Aku dan Adiva memesan makanan. Kami ngobrol-ngobrol ringan sambil menunggu pesanan. Kami duduk di tempat yang mejanya panjang, biar bisa satu meja. Adiva di sebelahku. Duta di depanku dan Arya di samping Duta berhadapan dengan Adiva. Satria dan dua temanya duduk di sebelah Adiva dan Arya."Arya mau ke WC dulu ya?" kata Arya."Adiva ikut, Kak," kata Adiva."WCnya kan beda," sahut Arya."Iya, kan bersebelahan," jawab Adiva.Kemudian Adiva mengikuti Arya. Tinggallah aku duduk berhadapan dengan Duta. Enak ngobrol dengan Duta, walaupun masih muda tapi pemikirannya sudah sangat dewasa. Ia juga terlihat mandiri."Maaf ya, Mbak. Arya kuajak bergabung dan kerja bersamaku. Karena kulihat, Arya itu berbakat. Desainnya bagus-bagus," kata Duta."Asalkan tidak mengganggu sekolahnya, ya nggak apa-apa. Daripada keluyuran nggak karuan," jawabku."Oh, ternyata suka sama yang muda-muda ya? Pantesan kok ngotot minta cerai," terdengar suara Mas Fahmi di dekatku. Aku menoleh dan kaget melihat Mas Fahmi bar
"Sudah ya, Ray, Hanum ada Konsul denganku. Biasa bisnis perasaan," kata Opik sambil tertawa.Dokter Ray melambaikan tangannya dan melangkah pergi. Opik dan aku juga pergi menuju ke ruangan Opik."Kamu ini, Pik, bikin malu saja. Seolah-olah aku sedang promo," kataku sambil duduk di kursi."Promo atau cuci gudang? Diskon gede-gedean lho," ledek Opik."Memangnya barang." Aku pura-pura kesal."Bercanda, Sayang. Eh ada apa? Apa mau menjemput Mbak Hani? Tadi aku lihat Mbak Sarah mau membayar administrasi, ternyata semua sudah dibayar oleh Fahmi.""Oh, begitu ya? Tadi aku lihat Mbak Hani sudah keluar dari rumah sakit. Mbak Sarah memang bilang kalau hari ini Mbak Hani pulang. Tapi aku masih malas bertemu dengannya.""Nggak usah dipaksain bertemu dengannya, aku yakin mereka juga paham, kalau kamu belum bisa sering bertemu dengan Mbak Hani. Daripada bertemu tapi kamu malah merasa tidak nyaman."Aku tersenyum. "O ya, apa yang akan kamu bicarakan padaku?" tanya Opik.Aku menghela nafas panjang,
Aku gelagapan ditanya seperti itu, bingung mau menjawab apa. Untung saja Ray langsung menjawab pertanyaaan anaknya. "Tante Hanum ini temannya Tante Opik," kata Mas Ray."Oh, kirain…." Lea tidak melanjutkan ucapannya. "Kami pergi dulu ya, Mas," pamitku. Sebenarnya aku penasaran dengan ucapan Lea yang menggantung. Tapi aku juga mulai nggak suka dengan Lea, yang menurutku angkuh."O, iya, Mbak. Silahkan."Aku dan anak-anak melangkah pergi, kudengar Lea masih ngoceh sama papanya. Aku sengaja berjalan agak pelan, anak-anak sudah duluan."Papa jangan tebar pesona, ya?""Maksudnya apa?""Papa PDKT sama Tante itu tadi ya? Nggak cocok sama Papa, nggak selevel," ejek Lea."Nggak boleh ngomong kayak gitu," kata Ray pada Lea.Aku dongkol sekali, ucapannya sangat merendahkanku. Baru kenal juga kok sudah bisa menilai orang lain. Siapa juga yang suka sama Papa kamu, Lea. Nggak ada perempuan yang mau punya anak tiri kayak kamu. Pasti nanti ribut terus.Aku menghampiri anak-anak dengan perasaan kesa
Astaghfirullahaladzim, separah itukah Ibu? Atau mungkin rasa bersalah pada Mbak Hani yang berlebihan sehingga membuatnya depresi? Apakah aku senang atau sedih mendengar berita ini? Aku tidak tahu, yang jelas aku sangat terkejut dengan semua ini."Separah itukah?" tanyaku.Mas Fahmi mengangguk. "Kapan mulai seperti itu?" tanyaku lagi."Setelah kejadian itu, sampai rumah Ibu termenung kemudian menangis. Kami pikir itu karena merasa bersalah saja, terus bisa kembali seperti semula. Ternyata hampir seminggu seperti itu terus. Akhirnya dibawa ke rumah sakit." Mas Fahmi menghela nafas panjang. "Terus maksud kedatangan Mas apa? Hanya menceritakan ini atau ada yang lain?" tanyaku."Kalau ada waktu, ajak anak-anak menemui Ibu. Siapa tahu Ibu senang dengan kedatangan Arya dan Adiva.""Apa tidak semakin memperparah keadaan?" tanyaku lagi."Kenapa nggak dicoba? Syukur-syukur mereka mau menginap di rumah Ayah.""Jangan dipaksa untuk menginap. Gara-gara kejadian itu, Adiva sangat shock. Nanti bia
Ponselku masih berdering."Kenapa nggak kamu angkat?" tanya Ibu.Dengan ogah-ogahan aku mengangkat ponselku."Assalamualaikum?" sapaku."Waalaikumsalam, Mbak Hanum dimana?" "Di rumah Bapak, ada apa?""Aku sudah di depan rumah Mbak Hanum sekarang. Tapi terkunci. Masih lama nggak di rumah Bapak?""Sebentar lagi aku pulang, tunggu ya?" jawabku sambil menghentikan panggilan telepon."Siapa yang menelepon, Num?" tanya Ibu."Wita, Bu. Hanum pulang dulu ya? Kapan-kapan Hanum kesini lagi, ngajak anak-anak."Aku pulang dengan rasa penasaran. Ada apa ya Wita sampai datang ke rumah? Apakah ini berkaitan dengan Ibu, yang kata Mas Fahmi sedang depresi?Akhirnya aku sampai di rumah juga, kulihat Wita sedang duduk di teras."Kamu kesini kok nggak ngasih tahu," kataku pada Wita."Aku pikir pulang sekolah, Mbak langsung pulang," jawab Wita.Kulihat jam ternyata sudah menunjukkan pukul setengah dua siang. Padahal aku pulang sekolah jam sebelas. Berarti lama juga ya aku ke rumah Bapak tadi."Ayo, masuk
"Pantas saja Ibu selalu mimpi dikejar-kejar bayi, mungkin Ibu merasa bersalah tapi tidak mau mengakuinya," kata Wita sambil meneteskan air mata."Maaf, Wita, kami pulang," pamitku.Wita hanya mengangguk pelan, mungkin ia terguncang dengan kenyataan yang terjadi. Kami berjalan keluar dari rumah Ayah, tampak mobil Mas Fahmi baru saja masuk ke halaman rumah."Lho kalian disini, ya?" sapa Mas Fahmi.Aku mengangguk, Arya dan Adiva memberi salam pada ayahnya. "Mau kemana sekarang?" tanya Mas Fahmi."Mau pulang, Mas." Aku menjawab pertanyaan Mas Fahmi."Aku antar ya?" kata Mas Fahmi."Nggak usah," jawabku.Drtt...drtt…Ponsel Mas Fahmi berbunyi, ia pun menerima panggilan itu."......." "Fahmi sudah di depan rumah Ayah," kata Mas Fahmi segera berlari masuk ke dalam rumah Ayah. Ia tampak cemas.Aku dan anak-anak saling berpandangan. "Ada apa ya?" tanyaku penasaran."Sudahlah, Bu. Kita pulang saja," kata Adiva."Kita lihat dulu apa yang terjadi," kataku pada anak-anak.Mereka terlihat enggan
Selesai makan malam, aku ke kamar Arya untuk menanyakan kertas yang aku temukan tadi pagi. Tampak Arya sedang tiduran sambil memainkan ponselnya."Ini maksudnya apa Arya?" tanyaku pada Arya sambil menyodorkan kertas.Arya mengambil kertas dari tanganku, aku mencoba mengamati raut wajahnya. Tampak keterkejutan di wajahnya walaupun ia berusaha untuk menutupi. Tapi aku tahu."Kenapa kamu tidak bicara dengan Ibu?" tanyaku. "Arya memang nggak mau ikut, kok, Bu.""Kenapa?""Acara itu kan nggak terlalu penting.""Apa kamu takut Ibu tidak mampu membayarnya? Kamu meragukan kemampuan Ibu ya?""Bukan begitu maksud Arya, Bu.""Terus? Apa maksudnya? Kalau memang tidak mau ikut, kan bisa berbicara dengan Ibu. Tidak perlu disembunyikan seperti itu." Aku berkata dengan mata berkaca-kaca.Aku sedih mengetahui semua ini. Kertas tadi berisi persetujuan orang tua untuk ikut study tour ke Yogyakarta. Arya memilih tidak ikut. Aku tahu ia pasti memikirkan biayanya."Maafkan Ibu yang tidak mampu memenuhi ke
Bu, Kak Arya bawa martabak, nih," teriak Adiva. Berarti Arya sudah pulang. "Iya, sebentar." Aku menjawab teriakan Adiva.Aku pun mengakhiri pembicaraan dengan Lisa. Hatiku terasa lega karena Lisa mau membantuku. Semoga rencanaku berhasil. Aku yakin, Dinda tidak menyadari kalau sudah masuk ke dalam perangkap ku.Maafkan aku Mas, sebenarnya aku tidak memiliki niat jahat untuk kalian. Tapi sepertinya kalian, terutama Dinda, sengaja membuatku marah. Lihatlah Mas, sebentar lagi kamu akan merasakan akibatnya. Ingin aku tertawa jahat, seperti gambar setan yang memiliki tanduk. Tapi nanti malah menimbulkan pertanyaan di benak anak-anak. Jangan-jangan mereka malah mengira kalau ibunya sedang konslet otaknya. Bismillah, walaupun berniat jahat tapi aku tetap mengharapkan ridho dari Allah. Semoga Allah mengampuni perbuatanku ini.***Pagi ini aku sibuk dengan kegiatan di dapur. Aku berencana membuat pempek untuk dibawa Arya ke tempat kerjanya. Semua bahan sudah aku siapkan dari kemarin. Cuka pe