"Bagaimana Mbak Hani, Bu?" tanyaku pada Ibu. Walaupun aku sangat membencinya, ia tetaplah kakakku. "Di rumah terus sekarang, sering melamun. Kemarin habis kontrol ke dokter kandungan. Kehamilan Hani sangat rentan, mengingat usia sudah diatas empat puluh tahun. Karena itu diberi berbagai vitamin untuk menguatkan kondisi janin. Tadi ia sudah tidur, makanya kami tinggal." Ibu menjawab dengan nada sedih."Maafkan Hanum, Bu. Untuk beberapa waktu kedepan, Hanum belum bisa berkunjung ke rumah Ibu. Hanum masih belajar untuk menahan emosi dan menerima kenyataan yang ada. Masih menata hati untuk menjadi lebih baik lagi. Takutnya kalau bertemu dengan Mbak Hani, malah jadi emosi. Semoga Bapak dan Ibu bisa memahami kondisi Hanum," aku berkata memberi penjelasan pada Bapak dan Ibu."Bapak mengerti dengan kondisimu, Nok, dan bisa memakluminya. Kami tidak bisa memaksa kamu untuk memaafkan Hani. Bukannya kami membela dan pilih kasih pada Hani. Kamu berdua anak Bapak dan Ibu, kami tidak membedakan ka
Aku sudah ada di tempat yang ditentukan Opik untuk bertemu. Sebuah tempat makan yang cukup ramai. Dulu Mas Fahmi sering mengajak aku dan anak-anak makan disini. Mengingat Mas Fahmi membuatku sedih. Kehidupan yang aku jalani tidak sesuai dengan harapanku. Tapi hidupku terlalu berharga untuk meratapi Mas Fahmi terus. Tak lama kemudian Opik datang. Setelah cipika cipiki, Opik duduk di depanku. Kami memesan makanan, sambil menunggu makanan datang, Opik menanyakan padaku."Ayo," kata Opik."Ayo apa?""Kamu hutang penjelasan denganku."Aku menghela nafas panjang dan berusaha untuk tidak menangis."Aku sudah keluar dari rumah itu bersama anak-anak. Sekarang mengontrak di perumahan Permata. Tentu saja masalah perselingkuhan.""Maafkan aku, Num. Tidak ada disampingmu disaat-saat sulitmu. Sahabat macam apa aku ini?" Opik tampak merutuki dirinya sendiri."Kamu nggak salah. Kamu tetap sahabat terbaikku. Hanya saja, waktu itu aku mau berbicara denganmu. Tapi tidak jadi, karena aku tidak mau selal
Anak-anak sudah duduk lesehan di karpet. Makanan sudah aku siapkan. "Ayo, Bu, kita makan," ajak Arya."Kalian saja yang makan. Tadi Ibu sudah makan disana. Ditraktir Tante Opik.""Ini belinya di restoran Sempurna ya, Bu?" tanya Adiva."Iya, tadi Tante Opik mengajak makan disana.""Sudah lama kita nggak makan disana ya?" kata Adiva lagi.Arya dan Adiva makan dengan lahapnya. Aku hanya menyaksikan mereka makan."Maafkan Ibu ya, Nak?" kataku pada mereka."Maaf kenapa?" tanya Arya."Ibu tidak pernah mengajak kalian makan di restoran lagi." Aku berkata dengan pelan."Maafkan Adiva, Bu. Bukan maksud Adiva menyinggung Ibu," kata Adiva dengan menunduk."Nggak apa-apa, kok. Doakan saja rezeki Ibu mengalir terus. Jadi kita bisa makan di restoran.""Amin," jawab mereka berbarengan.Selesai makan, mereka yang membereskan semuanya. Kemudian mereka masuk ke kamar masing-masing.Aku segera menuju ke kamar Arya. Kuketuk pintu kamarnya."Boleh Ibu masuk?" tanyaku."Masuk saja, Bu," jawab Arya.Aku me
Sore hari menjelang Magrib, Mas Fahmi datang ke rumah. Ia membawa makanan. Aku sebenarnya malas untuk menemuinya. Tapi bagaimanapun juga ia masih suamiku yang sah. Mau tidak mau, aku tetap menemuinya.Azan Magrib berkumandang, Arya dan Mas Fahmi pergi ke masjid untuk salat berjamaah. Aku dan Adiva salat di rumah.Setelah Arya dan Mas Fahmi pulang, kami makan malam dengan duduk lesehan. Suasana makan terasa sangat hangat, seperti tidak ada masalah diantara kami. "Arya, Ayah dengar, kamu sekarang bekerja ya?" tanya Mas Fahmi, ketika kami selesai makan."Pasti tahu dari Yang Ti kan?" Arya menjawab dengan nada tidak senang."Apa uang jajanmu kurang? Kenapa nggak minta sama Ayah? Nanti Ayah tambah uang jajannya," kata Mas Fahmi lagi."Maaf, Yah. Jangan nilai semua dengan uang. Untuk masalah uang jajan, alhamdulillah Ibu sudah memberi lebih dari cukup.""Terus alasannya apa? Mencari pengalaman? Begitu ya? Itu alasan klise, pasti ujung-ujungnya uang. Mana ada orang yang bekerja tapi tidak d
"Nggak usah diladeni perempuan ini. Tujuan kita kesini, mengajak anak-anak tinggal bersamamu." Ibu berkata para Mas Fahmi."Tuh kan, laki-laki melempem. Mau mengajak anak-anak ikut kamu, kok ngajak ibumu? Memangnya kamu nggak berani ya sendirian? Nggak nyangka, di tempat tidur terlihat garang tapi disini kebalikannya. Ban*i!" Aku kaget mendengar kata-kata Mbak Hani. Mas Fahmi dan Ibu merah padam mukanya."Arya, Adiva." Ibu berteriak memanggil anak-anak.Arya keluar dari kamar dan Adiva mengikuti Arya bersembunyi dibalik punggung Arya."Bereskan barang-barang kalian, mulai hari ini kalian berdua tinggal bersama Ayah kalian," perintah Ibu."Kalau kami nggak mau?" tanya Arya."Harus mau." Ibu bersikeras."Siapa yang mengharuskan?" ejek Arya."Tuh Hanum, lihat! Anak-anak berada disini jadi melawan dengan orang tua." Ibu menyalahkanku."Yang Ti bisanya hanya menyalahkan Ibu saja." Arya berkata lagi. Ibu semakin kalap."Ayo bereskan sekarang!" teriak Ibu."Bu, sudahlah. Kalau anak-anak tid
"Ayah, terima kasih sudah mengantar kami ke rumah sakit. Maaf saya mau pulang," pamitku pada Ayah. Ayah tampak mengangguk. Aku segera berjalan keluar."Hanum!" panggil Mas Fahmi.Aku mempercepat langkahku, tapi sepertinya mas Fahmi berlari dan sudah ada di depanku menghadang langkahku. Aku berusaha menghindar, tapi Mas Fahmi berhasil menarik tanganku."Apa yang terjadi?" tanya Mas Fahmi."Mas, Bapak dan Ibu tidak menuntutmu bertanggung jawab atas kehamilan Mbak Hani. Bapak ikhlas, karena memang Mbak Hani juga yang salah. Dan kalaupun keluarga Mas Fahmi tidak mengakui bayi itu, tidak masalah. Tapi tidak perlu sampai membunuh janin bayi yang tidak berdosa. Katanya orang kaya berpendidikan, tapi kelakuan Ibu tadi, tidak termaafkan. Selamanya Ibu kami anggap sebagai pembunuh cucunya sendiri."Mas Fahmi tampak terdiam."Setelah kejadian ini, jangan harap Arya dan Adiva mau berbaik hati dengan kalian. Keluarga bar-bar." Aku berkata dengan sangat kesal.Kupandangi wajah Mas Fahmi, ia tampak
"Eh, Pak Rudi. Tiga perempuan ini menggunjing saya. Padahal mereka tidak tahu kebenarannya. Saya minta nama-nama mereka, Pak." Aku berkata pada Pak Rudi, yang kebetulan aku kenal."Oh, Bu Hanum. Ini Sinta, Lisa dan Dinda. Kalian kenapa sih kok menggunjing Bu Hanum," tanya Pak Rudi."Saya berbicara kenyataan kok, Pak," kata perempuan yang bernama Dinda."Kami minta maaf, Bu. Kami tidak tahu apa-apa," kata perempuan yang ternyata bernama Lisa. Lisa yang tadi sudah minta maaf."Ayo semua ke ruang saya dulu," ajak Pak Rudi.Aku mengikuti langkah Pak Rudi. Tiga perempuan itu juga mengikuti kami. Sampai di ruang Pak Rudi, aku menceritakan semuanya."Dinda, jangan suka campur urusan orang lain. Kalau ternyata kamu salah, itu akan menjadi fitnah. Yang kamu katakan itu "katanya" berarti belum pasti. Jangan suka mengambil kesimpulan sendiri." Pak Rudi memarahi Dinda."Kalian berdua, Sinta dan Lisa, jangan ikut-ikutan Dinda," kata Pak Rudi."Iya, Pak. Bu Hanum, saya minta maaf. Saya tadi tidak i
Disinilah aku sekarang, di sebuah taman yang lumayan ramai. Kami mencari tempat duduk yang nyaman. Seperti orang mau pacaran saja, padahal mau berdebat."Apa yang mau Mas bicarakan," kataku to the point tanpa basa-basi lagi."Aku sudah mendaftarkan permohonan perceraian pada Pak Yanuar.""Iya, aku tahu. Makanya aku ke ruangan Pak Yanuar tadi. Yang jadi masalah, kenapa alasannya kalau aku yang berselingkuh? Berarti aku yang melakukan kesalahan. Dan perlu Mas tahu, tadi ada insiden kecil yang akhirnya membuka sebuah kebusukan yang selama ini disimpan rapi.""Apa maksudmu?" Mas Fahmi heran."Siapa Dinda?" tanyaku tanpa basa-basi lagi.Mas Fahmi tampak kaget tapi kemudian bisa menguasai keadaan."Oh, teman kantor.""Teman?""Iya, teman.""Teman tapi mesra?" selidikku.Mas Fahmi langsung pucat wajahnya. Kulihat ia tampak gelisah."Pintar sekali Mas menutupi kebohongan dan kebusukan. Berapa banyak perempuan yang sudah Mas tiduri?" tanyaku penuh emosi."Bicara apa kamu?" Mas Fahmi emosi."Ma