bab 4 | Anak Miskin

Penulis: Didi Mawadah
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Kusiapkan makan malam untuk Bumi dan juga untukku, karena tadi akupun belum sempat makan karena sibuk beres-beres rumah. Bumi makan dengan lahap, walaupun tadi sore sudah makan, tapi pengaruh tidak makan dari pagi sampai siang membuat dia cepat lapar lagi sepertinya.

Setelah selesai makan, aku mengajak Bumi untuk sholat isya bersama, kulihat Langit sebentar, hendak mengajaknya sholat bersama juga, tapi sepertinya dia sudah tertidur, kuusap lembut kepala Langit dan membisikan doa agar dia menjadi anak yang sholeh, sabar dan patuh kepada kedua orang tua, kemudian kutiupkan ubun-ubun kepalanya, hal itu rutin kulakukan kepada kedua putraku ketika mereka sedang tertidur.

Setelah menunaikan sholat isya bersama Bumi, aku membimbingnya untuk segera naik ke atas kasur yang tanpa dialasi dipan. Kuajak dia berdoa sebelum tidur dan membacakan sedikit dongeng sebagai pengantar tidurnya. Bumi dan Langit sama-sama suka jika aku mendongeng untuk mereka sebelum tidur.

Biasanya aku akan menceritakan kisah-kisah nabi ataupun sahabat nabi, seperti kisahnya Abu Bakar Ash Shidiq yang selalu mendukung dakwah Rosulullah dengan harta dan kesetiaannya, juga kisah kepahlawanan Umar bin Khatab, yang membuat setanpun lari tunggang langgang ketika bertemu jalan dengannya. Ya, sebisa mungkin aku mengenalkan pahlawan-pahlawan muslim, agar mereka bisa mencontoh sifat dan perilaku mereka.

Malam ini aku menceritakan kisahnya Bilal bin Rabbah kepada Bumi, seorang budak miskin yang memiliki warna kulit sangat gelap, selalu disiksa dan dikasari oleh tuannya, seakan tidak ada harapan untuknya bertahan karena siksaan yang dialaminya, tapi tidak meyurutkan keyakinannya akan ke-Esaan Allah SWT. Terbukti, karena keteguhan dirinya mempertahankan aqidah, dia rela disiksa dengan batu besar yang ditimpakan di atas tubuhnya di tengah padang kering nan panas gersang.

Terbayang akan beratnya batu besar tersebut yang bisa menindih bahkan mengelupaskan kulit si budak hitam. Hingga datanglah seorang sahabat rosul yang bernama Utsman bin Affan yang menebusnya kepada sang tuan. Akhirnya Bilal bin Rabbah terlepas dari kejahilan tuannya. Kini dia menjadi orang merdeka, yang bisa menjalankan ibadah sesuai dengan perintah Tuhannya.

“Nah, Bumi, dari kisah Bilal bin Rabbah tadi, kira-kira apa pesan yang bisa kita ambil, Nak?” tanyaku ketika selesai membacakan cerita. Ini ku lakukan agar mengetahui jika mereka benar-benar menyerap cerita yang ku kisahkan atau tidak.

“Apa ya, Bu? Bial kita sabal, ya?” tanyanya ragu.

“Benar, Sayang. Agar kita mencontoh sikap sabar Bilal bin Rabbah, dan tetap teguh pada keyakinan kita akan Allah SWT. Apapun masalah ataupun cobaan yang kita hadapi, kita wajib berbaik sangka sama Allah, percaya kalau pertolongan Allah pasti da …?”

“Tang!” teriak Bumi melanjutkan ucapanku.

“Benar, Bumi pintar sekali, Nak. Ibu bangga sama Bumi dan Kakak Langit, kalian harus jadi anak yang sabar, ya. Kalau Kakak Langit nanti hilang sabar, Bumi yang ingatkan, ya!” tuturku seraya mengusap-usap kepala Bumi agar segera terlelap.

==============

Aku tersentak bangun dari tidur lelap ketika tidak sengaja mendengar suara benda terjatuh di ruang depan, bergegas aku turun dari kasur dan menghampiri sumber kegaduhan. Tidak ada angin maupun hujan, bingkai foto mas Jazirah terjatuh dari dinding ke lantai, sehingga kacanya pecah berhamburan. Kulirik jam di atas nakas, baru menunjukan pukul tiga dini hari. Mengapa perasaanku kembali menjadi tidak enak?

Segera kuambil sapu dan pengki untuk membersihan serpihan kaca yang terberai, takut jika nanti Langit atau Bumi terkena pecahannya, setelah selesai lanjut aku pel lantainya sekalian agar benar-benar yakin jika sudah tidak ada lagi serpihan yang tersisa.

Begitu dirasa sudah bersih semua, aku putuskan untuk melaksanakan sholat malam, agar hatiku yang sedang gundah gelisah menjadi tenang.

“Ya Allah, Tuhanku yang maha pengasih dan maha penyayang. Tidak ada upaya yang bisa hamba lakukan melainkan sesuai ketentuanmu. Ya Allah, jagalah suamiku mas Jazirah, lindungi di manapun dia berada, sampaikan rinduku dan anak-anak ke dalam hatinya, gerakkan hati mas Jazi untuk segera pulang menemui kami ya Allah.”

“Ya Allah, jagalah kedua buah hatiku, Langit dan Bumi, lindungi mereka, jadikan mereka anak yang soleh dan cerdas, jauhi mereka dari orang-orang jahat. Aamiin.”

Aku melangitkan doa dan harapan-harapanku kepada yang Maha Tinggi, hanya kepada-Nya segala angan dan harapan ku gantungkan, karena aku sadar, ketika harapan itu di letakkan di pundak manusia, makan kita harus menyiapkan hati untuk kecewa. Aku titipkan suamiku mas Jazi kepada Robb-Nya, agar dia segera ingat jika ada anak-anak dan istrinya yang menunggu dia di rumah.

Kini perasaan menjadi lebih tenang setelah melaksanakan sholat malam, aku kembali ke kamar untuk melihat anak-anakku. Mereka masih tertidur sangat pulas, sebentar lagi waktu subuh berkumandang, walaupun masih terlalu kecil, tetapi aku sudah membiasakan mereka untuk bangun sholat subuh, walaupun biasanya mereka akan tertidur kembali setelah menunaikan sholat dua rakaat tersebut.

Kuusap lembut kepala Langit, menciuminya agar dia segera bangun. Tidak lama kemudian, tubuh bongsornya menggeliat menandakan si empunya tubuh sudah bangun dari alam mimpinya. Kubimbing Langit melafalkan doa bangun tidur dan langsung memberikannya air minum yang sengaja aku letakkan di atas nakas.

“Bu, maafin Langit, ya. Semalam Langit cuekin Ibu.” Langit memeluk tubuhku erat, sepertinya dia menangis.

“Langit kenapa, Sayang? Ibu enggak marah sama Langit, tapi Ibu minta Langit cerita ya sama Ibu, kenapa wajah Langit memar? Siapa yang pukul, Nak?” tanyaku seraya menghapus air matanya yang mengalir deras.

“Tapi janji Ibu enggak sedih dan marah, ya?”

“Iya sayang, ibu janji enggak akan sedih dan marah. Ayo, sekarang Langit cerita!”

Langit membenarkan posisi duduknya sebelum memulai cerita.

“Jadi kemarin setelah sholat maghrib, Langit sama Bumi mau ambil air minum gelas yang ada di masjid, tapi katanya Anom enggak boleh, minum itu untuk anak baik, bukan untuk pencuri kayak Langit dan adek Bumi. Terus Anom juga ejek kami, katanya kami anak miskin, enggak boleh mengaji di masjid. Emang benar ya bu kalau anak miskin itu enggak boleh ngaji di masjid?” tutur Langit bercerita.

Anom adalah anaknya pakde Timbul yang usianya dua tahun di atas Langit, rumahnya persis di samping masjid. Mungkin kemarin Anom melihat saat insiden Langit diteriaki maling oleh bude Rum.

“Terus Langit ajak adek Bumi buat pulang dan minum di rumah aja, tapi baru aja kami mau jalan, kaki adek Bumi dijegal sama Anom, adek Bumi nangis, Langit mau bantu adek Bumi berdiri tapi Anom malah dorong Langit juga, karena kesal Langit bangun untuk balas dorong Anom, eh Anom malah pukul Langit di wajah kayak gini. Tapi saat Langit mau balas, ustad Faiz datang dan melerai.”

Ya Allah, bagaimana bisa anak sekecil Anom sudah berlaku jahat seperti itu? Apa pakde Timbul dan istrinya tidak mengajari Anom tata karma dan kasih sayang? Miris, terkadang pergaulan dan tontonan di televisi, acap kali menjadi tuntunan dan contoh teladan bagi anak-anak, yang dibiarkan bebas tanpa pengawasan, sehingga masa-masa golden age mereka justru diisi dengan hal-hal buruk, yang berpengaruh ke dunia nyata mereka.

Bab terkait

  • Kami Bisa Tanpamu Mas   Bab 5 | Cap Keluarga Miskin

    Ku peluk erat tubuh sulungku itu, kasian sekali dia, hanya karena keterbasan ekonomi yang kami sandang, membuatnya harus menerima perlakuan buruk dari orang lain. Hati ibu mana yang tidak sakit melihat anaknya disakiti orang lain yang bakan tidak ikut andil dalam memberikan nafkah.“Langit enggak mau lagi mengaji di masjid, Bu. Langit takut diejek teman-teman karena Langit dan Adek Bumi anak miskin. Malu sekali, Bu.” Allah … hancur hati ini mendengarnya, bahaya bullying memang sangat berbahaya, karena korbannya akan merasa sangat tersakiti dan menjadi rendah diri, merasa dikucilkan serta tak memiliki ruang di tempat umum. Perilaku bullying bahkan sudah masuk ke dalam pelanggaran HAM, baik bullying secara verbal maupun non verbal seperti cyber bullying atau penghinaan melalui media sosial.“Langit, dengar ibu ya, Nak! Allah tidak pernah membeda-bedakan hambanya hanya karena dia orang kaya atau orang miskin. Allah hanya melihat hambanya dari keimanan dan ketaqwaannya saja. Walau orang

  • Kami Bisa Tanpamu Mas   Bab 6 | Terkenang Masa Lalu

    Aku dan anak-anak segera masuk ke dalam rumah, canggung karena bingung apa yang harus kulakukan, kemana bu Rosmalia pergi? Apa beliau lupa jika menyuruhku untuk datang hari ini. Aku masih berdiri di ruang tamu ketika tidak tau apa yang harus ku lakukan. Hingga akhirnya pria tadi menyadari keberadaanku yang belum beranjak dari posisi dia duduk.“Kamu ngapain berdiri di situ, hah?” tanyanya ketus, membuatku yang tengah kebingungan terlonjak kaget.=====================================================Aku sedang menyapu lantai dapur, ketika bu Rosmalia datang sambil meletakkan kantong plastik merah bawaannya ke atas meja dapur. Wanita yang masih terlihat cantik di usianya yang sudah mendekati kepala enam itu tersenyum kepadaku.“Maaf ya, Gi, ibu tadi dari warung sebentar. Kamu sudah dari tadi?” tanyanya kepadaku.“Baru saja kok, Bu. Tadi ada sedikit masalah di jalan, jadi agak telat sampai sini. Maaf ya, Bu,” tuturku merasa tidak enak.“Masalah apa, Gi? Anak-anakmu jadi ikut ke sini, kan

  • Kami Bisa Tanpamu Mas   Bab 7 | Awal Mula Mas Berubah

    Kami sampai ke rumah dan mas Jazi langsung dipersilahkan masuk untuk menemui bapak mertua, sedangkan aku dan anak-anak? Disuruh masuk pun kami tidak. Aku dan anak-anak memutuskan untuk menunggu mas Jazi di teras rumah.Sungguh perih, setidaknya biarkan anak-anakku masuk. Mereka kepanasan menunggu di teras. Langit mereka minta makan, karena memang tadi kami belum sempat sarapan di rumah, tapi bagaimana mungkin, bahkan pintu rumah pun tertutup rapat. Akhirnya aku mengajak langit dan Bumi pulang dulu ke kontrakan untuk makan.=====================================================Sesampainya di kontrakan aku segera menyiapkan makanan untuk Langit dan Bumi, anak-anak makan dengan lahap sekali, selain kelaparan, mereka juga kehausan, menunggu cukup lama di teras rumah dari pagi hingga siang hari tentu membuat mereka kelelahan. Akhirnya setela selesai makan kedua anakku tertidur, sementara aku membereskan bekas makan mereka.Hari sudah beranjak malam, tapi belum ada tanda-tanda mas Jazi pula

  • Kami Bisa Tanpamu Mas   Bab 8 | Ada Apa Dengan Bu Rosmalia?

    Aku menata semua masakan yang telah matang di atas meja makan, tidak lupa aku menata piring dan gelas untuk ku isi air putih juga. Setelah semua sudah siap, aku menghampiri bu Rosmalia untuk memberitahukan jika makanan suda terhidang. Tapi langkahku terhenti ketika tanpa sengaja, telingaku menangkap suara tangisan dari dalam kamar mas Riza. Siapa yang menangis? Apa mas Riza?.=====================================================Aku baru saja akan beranjak dari depan kamar mas Riza ketika tiba-tiba saja pintu kamar tersebut terbuka, menampilkan sosok pria yang tadi pagi terlihat sangat ketus, tapi siang ini terlihat cukup rapuh, ada air mata tersemat di ujung matanya, menandakan suara yang tadi kudengar adalah benar tangisannya.“Ngapaain kamu di depan kamar saya?” tanya mas Riza, ketika tatapan kami bersirobok. Kesan rapuh seketika hilang, berganti wajah ketus di sana.“Hmm anu Mas, ta – tadi saya tidak sengaja sedang lewat depan kamar Mas Riza, terus mendengar suara ta….” Belum sem

  • Kami Bisa Tanpamu Mas   Bab 9 | Kedatangan Mas Jazirah

    Mas Riza langsung berlari menuju mobilnya, tidak lama ia kembali dengan kota perkakas, dibukannya kotak itu dan menemukan sebatang palu berukuran besar. Segera saja Mas Riza memukul-mukul engsel dengan palu, berhasil, engselnya rusak, tapi belum terbuka. Kembali Mas Riza mengetukkan palunya, kali ini berhasil, Mas Riza mencopot engselnya dan mencongkel, akhirnya pintu kamar Bu Rosmalia terbuka. Kami segera masuk, alangkah terkejutnya dengan apa yang kami lihat di dalam kamar.=====================================================Kami semua terkejut melihat posisi Bu Rosmalia yang tersungkur tak sadarkan diri di lantai, Mbak Rima teriak histeris, Tiara tidak mau kalah dengan tantenya tersebut, dia menangis sekencang yang dia bisa sambil terus memanggil neneknya. Sementara Mas Riza, dia terlihat sangat shock, sehingga hanya bergeming di posisinya berdiri.Aku yang menyadari jika keadaan Bu Ros tidak baik-baik saja, segera menghampirinya dan membawanya ke pangkuanku. Hal pertama yang aku

  • Kami Bisa Tanpamu Mas   Bab 10 | Foto Siapa Ini?

    “Justru itu, aku ke sini mau bilang, jika aku tengah mengurus proses perceraian kita, kamu tunggu saja suratnya datang, tidak perlu datang ke pengadilan!. Anak-anak biar ikut kamu saja, lagi pula keluargaku maupun Jamilah tidak menginginkan mereka. Jadi aku minta sama kamu, sampaikan kepada mereka jika aku bukan bapaknya lagi!” ujaranya lancar.Ingin ku sumpal mulutnya dengan tomat busuk, di mana fikirannya sebagai ayah? Kenapa bisa-bisanya dia memutuskan pertalian darah antara dirinya dengan anak-anak?“Yaudah yuk kita pulang, katanya Mas Jazi mau ngajak aku belanja.” Lagi, wanita tidak tahu malu itu bergelayut manja.“Iya sayang, sebentar.”“Dek, sudah ya, aku pamit, surat cerai akan segera ku kirim. Kita sudah tidak ada hubungan apapun lagi, ya!” ujarnya seraya melenggang meninggalkanku mematung di depan pintu.=====================================================Aku masih terpaku dengan perasaan yang entah seperti apa harus ku gambarkan, bagaimana bisa seorang ayah memutuskan pe

  • Kami Bisa Tanpamu Mas   Bab 11 | Ternyata Tiara Seorang Piatu

    Saat hendak memasukan kabel posel milik Mas Riza, lagi lagi mataku menangkap hal tak terduga, sebuah bingkai foto berukuran 5R teronggok di sela-sela antara dipan kasur dan meja kerja milik mas Riza, bukan berniat kurang ajar, aku hanya ingin meletakannya di atas meja. Kupandangi sejenak wajah yang ada di dalam foto tersebut, seorang wanita yang sepertinya tengah mengandung besar. Seyum manis nan tulus tersemat di wajahnya, cantik adalah kesan yang kutangkap dari gambaran wajah tersebut. Apa dia istrinya mas Riza? Sepertinya wajah ini tidak asing untukku, aku seperti pernah melihatnya, tapi di mana? Tidak ingin berlama-lama di sana, aku segera meletakan foto tersebut di atas meja dan beranjak meninggalkan kamar milik ayahnya Tiara tersebut.=====================================================Aku kembali ke kamar tamu dan ikut bergabung dengan anak-anak untuk segera tidur, karena besok pagi aku harus siap-siap ke rumah sakit mengantarkan pakaian ganti untuk bu Ros dan anak-anaknya

  • Kami Bisa Tanpamu Mas   Bab 12 | Bertemu Ayah

    Ucapannya membuat aku tersentak. Jadi Tiara tidak memiliki ibu? Pantas anak ini terlihat kurang terawat. Tubuhnya kurus dan terlihat kurang ceria, padahal mas Riza orang berada, tidak mungkin Tiara kurang makan.“Maafin tante ya, Sayang. Tante tidak tahu kalau ibunya Tiara sudah meninggal,” kataku, seraya memeluknya sebentar dan kemudian mengajaknya memeprcepat langkah menuju ruangan.=====================================================Saat aku tiba di depan ruangan tempat bu Rosmalia dirawat, aku dikejutkan dengan suasana menegangkan, bu Rosmalia sempat berhenti bernafas dan tidak merespon kerja dari alat automated external defibrillator atau yang disingkat AED. Sebuah alat medis yang dapat menganalisis irama jantung secara otomatis dan memberikan kejutan listrik untuk mengembalikan irama jantung.Terlihat kepanikan dan kesedihan diwajah-wajah anak bu Rosmalia, Tiara yang tadi tenang bersamaku pun akhirnya ikut menangis, aku mencoba menenangkan cucu perempuannya bu Rosmalia ini.S

Bab terbaru

  • Kami Bisa Tanpamu Mas   Bab 106 | Terbongkar

    Mataku membulat sempurna kala melihat pesan yang lagi-lagi dikirimkan Niryala ke ponselku. Kali ini bukan hanya pesan singkat, tetapi juga sebuah foto yang memperlihatkan bagian atas dadanya dengan sebuah teks sebagai keterangannya.[Apakah ini mirip dengan miliknya Nirmala? Atau lebih besar?]============ Aku menahan nafas demi melihat foto yang Niryala kirimkan. Bagaimana bisa dia mengirimkan foto berisi aurat tubuhnya kepada orang lain yang bukan suaminya? Baru saja ingin mengapusnya, Niryala kembali mengirimiku pesan lagi. Kali ini berisi pesan suara yang membuat jiwa kelaki-lakianku bergejolak.‘Aku akan kirim bagian yang lainnya jika kamu mau,’ tuturnya dengan nada manja dan mendesah.Aku segera menutup ponselku, beranjak dari kasur dan membuka pintu kamar mandi. Beruntung pintunya tidak terkunci sehingga aku bisa langsung masuk tanpa mengetuknya. Kuhampiri Gianira yang sedang membasuh tubuhnya dengan sabun beraroma flower. Membuka seluruh pakaian yang kugunakan, segera kude

  • Kami Bisa Tanpamu Mas   Bab 105 | Ancaman Dhanis

    Hingga kami selesai makan siang mas Riza masih belum juga kembali. Ke mana sebenarnya dia pergi? Tidak biasanya dia mengacuhkan ku, apalagi kami sedang ada masalah seperti ini. Kubantu Rima membereskan meja makan, kemudian menemani anak-anak membaca buku cerita yang bawa dari rumah. Aku tersenyum senang karena melihat Bumi yang semakin lancar membacanya. Untuk anak seusianya, pintar membaca dan suka membaca adalah anugerah tersendiri.Sebentar lagi dia akan masuk sekolah TK itulah mengapa Bumi semakin hari semakin giat belajarnya. Kehadiran kedua kakaknya juga sangat membantu Bumi dalam belajar, sehingga anak itu tidak harus belajar bersamaku saja.Sesekali aku menoleh pada ponsel yang kuletakan di atas nakas, berharap ada telpon ataupun sekedar chat singkat dari mas Riza yang hingga kini keberadaannya tidak kuketahui. Namun, nihil, tidak ada satupun pesannya singgah di ponselku.Jantungku mendadak berdegup cepat kala mendengar suara pintu depan dibuka. Berharap sekali jika mas Riza

  • Kami Bisa Tanpamu Mas   Bab 104 | Mulai Nyaman

    Yuk boleh banget yuk kalau mau cubitin ginjalnya Riza yuk! Mumpung sudah buka puasa ✌️🤪=======[Aku sungguh merasa lega sekarang, akhirnya bertemu denganmu dan bisa mengatakan wasiat Nirmala kepadamu.Kamu tenang saja, rindumu kepada Nirmala akan terlampiaskan. Kami ini kembar identik, hampir seluruh bentuk tubuh kami sangat mirip, jadi, mungkin kau akan ‘menemukan’ Nirmala saat mengekplore diriku setelah pernikahan kita nanti, bye]==============Aku mengucap istighfar sebagai upaya untuk menetralkan isi kepalaku. Isi chat Niryala sungguh di luar batas logika. Bagaimana dia bisa menuliskan isi chat semacam itu terhadap pria yang baru saja ditemuinya?Namun, aku tidak dapat berbohong, jjka jiwa kelaki-lakianku bergejolak tatkala membacanya. Aku membayangkan kembali saat-saat aku memadu kasih bersama Nirmala, dirinya yang romantis dan seringkali meminta lebih dulu membuatku merasa dilayani dengan baik dan sempurna.Berbeda sekali dengan Gianira yang harus kupancing terlebih dahulu ba

  • Kami Bisa Tanpamu Mas   Bab 103 | Kemarahan Ibu

    Tahan emosii yaa...! Bulan puasa! 😆======“Gia baik-baik aja kok, Bu. Gia hanya butuh waktu untuk sendiri, Gia titip anak-anak sebentar ya, Bu!” ucapku pelan, kemudian masuk kembali ke dalam kamar dan menguncinya.Kufikir Mas Riza akan menyusulku, tapi hingga tiga puluh menit lebih dirinya tidak kunjung tiba di rumah. Kemana dia? Apa masih bersama wanita tadi? Siapa sebenarnya wanita itu? Mengapa ibu juga seperti tidak mengenalnya?================== Kuputuskan untuk pergi meninggalkan Niryala, berlama-lama dengannya hanya akan menambah pusing kepalaku. Selain itu aku perlu menjelaskan permasalahan ini kepada ibu dan Gianira. Mereka berhak tau mengenai amanah yang Nirmala katakan kepada Niryala, kembarannya.Memasuki Villa, aku dibuat heran dengan kondisi ruang tamu yang sepi, ke mana mereka semua? Apa sedang berkumpul di kamar? Segera aku mengecek ke kamar anak-anak, benar, mereka sedang berkumpul di sana, tetapi tidak kutemukan Gianira diantara mereka.Ibu dan Rima menatapku deng

  • Kami Bisa Tanpamu Mas   Bab 102 | Terluka

    Yok yok yang emosi yok lanjutin emosinya.. Ini sudah mendekati akhir Yaa cinta-cintanya akuuu ✌️🤪================ “Mas, sekarang aku sudah tidak memiliki kekasih ataupun suami, aku ingin melaksanakan pesannya Nirmala untuk menikahi suaminya. Apa kamu bersedia menikah denganku, Mas?” Membulat sempurna mataku tatkala mendengar Niryala mengatakan hal tergila yang pernah kudengar seumur hidupku. Apa dia sedang menawarkan diri untuk menjadi istriku? Tapi, aku sudah memiliki istri yang baru, Gianira. Bagaimana dengannya jika aku menikah dengan Niryala?============ Aku terdiam, masih mencerna semua pernyataan Niryala. Tidak menyangka setela tujuh tahun kepergiannya Nirmala kembali dengan pesan yang membuat dadaku sesak. Mengapa dia tidak pernah mengatakan jika memiliki seorang saudara kembar? Mengapa dia menyembunyikan rasa sakit di tubuhnya? Lalu mengapa dirinya bisa berpesan seperti itu kepada Niryala?Sepuluh menit sudah kami berdua saling terdiam, tidak ada sedikitpun perkataan yan

  • Kami Bisa Tanpamu Mas   Bab 101 | Niryala

    “Permisi, ini Mas Riza, kan?” tawaku dan Rima terhenti saat seorang wanita datang menemui kami.Bagai melihat hantu di siang bolong, aku begitu terperangah demi melihat siapa wanita yang berdiri di hadapanku dan Rima saat ini. Ini tidak mungkin, tidak mungkin terjadi.“N-nir … ma-la?” ucapku pelan karena terkejutnya.=============== Berulang kali kucoba menggosok mataku, barangkali ada kotoran mata yang menghalangi pandanganku sehingga melantur. Tapi mengapa hasilnya tetap sama? Wanita yang sejak tadi kufikirkan kini berdiri menjulang di hadapanku. Nirmala, dia benar Nirmala, istriku. Astaga, bagaimana bisa?“Nirmala? K-kamu, Nirmala?” tanyaku terbata, beranjak dari posisiku agar bisa berdiri sejajar dengannya. Ya Tuhan, benar, wajah itu, wajah yang teramat kurindukan, wajah yang bertahun-tahun membuat tidurku tidak tenang, wajah yang membuat hari-hariku murung karena kehilangan senyumnya. Ini benar-benar Nirmalaku, astaga aku tidak sedang melindur dan bermimpi, dia Nirmala.Tanp

  • Kami Bisa Tanpamu Mas   Bab 100 | Nirmala

    “Bagun, yuk! Sholat subuh dulu!” ucapku lagi masih mengusap-usap kepala mereka satu persatu.“Ibu, tadi malam ibu menangis, ya? Langit dengar suara tangisan ibu di kamar mandi, pas ibu sholat juga ibu menangis, ibu kenapa?” Degh, bagaimana bisa Langit mendengar suara tangisku? Padahal saat di kamar mandi aku sudah menyalakan keran air untuk menyamarkan suaraku.============= Aku masih diam tidak tau harus memberika jawaban apa untuk pertanyaan anakku Langit. Kufikir tidak ada yang mendengarku menangis tadi, karena sebisa mungkin kutahan tangisku agar tidak mengeluarkan suara yang jelas. Namun, ternyata Langitku mendengarnya, dia tau kalau aku menangis, tapi, mengapa dia tidak mendatangiku? “Ibu, ibu kok diam?” tanyanya lagi, mungkin masih penasaran karena aku tidak menjawab pertanyaanku.“Ibu tidak apa-apa, Sayang. Ibu tadi menangis bahagia karena kalian datang ke sini nyusulin ibu sama ayah,” sahutku sama seperti jawaban yang kuberikan pada ibu tadi. Lagipula ini tidak sepenuhnya d

  • Kami Bisa Tanpamu Mas   Bab 99 | Cemburu

    Mendengar penjelasan Harsa rasanya sangat kecil kemungkinan Jazirah untuk dapat menerobos masuk ke dalam rumahku dan membuat keonaran. Semoga saja segala antisipasi yang sudah Harsa lakukan bisa mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Pantas saja sejak tadi aku tidak dapat memejamkan mata, rupa ada kabar yang tidak mengenakan yang kudengar dari Harsa malam ini.=============== Setelah berdiskusi seputar rencana selanjutnya, aku memutuskan untuk melanjutkan tujuan awalku ke dapur untuk mengambil air minum. Rasa haus bercampur rasa khawatir akan hal yang akan dilakukan Jazirah terhadap keluargaku seketika hilang saat kuteguk segelas air putih dingin yang kuambil dari kulkas.Setidaknya aku masih bisa cukup tenang karena penjagaan dari Harsa dan teman-temannya. Walaupun aku belum mengetahui apa motif yang membuat Jazirah kembali mengganggu hidup kami. Kufikir ucapan telak yang Gianira arahkan untuknya saat itu mampu membuatnya malu untuk mengganggu hidup kami, tapi nyatanya sifat Jazi

  • Kami Bisa Tanpamu Mas   Bab 98 | Rekaman CCTV

    “Apa, lho Dhan, kamu datang-datang sudah membuat harapan palsu untuk anak-anak, kalau benar produksi langsung berhasil, kalau bibitnya gagal dulu gimana? Bisa kecewa cucu-cucu ibu, Dhan, Dhan,” ucap Ibu yang sontak membuatku dan Mas Riza membulatkan mata bersamaan.“Ha … ha … ha, kena kau, Za, Za! Sana ngebibit yang benar makanya biar enggak gagal!” tawa Mas Dhanis menguar, membuat yang lain pun ikut tertawa.=========== Pembahasan yang sudah tidak sehat ini membuatku menarik paksa Dhanis untuk keluar dari Villa menuju kolam renang, tidak bisa kubayangkan jika pembahasan ini terus menerus dilakukan di depan ketiga anak-anakku, bisa rusak otak mereka semua, sebagai ayah tentu aku tidak menginginkan hal tersebut.Aku ingin anakku tumbuh menjadi anak baik, sopan dan bertutur kata yang baik, cerdas bisa di asah, tapi masalah adab dan sopan santun itu harus ditanamkan sejak dini, jangan sampai rusak fitrah mereka karena teracuni obrolan kotor orang dewasa di sekitarnya.Aku memang belum

DMCA.com Protection Status