"Ayah, terima kasih sudah mengantar kami ke rumah sakit. Maaf saya mau pulang," pamitku pada Ayah. Ayah tampak mengangguk. Aku segera berjalan keluar."Hanum!" panggil Mas Fahmi.Aku mempercepat langkahku, tapi sepertinya mas Fahmi berlari dan sudah ada di depanku menghadang langkahku. Aku berusaha menghindar, tapi Mas Fahmi berhasil menarik tanganku."Apa yang terjadi?" tanya Mas Fahmi."Mas, Bapak dan Ibu tidak menuntutmu bertanggung jawab atas kehamilan Mbak Hani. Bapak ikhlas, karena memang Mbak Hani juga yang salah. Dan kalaupun keluarga Mas Fahmi tidak mengakui bayi itu, tidak masalah. Tapi tidak perlu sampai membunuh janin bayi yang tidak berdosa. Katanya orang kaya berpendidikan, tapi kelakuan Ibu tadi, tidak termaafkan. Selamanya Ibu kami anggap sebagai pembunuh cucunya sendiri."Mas Fahmi tampak terdiam."Setelah kejadian ini, jangan harap Arya dan Adiva mau berbaik hati dengan kalian. Keluarga bar-bar." Aku berkata dengan sangat kesal.Kupandangi wajah Mas Fahmi, ia tampak
"Eh, Pak Rudi. Tiga perempuan ini menggunjing saya. Padahal mereka tidak tahu kebenarannya. Saya minta nama-nama mereka, Pak." Aku berkata pada Pak Rudi, yang kebetulan aku kenal."Oh, Bu Hanum. Ini Sinta, Lisa dan Dinda. Kalian kenapa sih kok menggunjing Bu Hanum," tanya Pak Rudi."Saya berbicara kenyataan kok, Pak," kata perempuan yang bernama Dinda."Kami minta maaf, Bu. Kami tidak tahu apa-apa," kata perempuan yang ternyata bernama Lisa. Lisa yang tadi sudah minta maaf."Ayo semua ke ruang saya dulu," ajak Pak Rudi.Aku mengikuti langkah Pak Rudi. Tiga perempuan itu juga mengikuti kami. Sampai di ruang Pak Rudi, aku menceritakan semuanya."Dinda, jangan suka campur urusan orang lain. Kalau ternyata kamu salah, itu akan menjadi fitnah. Yang kamu katakan itu "katanya" berarti belum pasti. Jangan suka mengambil kesimpulan sendiri." Pak Rudi memarahi Dinda."Kalian berdua, Sinta dan Lisa, jangan ikut-ikutan Dinda," kata Pak Rudi."Iya, Pak. Bu Hanum, saya minta maaf. Saya tadi tidak i
Disinilah aku sekarang, di sebuah taman yang lumayan ramai. Kami mencari tempat duduk yang nyaman. Seperti orang mau pacaran saja, padahal mau berdebat."Apa yang mau Mas bicarakan," kataku to the point tanpa basa-basi lagi."Aku sudah mendaftarkan permohonan perceraian pada Pak Yanuar.""Iya, aku tahu. Makanya aku ke ruangan Pak Yanuar tadi. Yang jadi masalah, kenapa alasannya kalau aku yang berselingkuh? Berarti aku yang melakukan kesalahan. Dan perlu Mas tahu, tadi ada insiden kecil yang akhirnya membuka sebuah kebusukan yang selama ini disimpan rapi.""Apa maksudmu?" Mas Fahmi heran."Siapa Dinda?" tanyaku tanpa basa-basi lagi.Mas Fahmi tampak kaget tapi kemudian bisa menguasai keadaan."Oh, teman kantor.""Teman?""Iya, teman.""Teman tapi mesra?" selidikku.Mas Fahmi langsung pucat wajahnya. Kulihat ia tampak gelisah."Pintar sekali Mas menutupi kebohongan dan kebusukan. Berapa banyak perempuan yang sudah Mas tiduri?" tanyaku penuh emosi."Bicara apa kamu?" Mas Fahmi emosi."Ma
Aku dan Adiva memesan makanan. Kami ngobrol-ngobrol ringan sambil menunggu pesanan. Kami duduk di tempat yang mejanya panjang, biar bisa satu meja. Adiva di sebelahku. Duta di depanku dan Arya di samping Duta berhadapan dengan Adiva. Satria dan dua temanya duduk di sebelah Adiva dan Arya."Arya mau ke WC dulu ya?" kata Arya."Adiva ikut, Kak," kata Adiva."WCnya kan beda," sahut Arya."Iya, kan bersebelahan," jawab Adiva.Kemudian Adiva mengikuti Arya. Tinggallah aku duduk berhadapan dengan Duta. Enak ngobrol dengan Duta, walaupun masih muda tapi pemikirannya sudah sangat dewasa. Ia juga terlihat mandiri."Maaf ya, Mbak. Arya kuajak bergabung dan kerja bersamaku. Karena kulihat, Arya itu berbakat. Desainnya bagus-bagus," kata Duta."Asalkan tidak mengganggu sekolahnya, ya nggak apa-apa. Daripada keluyuran nggak karuan," jawabku."Oh, ternyata suka sama yang muda-muda ya? Pantesan kok ngotot minta cerai," terdengar suara Mas Fahmi di dekatku. Aku menoleh dan kaget melihat Mas Fahmi bar
"Sudah ya, Ray, Hanum ada Konsul denganku. Biasa bisnis perasaan," kata Opik sambil tertawa.Dokter Ray melambaikan tangannya dan melangkah pergi. Opik dan aku juga pergi menuju ke ruangan Opik."Kamu ini, Pik, bikin malu saja. Seolah-olah aku sedang promo," kataku sambil duduk di kursi."Promo atau cuci gudang? Diskon gede-gedean lho," ledek Opik."Memangnya barang." Aku pura-pura kesal."Bercanda, Sayang. Eh ada apa? Apa mau menjemput Mbak Hani? Tadi aku lihat Mbak Sarah mau membayar administrasi, ternyata semua sudah dibayar oleh Fahmi.""Oh, begitu ya? Tadi aku lihat Mbak Hani sudah keluar dari rumah sakit. Mbak Sarah memang bilang kalau hari ini Mbak Hani pulang. Tapi aku masih malas bertemu dengannya.""Nggak usah dipaksain bertemu dengannya, aku yakin mereka juga paham, kalau kamu belum bisa sering bertemu dengan Mbak Hani. Daripada bertemu tapi kamu malah merasa tidak nyaman."Aku tersenyum. "O ya, apa yang akan kamu bicarakan padaku?" tanya Opik.Aku menghela nafas panjang,
Aku gelagapan ditanya seperti itu, bingung mau menjawab apa. Untung saja Ray langsung menjawab pertanyaaan anaknya. "Tante Hanum ini temannya Tante Opik," kata Mas Ray."Oh, kirain…." Lea tidak melanjutkan ucapannya. "Kami pergi dulu ya, Mas," pamitku. Sebenarnya aku penasaran dengan ucapan Lea yang menggantung. Tapi aku juga mulai nggak suka dengan Lea, yang menurutku angkuh."O, iya, Mbak. Silahkan."Aku dan anak-anak melangkah pergi, kudengar Lea masih ngoceh sama papanya. Aku sengaja berjalan agak pelan, anak-anak sudah duluan."Papa jangan tebar pesona, ya?""Maksudnya apa?""Papa PDKT sama Tante itu tadi ya? Nggak cocok sama Papa, nggak selevel," ejek Lea."Nggak boleh ngomong kayak gitu," kata Ray pada Lea.Aku dongkol sekali, ucapannya sangat merendahkanku. Baru kenal juga kok sudah bisa menilai orang lain. Siapa juga yang suka sama Papa kamu, Lea. Nggak ada perempuan yang mau punya anak tiri kayak kamu. Pasti nanti ribut terus.Aku menghampiri anak-anak dengan perasaan kesa
Astaghfirullahaladzim, separah itukah Ibu? Atau mungkin rasa bersalah pada Mbak Hani yang berlebihan sehingga membuatnya depresi? Apakah aku senang atau sedih mendengar berita ini? Aku tidak tahu, yang jelas aku sangat terkejut dengan semua ini."Separah itukah?" tanyaku.Mas Fahmi mengangguk. "Kapan mulai seperti itu?" tanyaku lagi."Setelah kejadian itu, sampai rumah Ibu termenung kemudian menangis. Kami pikir itu karena merasa bersalah saja, terus bisa kembali seperti semula. Ternyata hampir seminggu seperti itu terus. Akhirnya dibawa ke rumah sakit." Mas Fahmi menghela nafas panjang. "Terus maksud kedatangan Mas apa? Hanya menceritakan ini atau ada yang lain?" tanyaku."Kalau ada waktu, ajak anak-anak menemui Ibu. Siapa tahu Ibu senang dengan kedatangan Arya dan Adiva.""Apa tidak semakin memperparah keadaan?" tanyaku lagi."Kenapa nggak dicoba? Syukur-syukur mereka mau menginap di rumah Ayah.""Jangan dipaksa untuk menginap. Gara-gara kejadian itu, Adiva sangat shock. Nanti bia
Ponselku masih berdering."Kenapa nggak kamu angkat?" tanya Ibu.Dengan ogah-ogahan aku mengangkat ponselku."Assalamualaikum?" sapaku."Waalaikumsalam, Mbak Hanum dimana?" "Di rumah Bapak, ada apa?""Aku sudah di depan rumah Mbak Hanum sekarang. Tapi terkunci. Masih lama nggak di rumah Bapak?""Sebentar lagi aku pulang, tunggu ya?" jawabku sambil menghentikan panggilan telepon."Siapa yang menelepon, Num?" tanya Ibu."Wita, Bu. Hanum pulang dulu ya? Kapan-kapan Hanum kesini lagi, ngajak anak-anak."Aku pulang dengan rasa penasaran. Ada apa ya Wita sampai datang ke rumah? Apakah ini berkaitan dengan Ibu, yang kata Mas Fahmi sedang depresi?Akhirnya aku sampai di rumah juga, kulihat Wita sedang duduk di teras."Kamu kesini kok nggak ngasih tahu," kataku pada Wita."Aku pikir pulang sekolah, Mbak langsung pulang," jawab Wita.Kulihat jam ternyata sudah menunjukkan pukul setengah dua siang. Padahal aku pulang sekolah jam sebelas. Berarti lama juga ya aku ke rumah Bapak tadi."Ayo, masuk