"Hani! Kamu ulangi lagi ucapanmu tadi. Biar semua tahu," teriak Ibu dengan sinis."Aku hamil," kata Mbak Hani pelan."Apa?" teriak Mas Hanif yang duduk disampingku."Aku hamil anaknya Fahmi," ucap Mbak Hani lagi.Ayah langsung mendekati Mas Fahmi.Plak! Plak!"Ayah," teriak Ibu.Walaupun Ibu marah dengan Mas Fahmi, mungkin ia tetap tidak tega, melihat Mas Fahmi ditampar oleh Ayah. "Otak itu dipakai untuk mikir! Jangan hanya mikir nafsu saja. Kalau sudah seperti ini, mau apa lagi?" kata Ayah dengan marah."Hanif, tolong telepon bapakmu. Kalau bisa kesini sekarang," kata Ayah pada Mas Hanif."Iya, Pak," jawab Mas Hanif. Kemudian menelepon Bapak."Tunggu Pak Irwan sampai, baru kita bicarakan lagi," kata Ayah. Irwan adalah nama bapakku.Kami semua larut dengan pikiran masing-masing, sambil menunggu kedatangan Bapak dan Ibu."Assalamualaikum." Terdengar suara Bapak mengucapkan salam."Waalaikumsalam." Ayah menjawab salam."Ada apa ini? Kok semua ngumpul disini? Lho Hani sudah disini ya? K
Aku duduk kembali dan bergabung bersama mereka, karena ayah yang meminta."Fahmi, kamu tinggal di rumah Ayah saja. Biarkan Hanum dan anak-anak tinggal disini," kata Ayah."Nggak bisa, Yah. Ini kan rumahnya Fahmi. Kok Fahmi yang harus keluar," teriak Ibu."Sudah, Bu. Nggak usah diungkit-ungkit lagi," bentak Ayah.Ibu langsung terdiam mendengar Ayah membentaknya. Kasihan juga melihat Ibu dibentak Ayah seperti itu. Tapi memang Ibu yang nyebelin."Nggak usah, Yah. Biar saya dan anak-anak yang keluar dari rumah ini. Saya nggak mau nanti diungkit-ungkit terus," kataku."Anak-anak tinggal sama Fahmi saja," celetuk Ibu."Nggak bakal mau, Bu. Anak-anak pasti ikut saya.""Oh, kamu sudah menghasut mereka ya? Nanti biar Ibu yang berbicara dengan mereka," lanjut Ibu."Silahkan saja. Maaf saya mau ke kamar, mau mulai berkemas-kemas," pamitku, kemudian aku melangkah menuju ke kamar. Sampai di kamar, aku mulai berkemas-kemas untuk membawa barang-barangku. Lebih baik aku pergi, biarlah aku tidak ting
Aku segera keluar dari kamar untuk melanjutkan menonton televisi. Sambil tiduran di sofa, mataku menatap layar televisi tapi pikiranku kemana-mana.Terdengar seseorang memanggilku. Aku terbangun, berarti aku tadi ketiduran waktu menonton televisi. Kulihat Arya di sampingku."Ibu kenapa tidur disini?" tanya Arya."Nggak apa-apa," jawabku."Ibu bertengkar lagi dengan Ayah?" "Nggak kok.""Maaf, Arya. Ayah dan Ibu sudah tidak bisa bersama lagi. Ibu tidak akan memaksa kalian ikut dengan Ibu. Semua terserah kalian. Beberapa hari lagi Ibu akan keluar dari rumah ini.""Kenapa Ibu harus keluar dari rumah ini? Ibu mau tinggal dimana?" "Karena Ibu tidak bisa satu atap dengan ayahmu lagi. Tadi sore Ibu sudah mencari rumah kontrakan. Kecil sih, ada tiga kamar. Tapi nggak masalah bagi Ibu. Kalian mau tinggal disini nggak apa-apa. Ada Ayah yang akan selalu menjaga kalian."Aku menahan air mataku supaya tidak jatuh. "Apakah Ibu dan Ayah harus berpisah? Tidak adakah pintu maaf untuk Ayah?" tanya Ar
"Biarlah Mas, malas berurusan dengan Ibu. Tapi semua sertifikat ada ditanganku.""Wah, pintar juga kamu haha…."Aku dan Mbak Sarah ikut tertawa.Setelah membantu berberes-beres, Mas Hanif, Mbak Sarah dan anak-anaknya pulang.Hari yang sangat melelahkan, mulai dari berkemas-kemas di rumah lama, pindahan kesini dan membereskan barang-barang. Sisanya besok saja dilanjutkan."Malam ini Ibu tidur dengan Adiva dulu ya? Kamar Ibu belum ada kasurnya," kataku pada anak-anak ketika menjelang tidur."Nggak apa-apa kok, Bu. Kita tidur ramai-ramai disini. Kasur dua digabung jadi lumayan luas kan?" usul Adiva."Betul itu. Biar Arya yang angkat kasur satunya kesini," kata Arya beranjak ke kamarnya.Malam ini kami tidur bertiga di rumah kontrakan.***Pagi ini aku berangkat ke sekolah, dari kejauhan kulihat mobil Mas Fahmi parkir di depan TK. Aku malas bertemu dengannya, akhirnya aku berhenti dan masuk ke sebuah warung.Aku mengirim pesan pada Susan.[Assalamualaikum, Susan. Ibu ke dinas pendidikan d
"Bagaimana Mbak Hani, Bu?" tanyaku pada Ibu. Walaupun aku sangat membencinya, ia tetaplah kakakku. "Di rumah terus sekarang, sering melamun. Kemarin habis kontrol ke dokter kandungan. Kehamilan Hani sangat rentan, mengingat usia sudah diatas empat puluh tahun. Karena itu diberi berbagai vitamin untuk menguatkan kondisi janin. Tadi ia sudah tidur, makanya kami tinggal." Ibu menjawab dengan nada sedih."Maafkan Hanum, Bu. Untuk beberapa waktu kedepan, Hanum belum bisa berkunjung ke rumah Ibu. Hanum masih belajar untuk menahan emosi dan menerima kenyataan yang ada. Masih menata hati untuk menjadi lebih baik lagi. Takutnya kalau bertemu dengan Mbak Hani, malah jadi emosi. Semoga Bapak dan Ibu bisa memahami kondisi Hanum," aku berkata memberi penjelasan pada Bapak dan Ibu."Bapak mengerti dengan kondisimu, Nok, dan bisa memakluminya. Kami tidak bisa memaksa kamu untuk memaafkan Hani. Bukannya kami membela dan pilih kasih pada Hani. Kamu berdua anak Bapak dan Ibu, kami tidak membedakan ka
Aku sudah ada di tempat yang ditentukan Opik untuk bertemu. Sebuah tempat makan yang cukup ramai. Dulu Mas Fahmi sering mengajak aku dan anak-anak makan disini. Mengingat Mas Fahmi membuatku sedih. Kehidupan yang aku jalani tidak sesuai dengan harapanku. Tapi hidupku terlalu berharga untuk meratapi Mas Fahmi terus. Tak lama kemudian Opik datang. Setelah cipika cipiki, Opik duduk di depanku. Kami memesan makanan, sambil menunggu makanan datang, Opik menanyakan padaku."Ayo," kata Opik."Ayo apa?""Kamu hutang penjelasan denganku."Aku menghela nafas panjang dan berusaha untuk tidak menangis."Aku sudah keluar dari rumah itu bersama anak-anak. Sekarang mengontrak di perumahan Permata. Tentu saja masalah perselingkuhan.""Maafkan aku, Num. Tidak ada disampingmu disaat-saat sulitmu. Sahabat macam apa aku ini?" Opik tampak merutuki dirinya sendiri."Kamu nggak salah. Kamu tetap sahabat terbaikku. Hanya saja, waktu itu aku mau berbicara denganmu. Tapi tidak jadi, karena aku tidak mau selal
Anak-anak sudah duduk lesehan di karpet. Makanan sudah aku siapkan. "Ayo, Bu, kita makan," ajak Arya."Kalian saja yang makan. Tadi Ibu sudah makan disana. Ditraktir Tante Opik.""Ini belinya di restoran Sempurna ya, Bu?" tanya Adiva."Iya, tadi Tante Opik mengajak makan disana.""Sudah lama kita nggak makan disana ya?" kata Adiva lagi.Arya dan Adiva makan dengan lahapnya. Aku hanya menyaksikan mereka makan."Maafkan Ibu ya, Nak?" kataku pada mereka."Maaf kenapa?" tanya Arya."Ibu tidak pernah mengajak kalian makan di restoran lagi." Aku berkata dengan pelan."Maafkan Adiva, Bu. Bukan maksud Adiva menyinggung Ibu," kata Adiva dengan menunduk."Nggak apa-apa, kok. Doakan saja rezeki Ibu mengalir terus. Jadi kita bisa makan di restoran.""Amin," jawab mereka berbarengan.Selesai makan, mereka yang membereskan semuanya. Kemudian mereka masuk ke kamar masing-masing.Aku segera menuju ke kamar Arya. Kuketuk pintu kamarnya."Boleh Ibu masuk?" tanyaku."Masuk saja, Bu," jawab Arya.Aku me
Sore hari menjelang Magrib, Mas Fahmi datang ke rumah. Ia membawa makanan. Aku sebenarnya malas untuk menemuinya. Tapi bagaimanapun juga ia masih suamiku yang sah. Mau tidak mau, aku tetap menemuinya.Azan Magrib berkumandang, Arya dan Mas Fahmi pergi ke masjid untuk salat berjamaah. Aku dan Adiva salat di rumah.Setelah Arya dan Mas Fahmi pulang, kami makan malam dengan duduk lesehan. Suasana makan terasa sangat hangat, seperti tidak ada masalah diantara kami. "Arya, Ayah dengar, kamu sekarang bekerja ya?" tanya Mas Fahmi, ketika kami selesai makan."Pasti tahu dari Yang Ti kan?" Arya menjawab dengan nada tidak senang."Apa uang jajanmu kurang? Kenapa nggak minta sama Ayah? Nanti Ayah tambah uang jajannya," kata Mas Fahmi lagi."Maaf, Yah. Jangan nilai semua dengan uang. Untuk masalah uang jajan, alhamdulillah Ibu sudah memberi lebih dari cukup.""Terus alasannya apa? Mencari pengalaman? Begitu ya? Itu alasan klise, pasti ujung-ujungnya uang. Mana ada orang yang bekerja tapi tidak d