"Hanya pergi berdua kan? Siapa tahu itu teman kerjanya. Tidak ada indikasi kalau ayahmu selingkuh. Dasar ibumu saja yang membesar-besarkan." Ibu tetap membela Mas Fahmi. Aku sudah sangat kesal dengan Ibu. Sepertinya ia tetap membenarkan kelakuan Mas Fahmi. "Maaf Ibu, kenapa Ibu membela Mas Fahmi terus? Apa Ibu memang sudah tahu kalau Mas Fahmi berselingkuh? Jadi Ibu berusaha menutupinya?" tanyaku pada Ibu."Arya dan Adiva, tolong keluar dulu, ya? Ini pembicaraan orang dewasa. Terima kasih untuk informasinya tadi. Sekarang temani Bintang dan Surya di ruang tamu, ya?" ucap Ayah dengan lemah lembut, mungkin supaya Arya dan Adiva tidak tersinggung.Bagaimanapun juga, pasti anak-anak akan membela aku. Mereka menatapku. "Turuti kata Eyang Kung ya? Ibu baik-baik saja, kok," kataku meyakinkan mereka.Arya dan Adiva mengangguk dan segera meninggalkan kami. "Ayah sangat kecewa. Sebenarnya ini adalah hari ulang tahun Ayah. Ayah meminta kalian berkumpul untuk bersenang-senang, eh malah terjad
Mas Fahmi hanya terdiam saja ketika ibunya menyebutku pengacau. Dasar laki-laki tidak punya hati. Melihat istrinya direndahkan oleh ibunya, boro-boro mau membela. Bisanya hanya diam. Ah, laki-laki lemah yang berlindung di bawah ketiak ibunya. Tentu saja Mas Fahmi tidak membelaku. Aku kan orang lain yang hanya terikat pernikahan saja. Kesal sekali rasanya mendengar kata-kata Ibu seperti itu. Arya tampak tidak suka melihat Ibu yang berkata-kata dengan merendahkanku."Kenapa? Kamu tidak suka kalau Eyang Ti menyebut ibumu itu pengacau? Mau marah? Atau tidak terima? Memang kenyataanya seperti itu, kok." Ibu berteriak pada Arya. Arya sudah mau emosi. Kugenggam tangannya untuk meredakan emosi. "Nggak usah, kami berani kok pulang. Hujan itu hanya air, bukan hujan batu, jadi nggak masalah. Ayo Nak, kita pulang. Assalamualaikum." Aku mengucapkan salam. Sambil menarik tangan Arya. Syukurlah Arya tidak meluapkan emosinya tadi. Bisa berbahaya kalau sampai terjadi."Waalaikumsalam." Kudengar Fari
Aku segera membukakan pintu, begitu melihat siapa yang datang."Masuk, Mas," ajakku pada Mas Hanif.Mas Hanif mengikutiku masuk ke dalam rumah. Ada apa ya Mas Hanif pagi-pagi sudah kesini? Pasti ada sesuatu yang penting."Kok sepi? Sudah berangkat semua ya?" tanya Mas Hanif. Ia segera duduk di ruang keluarga."Iya, Mas. Tumben Mas Hanif pagi-pagi sudah kesini? Ada apa?" tanyaku spontan."Pengen ketemu saja. Dari tadi malam Mas kok merasakan tidak enak tentang kamu. Takut terjadi sesuatu sama kamu. Kamu nggak apa-apa, kan?" kata Mas Hanif dengan suara yang terdengar khawatir.Apa Mas Hanif memiliki kontak batin yang kuat denganku ya? Aku sangat terharu dengan kata-kata Mas Hanif."Nggak apa-apa, kok Mas. Cuma tadi malam vertigo kambuh, terasa berputar-putar. Alhamdulillah, sesudah minum obat pusingnya hilang," kataku."Tapi kamu tampak pucat, sudah ke dokter?" "Belum, tapi sekarang aku sudah sehat kok, Mas.""Jangan disepelekan lho, takutnya nanti malah berakibat lebih serius.""Iya,
"Hanum...Hanum…." Kudengar suara Mbak Hani memanggilku. Aku sangat hafal dengan suaranya. Mbak Hani, Mbak Hani, apa sih sebenarnya maumu? Mau merebut Mas Fahmi dari tanganku? Ya silahkan! Tentu saja aku hanya berani berkata dalam hati. HihihiAku masih terdiam tanpa kata. Aku takut menghadapinya, karena hanya sendirian. Mbak Hani itu pintar berakting. Pasti ia pintar memutar balikkan fakta. Ponselku menyala, kulihat Mbak Hani yang memanggil. Untung saja tadi ponsel aku silent, jadi nggak kedengaran.Setelah panggilan berhenti, aku meraih ponselku. Segera aku kirim pesan pada Mas Hanif.[Mas, Mbak Hani ada di depan rumahku. Memanggil-manggil aku, tapi aku diam saja.][Kalau kamu sendirian, nggak usah keluar atau menemuinya. Ia suka nekat orangnya.][Oke, Mas.]Aku tetap berdiam diri di dalam rumah. Entah Mbak Hani masih diluar atau tidak. Kudengar suara motor Arya, berarti Arya sudah pulang. Kulihat jam, memang waktunya Arya pulang. Ternyata aku tadi tertidur. Aku segera keluar dari
"Selama ini Hanum sudah menjadi istri yang patuh pada suami. Mas Fahmi pun tidak pernah mengeluh dengan perlakuan Hanum padanya. Tapi kehadiran orang ketiga ini, membuat keluarga Hanum porak poranda. Hanum sebenarnya tidak percaya dengan semua ini. Tapi Arya dan Adiva juga mengetahuinya, malah mereka lebih tahu lebih dulu. Hanumlah orang terakhir yang tahu tentang perselingkuhan ini." Aku berkata sambil meneteskan air mata."Mungkin memang Mas Fahmi sudah bosan dengan Hanum, atau Hanum yang sudah tidak menarik lagi baginya. Ketika kami berada di rumah orangtuanya, terbongkar perselingkuhannya. Tapi ibunya Mas Fahmi malah marah-marah, katanya Hanum yang terlalu cemburu, hingga bikin fitnah menuduh Mas Fahmi selingkuh. Sampai-sampai Hanum diusir, akhirnya malam-malam kami bertiga pulang naik taksi. Fariz mau mengantar, dilarang sama Ibu. Sejak malam itu Mas Fahmi belum pulang ke rumah." Aku menghela nafas lagi. Berusaha meredam emosiku. Bapak dan Ibu hanya terdiam mendengar ceritaku. E
"Bapak belum bisa memikirkannya. Kalau kita usir dari rumah, nanti malah keenakan dia. Bisa-bisa Fahmi mengontrak rumah untuk Hani dan mereka akan semakin bebas. Mereka akan mengaku kalau sudah menikah siri," kata Bapak.Aku tercekat mendengar kata-kata Bapak. Apa yang diucapkan Bapak tadi ada benarnya juga. Kalau seandainya mereka benar-benar menikah siri, apa yang harus aku lakukan? Apakah aku hanya diam saja? Atau melaporkan Mas Fahmi kepada atasannya? Aku jadi pusing sendiri."Kalau misalnya Mas Fahmi dan Mbak Hani benar-benar menikah siri, Hanum harus bagaimana?" tanyaku.Semua menatapku, mencoba mencerna kata-kataku."Kalau kamu bercerai dengan Fahmi, keenakan dia. Kamu dan anak-anak tidak akan mendapat nafkah darinya. Walaupun pengadilan memutuskan bahwa Fahmi harus memberi nafkah, tapi kenyataan di lapangan, itu tidak akan terjadi. Mungkin bulan pertama dan kedua, masih mau memberi nafkah, tapi selanjutnya? Pasti istri barunya nggak ikhlas, kalau Fahmi masih menafkahi mantan i
"Mau menamparku? Silahkan!" tantangku.Mas Fahmi menurunkan tangannya dengan kasar. "Terus kenapa sekarang kok Mas malah pulang?" tanyaku."Ini rumahku, aku berhak atas rumah ini. Nanti kamu yang akan aku usir dari rumah ini.""Silahkan saja kalau mau mengusirku. Tapi aku akan melaporkan Mas ke atasan dan melaporkan ke BKD lalu inspektorat. Biar Mas dipecat. Baru tahu rasa.""Kamu berani melakukan itu?" tantang Mas Fahmi."Berani. Aku punya teman yang kerjanya di BKD, aku yakin pasti dia mau membantuku."Mas Fahmi terdiam."Kenapa diam? Takut dipecat ya? Aku punya banyak bukti yang nanti akan memberatkan Mas. Apa yang akan Mas lakukan kalau Mas dipecat dari PNS? Mau kerja apa? Jadi kuli? Apa Mas yakin kalau Mas jadi kuli, Mbak Hani masih mau dengan Mas?" Aku sudah merasa capek berdebat dengan Mas Fahmi. Tidak akan ada penyelesaiannya. Aku segera masuk ke dalam kamar dan berusaha untuk tidur. Perasaanku sudah mulai hambar. Aku mulai berpikir untuk mengikuti saran Mas Hanif. Aku akan
Wita cukup akrab denganku, kami sering pergi jalan berdua. Pergi ke mall, ke salon atau hanya sekedar makan saja. Sangat menyenangkan. Beda sekali dibandingkan dengan jalan bersama Mbak Hani. Pergi dengan Mbak Hani, membuatku merasa iri. Karena dia yang selalu menjadi pusat perhatian. Bahkan banyak yang mengira kalau aku ini kakaknya dan Mbak Hani itu adik. Memang aku tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Mbak Hani. Tapi sayang kecantikan Mbak Hani tidak digunakan dengan baik. Hanya digunakan untuk menggaet suami orang."Wita, bagaimana kabar Ibu?" tanyaku."Alhamdulillah, Ibu baik, Mbak. Tapi ya itu, sekarang sering uring-uringan. Kasihan Ayah yang selalu kena imbasnya.""Oh, selama beberapa hari kemarin, Mas Fahmi menginap di rumah Ayah, kan?""Iya, tapi selalu pulang malam. Itu yang membuat Ibu suka marah-marah. Ibu Sepertinya shock, melihat anak sulungnya ternyata selingkuh. Karena itu untuk menutupinya, Mbak Hanum yang dijadikan pelampiasannya. Maafkan Ibu ya, Mbak?"Jadi Wita