Pagi ini cuaca begitu cerah, langit bersih tanpa cela, tak ada awan menggantung di sana. Semilir angin pagi ditambah hangatnya sinar mentari membuat Bulan bangun lebih awal.Dia tak mau berdiam diri di rumah. Pagi ini dia harus datang ke pengadilan. Pekerjaannya yang menumpuk memaksanya untuk segera pergi dari kemalasan yang beberapa hari ini dia lakukan.Langit membuka matanya, dilihatnya istrinya yang sudah mengenakan setelan kerja.“Mau ke mana?”“Pengadilan.”Langit menepuk dahinya, dia hampir lupa kalau hari ini mereka ada sidang. Lngit bergegas turun dari ranjang. Karena terburu-buru dia tersandung selimutnya sendiri.“Awas Bulan,” teriak LangitSayangnya terlambat, Langit menubruk Bulan hingga tubuh mereka berdua ambruk bertindihan, tak sengaja bibir langit menyentuh bibir istrinya yang lembut.Detak jantung keduanya terdengar begitu jelas. Keduanya bahkan mampu mendengar satu sama lain.Kesadaran Langit datang lebih cepat, dia segera bangkit dan membantu istrinya berd
Keduanya saling melempar tawa. Namun beberapa saat kemudian tawa keduanya pun memudar. Mengingat kalimat yang sudah mereka ucapkan. Bulan merasa canggung sudah melemparkan godaan pada suaminya.“Aku tahu kamu bercanda, jadi jangan merasa nggak enak denganku.”Senyum mengembang di bibir istrinya, setidaknya Langit paham kalau itu hanya sebuah kalimat candaan belaka.Ponsel Langit berdering, sebuah panggilan masuk dari Baby. Langit meminta tolong pada istrinya untuk menjawabnya.“Tolong.”“Nggak, aku nggak mau.”“Please, geser saja, biar aku yang berbicara dengannya.”Dengan enggan Bulan menuruti permintaan suaminya. Dia menggeser gambar telepon berwarna hijau dan mengaktifkan speaker.“Halo, Langit.”“Ada apa, aku sedang menyetir, kalau ada yang ingin kamu katakan padaku, cepatlah.”“Kamu bisa menyambungkannya ke mobil, kan?”“Nggak bisa, ini bukan mobil milikku.”“Maksud kamu, kamu sedang bersama dengannya?”“Iya. Aku sedang bersama istriku."Mendengar Langit memanggil
Langit melongo, dia tak percaya dengan pendengarannya. “Coba ulangi ucapanmu barusan?” “Bukankah kamu yang sering mengatakan itu padaku, jadi aku menirumu, Langit.” Langit diam membisu, dia ketar-ketir saat Bulan mengatakan itu padanya. Dia tak mau berpisah dengan istrinya. Selama masih ada waktu dia ingin berusaha sebaik-baiknya agar bisa membuat perempuan keras kepala itu luluh padanya. Mobil merayap masuk ke halaman rumah “Mauku gendong sampai ke kamar?” “Nggak usah, kamu bilang aku berat, belum lagi seharian ini dosa-dosaku juga bertambah. Jadi lebih baik kamu tak melakukannya.” Alih-alih menurut dengan ucapan istrinya, Langit membopong tubuh Bulan. Bulan menjerit kaget, tapi tak urung mengalungkan kedua tangannya pada leher suaminya. Dengan langkah lebarnya dia pun naik ke lantai atas dan menidurkan istrinya di atsa ranjang. “Terima kasih, Langit.” Langit mengangguk, lalu turun lagi ke bawah mengambil barang-barang milik mereka yang masih tertinggal di m
Bulan berusaha memejamkan matanya, sayangnya pikirannya menjadi kacau mengingat Baby yang terus-terusan menelepon suaminya. Ditolehnya Langit yang tak ada di kamar. Sejak kapan suaminya itu keluar, dia sama sekali tak mengetahuinya. Bulan terlalu asyik dengan lamunan panjangnya. Bulan meraih ponsel miliknya, daripada kesepian lebih baik dia menelepon Mine. Beberapa kali deringan barulah sahabatnya itu menjawabnya.“Halo, Bul. Kamu nggak apa-apa, kan?”“Damn you! Bulan, Mine!”Di seberang sana Mine terkikik. Dia tahu Bulan tak suka saat dia memanggilnya begitu tapi tetap saja dilakukannya. Mine hanya ingin menghibur sahabatnya yang katanya pulang ke rumah.“Aku antar ke rumah sakit?”“Enggak usah, Mine, ada Langit yang menjagaku.”“Kamu selingkuh, kamu nggak setia semenjak ada Langit di sisimu.”“Bullshit!”Keduanya tertawa terbahak-bahak, walaupun kalimat yang mereka ucapkan hanya sederet kalimat receh bagi yang mendengarnya, tapi mampu mengusir rasa sepi dan kesedihan yang
Langit menatap ke bawah, dia kebingungan. Menoleh ke kanan dan kiri.“Memangnya ada apa di bawah. Ada lantai?”“Ada kita, Langit. Bulan dan Langit.”Langit tertawa terpingkal-pingkal, begitu juga Bulan. Tawa Langit yang cukup renyah menular padanya.Langit memegangi perutnya yang sakit sebab sejak tadi tertawa terus. “Kamu tahu bedanya Bulan yang di atas dengan Bulan yang ada di depanku?”Bulan menggeleng, dia kembali menyibukkan dirinya dengan memakan ayam yang membuatnya terpukau dengan rasanya. Daging ayamnya begitu empuk dan bumbunya meresap ke dalam. Entah bagaimana suaminya itu memasak. Atau jangan-jangan suaminya itu koki yang menyamar menjadi lawyer.Melihat Bulan menikmati makanannya Langit tersenyum.“Mau tahu apa bedanya?” Langit mengulang pertanyaan.“Tentu saja.”“Bulan di bawah lebih cantik. Bulan di bawah mampu memberi nafas bagi orang lain.”“What the hell.”Langit terkekeh mendengar istrinya mengumpat. “Jadi kamu pikir aku orang yang biasa memberi naf
Dering ponsel membuat Langit mengurungkan niatnya untuk mengatakan tentang perasaannya padanya. “Jawab dulu, Langit.” Langit mengangguk, dia sedikit menjauh dari Bulan dan menerima panggilan dari Baby. Tak banyak yang Bulan dengar, tapi samar dia mendengar Baby ingin bertemu dengannya malam ini. Bulan menghela nafas, melirik jam di pergelangan tangannya. Malam sudah larut tapi gadis itu masih ingin menemui suaminya, hubungan macam apa yang terjadi antara mereka sebenarnya. “Sudah malam, tidurlah.” “Hm, aku baru saja akan tidur.” Bulan masuk ke dalam, ada sesak merundung dadanya ketika Langit mengatakan itu padanya, sebab dia tahu, Langit akan pergi dengan gadis itu. Namun Bulan tak memiliki pilihan lain, dia mengingatkan dirinya sendiri. Bulan menatap langit-langit kamar. Nanar matanya melihat Langit yang mondar-mandir sedari tadi. Lelaki itu sedang bersiap-siap dan menunggunya tidur. Langit mendekati istrinya, Bulan memejamkan mata, tak mau membuat lelaki itu k
Hangat sinar matahari menerobos masuk ke dalam kamar mereka. Bulan mengerjapkan mata perlahan. Rasanya malas luar biasa. Semalaman dia mengalami kesulitan tidur menunggu suaminya pulang. Bulan menoleh ke sampingnya. Biasanya ada Langit saat dia bangun. Namun pagi ini lelaki itu tak ada di sampingnya. Terasa ada sesauatu yang berbeda ketika tempat di sampingnya itu kosong. Entah ke mana perginya lelaki itu, padahal jelas-jelas dia tahu kalau Bulan sedang tak enak badan, tapi semalaman dia tak pulang. Baru saja dia menurunkan sebelah kakinya, pintu kamarnya terbuka. Bulan mengalihkan pandangannya, tatapannya fokus pada lelaki yang berdiri di pintu kamarnya. “Masih ingat pulang?” “Sorry.” “Hm,” jawab Bulan singkat. Semalam setelah suaminya meneleponnya selama hampir lima belas menit, Langit sama sekali tak mengatakan kalau dirinya tak akan pulang, jadi Bulan pun menunggunya. “Sudah puas bermain-main?” “Main apa? Kejar-kejaran? Capek!” “Mana ku tahu, siapa tahu k
Bulan menatap suaminya yang baru saja meletakkan cangkir teh miliknya. Dia tampak sibuk dengan ponsel miliknya. Bulan berusaha mengabaikannya, dia kembali fokus pada buku yang tadi belum diselesaikannya. Dia tertarik dengan kalimat yang sedang dia baca sekarang. Manusia itu seperti buku, kalau kamu membukanya kamu akan tahu isinya. Buku dengan sampul yang indah terkadang memiliki isi yang tak sesuai dengan sampulnya.“Bulan.”Panggilan Langit padanya membuatnya meninggalkan bacaannya dan menoleh ke arah sumber suara.“Hm, ada apa?”“Aku mau menemui Ibuku, pergilah bersiap-siap.”Bulan mengerutkan dahinya, dia heran dengan Langit. Mana mungkin dia ikut dengannya menemui ibunya. Lalu bagaimana jika ibu Langit bertanya padanya. Apa yang harus dia katakan?“Aku nggak mau ikut, Langit. Lagi pula kamu belum tidur sejak kamu pulang. Apa ada sesuatu yang penting?”Langit mengangguk, dia sendiri tak ingin mengajak Bulan pergi menemui ibunya, tapi mengingat Bulan belum sembuh sepenuh
Langit mendengarkan suara di seberang sana. Namun, tak butuh waktu lama, dia mengakhiri panggilan dari Baby.“Tumben?”Langit cengengesan, dia tak mau kehilangan momen bersama istrinya. Biar saja Baby marah dengannya. Kali ini dia tak mau menyesal lagi. Di saat dia sudah tahu pasti perasaan istrinya. Di tambah lagi Bulan datang jauh-jauh ke Korea hanya untuk memintanya tetap menjadi suaminya. Suaminya sebenarnya, bukan suami yang hanya tertulis di atas kertas.“Aku ingin waktu berhenti sejenak. Menikmati apa yang terjadi hari ini. Even itu hanya sebuah ekspektasi yang tidak mungkin terjadi.”“Ini bukan ekspektasi, Langit. Aku ada di depanmu. Kamu bahkan bisa menyentuhku, melakukan apa saja yng kamu inginkan dariku.”Langit tertawa dia memeluk istrinya lagi, menidurkannya kembali di sisnya sembari menaikkan selimut hingga menutupi kedua tubuh mereka berdua. Langit tak bisa tidur meski langit masih menggelap. Matahari seakan enggan menampakkan wajahnya, matahari tak ingin menggangg
Kini Bulan sudah duduk di dalam pesawat yang sebentar lagi take off. Dia meremas kedua telapak tangannya yang sedikit berkeringat. Meskipun ini bukan pertama kalinya dia pergi ke Korea, tapi entah kenapa perasaannya menjadi gugup. Dia memiliki banyak ketakutan tersendiri. Takut misinya akan gagal kali ini dan pulang dalam keadaan terluka. Walaupun sudah membulatkan tekadnya tetap saja dia hanyalah manusia biasa.Perjalanan tujuh jam dua puluh delapan menit akhirnya berhasil dia lewati tanpa kendala apapun. Pesawat mendarat dengan sempurna. Bulan keluar dari imigrasi dan langsung menuju hotel yang sudah dia booking sebelumnya.“Seoul, im in love,” gumannya sembari menuju taksi yang akan mengantarkannya ke tempat dia akan beristirahat.Sampai di hotel dan check ini, Bulan mengirimkan pesan pada suaminya. Waktu seolah berputar terlalu lambat. Hamir sepuluh menit berlau dan suaminya masih belum membaca pesan yang dikirimkannya. Entah apa yang sedang dia lakukan sekarang. Mungkinkah sua
Bulan ingin sekali pergi menjenguk mertuanya, dia sendiri masih bingung kenapa Ibu Langit bisa sampai masuk ICU.Bulan ingin bertanya pada Langit tapi dia berusaha menahan jarinya untuk tak mengirimkan pesan pada suaminya.“Nanti malam sepulang kerja bagaimana?”Bulan bertanya pada Mine, sebab dia yang tahu di mana ibu mertuanya di rawat. Lagi pula selama Langit pergi dia selalu kesepian di rumah. Rumahnya kosong. Mamanya belum pulang dari Jepang, sedangkan Mine sekarang sudah memiliki kekasih yang tiap malam selalu datang ke apartemennya.“Boleh, tapi aku tak bisa menemanimu lama-lama. Aku ada janji kencan malam ini.”Bulan melemparkan map ke arah sahabatnya. Mine tertawa, dia berhasil menghindar dan menangkap map milik Bulan lalu meletakkannya kembali ke atas meja.“Aku kembali dulu ke ruanganku, nanti aku kemari, aku ada janji dengan klien. Oiya, kalau aku jadi kamu aku akan menyusul suamimu dan membawanya pulang bersamamu. Cinta itu tak memandang gender, mau siapa pun yang m
“Good morning. Semangat, Bulan, dunia masih berputar meski tak ada Langit di sisimu. Ada langit lain yang selalu mengayomi kamu.”“Sial.”Bulan mengumpat kesal.Mine terkekeh, dia bukannya menghibur Bulan yang sedang patah hati, tapi malah menggodanya terus-menerus.“Kenapa tak membalas pesan darinya?”Bulan menghela nafas, dia teringat terakhir kali melihat Langit saat senja di tepi pantai. Dia sadar betul bahwa Langit memiliki perasaan yang sama dengannya, tapi kenapa lelaki itu mau menerima begitu saja permintaan Baby padanya. Berapa banyak uang yang Baby bakar untuknya?“Malas, untuk apa dia berbasa-basi nggak jelas, padahal dia sedang sibuk menyuapi dan meninabobokan bayinya.”Mine tak mampu menahan tawanya, dia tertawa terbahak-bahak. Di saat kesal begitu, amarah Bulan malah membuatnya tertawa terpingkal. Bulan mendesah melihat sahabatnya cukup terlihat puas dan bahagia dengan kalimatnya barusan.“Bagus, lanjutkan saja kebahagiaanmu menertawai penderitaanku. Kamu mema
Selesai makan, mereka berdua berbincang santai setelah sejak tadi berada pada kecanggungan yang hakiki. Setelah beberapa menit berlalu, Langit membuka suara kembali. “Ayo, aku akan mengajakmu ke suatu tempat.” “Ke mana?” “Nanti kamu juga akan tahu.” Mereka berdua bangkit dari duduknya dan melangkah keluar. Menggunakan mobil Langit keduanya kini sudah berada di kemacetan yang cukup panjang. Bulan menghela nafas, dia memandang keluar jendela, menatap masa depannya yang masih tampak buram. Sesekali Langit melirik istrinya yang beberapa kali terlihat menghela nafas. Seolah sedang berusaha melepaskan beban hidup yang cukup berat yang sedang dipikulnya. “Ada yang kamu pikirkan?” tanya Langit memecah keheningan di antara mereka. Bulan menggeleng pelan. Tepat di lampu merah mereka berhenti, Langit menatap lamat-lamat wajah cantik istrinya. Selama beberapa tahun terakhir, dia mengagumi perempuan itu. Dan pada akhirnya dia bisa dipersatukan oleh keadaan. Perempuan keras k
Setelah malam itu entah kenapa keduanya menjaga jarak, bahkan sudah beberapa malam langit memilih tidur di sofa meski tersiksa. sementara bulan tidur sendirian di ranjang dengan kebisuannya.Walau keduanya sama-sama tak nyaman, tak ada satu pun dari mereka yang mengubah keadaan. Langit apatis dan Bulan yang egois membuat keadaan semakin sulit.Tepat di hari yang sudah ditunggu Langit. Hari ini adalah hari kepergiannya ke Korea bersama Baby. Mungkin semuanya memang harus berjalan seperti yang takdir inginkan. Sekuat apapun Langit menunjukkan perasaannya, si keras kepala itu masih saja tak peka.“Aku pergi hari ini,” pamit Langit pada istrinya yang masih mengenakan bathrobe miliknya seraya memencet tombol remote bergantian.Ada sesak merundung dadanya tapi dia berusaha keras mengalihkannya.“Aku tak perlu mengantarkan kamu ke bandara, kan?”Langit menggeleng pelan, dia duduk menyandarkan punggungnya pada sofa yang didudukinya. Memandang ke arah istrinya yang baru saja selesai
Setelah puas melampiaskan kekesalannya, Bulan meminta maaf pada dirinya sendiri. Dia sudah menyakiti tubuhnya yang senantiasa menemaninya setiap hari.Hampir tengah malam saat dia mematikan komputer miliknya. Baru saja pintu lift terbuka, suaminya sudah berdiri di dalam sana.“Aku pikir kamu nggak pulang. Makanya aku menyusulmu ke sini.”“Aku mau pulang sekarang.”Bulan masuk ke dalam lift yang sama dengan suaminya. Mereka berdua mengatupkan bibirnya rapat. Hening, hanya ada suara helaan nafas mereka berdua. Langit memberi waktu pada Bulan menikmati kediamannya.“Naik mobilku, kamu pasti lelah, biar aku yang menyetir.”“Aku nggak capek, tenang saja, naik mobil masing-masing saja.”Bulan membantah, dengan langkah lebarnya dia berhasil mendahului Langit dan langsung masuk ke dalam mobil miliknya. Dia menghidupkan audio, memutar lagu kesukaannya, sesekali dia ikut bernyanyi melampiaskan emosinya yang sudah sejak pagi tak tersalurkan. Saat berhenti di lampu merah dia memandangi s
Bulan masih menyibukkan dirinya, seperti ucapannya sebelumnya, dia sama sekali tak ingin ikut bergabung dengan Mine dan Langit yang sekarang sedang makan malam. Walaupun Mine membujuknya dengan seribu cara, tetap saja Bulan tak berminat ikut dengan mereka. Rasanya dia terlalu kecewa dengan Langit hingga ingin sekali menjauh. Ponsel di sampingnya bergetar menampilkan gelembung chat dari suaminya dan Mine. Mereka kompak sekali bertanya pada Bulan. Bulan hanya membacanya sekilas tanpa mau membalasnya. Dia memegangi perutnya yang mulai keroncongan. Cacing-cacing di perutnya sudah meminta haknya. “Mau sampai kapan kamu begini, Bulan?” Langit sudah berdiri di depan pintu. Bulan menatapnya sekilas lalu berusaha menyibukkan dirinya kembali. Membiarkan Langit masuk ke dalam ruangannya. “Kenapa tak membalas pesanku? Ayo, makan dulu.” Langit menyiapkan makan malam untuk istrinya. Membuka paperbag yang dibawanya. “Kamu boleh marah denganku, tapi jangan menyiksa dirimu sendi
Langit melewati Bulan begitu saja, pikirnya itu lebih baik. Mungkin saat ini adalah saat yang tepat untuknya memberi jarak antara keduanya. Langit berpikir dengan begitu dia akan lebih tenang meninggalkan Bulan selama dia pergi ke Korea. Mungkin dengan memberi jarak, perempuan itu menjadi lebih tahu sisi hatinya, bagaimana keinginannya. “Kamu lihat, kan?” “Tentu saja aku melihatnya. Kamu pikir aku buta.” Bulan menghela nafas mendengar ucapan Mine. Mine menatap sahabatnya dengan tatapan penuh selidik. Melihat kelakuan sahabatnya, Bulan pun merasa jengah. “Katakan cepat!” Mine terkekeh geli, Bulan dengan cepat mengerti dengan bahasa isyarat yang diberikan padanya lewat tatapannya. “Aku tak tahu alasan pastinya, kenapa tiba-tiba dia menerima ajakan gadis bermuka dua pergi ke Korea. Dan aku juga tak ingin bertanya tentang alasannya. Titik, jangan lagi kamu sematkan koma di akhir kalimatku.” Mine mendesah pelan, mau sampai kapan keduanya salah paham terus mener