"Fahmi...Fahmi…." Mbak Hani berteriak memanggil Mas Fahmi. Mungkin dikiranya yang membawa mobil itu Mas Fahmi.Wita terus saja melajukan mobil, tidak mempedulikan panggilan Mbak Hani. Mas Fahmi tampak sangat lemas, kepalanya bersandar di bahuku. Aku mengelus-elus tangannya. Melihatnya seperti ini, aku merasa sangat kasihan. Kalau ingat kelakuannya, aku sangat kecewa. Tapi bagaimanapun juga, ia masih suami sahku. Tugasku sebagai istri, mendampinginya untuk saat ini. Disaat kondisinya sedang sakit, tentu aku harus ada disisinya. Aku kesampingkan dulu rasa sakit hati, benci, kecewa dan marah. Akhirnya sampai juga di rumah sakit, sudah ada perawat siaga di depan pintu UGD. Tadi Opik sudah menghubungi bagian UGD untuk bersiap-siap.Mobil berhenti di depan UGD, Opik turun duluan. Aku membuka pintu, perawat sudah siap untuk membawa Mas Fahmi dengan brankar. Aku ikut turun, Wita mencari tempat parkir yang kosong. Aku mengikuti brankar yang membawa Mas Fahmi. Di UGD sudah ada dokter yang men
"Nggak apa-apa kok, Yah. Hanya khawatir dengan Mas Fahmi." Wita berkata bohong. Wita melepaskan pelukannya."Kamu pintar sekali menutupi kejadian sebenarnya. Nggak usah bohong, Ayah sudah mendengar pembicaraan kalian. Sudahlah, jangan saling menyalahkan. Sekarang kita fokus dengan kesehatan Fahmi." Ayah menengahi kami.Ibu hanya diam saja. Beliau menatap tak suka padaku. "Maafkan saya, Ayah," ucapku pada Ayah."Kamu nggak salah, kok, Num. Kenapa Fahmi jadi begini?" tanya Ayah."Nggak tahu, Yah. Kemarin setelah Magrib baru pulang ke rumah. Terus tadi pagi, badannya panas. Sudah saya kasih obat, Mas Fahmi bisa tidur dengan nyenyak lagi. Pas Wita datang ke rumah, Mas Fahmi bangun, kemudian muntah. Saya kasih makan bubur, muntah terus. Akhirnya saya telpon Opik. Opik ke rumah, memeriksa Mas Fahmi dan menyarankan membawa ke rumah sakit.""Obat apa yang kamu kasih?" selidik Ibu."Hanya Paracetamol, Bu. Biasanya kalau demam Mas Fahmi minum Paracetamol, langsung sembuh." "Obat kadaluarsa ka
"Bu, ayo makan. Tadi Adiva beli ayam geprek," ajak Adiva."Oke, ayo makan.Kami makan dulu ya, Mas?" kataku pada Mas Fahmi.Kami bertiga makan dengan lahap, terutama aku. Mungkin karena aku belum makan dari pagi. Nikmatnya jadi orang sehat, bisa menikmati makanan dengan enaknya. Mas Fahmi hanya melihat kami, sesekali ia tersenyum.Selesai makan, Arya dan Adiva pulang."Jangan lupa, kunci semua pintu ya?" pesanku pada anak-anak."Iya, Bu." Mereka menjawab hampir bersamaan. Kemudian mereka pamit pada ayahnya. Tinggal aku berdua dengan Mas Fahmi."Mas, aku mandi dulu, ya? Rasanya gerah sekali," ucapku.Mas Fahmi hanya mengangguk. Aku pun segera mandi, tapi dengan metode kilat khusus, alias cepat. Segarnya badan dan pikiranku. Selesai mandi aku langsung salat magrib. "Mas, ayo minum obatnya dulu," kataku mendekati Mas Fahmi. Ia pun mengangguk. Aku membantunya untuk duduk. Kemudian memberinya obat untuk diminum. "Mau berbaring lagi?" tanyaku."Nanti saja, Bu. Mau duduk saja, punggung ter
"Assalamualaikum, Bu?" Aku menyapa Ibu melalui saluran telepon."Waalaikumsalam, kamu dimana Hanum? Tadi Ibu ke TK, ternyata sudah sepi. Ibu ke rumah juga tutup." Ibu langsung nyerocos."Hanum di rumah sakit, Bu?""Ha? Kamu sakit apa? Kok nggak ngasih tahu Ibu?" Terdengar suara Ibu yang kaget mendengar kata-kataku."Mas Fahmi yang sakit, Hanum menungguinya.""Kamu masih mau merawatnya? Setelah apa yang ia lakukan?" seru Ibu dengan emosi."Iya, Bu. Mas Fahmi masih suami Hanum, Bu. Jadi Hanum masih berkewajiban merawatnya.""Ya, sudah. Nanti Ibu kesana."Aku menghela nafas panjang, aku tahu kalau Ibu kecewa dengan Mas Fahmi. Memang Mas Fahmi yang salah.***Ketika jam besuk, Arya dan Adiva datang membawakanku makanan dan pakaian. Mereka hanya sebentar, karena banyak tugas yang harus dikerjakan. Ketika pulang, aku memintanya untuk membawa pakaian kotor."Hati-hati di rumahnya?" Aku mewanti-wanti anak-anak."Siap,Bu bisa." Arya dan Adiva begitu mandiri. Mereka sudah tahu apa yang harus d
"Kenapa Mas nggak mau mengakuinya di depan Ibu? Apa Mas takut dicoret dari daftar warisan?" cecarku."Ngapain kamu sibuk ngomongin warisan? Kamu tidak berhak atas warisan dari kami." Ibu berkata dengan keras."Memang saya nggak berhak atas warisan itu, saya hanya ingin membuktikan kalau Ibu berani bertindak sesuai ucapan Ibu. Kenapa Mas Fahmi diam saja? Mana tangisan Mas waktu mengakui kalau Mas selingkuh? Kok nggak berani ngomong di depan Ibu? Takut sama Ibu, tapi dzolim dengan istri dan anak-anak. Memalukan sekali Mas!""Sudahlah Hanum, nggak usah bicara seperti itu lagi. Fahmi sedang sakit, nanti dia malah semakin parah," kata Ayah menengahi perdebatan kami."Ayah, beberapa hari Mas Fahmi nggak pulang, bersenang-senang dengan Mbak Hani. Giliran sakit, baru ingat pulang. Dan gara-gara Mas Fahmi tidak mengaku di depan Ibu, Ibu menuduh saya mengada-ada." Aku mencoba meminta dukungan dari Ayah mertua."Memang kamu itu mengada-ada, kok! Suami setia kayak gini kok dituduh selingkuh. Kamu
"Kenapa? Kami mau membela Hanum? Pikiranmu itu sudah diracuni oleh Hanum. Sudah Hanum, kamu pulang saja. Biar Ibu yang mengurus Fahmi. Tunggu saja surat perceraian kalian. Dan kamu siap-siap keluar dari rumah itu," kata Ibu dengan ketus."Ibu! Kok ngomong seperti itu?" tanyaku."Ibu sudah bosan punya menantu seperti kamu.""Oh, begitu ya? Baik, Bu. Saya tunggu surat perceraian itu, tapi saya juga akan menyiapkan laporan perselingkuhan ke atasan Mas Fahmi. Karena saya punya buktinya. Jadi Mas Fahmi, bersiap-siap untuk dipecat dari PNS."Aku segera mengambil tasku, dan bersiap untuk pulang. Wita menarik tanganku."Mbak, jangan mengambil keputusan dalam kondisi emosi. Nanti akan menyesal. Pikirkan baik-baik.""Maaf, Wita. Semua karena Mas Fahmi tidak mau mengakui perselingkuhannya di depan Ibu. Mas Fahmi terlalu pengecut menjadi seorang laki-laki. Semoga saja Arya tidak seperti ayahnya.""Diam semuanya," teriak Mas Fahmi.Aku terkejut dan melihat ke arahnya. Ibu mendekati Mas Fahmi dan m
"Assalamualaikum," sapaku menjawab panggilan dari Opik."Waalaikumsalam. Num, kamu kok nggak nungguin Mas Fahmi? Aku tadi ke kamarnya, ada ibunya Mas Fahmi. Ngoceh-ngoceh nggak karuan gitu." Opik langsung saja nyerocos."Maksudnya ngoceh gimana?""Biasalah, Num. Ngomongin kamu.""Oh, biarin aja.""Kok kamu pulang?""Aku diusir sama Mas Fahmi.""Kok, bisa?""Panjang ceritanya. Kalau diceritakan, minggu depan baru selesai," candaku pada Opik."Haha…. Aku siap mendengarkan. Kalau dibuat sinetron berapa episode?" "Banyak….haha….""Kamu ini masih bisa bercanda ya?" kata Opik."Biar nggak terlalu stress."Aku pun menceritakannya pada Opik. "Harusnya ibunya Mas Fahmi dibawa ke psikolog itu. Dia sebenarnya tahu kalau anaknya selingkuh, tapi mengingkarinya. Karena untuk menutupi kekecewaan atas kelakuan anaknya.""Iya, aku yakin dalam hati kecilnya, Ibu pasti sangat kecewa. Tapi terlalu gengsi untuk mengakuinya.""Sudah nggak usah jadi beban pikiran. Kamu harus semangat demi anak-anak. Masal
"Hani! Sudah kalian nggak usah ribut. Malu kalau nanti didengar tetangga," kata Bapak melerai kami. "Hanum itu yang memulai duluan." Mbak Hani berteriak membela diri."Aku? Hello? Ini rumahku, yang datang kesini siapa? Jadi yang mengajak ribut siapa? Ngapain kamu tadi kesini? Aku kan nggak mengundangmu untuk datang?" tanyaku pada Mbak Hani. "Aku mencarimu di rumah sakit, tapi kamu nggak ada.""Mencariku? Nggak salah dengar? Bukannya kamu mau bertemu dengan Mas Fahmi. Gimana di rumah sakit tadi? Bertemu dengan calon mertua ya? Sekalian cari muka biar disayang calon mertua. Minta restu sekalian nggak?" cecarku dengan banyak pertanyaan."Restu? Apa maksudnya?" tanya Ibu."Mas Fahmi dan Mbak Hani berencana untuk menikah siri. Kok mau-maunya diajak menikah siri, Mbak? Apa itu hanya tameng biar nggak dikatakan melakukan zina? Perempuan kok nggak punya harga diri."Plak! Tiba-tiba Mbak Hani menamparku. Aku memegang pipiku yang terasa panas."Hani!" teriak Bapak.Terdengar suara motor masuk