"Nggak usah diladeni perempuan ini. Tujuan kita kesini, mengajak anak-anak tinggal bersamamu." Ibu berkata para Mas Fahmi."Tuh kan, laki-laki melempem. Mau mengajak anak-anak ikut kamu, kok ngajak ibumu? Memangnya kamu nggak berani ya sendirian? Nggak nyangka, di tempat tidur terlihat garang tapi disini kebalikannya. Ban*i!" Aku kaget mendengar kata-kata Mbak Hani. Mas Fahmi dan Ibu merah padam mukanya."Arya, Adiva." Ibu berteriak memanggil anak-anak.Arya keluar dari kamar dan Adiva mengikuti Arya bersembunyi dibalik punggung Arya."Bereskan barang-barang kalian, mulai hari ini kalian berdua tinggal bersama Ayah kalian," perintah Ibu."Kalau kami nggak mau?" tanya Arya."Harus mau." Ibu bersikeras."Siapa yang mengharuskan?" ejek Arya."Tuh Hanum, lihat! Anak-anak berada disini jadi melawan dengan orang tua." Ibu menyalahkanku."Yang Ti bisanya hanya menyalahkan Ibu saja." Arya berkata lagi. Ibu semakin kalap."Ayo bereskan sekarang!" teriak Ibu."Bu, sudahlah. Kalau anak-anak tid
"Ayah, terima kasih sudah mengantar kami ke rumah sakit. Maaf saya mau pulang," pamitku pada Ayah. Ayah tampak mengangguk. Aku segera berjalan keluar."Hanum!" panggil Mas Fahmi.Aku mempercepat langkahku, tapi sepertinya mas Fahmi berlari dan sudah ada di depanku menghadang langkahku. Aku berusaha menghindar, tapi Mas Fahmi berhasil menarik tanganku."Apa yang terjadi?" tanya Mas Fahmi."Mas, Bapak dan Ibu tidak menuntutmu bertanggung jawab atas kehamilan Mbak Hani. Bapak ikhlas, karena memang Mbak Hani juga yang salah. Dan kalaupun keluarga Mas Fahmi tidak mengakui bayi itu, tidak masalah. Tapi tidak perlu sampai membunuh janin bayi yang tidak berdosa. Katanya orang kaya berpendidikan, tapi kelakuan Ibu tadi, tidak termaafkan. Selamanya Ibu kami anggap sebagai pembunuh cucunya sendiri."Mas Fahmi tampak terdiam."Setelah kejadian ini, jangan harap Arya dan Adiva mau berbaik hati dengan kalian. Keluarga bar-bar." Aku berkata dengan sangat kesal.Kupandangi wajah Mas Fahmi, ia tampak
"Eh, Pak Rudi. Tiga perempuan ini menggunjing saya. Padahal mereka tidak tahu kebenarannya. Saya minta nama-nama mereka, Pak." Aku berkata pada Pak Rudi, yang kebetulan aku kenal."Oh, Bu Hanum. Ini Sinta, Lisa dan Dinda. Kalian kenapa sih kok menggunjing Bu Hanum," tanya Pak Rudi."Saya berbicara kenyataan kok, Pak," kata perempuan yang bernama Dinda."Kami minta maaf, Bu. Kami tidak tahu apa-apa," kata perempuan yang ternyata bernama Lisa. Lisa yang tadi sudah minta maaf."Ayo semua ke ruang saya dulu," ajak Pak Rudi.Aku mengikuti langkah Pak Rudi. Tiga perempuan itu juga mengikuti kami. Sampai di ruang Pak Rudi, aku menceritakan semuanya."Dinda, jangan suka campur urusan orang lain. Kalau ternyata kamu salah, itu akan menjadi fitnah. Yang kamu katakan itu "katanya" berarti belum pasti. Jangan suka mengambil kesimpulan sendiri." Pak Rudi memarahi Dinda."Kalian berdua, Sinta dan Lisa, jangan ikut-ikutan Dinda," kata Pak Rudi."Iya, Pak. Bu Hanum, saya minta maaf. Saya tadi tidak i
Disinilah aku sekarang, di sebuah taman yang lumayan ramai. Kami mencari tempat duduk yang nyaman. Seperti orang mau pacaran saja, padahal mau berdebat."Apa yang mau Mas bicarakan," kataku to the point tanpa basa-basi lagi."Aku sudah mendaftarkan permohonan perceraian pada Pak Yanuar.""Iya, aku tahu. Makanya aku ke ruangan Pak Yanuar tadi. Yang jadi masalah, kenapa alasannya kalau aku yang berselingkuh? Berarti aku yang melakukan kesalahan. Dan perlu Mas tahu, tadi ada insiden kecil yang akhirnya membuka sebuah kebusukan yang selama ini disimpan rapi.""Apa maksudmu?" Mas Fahmi heran."Siapa Dinda?" tanyaku tanpa basa-basi lagi.Mas Fahmi tampak kaget tapi kemudian bisa menguasai keadaan."Oh, teman kantor.""Teman?""Iya, teman.""Teman tapi mesra?" selidikku.Mas Fahmi langsung pucat wajahnya. Kulihat ia tampak gelisah."Pintar sekali Mas menutupi kebohongan dan kebusukan. Berapa banyak perempuan yang sudah Mas tiduri?" tanyaku penuh emosi."Bicara apa kamu?" Mas Fahmi emosi."Ma
Aku dan Adiva memesan makanan. Kami ngobrol-ngobrol ringan sambil menunggu pesanan. Kami duduk di tempat yang mejanya panjang, biar bisa satu meja. Adiva di sebelahku. Duta di depanku dan Arya di samping Duta berhadapan dengan Adiva. Satria dan dua temanya duduk di sebelah Adiva dan Arya."Arya mau ke WC dulu ya?" kata Arya."Adiva ikut, Kak," kata Adiva."WCnya kan beda," sahut Arya."Iya, kan bersebelahan," jawab Adiva.Kemudian Adiva mengikuti Arya. Tinggallah aku duduk berhadapan dengan Duta. Enak ngobrol dengan Duta, walaupun masih muda tapi pemikirannya sudah sangat dewasa. Ia juga terlihat mandiri."Maaf ya, Mbak. Arya kuajak bergabung dan kerja bersamaku. Karena kulihat, Arya itu berbakat. Desainnya bagus-bagus," kata Duta."Asalkan tidak mengganggu sekolahnya, ya nggak apa-apa. Daripada keluyuran nggak karuan," jawabku."Oh, ternyata suka sama yang muda-muda ya? Pantesan kok ngotot minta cerai," terdengar suara Mas Fahmi di dekatku. Aku menoleh dan kaget melihat Mas Fahmi bar
"Sudah ya, Ray, Hanum ada Konsul denganku. Biasa bisnis perasaan," kata Opik sambil tertawa.Dokter Ray melambaikan tangannya dan melangkah pergi. Opik dan aku juga pergi menuju ke ruangan Opik."Kamu ini, Pik, bikin malu saja. Seolah-olah aku sedang promo," kataku sambil duduk di kursi."Promo atau cuci gudang? Diskon gede-gedean lho," ledek Opik."Memangnya barang." Aku pura-pura kesal."Bercanda, Sayang. Eh ada apa? Apa mau menjemput Mbak Hani? Tadi aku lihat Mbak Sarah mau membayar administrasi, ternyata semua sudah dibayar oleh Fahmi.""Oh, begitu ya? Tadi aku lihat Mbak Hani sudah keluar dari rumah sakit. Mbak Sarah memang bilang kalau hari ini Mbak Hani pulang. Tapi aku masih malas bertemu dengannya.""Nggak usah dipaksain bertemu dengannya, aku yakin mereka juga paham, kalau kamu belum bisa sering bertemu dengan Mbak Hani. Daripada bertemu tapi kamu malah merasa tidak nyaman."Aku tersenyum. "O ya, apa yang akan kamu bicarakan padaku?" tanya Opik.Aku menghela nafas panjang,
Aku gelagapan ditanya seperti itu, bingung mau menjawab apa. Untung saja Ray langsung menjawab pertanyaaan anaknya. "Tante Hanum ini temannya Tante Opik," kata Mas Ray."Oh, kirain…." Lea tidak melanjutkan ucapannya. "Kami pergi dulu ya, Mas," pamitku. Sebenarnya aku penasaran dengan ucapan Lea yang menggantung. Tapi aku juga mulai nggak suka dengan Lea, yang menurutku angkuh."O, iya, Mbak. Silahkan."Aku dan anak-anak melangkah pergi, kudengar Lea masih ngoceh sama papanya. Aku sengaja berjalan agak pelan, anak-anak sudah duluan."Papa jangan tebar pesona, ya?""Maksudnya apa?""Papa PDKT sama Tante itu tadi ya? Nggak cocok sama Papa, nggak selevel," ejek Lea."Nggak boleh ngomong kayak gitu," kata Ray pada Lea.Aku dongkol sekali, ucapannya sangat merendahkanku. Baru kenal juga kok sudah bisa menilai orang lain. Siapa juga yang suka sama Papa kamu, Lea. Nggak ada perempuan yang mau punya anak tiri kayak kamu. Pasti nanti ribut terus.Aku menghampiri anak-anak dengan perasaan kesa
Astaghfirullahaladzim, separah itukah Ibu? Atau mungkin rasa bersalah pada Mbak Hani yang berlebihan sehingga membuatnya depresi? Apakah aku senang atau sedih mendengar berita ini? Aku tidak tahu, yang jelas aku sangat terkejut dengan semua ini."Separah itukah?" tanyaku.Mas Fahmi mengangguk. "Kapan mulai seperti itu?" tanyaku lagi."Setelah kejadian itu, sampai rumah Ibu termenung kemudian menangis. Kami pikir itu karena merasa bersalah saja, terus bisa kembali seperti semula. Ternyata hampir seminggu seperti itu terus. Akhirnya dibawa ke rumah sakit." Mas Fahmi menghela nafas panjang. "Terus maksud kedatangan Mas apa? Hanya menceritakan ini atau ada yang lain?" tanyaku."Kalau ada waktu, ajak anak-anak menemui Ibu. Siapa tahu Ibu senang dengan kedatangan Arya dan Adiva.""Apa tidak semakin memperparah keadaan?" tanyaku lagi."Kenapa nggak dicoba? Syukur-syukur mereka mau menginap di rumah Ayah.""Jangan dipaksa untuk menginap. Gara-gara kejadian itu, Adiva sangat shock. Nanti bia
Kondisi kesehatan Mbak Hani sudah mulai membaik, Mbak Hani juga sangat menerapkan gaya hidup yang sehat. Tentu saja kami semua bahagia mendengarnya. Mbak Hani juga memiliki semangat yang tinggi untuk sehat. Ia ingin menjadi Mama yang baik untuk Nadya.Arya dan Nadya juga sudah mulai kuliah di kampus yang sama tapi beda fakultas. Aku meminta Arya untuk menjaga Nadya. Ternyata benar dugaan Mbak Hani, Mas Kevin tidak mau membiayai Nadya kuliah. Dengan berbagai macam alasan. Untung saja Mbak Hani sudah menyiapkan semuanya.Untuk Arya, aku juga patut bersyukur. Mas Fahmi membantu biaya masuk kuliah. Arya juga bercerita kalau Yang Kung beberapa kali mentransfer uang untuk biaya hidup bulanan. Padahal kalau mereka tidak mau membantu biaya kuliah, Mas Ray juga sudah menyiapkannya. Hubungan kami dengan keluarga Mas Fahmi juga sangat baik. Beberapa kali aku mengajak Mas Ray ke rumah orang tua Mas Fahmi. Alhamdulillah mereka menerima kami dengan baik.Kehamilanku sendiri sudah memasuki bulan ke
"Mas, ada fans berat tuh," kataku pada Mas Ray."Boleh Mas samperin dia?""Boleh, siapa takut." Kami pun berjalan menuju ke arah dokter Vanya yang sedang berbincang dengan dokter Ismail dan seseorang."Gandengan terus," ledek seseorang yg tidak aku kenal."Iya, dong. Truk aja gandengan, masa kita enggak." Mas Ray berkata sambil tertawa. Dokter Ismail dan orang itu tertawa, sedangkan dokter Vanya hanya terdiam saja."Selamat ya Ray, bentar lagi punya bayi?" kata dokter Ismail. "Terimakasih dokter.""Cepet bener hamilnya, jangan-jangan sudah…." Dokter Vanya menggantung ucapannya."Hush nggak boleh ngomong gitu," potong dokter Ismail."Biarlah dokter, hanya kami berdua dan Allah yang tahu. Kami menikah sudah tiga bulan dan istri saya hamil dua bulan." Mas Ray menjelaskan.Kami pun berpamitan pada dokter Ismail.Sampai dirumah sudah ada Mama sama Papa yang duduk di ruang keluarga. Adiva sedang menghidangkan minuman."Diminum Opa, Oma," kata Adiva."Terima kasih ya sayang," jawab Mama.
"Baru saja Hani mau manggil Bapak dan Ibu, nggak tahunya sudah keluar," kata Mbak Hani."Anak-anak kemana, Mbak?" tanyaku pada Mbak Hani."Tadi katanya mau keluar sebentar, entah kemana.""Naik apa?" tanyaku lagi."Jalan kaki."Kami semua berkumpul di ruang keluarga. Menikmati makanan buatan Mbak Hani dan bercerita tentang berbagai hal."Hani, kamu semangat ya, ikuti semua anjuran dokter. Ibu akan selalu mendukungmu," kata Ibu dengan tersenyum."Iya, Bu. Hani senang melihat Ibu bisa tersenyum lagi. Tadi Hani sempat merasa kalau Hani yang membuat Ibu bersedih. Senyum Ibu membuat Hani menjadi bersemangat." Mbak Hani menimpali."Kami semua disini mendukungmu. Selain berusaha jangan lupa juga berdoa dengan yang di atas. Semua terjadi karena izin dari Allah," kata Bapak."Iya, Pak. Hani terharu. Terima kasih untuk semua doa dan dukungannya. Hani sangat semangat untuk sembuh, demi Nadya, keluarga kita dan tentu saja demi Hani sendiri," kata Mbak Hani."Mbak, kami semua ada untuk Mbak Hani,"
Ceklek! Pintu pun dibuka."Ada apa Pa?" tanya Lea. Adiva pun memegang tanganku.Aku nggak tahu apa yang diucapkan Mas Ray pada anak-anak. Aku tidak bisa fokus. Aku tetap menangis, tiba-tiba pandanganku menjadi gelap. Yang kuingat hanyalah suara Adiva memanggilku."Ibu," panggil Adiva, ketika aku membuka mata. Mas Ray dan anak-anak ada di dekatku. Aku masih mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi. Aku pun menangis ketika mampu mengingat lagi apa yang terjadi."Ayo ke rumah Bapak," ajakku pada Mas Ray.Mas Ray menggelengkan kepalanya. Aku mencoba beranjak dari tidurku, tapi kepalaku sangat sakit. "Kenapa, Bu?" tanya Arya."Pusing.""Aku mau ke rumah Bapak. Arya, antar Ibu ke rumah Akung," kataku dengan kesal karena Mas Ray tidak menuruti permintaanku.Kulihat Arya seperti kebingungan, mungkin dia ingin mengantarku, tapi takut pada Mas Ray.Mas Ray menatap tajam padaku, aku segera memalingkan wajahku. "Sayang, lihat Mas."Aku masih kesal dengannya."Lihatlah Ibu kalian kalau mer
Aku mengajak Mbak Hani ke kamar Ibu untuk melihat kondisi Ibu. Kulihat Mas Ray baru saja selesai memeriksa tekanan darah Ibu. "Bagaimana Ibu, Mas?" tanyaku pada Mas Ray."Ibu hanya shock saja, semua butuh proses. Sepertinya Ibu belum bisa menerima sebuah kenyataan. Tekanan darah agak naik sedikit. Apa Ibu punya penyakit hipertensi?" tanya Mas Ray."Enggak ada," jawab Bapak."Kita tunggu sebentar lagi, mudah-mudahan segera siuman," kata Mas Ray. Aku dan Mbak Hani duduk di tepi tempat tidur."Maafkan Hani, Bu." Mbak Hani masih saja menangis."Semua bukan salahmu, Hani? Ibu hanya butuh waktu untuk menerima semua ini," kata Bapak membesarkan hati Mbak Hani.Kami semua hanya terdiam, tak berapa lama Ibu membuka matanya. Ibu tampak bingung melihat kami semua disini."Apa aku sudah mati? Kenapa semuanya berkumpul disini?" tanya Ibu."Ibu masih hidup, dan harus tetap sehat, karena Bapak masih sangat membutuhkan Ibu." Bapak menjawab sambil tersenyum."Apa yang terjadi?" tanya Ibu."Ibu hanya
Bapak dan Ibu sangat terkejut mendengar kata-kata Mbak Hani. Kemudian Ibu menangis lagi. Suasana menjadi penuh haru. Hanya Bapak yang tidak menangis, tapi aku yakin kalau Bapak menahan air matanya supaya tidak jatuh. "Pernah? Berarti sekarang sudah sembuh?" tanya Ibu lagi, masih dengan air mata yang mengalir di pipinya."Sudah operasi pengangkatan, Bu. Hani survivor kanker." Mbak Hani berkata sambil meneteskan air mata.Ibu semakin keras menangisnya."Oalah Hani, kenapa kamu nggak cerita sama Bapak dan Ibu? Pak, lihatlah anak kita, menderita seorang diri. Orang tua macam apa kita, membiarkan anak sakit dan kita tidak mendampinginya." Ibu berkata sambil menangis. Aku jadi ikut menangis. Mbak Hani mendekati Ibu dan memeluknya. Mbak Hani memegang tangan Ibu dan menariknya untuk ditempelkan ke bagian dada Mbak Hani yang sebelah kiri. Ibu tampak terkejut. "Ini yang dioperasi?" tanya Ibu.Mbak Hani mengangguk pelan."Maafkan Hani, Bu. Hani hanya tidak mau merepotkan Ibu, makanya Hani mel
"Nggak ada, kok, Num. Memangnya ada apa?" kilah Mbak Hani."Mbak, nggak usah bohong. Aku sudah tahu semuanya. Aku kan pernah nanya sama Mbak Hani, apa Mbak Hani sakit. Tapi jawaban Mbak Hani, nggak apa-apa, hanya kurang tidur saja. Apa Mbak Hani mau cerita padaku, apa yang terjadi sebenarnya?"Mbak Hani hanya diam saja."Mbak aku sering memperhatikan Mbak Hani. Aku merasa ada yang lain dari Mbak Hani. Kulihat Mbak Hani badannya menyusut dan terlihat tidak bercahaya. Mbak, aku sayang sama Mbak Hani, tidak mau terjadi apa-apa pada Mbak Hani. Karena itu aku mencari informasi tentang Mbak Hani. Apa Bapak dan Ibu tahu? Mas Hanif, tahu juga?"Mbak Hani menghela nafas panjang."Nggak ada yang tahu, Num. Aku nggak mau membebani mereka.""Bukannya membebani, Mbak. Tapi kalau mereka tahu mereka akan merasa dibutuhkan, bisa untuk saling bertukar pikiran. Aku yakin, mereka pasti akan kesal kalau sampai tahu dari orang lain.""Aku bingung mau memulai dari mana untuk menjelaskan pada mereka." "Bic
Aku menoleh ke arah datangnya suara, ternyata Mas Fahmi bersama Dinda dan anak mereka. Aku tersenyum."Mas Fahmi," sapaku sambil tersenyum ke arahnya. Dinda diam, tampak wajah yang tidak bersahabat. Memandangku tak berkedip."Apa kabar Hanum," kata Mas Fahmi."Kabar baik. Kenalin Mas ini suamiku," kataku pada Mas Fahmi."O ya. Fahmi, ini Dinda." Mas Fahmi memperkenalkan istrinya."Ray." Mas Ray mengulurkan tangannya."Kami duluan ya, Mas?" pamitku."Oh iya." Mas Fahmi menjawab dengan gugup.Aku dan Mas Ray pun masuk ke dalam mobil. Mobil melaju meninggalkan rumah makan."Kok diam saja?" tanya Mas Ray. Kamu memang hanya terdiam sepanjang perjalanan pulang. Pikiranku terasa buntu, banyak sekali yang aku pikirkan."Terus harus ngapain?" "Ngobrol kek, atau apa.""Mas yang ngomong, nanti aku dengar," kataku.Mas Ray hanya diam, kebetulan juga sudah sampai rumah. Aku turun dari mobil, kemudian membuka pintu pagar dan membuka pintu rumah. Meletakkan makanan yang tadi aku beli di meja makan.
Dokter Fajar menarik nafas panjang dan kemudian berkata padaku."Begini Mbak Hanum, Ibu Hanifah Zahira menderita penyakit hipertiroidisme.""Penyakit apa itu dokter?" tanyaku, karena memang aku kurang paham. Lebih baik aku bertanya daripada sok tahu."Penyakit hipertiroidisme adalah gangguan yang terjadi saat kadar hormon tiroksin dalam tubuh terlalu tinggi. Hormon tiroksin yang diproduksi oleh kelenjar tiroid ini memiliki peran penting dalam proses metabolisme tubuh. Jika kadarnya berlebihan, maka proses metabolisme pun akan terganggu. Penderita hipertiroidisme dapat mengalami gejala berupa: tremor,turunnya berat badan, mudah berkeringat,gangguan tidur, gugup, cemas, dan mudah tersinggung, jantung berdebar.""Yang saya tahu Mbak Hani itu berat badannya turun dan mengalami gangguan tidur." Aku berkata dengan pelan."Iya, Ibu Hanifah mengalami yang Mbak Hanum sebutkan tadi." Dokter Fajar menambahi."Apa penyakit ini bisa sembuh?" tanyaku lagi."Bisa, pengobatan rutin selama enam bula