Kami sampai ke rumah dan mas Jazi langsung dipersilahkan masuk untuk menemui bapak mertua, sedangkan aku dan anak-anak? Disuruh masuk pun kami tidak. Aku dan anak-anak memutuskan untuk menunggu mas Jazi di teras rumah.
Sungguh perih, setidaknya biarkan anak-anakku masuk. Mereka kepanasan menunggu di teras. Langit mereka minta makan, karena memang tadi kami belum sempat sarapan di rumah, tapi bagaimana mungkin, bahkan pintu rumah pun tertutup rapat. Akhirnya aku mengajak langit dan Bumi pulang dulu ke kontrakan untuk makan.=====================================================Sesampainya di kontrakan aku segera menyiapkan makanan untuk Langit dan Bumi, anak-anak makan dengan lahap sekali, selain kelaparan, mereka juga kehausan, menunggu cukup lama di teras rumah dari pagi hingga siang hari tentu membuat mereka kelelahan. Akhirnya setela selesai makan kedua anakku tertidur, sementara aku membereskan bekas makan mereka.Hari sudah beranjak malam, tapi belum ada tanda-tanda mas Jazi pulang dari rumah orang tuanya. Aku memang memutuskan untuk tidak lagi menyusul mas Jazi ke sana, karena aku takut jika nanti aku dan ana-anakku hanya di anggap patung tak berguna. Lagipula, Langit dan Bumi tertidur hingga sore.Sekitar jam sepuluh malam terdengar suara motor mas Jazi, malam sekali dia baru pulang, aku sampai ketiduran menunggunya. Segera aku bukakan pintu untuknya. Terlihat raut sedih di mata mas Jazi, namun aku enggan bertanya terlebih dahulu, lebih baik aku siapkan dia teh hangat dan baju ganti.“Kamu kenapa pulang tidak ijin dulu sama aku atau ibuku, Dek?” tanya Mas Jazi ketika sedang menyeruput teh hangatnya.“Tadi anak-anak lapar dan kehausan, Mas. Sementara aku dan anak-anak tidak dipersilahkan masuk sama keluargamu, jadi aku memutuskan untuk pulang saja, kasian anak-anak kehausan dan kelaparan,” sahutku menjelaskan.“Tidak mungkin keluargaku tidak mengajak kalian masuk, Dek. Mereka sudah berubah, tadi saja mereka baik sekali sama Mas. Ibu kecewa kenapa kau pulang tetapi tidak ijin, ibu merasa tidak di hargai sama menantunya,” tutur Mas Jazi, terlihat raut wajahnya menunjukan ketidaksukaannya padaku.Astaghfirullah, apalagi ini. Jelas-jelas kami tidak dianggap sama sekali di sana, bahkan suamiku itu tau sendiri bagaimana perlakuan keluarganya kepadaku dan anak-anaknya, kenapa sekarnag dia seperti meragukan aku?.“Mas kan tau gimana perlakuan keluargamu sama kami, tadi setela kamu masuk ke rumah dan aku ingin menyusul, adekmu dengan sengaja menutup pintu dengan keras, bahkan Bumi menangis karena kaget. Jangankan ditawari minim, disuruh masuk saja kami enggak, Mas. Kami menunggu di teras, berharap dibukakan pintu, tapi nihil, jangankan dibukain pintu, diintip lewat jendela pun tidak. Sekarang gimana aku mau ijin sama kamu, handpone aja aku enggak punya, sementara mau masuk ditutupi pintu,” ujarku panjang lebar. Rasanya hati ini cukup panas mendengar penuturan Mas Jazi barusan.“Kok kamu jadi sewot, Dek? Aku kan Cuma nanya, lagian kan orang bisa berubah termasuk keluargaku.” Mas Jazi beranjak meninggalkan ku sendiri di ruang tamu.Sejak malam itu, mas Jazi seperti menjaga jarak kepadaku, dia jadi sering berkunjung ke rumah orang tuanya, tapi jangankan aku, anak-anak kamipun tidak diajaknya. Hampir setiap pekan ketika mas Jazi pulang ke rumah setelah sepekan bekerja di pasar, mas Jazi pasti lebih banyak di rumah orang tuanya. Dia hanya pulang dan meyerahkan gajinya kepada ku, kemudian pergi lagi.Hingga akhirnya seperti sekarang ini, sudah hampir tiga minggu dia tidak pulang, dan kemarin aku secara tidak sengaja melihatnya dengan wanita lain di dalam mobil. Sampai kini aku tidak tau mengapa mas Jazi tidak pulang ke rumah. Aku ingin mencarinya ke rumah bapak dan ibu mas Jazi, tapi rasanya aku terlalu enggan untuk ke sana.“Jangan lama-lama kamu cuci ayam itu, Gi. Nanti bisa tipis daging ayamnya kamu buat,” tegur bu Rosmalia, seakan menarik kembali perhatianku dari lamunan masa lalu.“Eh – he iya, Bu, maaf.” Ucapku tidak enak.“Kamu melamunkan apa? Sampai tidak konsentrasi seperti itu.”“E-enggak, Bu. Oh iya, ini sudah selesai ayamnya, langsung saya baluri jeruk nipis ya, Bu,” ucapku mengalihkan pembicaraan.“Gi, Gi! Kamu kalau memasak jangan melamun, tidak matang-matang nanti. Yaudah ibu tinggal ke belakang dulu, ya, mau liat anak-anak. Kok tidak ada suaranya.” Ibu Rosmalia beranjak meninggalkan ku sendiri di dapur.Aku jadi malu sendiri mendapat sindiran secara halus seperti itu, harusnya aku bisa mengesampingkan dahulu masalah pribadiku, aku harus kerja dengan bersungguh-sungguh agar bu Rosmalia puas dengan kinerjaku di sini, aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan yang beliau berikan kepadaku.Kembali aku melanjutkan proses memasak, setelah melumuri ayam yang sudah di cuci dengan air perasan jeruk nipis, aku lanjut menyiapkan bumbu rempah-rempah yang akan ku gunakan untuk membuat ayam woku. Bu Ros bilang jika ayam wokunya dibuat agak pedas, karena semua anak-anaknya penikmat makanan pedas.Sambil memasak ayam woku, akupun memarinasi paha ayam yang sengaja ku pisahkan dari ayam untuk masakan woku ku. Paha ayam tersebut akan dibuat ayam tepung kriuk, aku jadi teringat Bumi, dia suka sekali dengan ayam tepung kriuk, pernah suatu ketika Bumi menangis karena memintaku untuk membelikannya ayam tepung kriuk sapana yang mangkal di ujung jalan raya, tapi karena tidak punya uang lebih, aku hanya mampu membelikannya bagian kepalanya saja.“Mbak pasti yang namanya mbak Gianira, ya?” tanya seorang wanita muda ketika dia menemui ku di dapur.“Benar, Mbak. Saya Gianira.”“Mbak lagi masak apa? Kemarin kata ibu, mbak Gi ya yang masak? Enak tenan lho, Mbak! Masku yang biasanya enggak gitu suka makan aja jadi nambah dua piring. Hi hi hi,” tutur wanita itu yang ternyata bernama Rimaya, anak kedua bu Rosmalia.“Oalah, mbak bisa saja. Saya jadi malu,” jawabku sambil memotong motong wortel untuk dibuat menjadi bakwan sayur.“Dua anak laki-laki yang lagi sama ibu itu anak-anak mbak, ya? Lucu-lucu mbak. Sopan lagi, Rima suka deh sama anak kecil yang sopan kayak anak-anak mbak Gianira gitu, siapa namanya tadi?”“Langit dan Bumi, Mba Rima.”“Namanya bagus deh, Mbak. Oiya ada yang bisa aku bantu enggak nih, kebetulan aku lagi gabut, Mas Riza lagi tidur jadi enggak ada yang nemenin aku ngobrol deh.”Aku hanya tersenyum menanggapi ocehan putrinya bu Rosmalia ini, Rima anak yang supel, usianya baru menginjak angka dua puluh satu tahun, sedang kuliah semester enam di Bandung, dia tinggal bersama Kakaknya, mas Riza. Aku senang, setidaknya mbak Rima tidak seketus mas Riza, aku jadi tidak terlalu canggung jika berhadapan dengannya.Berkat bantuan mbak Rima, semua masakan jadi bisa matang lebih cepat dari perkiraanku, ternyata mbak Rima juga hobi memasak, sama seperti bu Rosmalia, kata mbak Rima, biasanya jika sedang pulang ke rumah seperti ini, dia yang akan membantu bu Rosmalia memasak, tapi karena bu Rosmalia sedang tidak enak badan, jadi mungkin itulah mengapa beliau memintaku bekerja kepadanya.Aku menata semua masakan yang telah matang di atas meja makan, tidak lupa aku menata piring dan gelas untuk ku isi air putih juga. Setelah semua sudah siap, aku menghampiri bu Rosmalia untuk memberitahukan jika makanan suda terhidang. Tapi langkahku terhenti ketika tanpa sengaja, telingaku menangkap suara tangisan dari dalam kamar mas Riza. Siapa yang menangis? Apa mas Riza?.Bersambung ….Hayoo siapa kira-kira yang nangis di kamar? Hi hi hi.Hmm … nantikan kelanjutan ceritanya ya kakak.Jangan lupa like, komen dan kasih bintang lima di cerita Kami Bisa Tanpamu Mas, ya!Dan jangan lupa follow akun othor juga ! 😎Happy Reading semua❤️Aku menata semua masakan yang telah matang di atas meja makan, tidak lupa aku menata piring dan gelas untuk ku isi air putih juga. Setelah semua sudah siap, aku menghampiri bu Rosmalia untuk memberitahukan jika makanan suda terhidang. Tapi langkahku terhenti ketika tanpa sengaja, telingaku menangkap suara tangisan dari dalam kamar mas Riza. Siapa yang menangis? Apa mas Riza?.=====================================================Aku baru saja akan beranjak dari depan kamar mas Riza ketika tiba-tiba saja pintu kamar tersebut terbuka, menampilkan sosok pria yang tadi pagi terlihat sangat ketus, tapi siang ini terlihat cukup rapuh, ada air mata tersemat di ujung matanya, menandakan suara yang tadi kudengar adalah benar tangisannya.“Ngapaain kamu di depan kamar saya?” tanya mas Riza, ketika tatapan kami bersirobok. Kesan rapuh seketika hilang, berganti wajah ketus di sana.“Hmm anu Mas, ta – tadi saya tidak sengaja sedang lewat depan kamar Mas Riza, terus mendengar suara ta….” Belum sem
Mas Riza langsung berlari menuju mobilnya, tidak lama ia kembali dengan kota perkakas, dibukannya kotak itu dan menemukan sebatang palu berukuran besar. Segera saja Mas Riza memukul-mukul engsel dengan palu, berhasil, engselnya rusak, tapi belum terbuka. Kembali Mas Riza mengetukkan palunya, kali ini berhasil, Mas Riza mencopot engselnya dan mencongkel, akhirnya pintu kamar Bu Rosmalia terbuka. Kami segera masuk, alangkah terkejutnya dengan apa yang kami lihat di dalam kamar.=====================================================Kami semua terkejut melihat posisi Bu Rosmalia yang tersungkur tak sadarkan diri di lantai, Mbak Rima teriak histeris, Tiara tidak mau kalah dengan tantenya tersebut, dia menangis sekencang yang dia bisa sambil terus memanggil neneknya. Sementara Mas Riza, dia terlihat sangat shock, sehingga hanya bergeming di posisinya berdiri.Aku yang menyadari jika keadaan Bu Ros tidak baik-baik saja, segera menghampirinya dan membawanya ke pangkuanku. Hal pertama yang aku
“Justru itu, aku ke sini mau bilang, jika aku tengah mengurus proses perceraian kita, kamu tunggu saja suratnya datang, tidak perlu datang ke pengadilan!. Anak-anak biar ikut kamu saja, lagi pula keluargaku maupun Jamilah tidak menginginkan mereka. Jadi aku minta sama kamu, sampaikan kepada mereka jika aku bukan bapaknya lagi!” ujaranya lancar.Ingin ku sumpal mulutnya dengan tomat busuk, di mana fikirannya sebagai ayah? Kenapa bisa-bisanya dia memutuskan pertalian darah antara dirinya dengan anak-anak?“Yaudah yuk kita pulang, katanya Mas Jazi mau ngajak aku belanja.” Lagi, wanita tidak tahu malu itu bergelayut manja.“Iya sayang, sebentar.”“Dek, sudah ya, aku pamit, surat cerai akan segera ku kirim. Kita sudah tidak ada hubungan apapun lagi, ya!” ujarnya seraya melenggang meninggalkanku mematung di depan pintu.=====================================================Aku masih terpaku dengan perasaan yang entah seperti apa harus ku gambarkan, bagaimana bisa seorang ayah memutuskan pe
Saat hendak memasukan kabel posel milik Mas Riza, lagi lagi mataku menangkap hal tak terduga, sebuah bingkai foto berukuran 5R teronggok di sela-sela antara dipan kasur dan meja kerja milik mas Riza, bukan berniat kurang ajar, aku hanya ingin meletakannya di atas meja. Kupandangi sejenak wajah yang ada di dalam foto tersebut, seorang wanita yang sepertinya tengah mengandung besar. Seyum manis nan tulus tersemat di wajahnya, cantik adalah kesan yang kutangkap dari gambaran wajah tersebut. Apa dia istrinya mas Riza? Sepertinya wajah ini tidak asing untukku, aku seperti pernah melihatnya, tapi di mana? Tidak ingin berlama-lama di sana, aku segera meletakan foto tersebut di atas meja dan beranjak meninggalkan kamar milik ayahnya Tiara tersebut.=====================================================Aku kembali ke kamar tamu dan ikut bergabung dengan anak-anak untuk segera tidur, karena besok pagi aku harus siap-siap ke rumah sakit mengantarkan pakaian ganti untuk bu Ros dan anak-anaknya
Ucapannya membuat aku tersentak. Jadi Tiara tidak memiliki ibu? Pantas anak ini terlihat kurang terawat. Tubuhnya kurus dan terlihat kurang ceria, padahal mas Riza orang berada, tidak mungkin Tiara kurang makan.“Maafin tante ya, Sayang. Tante tidak tahu kalau ibunya Tiara sudah meninggal,” kataku, seraya memeluknya sebentar dan kemudian mengajaknya memeprcepat langkah menuju ruangan.=====================================================Saat aku tiba di depan ruangan tempat bu Rosmalia dirawat, aku dikejutkan dengan suasana menegangkan, bu Rosmalia sempat berhenti bernafas dan tidak merespon kerja dari alat automated external defibrillator atau yang disingkat AED. Sebuah alat medis yang dapat menganalisis irama jantung secara otomatis dan memberikan kejutan listrik untuk mengembalikan irama jantung.Terlihat kepanikan dan kesedihan diwajah-wajah anak bu Rosmalia, Tiara yang tadi tenang bersamaku pun akhirnya ikut menangis, aku mencoba menenangkan cucu perempuannya bu Rosmalia ini.S
“Bumi kok menangis, Nak? Ada apa? Langit, adek Bumi kenapa, Sayang?” tanyaku lagi.“Tadi saat kita lagi makan, ada ayah sama nenek, Bu. Mereka juga mau makan, tapi Langit sama Bumi panggil-panggil, ayah enggak menjawab, terus kami samperin ayah, tapi malah dimarahi nenek, katanya Langit dan Bumi bukan anak ayah lagi. Ayah juga usir kami berdua, Bu,” tutur Langit, membuatku terkaget.Jadi tadi ada mas Jazi dan Ibunya di sini? Sedang apa mereka? Apa Ibunya mas Jazi sakit? Tapi mengapa mereka tega mengusir anak-anak ini, darah dagingnya. Jadi mas Jazirah serius dengan ucapannya semalam, yang ingin anak-anak tidak lagi menganggap dirinya ayah mereka. Keterlaluan kamu, mas.=====================================================Mbak Rima menatapku dengan tatapan menyelidik, seakan mengajukan pertanyaan lewat tatapan matanya kepadaku. Aku hanya mengangguk seraya tersenyum membalas tatapannya. Cukup lama waktu yang aku butuhkan untuk mengembalikan keceriaan di wajah Langit dan Bumi, mungkin
“Bu, jadi benar ayah bukan ayah kita lagi?” lirih Langitku.Tidak ada jawaban yang keluar, hanya ada sebuah isakan yang lolos dari mulutku, ternyata ada yang lebih sakit dari diceraikan suami tanpa sebab, yaitu melihat sang buah hati menangis karena hatinya terluka akan kenyataan pahit yang harus dihadapinya.Langit, Bumi, ibu janji, Nak. Kita bertiga akan kuat berpijak, tidak perlu khawatir, Nak. Ibu akan berjuang untuk hidup kalian. Ibu tidak akan membiarkan ada hal yang lebih menyakitkan lagi, yang akan kalian hadapi setelah ini. Kuat ya, Nak. Bantu ibu untuk bertahan, Sayang.=====================================================Langit dan Bumi menolak untuk diberikan makan siang, mereka lebih memilih ke kamar untuk tidur siang. Sedihku bertambah karena melihat mereka murung tanpa gairah. Andai saja aku bisa merebut hati keluarganya mas Jazirah, pastilah hal buruk ini tidak akan pernah terjadi. Tapi apalah daya ku, sebagai manusia kami sangat dilarang untuk berandai-andai, karen
Aku mencoba memahami ucapan ustadnya anak-anakku, benar juga yang beliau katakana, walaupun terasa tidak adil bagi Langitku, tapi itu lebih baik, orang miskin seperti kami pasti akan kalah jika berhadapan dengan orang berada seperti mereka.Setelah mengucapkan terima kasih karena tadi secara tidak langsung sudah membela anak-anak, aku putuskan untuk berpamitan pulang, selain sebentar lagi maghrib, kami juga harus bersiap-siap untuk pergi ke rumah bu Rosmalia.“Mbak Gianira …,” panggil Ustad Faiz ketika aku baru beranjak beberapa langkah.“Ya, Pak Ustad.”“Sabar, ya! Langit dan Bumi anak-anak baik, mereka anak yang kuat,” ucapnya seraya tersenyum, memamerkan barisan giginya yang rapi dan putih.Aku tidak menjawab, hanya tersenyum sambil mengangguk sopan, kemudian menggandeng tangan anak-anakku, dan membawa mereka pulang meninggalkan masjid.=====================================================Aku dan anak-anak tengah bersiap-siap, saat tiba-tiba saja pintu kontrakan kami digedor denga
Mataku membulat sempurna kala melihat pesan yang lagi-lagi dikirimkan Niryala ke ponselku. Kali ini bukan hanya pesan singkat, tetapi juga sebuah foto yang memperlihatkan bagian atas dadanya dengan sebuah teks sebagai keterangannya.[Apakah ini mirip dengan miliknya Nirmala? Atau lebih besar?]============ Aku menahan nafas demi melihat foto yang Niryala kirimkan. Bagaimana bisa dia mengirimkan foto berisi aurat tubuhnya kepada orang lain yang bukan suaminya? Baru saja ingin mengapusnya, Niryala kembali mengirimiku pesan lagi. Kali ini berisi pesan suara yang membuat jiwa kelaki-lakianku bergejolak.‘Aku akan kirim bagian yang lainnya jika kamu mau,’ tuturnya dengan nada manja dan mendesah.Aku segera menutup ponselku, beranjak dari kasur dan membuka pintu kamar mandi. Beruntung pintunya tidak terkunci sehingga aku bisa langsung masuk tanpa mengetuknya. Kuhampiri Gianira yang sedang membasuh tubuhnya dengan sabun beraroma flower. Membuka seluruh pakaian yang kugunakan, segera kude
Hingga kami selesai makan siang mas Riza masih belum juga kembali. Ke mana sebenarnya dia pergi? Tidak biasanya dia mengacuhkan ku, apalagi kami sedang ada masalah seperti ini. Kubantu Rima membereskan meja makan, kemudian menemani anak-anak membaca buku cerita yang bawa dari rumah. Aku tersenyum senang karena melihat Bumi yang semakin lancar membacanya. Untuk anak seusianya, pintar membaca dan suka membaca adalah anugerah tersendiri.Sebentar lagi dia akan masuk sekolah TK itulah mengapa Bumi semakin hari semakin giat belajarnya. Kehadiran kedua kakaknya juga sangat membantu Bumi dalam belajar, sehingga anak itu tidak harus belajar bersamaku saja.Sesekali aku menoleh pada ponsel yang kuletakan di atas nakas, berharap ada telpon ataupun sekedar chat singkat dari mas Riza yang hingga kini keberadaannya tidak kuketahui. Namun, nihil, tidak ada satupun pesannya singgah di ponselku.Jantungku mendadak berdegup cepat kala mendengar suara pintu depan dibuka. Berharap sekali jika mas Riza
Yuk boleh banget yuk kalau mau cubitin ginjalnya Riza yuk! Mumpung sudah buka puasa ✌️🤪=======[Aku sungguh merasa lega sekarang, akhirnya bertemu denganmu dan bisa mengatakan wasiat Nirmala kepadamu.Kamu tenang saja, rindumu kepada Nirmala akan terlampiaskan. Kami ini kembar identik, hampir seluruh bentuk tubuh kami sangat mirip, jadi, mungkin kau akan ‘menemukan’ Nirmala saat mengekplore diriku setelah pernikahan kita nanti, bye]==============Aku mengucap istighfar sebagai upaya untuk menetralkan isi kepalaku. Isi chat Niryala sungguh di luar batas logika. Bagaimana dia bisa menuliskan isi chat semacam itu terhadap pria yang baru saja ditemuinya?Namun, aku tidak dapat berbohong, jjka jiwa kelaki-lakianku bergejolak tatkala membacanya. Aku membayangkan kembali saat-saat aku memadu kasih bersama Nirmala, dirinya yang romantis dan seringkali meminta lebih dulu membuatku merasa dilayani dengan baik dan sempurna.Berbeda sekali dengan Gianira yang harus kupancing terlebih dahulu ba
Tahan emosii yaa...! Bulan puasa! 😆======“Gia baik-baik aja kok, Bu. Gia hanya butuh waktu untuk sendiri, Gia titip anak-anak sebentar ya, Bu!” ucapku pelan, kemudian masuk kembali ke dalam kamar dan menguncinya.Kufikir Mas Riza akan menyusulku, tapi hingga tiga puluh menit lebih dirinya tidak kunjung tiba di rumah. Kemana dia? Apa masih bersama wanita tadi? Siapa sebenarnya wanita itu? Mengapa ibu juga seperti tidak mengenalnya?================== Kuputuskan untuk pergi meninggalkan Niryala, berlama-lama dengannya hanya akan menambah pusing kepalaku. Selain itu aku perlu menjelaskan permasalahan ini kepada ibu dan Gianira. Mereka berhak tau mengenai amanah yang Nirmala katakan kepada Niryala, kembarannya.Memasuki Villa, aku dibuat heran dengan kondisi ruang tamu yang sepi, ke mana mereka semua? Apa sedang berkumpul di kamar? Segera aku mengecek ke kamar anak-anak, benar, mereka sedang berkumpul di sana, tetapi tidak kutemukan Gianira diantara mereka.Ibu dan Rima menatapku deng
Yok yok yang emosi yok lanjutin emosinya.. Ini sudah mendekati akhir Yaa cinta-cintanya akuuu ✌️🤪================ “Mas, sekarang aku sudah tidak memiliki kekasih ataupun suami, aku ingin melaksanakan pesannya Nirmala untuk menikahi suaminya. Apa kamu bersedia menikah denganku, Mas?” Membulat sempurna mataku tatkala mendengar Niryala mengatakan hal tergila yang pernah kudengar seumur hidupku. Apa dia sedang menawarkan diri untuk menjadi istriku? Tapi, aku sudah memiliki istri yang baru, Gianira. Bagaimana dengannya jika aku menikah dengan Niryala?============ Aku terdiam, masih mencerna semua pernyataan Niryala. Tidak menyangka setela tujuh tahun kepergiannya Nirmala kembali dengan pesan yang membuat dadaku sesak. Mengapa dia tidak pernah mengatakan jika memiliki seorang saudara kembar? Mengapa dia menyembunyikan rasa sakit di tubuhnya? Lalu mengapa dirinya bisa berpesan seperti itu kepada Niryala?Sepuluh menit sudah kami berdua saling terdiam, tidak ada sedikitpun perkataan yan
“Permisi, ini Mas Riza, kan?” tawaku dan Rima terhenti saat seorang wanita datang menemui kami.Bagai melihat hantu di siang bolong, aku begitu terperangah demi melihat siapa wanita yang berdiri di hadapanku dan Rima saat ini. Ini tidak mungkin, tidak mungkin terjadi.“N-nir … ma-la?” ucapku pelan karena terkejutnya.=============== Berulang kali kucoba menggosok mataku, barangkali ada kotoran mata yang menghalangi pandanganku sehingga melantur. Tapi mengapa hasilnya tetap sama? Wanita yang sejak tadi kufikirkan kini berdiri menjulang di hadapanku. Nirmala, dia benar Nirmala, istriku. Astaga, bagaimana bisa?“Nirmala? K-kamu, Nirmala?” tanyaku terbata, beranjak dari posisiku agar bisa berdiri sejajar dengannya. Ya Tuhan, benar, wajah itu, wajah yang teramat kurindukan, wajah yang bertahun-tahun membuat tidurku tidak tenang, wajah yang membuat hari-hariku murung karena kehilangan senyumnya. Ini benar-benar Nirmalaku, astaga aku tidak sedang melindur dan bermimpi, dia Nirmala.Tanp
“Bagun, yuk! Sholat subuh dulu!” ucapku lagi masih mengusap-usap kepala mereka satu persatu.“Ibu, tadi malam ibu menangis, ya? Langit dengar suara tangisan ibu di kamar mandi, pas ibu sholat juga ibu menangis, ibu kenapa?” Degh, bagaimana bisa Langit mendengar suara tangisku? Padahal saat di kamar mandi aku sudah menyalakan keran air untuk menyamarkan suaraku.============= Aku masih diam tidak tau harus memberika jawaban apa untuk pertanyaan anakku Langit. Kufikir tidak ada yang mendengarku menangis tadi, karena sebisa mungkin kutahan tangisku agar tidak mengeluarkan suara yang jelas. Namun, ternyata Langitku mendengarnya, dia tau kalau aku menangis, tapi, mengapa dia tidak mendatangiku? “Ibu, ibu kok diam?” tanyanya lagi, mungkin masih penasaran karena aku tidak menjawab pertanyaanku.“Ibu tidak apa-apa, Sayang. Ibu tadi menangis bahagia karena kalian datang ke sini nyusulin ibu sama ayah,” sahutku sama seperti jawaban yang kuberikan pada ibu tadi. Lagipula ini tidak sepenuhnya d
Mendengar penjelasan Harsa rasanya sangat kecil kemungkinan Jazirah untuk dapat menerobos masuk ke dalam rumahku dan membuat keonaran. Semoga saja segala antisipasi yang sudah Harsa lakukan bisa mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Pantas saja sejak tadi aku tidak dapat memejamkan mata, rupa ada kabar yang tidak mengenakan yang kudengar dari Harsa malam ini.=============== Setelah berdiskusi seputar rencana selanjutnya, aku memutuskan untuk melanjutkan tujuan awalku ke dapur untuk mengambil air minum. Rasa haus bercampur rasa khawatir akan hal yang akan dilakukan Jazirah terhadap keluargaku seketika hilang saat kuteguk segelas air putih dingin yang kuambil dari kulkas.Setidaknya aku masih bisa cukup tenang karena penjagaan dari Harsa dan teman-temannya. Walaupun aku belum mengetahui apa motif yang membuat Jazirah kembali mengganggu hidup kami. Kufikir ucapan telak yang Gianira arahkan untuknya saat itu mampu membuatnya malu untuk mengganggu hidup kami, tapi nyatanya sifat Jazi
“Apa, lho Dhan, kamu datang-datang sudah membuat harapan palsu untuk anak-anak, kalau benar produksi langsung berhasil, kalau bibitnya gagal dulu gimana? Bisa kecewa cucu-cucu ibu, Dhan, Dhan,” ucap Ibu yang sontak membuatku dan Mas Riza membulatkan mata bersamaan.“Ha … ha … ha, kena kau, Za, Za! Sana ngebibit yang benar makanya biar enggak gagal!” tawa Mas Dhanis menguar, membuat yang lain pun ikut tertawa.=========== Pembahasan yang sudah tidak sehat ini membuatku menarik paksa Dhanis untuk keluar dari Villa menuju kolam renang, tidak bisa kubayangkan jika pembahasan ini terus menerus dilakukan di depan ketiga anak-anakku, bisa rusak otak mereka semua, sebagai ayah tentu aku tidak menginginkan hal tersebut.Aku ingin anakku tumbuh menjadi anak baik, sopan dan bertutur kata yang baik, cerdas bisa di asah, tapi masalah adab dan sopan santun itu harus ditanamkan sejak dini, jangan sampai rusak fitrah mereka karena teracuni obrolan kotor orang dewasa di sekitarnya.Aku memang belum