"Bapak belum bisa memikirkannya. Kalau kita usir dari rumah, nanti malah keenakan dia. Bisa-bisa Fahmi mengontrak rumah untuk Hani dan mereka akan semakin bebas. Mereka akan mengaku kalau sudah menikah siri," kata Bapak.Aku tercekat mendengar kata-kata Bapak. Apa yang diucapkan Bapak tadi ada benarnya juga. Kalau seandainya mereka benar-benar menikah siri, apa yang harus aku lakukan? Apakah aku hanya diam saja? Atau melaporkan Mas Fahmi kepada atasannya? Aku jadi pusing sendiri."Kalau misalnya Mas Fahmi dan Mbak Hani benar-benar menikah siri, Hanum harus bagaimana?" tanyaku.Semua menatapku, mencoba mencerna kata-kataku."Kalau kamu bercerai dengan Fahmi, keenakan dia. Kamu dan anak-anak tidak akan mendapat nafkah darinya. Walaupun pengadilan memutuskan bahwa Fahmi harus memberi nafkah, tapi kenyataan di lapangan, itu tidak akan terjadi. Mungkin bulan pertama dan kedua, masih mau memberi nafkah, tapi selanjutnya? Pasti istri barunya nggak ikhlas, kalau Fahmi masih menafkahi mantan i
"Mau menamparku? Silahkan!" tantangku.Mas Fahmi menurunkan tangannya dengan kasar. "Terus kenapa sekarang kok Mas malah pulang?" tanyaku."Ini rumahku, aku berhak atas rumah ini. Nanti kamu yang akan aku usir dari rumah ini.""Silahkan saja kalau mau mengusirku. Tapi aku akan melaporkan Mas ke atasan dan melaporkan ke BKD lalu inspektorat. Biar Mas dipecat. Baru tahu rasa.""Kamu berani melakukan itu?" tantang Mas Fahmi."Berani. Aku punya teman yang kerjanya di BKD, aku yakin pasti dia mau membantuku."Mas Fahmi terdiam."Kenapa diam? Takut dipecat ya? Aku punya banyak bukti yang nanti akan memberatkan Mas. Apa yang akan Mas lakukan kalau Mas dipecat dari PNS? Mau kerja apa? Jadi kuli? Apa Mas yakin kalau Mas jadi kuli, Mbak Hani masih mau dengan Mas?" Aku sudah merasa capek berdebat dengan Mas Fahmi. Tidak akan ada penyelesaiannya. Aku segera masuk ke dalam kamar dan berusaha untuk tidur. Perasaanku sudah mulai hambar. Aku mulai berpikir untuk mengikuti saran Mas Hanif. Aku akan
Wita cukup akrab denganku, kami sering pergi jalan berdua. Pergi ke mall, ke salon atau hanya sekedar makan saja. Sangat menyenangkan. Beda sekali dibandingkan dengan jalan bersama Mbak Hani. Pergi dengan Mbak Hani, membuatku merasa iri. Karena dia yang selalu menjadi pusat perhatian. Bahkan banyak yang mengira kalau aku ini kakaknya dan Mbak Hani itu adik. Memang aku tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Mbak Hani. Tapi sayang kecantikan Mbak Hani tidak digunakan dengan baik. Hanya digunakan untuk menggaet suami orang."Wita, bagaimana kabar Ibu?" tanyaku."Alhamdulillah, Ibu baik, Mbak. Tapi ya itu, sekarang sering uring-uringan. Kasihan Ayah yang selalu kena imbasnya.""Oh, selama beberapa hari kemarin, Mas Fahmi menginap di rumah Ayah, kan?""Iya, tapi selalu pulang malam. Itu yang membuat Ibu suka marah-marah. Ibu Sepertinya shock, melihat anak sulungnya ternyata selingkuh. Karena itu untuk menutupinya, Mbak Hanum yang dijadikan pelampiasannya. Maafkan Ibu ya, Mbak?"Jadi Wita
"Fahmi...Fahmi…." Mbak Hani berteriak memanggil Mas Fahmi. Mungkin dikiranya yang membawa mobil itu Mas Fahmi.Wita terus saja melajukan mobil, tidak mempedulikan panggilan Mbak Hani. Mas Fahmi tampak sangat lemas, kepalanya bersandar di bahuku. Aku mengelus-elus tangannya. Melihatnya seperti ini, aku merasa sangat kasihan. Kalau ingat kelakuannya, aku sangat kecewa. Tapi bagaimanapun juga, ia masih suami sahku. Tugasku sebagai istri, mendampinginya untuk saat ini. Disaat kondisinya sedang sakit, tentu aku harus ada disisinya. Aku kesampingkan dulu rasa sakit hati, benci, kecewa dan marah. Akhirnya sampai juga di rumah sakit, sudah ada perawat siaga di depan pintu UGD. Tadi Opik sudah menghubungi bagian UGD untuk bersiap-siap.Mobil berhenti di depan UGD, Opik turun duluan. Aku membuka pintu, perawat sudah siap untuk membawa Mas Fahmi dengan brankar. Aku ikut turun, Wita mencari tempat parkir yang kosong. Aku mengikuti brankar yang membawa Mas Fahmi. Di UGD sudah ada dokter yang men
"Nggak apa-apa kok, Yah. Hanya khawatir dengan Mas Fahmi." Wita berkata bohong. Wita melepaskan pelukannya."Kamu pintar sekali menutupi kejadian sebenarnya. Nggak usah bohong, Ayah sudah mendengar pembicaraan kalian. Sudahlah, jangan saling menyalahkan. Sekarang kita fokus dengan kesehatan Fahmi." Ayah menengahi kami.Ibu hanya diam saja. Beliau menatap tak suka padaku. "Maafkan saya, Ayah," ucapku pada Ayah."Kamu nggak salah, kok, Num. Kenapa Fahmi jadi begini?" tanya Ayah."Nggak tahu, Yah. Kemarin setelah Magrib baru pulang ke rumah. Terus tadi pagi, badannya panas. Sudah saya kasih obat, Mas Fahmi bisa tidur dengan nyenyak lagi. Pas Wita datang ke rumah, Mas Fahmi bangun, kemudian muntah. Saya kasih makan bubur, muntah terus. Akhirnya saya telpon Opik. Opik ke rumah, memeriksa Mas Fahmi dan menyarankan membawa ke rumah sakit.""Obat apa yang kamu kasih?" selidik Ibu."Hanya Paracetamol, Bu. Biasanya kalau demam Mas Fahmi minum Paracetamol, langsung sembuh." "Obat kadaluarsa ka
"Bu, ayo makan. Tadi Adiva beli ayam geprek," ajak Adiva."Oke, ayo makan.Kami makan dulu ya, Mas?" kataku pada Mas Fahmi.Kami bertiga makan dengan lahap, terutama aku. Mungkin karena aku belum makan dari pagi. Nikmatnya jadi orang sehat, bisa menikmati makanan dengan enaknya. Mas Fahmi hanya melihat kami, sesekali ia tersenyum.Selesai makan, Arya dan Adiva pulang."Jangan lupa, kunci semua pintu ya?" pesanku pada anak-anak."Iya, Bu." Mereka menjawab hampir bersamaan. Kemudian mereka pamit pada ayahnya. Tinggal aku berdua dengan Mas Fahmi."Mas, aku mandi dulu, ya? Rasanya gerah sekali," ucapku.Mas Fahmi hanya mengangguk. Aku pun segera mandi, tapi dengan metode kilat khusus, alias cepat. Segarnya badan dan pikiranku. Selesai mandi aku langsung salat magrib. "Mas, ayo minum obatnya dulu," kataku mendekati Mas Fahmi. Ia pun mengangguk. Aku membantunya untuk duduk. Kemudian memberinya obat untuk diminum. "Mau berbaring lagi?" tanyaku."Nanti saja, Bu. Mau duduk saja, punggung ter
"Assalamualaikum, Bu?" Aku menyapa Ibu melalui saluran telepon."Waalaikumsalam, kamu dimana Hanum? Tadi Ibu ke TK, ternyata sudah sepi. Ibu ke rumah juga tutup." Ibu langsung nyerocos."Hanum di rumah sakit, Bu?""Ha? Kamu sakit apa? Kok nggak ngasih tahu Ibu?" Terdengar suara Ibu yang kaget mendengar kata-kataku."Mas Fahmi yang sakit, Hanum menungguinya.""Kamu masih mau merawatnya? Setelah apa yang ia lakukan?" seru Ibu dengan emosi."Iya, Bu. Mas Fahmi masih suami Hanum, Bu. Jadi Hanum masih berkewajiban merawatnya.""Ya, sudah. Nanti Ibu kesana."Aku menghela nafas panjang, aku tahu kalau Ibu kecewa dengan Mas Fahmi. Memang Mas Fahmi yang salah.***Ketika jam besuk, Arya dan Adiva datang membawakanku makanan dan pakaian. Mereka hanya sebentar, karena banyak tugas yang harus dikerjakan. Ketika pulang, aku memintanya untuk membawa pakaian kotor."Hati-hati di rumahnya?" Aku mewanti-wanti anak-anak."Siap,Bu bisa." Arya dan Adiva begitu mandiri. Mereka sudah tahu apa yang harus d
"Kenapa Mas nggak mau mengakuinya di depan Ibu? Apa Mas takut dicoret dari daftar warisan?" cecarku."Ngapain kamu sibuk ngomongin warisan? Kamu tidak berhak atas warisan dari kami." Ibu berkata dengan keras."Memang saya nggak berhak atas warisan itu, saya hanya ingin membuktikan kalau Ibu berani bertindak sesuai ucapan Ibu. Kenapa Mas Fahmi diam saja? Mana tangisan Mas waktu mengakui kalau Mas selingkuh? Kok nggak berani ngomong di depan Ibu? Takut sama Ibu, tapi dzolim dengan istri dan anak-anak. Memalukan sekali Mas!""Sudahlah Hanum, nggak usah bicara seperti itu lagi. Fahmi sedang sakit, nanti dia malah semakin parah," kata Ayah menengahi perdebatan kami."Ayah, beberapa hari Mas Fahmi nggak pulang, bersenang-senang dengan Mbak Hani. Giliran sakit, baru ingat pulang. Dan gara-gara Mas Fahmi tidak mengaku di depan Ibu, Ibu menuduh saya mengada-ada." Aku mencoba meminta dukungan dari Ayah mertua."Memang kamu itu mengada-ada, kok! Suami setia kayak gini kok dituduh selingkuh. Kamu