"Kenapa? Kami mau membela Hanum? Pikiranmu itu sudah diracuni oleh Hanum. Sudah Hanum, kamu pulang saja. Biar Ibu yang mengurus Fahmi. Tunggu saja surat perceraian kalian. Dan kamu siap-siap keluar dari rumah itu," kata Ibu dengan ketus."Ibu! Kok ngomong seperti itu?" tanyaku."Ibu sudah bosan punya menantu seperti kamu.""Oh, begitu ya? Baik, Bu. Saya tunggu surat perceraian itu, tapi saya juga akan menyiapkan laporan perselingkuhan ke atasan Mas Fahmi. Karena saya punya buktinya. Jadi Mas Fahmi, bersiap-siap untuk dipecat dari PNS."Aku segera mengambil tasku, dan bersiap untuk pulang. Wita menarik tanganku."Mbak, jangan mengambil keputusan dalam kondisi emosi. Nanti akan menyesal. Pikirkan baik-baik.""Maaf, Wita. Semua karena Mas Fahmi tidak mau mengakui perselingkuhannya di depan Ibu. Mas Fahmi terlalu pengecut menjadi seorang laki-laki. Semoga saja Arya tidak seperti ayahnya.""Diam semuanya," teriak Mas Fahmi.Aku terkejut dan melihat ke arahnya. Ibu mendekati Mas Fahmi dan m
"Assalamualaikum," sapaku menjawab panggilan dari Opik."Waalaikumsalam. Num, kamu kok nggak nungguin Mas Fahmi? Aku tadi ke kamarnya, ada ibunya Mas Fahmi. Ngoceh-ngoceh nggak karuan gitu." Opik langsung saja nyerocos."Maksudnya ngoceh gimana?""Biasalah, Num. Ngomongin kamu.""Oh, biarin aja.""Kok kamu pulang?""Aku diusir sama Mas Fahmi.""Kok, bisa?""Panjang ceritanya. Kalau diceritakan, minggu depan baru selesai," candaku pada Opik."Haha…. Aku siap mendengarkan. Kalau dibuat sinetron berapa episode?" "Banyak….haha….""Kamu ini masih bisa bercanda ya?" kata Opik."Biar nggak terlalu stress."Aku pun menceritakannya pada Opik. "Harusnya ibunya Mas Fahmi dibawa ke psikolog itu. Dia sebenarnya tahu kalau anaknya selingkuh, tapi mengingkarinya. Karena untuk menutupi kekecewaan atas kelakuan anaknya.""Iya, aku yakin dalam hati kecilnya, Ibu pasti sangat kecewa. Tapi terlalu gengsi untuk mengakuinya.""Sudah nggak usah jadi beban pikiran. Kamu harus semangat demi anak-anak. Masal
"Hani! Sudah kalian nggak usah ribut. Malu kalau nanti didengar tetangga," kata Bapak melerai kami. "Hanum itu yang memulai duluan." Mbak Hani berteriak membela diri."Aku? Hello? Ini rumahku, yang datang kesini siapa? Jadi yang mengajak ribut siapa? Ngapain kamu tadi kesini? Aku kan nggak mengundangmu untuk datang?" tanyaku pada Mbak Hani. "Aku mencarimu di rumah sakit, tapi kamu nggak ada.""Mencariku? Nggak salah dengar? Bukannya kamu mau bertemu dengan Mas Fahmi. Gimana di rumah sakit tadi? Bertemu dengan calon mertua ya? Sekalian cari muka biar disayang calon mertua. Minta restu sekalian nggak?" cecarku dengan banyak pertanyaan."Restu? Apa maksudnya?" tanya Ibu."Mas Fahmi dan Mbak Hani berencana untuk menikah siri. Kok mau-maunya diajak menikah siri, Mbak? Apa itu hanya tameng biar nggak dikatakan melakukan zina? Perempuan kok nggak punya harga diri."Plak! Tiba-tiba Mbak Hani menamparku. Aku memegang pipiku yang terasa panas."Hani!" teriak Bapak.Terdengar suara motor masuk
"Jangan mulai lagi kamu, Hanum," teriak Mbak Hani menatapku dengan tajam. Aku menatapnya dengan sinis."Sudah, jangan ribut terus. Bapak jadi pusing melihat pertengkaran kalian." Aku dan Mbak Hani hanya terdiam."Pak, maafkan Hanum kalau membuat Bapak bersedih. Hanum nggak tahu apa yang harus dilakukan. Semua diluar kendali Hanum, Pak. Hanum nggak bisa berpikir dengan jernih. Yang Hanum pikirkan hanya anak-anak. Hanum nggak mau anak-anak menjadi tertekan karena masalah ini." Aku berkata sambil menangis dan mendekati Bapak.Bapak mengelus kepalaku."Bapak tahu, masalah ini terlalu berat bagimu. Tapi yakinlah, masih ada Allah. Allah tidak akan memberikan cobaan diluar kemampuan umatnya. Pasrahkan semua pada Allah." Bapak memberikan aku semangat. Aku mengangguk."Doakan Hanum ya, Pak. Semoga Hanum mampu melewati semua ini."Ibu memelukku sambil menangis."Ibu yakin, kamu bisa melewatinya. Bapak dan Ibu akan selalu mendukung keputusanmu. Selalu hubungi kami kalau kamu perlu tempat untuk
Malam hari menjelang tidur, aku berusaha memejamkan mata. Tapi entah mengapa pikiranku melayang kemana-mana. Kulihat ke arah samping, tampak Mas Fahmi yang sudah tertidur. Mungkin karena pengaruh obat yang membuatnya mengantuk. Aku merasa jijik dengan Mas Fahmi. Membayangkan ia dengan Mbak Hani berbagi peluh dan berbagi kemesraan, membuatku bergidik. Aku tidak bisa membayangkan, jika aku harus berbagi ranjang dengan perempuan lain. Apalagi dengan Mbak Hani. Ya Allah, apa yang harus aku lakukan? Aku tidak ikhlas jika tubuhku ini disentuh oleh Mas Fahmi, walaupun ia masih menjadi suamiku yang sah. Kulihat jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, tapi aku seperti insomnia. Memikirkan hal-hal yang terjadi padaku. Allah begitu sayang padaku, hingga aku diberi cobaan sebesar ini. Aku berusaha bersugesti positif terhadap hidupku. ***Azan subuh berkumandang, segera aku bangun. Menunaikan salat subuh dan beraktivitas seperti biasa. Ibu juga sudah bangun. Aku segera memasak air.Sambil me
Semua sudah berkumpul disini, untuk makan malam bersama. Ibu bertindak seolah-olah beliau adalah tuan rumahnya. Aku, Arya dan Adiva yang sibuk wara-wiri menyiapkan semuanya."Ayo kita makan, ini semua Ibu yang masak," ajak Ibu pada semua yang hadir."Ibu memang hebat, masak semua ini," sahut Fariz."Jangan remehkan Ibu yang sudah tua ini. Walaupun nggak ada yang membantu, tapi masih mampu melakukannya," sinis Ibu berkata sambil menatapku.Aku hanya terdiam. Sudah aku duga, pasti Ibu akan berkata seperti itu. Satu persatu mereka mengambil makanan dan suasana makan tampak ramai. Sambil makan sambil berceloteh, aku hanya menjadi pendengar saja. Selesai makan malam, kami masih berkumpul untuk ngobrol-ngobrol. Anak-anak main ponsel di teras depan rumah.Mulailah Ibu mengeluarkan segala yang ada di pikirannya."Hanum, Ibu nggak mau tahu ya? Jangan lagi mengungkit-ungkit kecurigaanmu. Kalau masih mau bersama Fahmi, diam, nggak usah banyak komentar. Kurangi rasa cemburu itu. Kalau suami sel
Aku bimbang, sebenarnya aku masih sangat mencintai Mas Fahmi. Tapi disisi lain aku sangat kecewa dan membenci kelakuannya. Berselingkuh itu menurutku sudah merupakan kesalahan besar. Dia sudah mempermainkan janjinya ketika menikah dulu. Aku memiliki teman yang suaminya berselingkuh. Aku dan beberapa teman menyarankan untuk berpisah saja. Tapi ia tetap mempertahankan rumah tangganya. Karena ia memikirkan anak-anaknya. Ternyata keputusan untuk bertahan itu sangat tepat. Mereka memulai lembaran baru dan mereka terlihat bahagia. Apa aku harus seperti itu ya? Aduh pusing kepalaku. Menasehati orang kayaknya mudah, begitu aku mengalami masalah yang sama, ternyata sudah untuk mengambil keputusan."Aku tahu, kamu pasti sangat membenciku. Aku mohon, beri aku kesempatan untuk memperbaikinya," kata Mas Fahmi lagi.Belum sempat aku menjawab, terdengar pintu depan di ketuk. Aku segera beranjak dari duduk dan berjalan menuju ke pintu.Kulihat Mbak Hani di depan pintu dengan wajah sayu. Mungkin ini
"Hani! Kamu ulangi lagi ucapanmu tadi. Biar semua tahu," teriak Ibu dengan sinis."Aku hamil," kata Mbak Hani pelan."Apa?" teriak Mas Hanif yang duduk disampingku."Aku hamil anaknya Fahmi," ucap Mbak Hani lagi.Ayah langsung mendekati Mas Fahmi.Plak! Plak!"Ayah," teriak Ibu.Walaupun Ibu marah dengan Mas Fahmi, mungkin ia tetap tidak tega, melihat Mas Fahmi ditampar oleh Ayah. "Otak itu dipakai untuk mikir! Jangan hanya mikir nafsu saja. Kalau sudah seperti ini, mau apa lagi?" kata Ayah dengan marah."Hanif, tolong telepon bapakmu. Kalau bisa kesini sekarang," kata Ayah pada Mas Hanif."Iya, Pak," jawab Mas Hanif. Kemudian menelepon Bapak."Tunggu Pak Irwan sampai, baru kita bicarakan lagi," kata Ayah. Irwan adalah nama bapakku.Kami semua larut dengan pikiran masing-masing, sambil menunggu kedatangan Bapak dan Ibu."Assalamualaikum." Terdengar suara Bapak mengucapkan salam."Waalaikumsalam." Ayah menjawab salam."Ada apa ini? Kok semua ngumpul disini? Lho Hani sudah disini ya? K